19 Juli 2014

(Cerbung SMASH) "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" / Part 21

Judul        : “Cewek Rockstar VS Cowok Boyband”

Pengarang : @ariek_andini

Genre       : Comedy-Romantic

Cast          : Rangga, Rafael, Dicky, Bisma, Reza dan Ilham.

Thanks udah baca cerbung gesrek ini sampe sekarang :) ... Jangan menjadi pembaca gelap ya... :) Author pengen tahu kesan-kesan kalian tentang cerbung ini. koment aja...

-------------------------------------


        “Loe pernah denger nggak, sih, bahwa yang membuat fisik sakit itu tidak selamanya karena penyakit atau kecelakaan. Tapi juga karena psikologisnya! Loe nggak ngerti Rangga atau gimana?! Dia nggak butuh vitamin, antibody, atau apalah tadi yang loe bilang! Yang sakit itu bukan fisik dia! Yang sakit itu hati dia!!”

        “Dia butuh perhatian yang murni, yang pure! Bukan yang fake! Gini deh, gue bikin simpel aja. Kemaren yang bikin Rangga nggak pulang semalaman itu bukan gue, tapi dia sendiri. Dia sendiri yang nggak mau pulang. Gue heran, sebenernya berapa lama sih loe sama Rangga? Kok loe nggak paham-pham juga?”

        “Maksud omongan loe apa bawa-bawa masa lalu gue dan Rangga?” sergah Ola tidak terima.

        “Oh, iya, gue lupa! Loe udah putus kan sama dia? Tapi kok loe ngurusin dia terus sih? Loe nggak takut Reza cemburu?”

        Ola membelalakkan matanya. Ia seperti mendapatkan tamparan keras. Darimana Andin tahu perihal Reza? Bagaimana mungkin dia tahu sejauh itu?

        “Gue datang ke sini baik-baik karena gue khawatir dengan Rangga. Gue Cuma minta loe jangan terlalu sering ketemu Rangga!” suara Ola mulai bergetar. Disambarnya tasnya yang tergeletak lalu pergi keluar tanpa pamitan. Dadanya penuh sesak. Begitu mencapai gerbang rumah Andin, Ola menangis. Dengan bibir sesenggukan dia masuk ke dalam taksi.

        Suasana menjadi lengang sepeninggal Ola. Suara gemericik air mancur buatan di halaman rumah Andin mengisi keheningan. Mengalun seperti melodi. Mendekap Andin yang teronggok di ruang tamunya. Otaknya masih belum pulih dari pertengkaran klise antara ia dan Ola. Seperti petir di siang bolong. Benar-benar di luar dugaannya, Ola datang ke rumahnya dan bertengkar habis-habisan dengannya.

        Andin mengusap wajahnya dengan belah tangannya. Ditariknya nafas dalam-dalam. Benar-benar kacau. Belum habis gemuruh di dadanya karena pertengkarannya dengan Erwin, Ardhy dan Ipunk, sekarang masih ditambah Ola. Mimpi apa dia semalam?

        06.00 pm.

        Andin bangkit dari duduknya. Dia harus siap-siap. Sejam lagi ia harus menemui Rangga di 21 atau tuyul jadi-jadian itu akan ngamuk padanya gara-gara ia telat.

        Tiba-tiba bibir Andin mengembangkan senyum. Wajah Rangga mulai gentayangan di benaknya. Iya, benar, menemani Rangga menonton di bioskop akan meredakan tekanannya seharian ini. Meski ia sendiri tidak tahu film apa yang akan Rangga tonton. Ia berharap ‘Smurf’ adalah film action dengan adegan tembak-tembakan antara agen FBI dan mafia narkoba internasional yang sangat menegangkan. Itu pasti seru!


        ***************

        “Kita harus menemukan bulan biru untuk kembali!!”
        “Papa Smurf! dimana Papa Smurf?!!”
        “Kita tidak punya harapan lagi!! Kita akan terperangkap sihir jahat!!”
         
        Rangga menepuk tangannya. Berkali-kali ia mencoba mengangkat badannya, tapi ia urungkan lagi. Jiwanya total terbawa ke dalam film. Saat tokoh utama dalam bahaya, Rangga menepukkan tangannya lalu menudingkan jari ke layar. Berusaha memberitahu ada penyihir jahat yang sedang mengejar.

        Andin mangap. Matanya menatap layar bioskop dengan tatapan what-the-hell-is-that. Kadang ia dikejutkan dengan Rangga yang tiba-tiba berteriak karena terbawa euforia film.

