10 Oktober 2014

[Cerbung SMASH] "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" SEASON 2 / Part 8

Title          : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season    : 2
Author       : @ariek_andini (adm4)
Genre        : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast          : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...


----------------------------------

             Rangga memukul kepala Bisma dengan gulungan kertas skenario, “Loe ngomong nggak usah teriak-teriak ngapa sih?! Yang ngomporin gue buat tunangan sama Andin juga elo!!”

             Bisma memutar memori di otaknya ke beberapa hari lalu. Hari dimana Rangga dan Andin bertengkar hebat. Dia ada di sana bersama Erwin, Ipunk, dan Ardhy. Oh, iya ya....

             “Lagian otak gue udah buntu. Mungkin dengan begini, Dicky nggak marah lagi sama gue.” gumam Rangga kemudian. Matanya asik menelisik pajangan keramik di depannya. Ukiran bunga Teratai di atasnya mengalihkan perhatian. Siapa yang tahu apa isi di dalamnya. Entah bersih, entah kotor. Ukiran Teratai itu menyelubungi keindahan.

             Sama seperti keadaan yang menjepitnya sekarang.

             **************

             Angin kencang berhembus melalui celah cendela kamar Andin. Tirai putih yang menggantung di sana menari-nari bak gelombang di pantai. Segar. Pagi itu Jakarta diselimuti angin. Kencangnya mampu merontokkan ranting-ranting di pepohonan. Gemeretak kering. Lalu jatuh mengetuk kaca cendela.

             “Gue bingung!! Ini yang dipakai eyeliner dulu, apa eye-shadow dulu??”

             “Eye-shadow dulu!!”

             “Ok!”

             “Ingat, ini masih siang, pakai warna ringan dan cerah!”

             “Apaan?”

             “Sesuaiin sama baju loe!! Bisa orange, pink, atau coklat muda.”

             Andin manggut-manggut. Belasan alat rias berjajar di depannya. Beberapa masih tersegel plastik. Masih baru. Andin lalu mematikan teleponnya dan duduk tegak di atas meja rias.

             Andin menghela nafas. Berusaha mengingat semua nasihat Ola satu per satu. Diambilnya tempat eye-shadow. Lalu perlahan disapukannya ke kelopak matanya.


             Ola bilang, dari ujung luar lalu ke ujung dalam. Tipis. Seperti melukis. Andin tersenyum. Sedikit lucu juga. Rasanya baru kemarin dia dan Ola bertengkar merebutkan Rangga. Dan sekarang, Ola menjelma menjadi teman baiknya.

             Andin memutar kepalanya. Memastikan polesannya terlihat natural. Perfect! Rasanya seperti melihat dirinya yang lain di dalam cermin. Masa depannya yang baru, dimulai dari hari ini!

             Dua jam lamanya Andin mematut diri di depan cermin. Berkali-kali dia berputar untuk memastikan penampilannya. Sedikit tidak percaya diri. Dia tidak terbiasa memakai baju berwarna cerah seperti itu. Tapi saat bayang foto Rangga dan Eriska melayang di pelupuk matanya, Andin kembali berteguh hati. Dia tidak akan kalah dari Eriska.

             Sampai di lokasi syuting, Andin disambut segerombol wartawan. Bahkan ia tidak punya kesempatan untuk memarkirkan mobil. Diturutinya ketukan wartawan itu di kaca mobilnya. Begitu dia membuka pintu mobil, terjangan pertanyaan wartawan langsung menghujan.

             “Mbak Andin, katanya mau tunangan dengan Rangga SMASH, ya?!!”

             “Gimana perasaannya? Hubungannya makin lama makin serius?”

             “Kapan tunangannya? Sudah sejak kapan terencana??”

             Andin bengong. Sejenak dia berpikir keras.

             Kayaknya Rangga udah beberin ke wartawan, batinnya.

             Hampir setengah jam Andin tertahan di parkiran. Kewalahan juga meladeni tiap pertanyaan wartawan. Begitu ia menginjakkan kaki ke dalam lokasi syuting, seluruh pasang mata langsung tertuju padanya.

             Andin kikuk. Dia melangkahkan kaki dengan waswas. Rasanya seperti menjadi buronan polisi. Segitunya dia menjadi pusat perhatian.

             “Mbak Andin cantik banget hari ini. Style baru?” sapa salah seorang kru.