        “Ah, intrupsi! Jadi, ‘Smurf’ itu film tentang kurcaci jelek nggak masuk akal berwarna biru kayak abis keracunan baygon, begitu?” tanya Andin.

        “Mereka bukan kurcaci! Mereka makhluk dari dunia smurf yang biru!!” balas Rangga tanpa mengalihkan perhatian dari layar. Tangannya mengepal. Adrenalinnya turun-naik.

        “Ah terserah apalah itu! Jadi, loe... beneran suka dengan film sihir-sihiran kayak gini? Film anak TK begini?!! Keponakan gue aja yang udah kelas empat SD udah kagak mau nonton beginian!!”

        “Loe bisa diem nggak, sih? Filmnya lagi mulai! Suara loe berisik tau nggak!!” bentak Rangga. Ia lalu mengalihkan matanya ke layar bioskop. Konflik hampir klimaks. Penyihir jahat mengejar keluarga Smurf ke dalam toko mainan dan membuat isinya porak poranda.

        Andin menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi. Wajahnya sudah tidak berbentuk. Antara ingin tertawa, ingin marah, dan ingin protes sama yang buat film. Ditolehkannya kepalanya ke penjuru bioskop. Hampir semua kursi diisi oleh bocah berumur 7-14 tahun. Sisanya adalah pasangan om-tante yang mungkin nganterin anaknya.

        ‘Oh, God! Kill me!’ batin Andin.

        Sembilan puluh tujuh menit yang paling menyiksa dalam hidup Andin. Ia merasa seluruh tubuhnya sudah ikutan membiru gara-gara film itu. Ia bahkan harus menunggu Rangga menghabiskan keseluruhan film, sampai credits di akhir cerita yang menampilkan dubber, produser dan seluruh kru yang terlibat. Rangga menonton tulisan berjalan itu dengan semangat kemerdekaan.

        “Itu Cuma tulisan, Rang! Filmnya udah abis! Smurfnya udah kagak ada! Keluar buruan!!” seret Andin.

        “Enggak!!” tolak Rangga singkat, padat dan tidak bisa diganggu gugat.

        Andin menghela nafas berat. Penonton lain bubar satu per satu. Hanya tinggal ia dan Rangga yang masih duduk manis di depan layar. Andin memasang wajah menyesal. Menyesal kenapa tadi ia tidak membawa tali dan karung goni. Seenggaknya Rangga bisa ia ikat, ia masukkan karung, lalu ia kirim ke Bea Cukai agar dikirim ke Alaska.

        “Loe nggak asik, ah, kalo diajak nonton bareng. Masa tidur di tengah-tengah film. Rese loe!” protes Rangga saat ia keluar dari Twenty One.

        Andin tidak menggubrisnya. Telinganya sudah cukup bermasalah gara-gara nyanyian smurf sepanjang film tadi. Ia tidak mau menambahnya lagi dengan omelan Rangga.

        “Dengar! Lain kali, kalo loe mau nonton film sihir-sihiran, jangan pernah sekalipun ngajak gue! Ngerti?” ucap Andin. Rangga manyun.

        “Sekarang kita kemana?” tanya Rangga.

        “Ke parkiran.” Jawab Andin singkat.

        “Hah? Parkiran? Udah gitu doank? Nonton terus pulang? Makan dulu kek! Jalan-jalan kemana kek! Beli apaan kek!”

        Andin menghentikan langkah kakinya. Keduanya kini berada di lorong yang menghubungkan Twenty One dengan parkiran.

        “Kaki loe nggak bisa diajak jalan lama-lama. Loe harus banyak istirahat. Lagian ini udah mau jam sembilan. Udah pulang aja.” Kata Andin. Ia bersiap meneruskan jalannya. Tapi ia urungkan saat Rangga melemparnya pertanyaan klasik.

        “Loe kenapa, sih?” tanya Rangga.

        “Kenapa apanya? Gue nggak apa-apa.”

        “Kenapa loe tiba-tiba khawatirin kaki gue?” tanya Rangga.

        “Ya wajar kali, Rang! Loe baru sembuh dari kecelakaan. Kemaren loe masuk rumah sakit lagi untuk kedua kalinya dalam sebulan. Kaki loe nggak bisa dipaksain, loe inget kata-kata dokter, ‘kan?”

        Rangga membalas Andin dengan tatapan menelisik. Rangga memicingkan matanya dan meneliti setiap jengkal wajah Andin, “Loe nggak kayak biasanya.” simpul Rangga.

        “Hah?”

        Rangga meraih tangan Andin lalu menariknya. Andin tersentak kaget. Buru-buru ia lepas cengkeraman Rangga, “Loe mau kemana?”

        “Kita jalan-jalan!!” jawab Rangga. Sekali lagi ia meraih tangan Andin.

        “Lepasin!! Loe nggak boleh maksain, Rang! Gue nggak mau jalan-jalan! Kita pulang!”

        “Gue nggak mau pulang! Gue mau jalan-jalan!!” Rangga menarik tangan Andin semakin kencang.

        Terjadi tarik-ulur antara Andin dan Rangga. Andin berusaha mencegah Rangga. Hingga kemudian ia kehabisan kesabaran. Didorongnya Rangga hingga menghantam dinding lorong.

        “Gue bilang pulang!!!” jerit Andin.

        Rangga terdiam. Dia menatap Andin yang mulai ngos-ngosan. Ia semakin yakin ada yang berbeda dengan Andin. Entah apa yang telah membuatnya lain.

        “Kenapa loe nggak mau dengerin gue?!! Loe harus pulang! Loe harus istirahat! Gue nggak mau keadaan loe semakin buruk?!” pekik Andin.

        “Gue baik-baik aja! Gue nggak sakit! Gue bisa jalan kemanapun! Kenapa loe ketakutan sendiri, sih?!”

        “Ketakutan sendiri? Gue nggak ketakutan!! Dia yang ketakutan!!” balas Andin.

        Rangga tertegun. Kini rasa penasarannya mulai terjawab. “Dia?” ulang Rangga. Dia mendekat ke depan.

        “Gue adalah orang yang udah bikin loe celaka seperti ini. Gue selalu ngajak loe keluyuran dan bikin keadaan loe makin buruk! Jadi, please loe pulang sekarang!!”

        Rangga mengulurkan lengannya. Diraihnya kepala Andin, lalu didekapnya ke dalam pelukannya. Desah nafas Andin yang tidak beraturan bahkan bisa mengguncangkan tubuhnya. Satu sosok yang muncul di kepala Rangga dan paling mungkin menyebabkan Andin menjadi rancu seperti ini. Iya, dia, siapa lagi? Seseorang yang selalu bertindak paling perhatian. Mengingatkannya minum obat tiap saat. Tapi paling pandai saat berkhianat.

        “Karir gue udah tamat. Band gue berantakan. Gue nggak bisa nyelesein proyek musik gue. Dan gue udah bikin loe celaka. Gue pecundang!!” belasan kata meluncur begitu saja dari bibir Andin. Suaranya melemah.

        Rangga terdiam. Dia sibuk menebak-nebak. Dan saat ia memandang wajah Andin, ia mendesah, “Tenang, Gue ada di sisi loe.”

        Sudah tidak mungkin melanjutkan acara malam itu dengan jalan-jalan. Rangga dan Andin kemudian memutuskan pulang. Suasana sudah terlanjur rusak.

        “Besok siang gue ada jadwal. Jadi, pagi gue bisa main bareng loe. Kita ketemuan di Djournal Coffee jam delapan, gimana?” ajak Rangga sembari mengemudikan mobil.

        Andin mengangguk. Dia tersenyum. Rangga seolah berusaha membayar hutang dengan mengajaknya jalan-jalan.

        “Begitu sampai, loe langsung aja tidur. Lupain semua yang udah Ola katakan sama loe.” lanjut Rangga.

        Andin tersenyum lagi. Terasa hangat. Semua ucapan Rangga terasa membelai sanubarinya. 

        Rangga menghentikan mobil di depan gerbang rumah Andin. Andin mengucap pamit lalu bersiap turun dari mobil. Tapi Rangga mencegat tangannya. Saat ia menoleh, sebuah ciuman mendarat di pipinya yang mulus. Andin tersentak kaget.

        “Selamat malam...” tutup Rangga.

        Andin hanya sempat menatap mata Rangga. Ia buru-buru turun dari mobil sebelum wajahnya yang bersemu malu terlihat oleh Rangga. Begitu mobil Rangga berlalu dari hadapannya, Andin mengusap pipinya dengan jemarinya.

        “Kampret tuh anak!” batin Andin. Rasanya, malam ini ia bakalan sulit tidur. Andin lalu masuk ke dalam rumahnya. Lampu ruang tamu telah dimatikan. Mungkin Lasi sudah tidur. Sementara Papa dan Mamanya baru Jumat besok pulang. Entah seminar apa lagi yang mereka datangi di Sidney.

        Tapi saat Andin sampai di depan kamarnya, ia tertegun. Pintu kamarnya terbuka separuh. Lampu menyala terang benderang, padahal seingatnya ia sudah mematikannya sebelum berangkat tadi. Terdengar sebuah lagu diputar dari dalam. Lagu Cold Play?