             Jantung Andin berdesir. Bibirnya lalu merekahkan senyum. Bahagia. Seperti menjadi puteri dalam sekejap. Pertama soal pertunangannya yang sudah tersebar di publik. Lalu sekarang, make-over dirinya yang sangat mengagumkan.

             “Selamat, ya. Langgeng terus sama Rangga.”

             “Jangan lupa undangannya.”

             Satu per satu artis dan kru menyalaminya. Andin tergagap. Hanya bisa membalas mereka dengan senyuman. Dia yang biasanya pecicilan seperti cowok, sekarang bertingkah manis.

             Sementara orang di sekelilingnya ramai membincangkan kabar pertunangannya, Andin menengok ke seluruh penjuru lokasi syuting. Dari sekian orang yang dia temui, kemana Rangga?

             Andin berjalan makin ke dalam. Hanya ada Dicky sedang take di depan kamera. Di samping sutradara, Ilham dan Reza duduk mengamati. Andin kembali melangkahkan kakinya. Tiap celah dia teliti. Hingga kemudian dilihatnya sesosok laki-laki duduk bersandar di lantai sambil memainkan handphone. Tshirt hitam polos hampir membuatnya samar-samar dari pemandangan. Andin menggeleng heran. Kenapa Rangga malah mojok bareng pekakas syuting?

             Tapi saat Andin hendak melangkahkan kaki mendekat, tiba-tiba sebuah tangan mencegatnya dari belakang. Andin menoleh.

             “Loe mau datengin Rangga?” tanya Rafael.

             Andin mengernyitkan dahinya.

             “Nanti aja, jangan sekarang.”

             “Eh?”

             Andin bersiap melontarkan pertanyaan, tapi buru-buru Rafael menggandeng tangannya dan menyeretnya pergi dari sana. Rafael lalu mendudukkannya di sebuah sofa. Bisma juga duduk di sana sambil menggeser-geser layar handphonenya.

             “Kenapa, sih?” tanya Andin.

             “Kalo loe mau bicara sama Rangga, sementara tunda dulu. Coba paling enggak tiga jam lagi.” Ucap Rafael.

             “Kenapa?”

             “Sejak tadi subuh dia kayak gitu.” Sahut Bisma.

             “Dia habis bertengkar sama kalian?” tanya Andin.

             “Loe nggak lihat twitter?”

             “Eh?”

             “Suasananya kacau, Ndin. Begitu berita pertunangan loe dan Rangga turun ke media, fans Rangga langsung ribut. Gue saranin, mending loe nggak usah buka twitter loe sekarang. Mention loe pasti penuh serangan.”

             Andin bergeming. Wajahnya berubah tegang.

             “Dari kita berenam, cuman Rangga yang fanbasenya paling adem. Nggak pernah dapet masalah. Tapi, tiba-tiba aja berita pertunangan loe dan Rangga muncul. Keadaannya jadi ruwet.” Jelas Rafael.

             “Rangga pasti shock. Dia biasanya akrab sama fansnya, tapi sekarang malah ribut. Ada yang ngancem keluar dari fanbase lah, ngancem mau bunuh diri lah.” Tambah Bisma.

             “Hah??!!”

             “Sorry. Bisma pasti nakutin loe.” Rafael melirik Bisma, “Itu cuman ancaman, kok. Kita udah biasa lihat serangan seperti itu. Tapi kayaknya, cuman Rangga yang nggak terbiasa dengan situasi begini.

             Andin menghela nafas berat. Dia lalu duduk lemas di samping Bisma.

             “Loe nyantai aja, Ndin. Loe sendiri tahu kan fans boyband itu kayak gimana? Hampir semuanya cewek, dan rata-rata posesif. Tunggu aja tiga hari, ntar juga reda sendiri...”

             Andin mendesah. Rambutnya yang terurai menutupi separuh wajahnya. Gusar. iya, dia tahu. Bukan dia satu-satunya artis yang berada dalam posisi seperti ini. Sering dia melihat kesaksian selebriti lain menghadapi fans SMASH. Penuh serangan. Segelintir mendukung, lalu sisanya mencibir.

             Ck!! Damn it!! Kenapa Rangga harus jadi member SMASH? Kenapa Rangga harus jadi personil boyband terkenal dengan fans besar seperti ini? Tidak bisakah dia disulap menjadi laki-laki biasa sehingga ia bisa menikah tanpa banyak rintangan?