        “KALIAN??!!!” pekik Andin. Ia membuka pintu lebar-lebar. Dilihatnya Erwin dan Ipunk tiduran di atas kasurnya. Sementara Ardhy memangku sebuah gitar di atas kursinya.

        “Baru pulang?” tanya Ardhy. Ipunk dan Erwin langsung bangun dari tidurnya.

        Andin menganga. Ia tidak beranjak dari posisinya.

        “Malem banget loe baru pulang. Dari mana?” tanya Ipunk.

        “KALIAN NGAPAIN DI SINI???!!!” sergah Andin.

        Ardhy tersenyum, “Kita ngerasa nggak enak sama loe. Kita ke sini, mau minta maaf sama loe.”

        “Bener. Lagian itu Cuma masalah kecil. Kalau lagu itu kita selesein bareng-bareng, bisa kok!!” lanjut Erwin.

        “Ini! Kita udah ngerjain! Tadi pas kita datang, loe baru nulis tiga baris. Kita udah selesein semua sampai chorus!!” Ipunk mengibar-ngibarkan kertas dari atas meja Andin. Kertas yang sejak sore tadi ia pelototi.

        Andin menghela nafas. Batu besar yang menghimpit hatinya terasa sirnah seketika. Ia lega.

        “Thanks....” jawab Andin singkat. Dia speechless. Satu kata itu sudah mewakili semua perasaan haru, senang dan lega. Ia lalu melangkah ke dalam, membaur dengan ketiga kawannya.

        Andin meraih kertas berisi lirik lagu dari tangan Ipunk. Ia membaca sayir lagu itu sambil duduk di ranjangnya. Sementara Erwin, Ardhy dan Ipunk memandanginya dengan tatapan gimana-menurut-elo.

        “Kita udah bisa latihan besok pagi.” Ucap Ardhy.

        “Ah...” Andin membuka mulutnya, bingung harus bilang dari mana, “Sorry. Anu, gue besok... Maksud gue besok bisa. Tapi kalo pagi nggak bisa. Sorry!”

        “Kenapa?” tanya Erwin, Ipunk dan Ardhy. Tanpa diminta, mereka mengucapkannya bersamaan.

        “Gue... ada janji sama Rangga.” Jawab Andin.

        “Jangan-jangan, loe tadi keluar bareng Rangga, ya?!” tanya Erwin.

        Andin mengangguk. Ia menyiapkan mental. Jika setelah ini kawan-kawannya marah, ia pasrah.

        “Ok, nggak masalah. Latihannya siang.”

        “Kalian nggak marah?” tanya Andin.

        “Nggak lah! Kita tahu loe butuh privasi. Lagian gue juga bosen liat loe ngejomblo. Kemana-mana minta temenin gue.” Jawab Erwin.

        “Kampret loe!!” Andin melempar kertas di tangannya ke wajah Erwin.

        “Tapi, loe beneran serius sama tuh anak boyband?” tanya Ipunk.

        “Hah?”

        “Tau deh, gue ngerasa aneh aja. Loe tahu kan anak boyband itu biasanya playboy!”

        “Terus menurut loe, anak band setia semua gitu? Udah deh jangan mikir yang macem-macem. Gue sama Rangga cocok-cocok aja kok.” Pungkas Andin.

        Ia menyabet balik lirik lagu dari tangan Erwin dan membacanya ulang. It’s pretty strange. Dia merasa nggak nyaman ketiga temannya membicarakan Rangga dan hubungan pribadinya.
         
        Sementara itu, Rangga baru sampai di apartemennya. Suasana sepi menyambutnya. Sepertinya Rafael, Bisma, Dicky, Ilham dan Reza belum pulang dari kantor manajemen. Rangga melengang ke depan televisi. Wajahnya keras. Alis matanya terlihat menyatu. Satu orang yang dicarinya.

        Dilihatnya sesosok gadis berdiri di depan meja dapur. Tangannya sibuk menata sesuatu di atas nampan. Tablet obat dan segelas air putih. Ck!

        “Kamu baru pulang?” tegur Ola sambi tersenyum.

        Rangga berdecak, “Loe ngomong apa aja tadi ke Andin?!”

        Ola berdesir. Jantungnya spontan berdegub cepat. Matanya beralih menatap pemuda berjaket merah di depannya. Ia memandang Rangga kaget.

-------------------------------------------------

JEDENGGGG!!!

BERSAMBUNG KE PART 22

1 komentar:

  1. Nadhira Srikandi19 Juli 2014 pukul 12.05

    next kak cerbung nya makin seru deh (y)

    BalasHapus