             Andin lalu menyandarkan badannya ke sofa. Lesu. Wajahnya suram. Rambutnya yang sengaja ia gerai sesuai nasihat Ola, nggak ada bedanya dengan penampakan kuntilanak. Andin mulai acuh dengan penampilan barunya. Alih-alih ingin memberi Rangga kejutan, bertemu saja tidak bisa.

             Hari itu, Andin meninggalkn lokasi syuting begitu matahari tergelincir di ufuk barat. Dia memutuskan pulang lebih awal daripada di lokasi syuting jadi mayat hidup. Baginya, Rangga butuh waktu. Biarkan sehari berlalu. Sampai Rangga menjadi tenang, lalu mengajaknya bicara dan menyelesaikan masalahnya.

             Mendekati mobilnya, Andin melihat sesosok gadis berbaju peach dengan rambut terurai berjalan dari parkiran. Sejenak Andin menghentikan aksinya membuka pintu mobil. Eriska? Jam segini baru sampai lokasi syuting?

             Ah, iya. Dia artis sungguhan. Syuting di sana-sini. Bukan dirinya, vokalis band rock yang mendadak jadi artis demi menang lomba dengan pacar sendiri.

             **************

             “Kak, kenapa harus dia?!! Masih banyak cewek lain!”

             “Rangga mau tunangan sama cewek rocker berandalan itu? mending gue keluar dari fandom!”

             “Aku cuman bisa nangis denger berita ini. Kak Rangga tunangan? Terus gimana dengan SMASH?”

             “Kakak berubah. Dikit-dikit pacar. Fansnya nggak pernah lagi diperhatiin.”

             Rangga mendesah. Cercaan demi cercaan semakin memacu dirinya menggeser interaksi twitternya semakin ke bawah. Hampa. Tatapan matanya sama sekali tak bercahaya.

             Tiba-tiba sebuah panggilan masuk terpampang di layar ponselnya. Rangga tertegun.

             “Mama?”

             “Kamu dimana, Rangga? Masih sibuk?” sebuah suara lembut menyahut dari seberang sana.

             Rangga menghela nafas. Dibenarkannya letak duduknya, “Masih di lokasi syuting, Ma. Nggak tahu kapan ke Bandung. Kenapa, Ma?”

             “Kamu bilang mau tunangan itu beneran? Apa Cuma bercanda?”

             “Eh?”

             “Papamu bingung mau nyusulin kamu ke Jakarta. Kok nggak ngomong kamu? Tadi Mama nelpon Andin juga nggak diangkat.”

             “Mama nelpon Andin?”

             “Lha, iya. Memangnya kapan rencana mau tunangan?”

             Rangga terdiam. Tangannya memegang handphone semakin erat.

             “Rangga?”

             “Y-ya udah. Kalo Mama sama Papa mau nyusul ke Jakarta, ya ke sini aja. Besok kita datang ke rumahnya Om Beni. Nanti biar aku kasih tahu Andin kalo keluarga kita mau ke rumahnya. Andin lagi sibuk kali, Ma. Makanya nggak jawab telpon.”

             “Oh, gitu? Iya! Iya! Alhamdulillah! Ya, udah. Mama siap-siap!”

             Rangga menggigit bibirnya. Di telinganya, nada bicara mamanya terdengar naik satu oktaf. Sangat riang.

             Rangga lalu menutup ponselnya. Di tekannya tombol menu utama. Sejenak hatinya menimbang-nimbang. Sejurus kemudian, ditekannya tombol power.

             Hitam. Layar handphonenya mati total. Rangga lalu memasukkannya ke dalam saku. Di tegakkannya kakinya. Di depan sana, Kiki sudah memanggil-manggil namanya. Gilirannya take tiba begitu Eriska datang.

             Fokus dengan syuting, setidaknya dengan begitu galau hatinya akan berkurang.

             “Sorry, udah lama, ya, nungguin?” sapa Eriska pada Rangga yang berjalan masuk ke dalam set syuting.

             Rangga tidak menjawab. Dia cukup menimpalinya dengan senyum. Bukan cerita baru. Sering dia pergi ke lokasi syuting dan hanya duduk menunggu. Bagiannya sering ditunda lantaran menunggu Eriska yang tak kunjung datang.

             Hari telah beranjak malam. Sutradara hanya memfokuskan scene yang tertunda. Kesemuanya hanya menampilkan Rangga dan Eriska berdua dalam satu frame. Sekian jam berlangsung. Begitu larut malam tiba, Sutradara mengakhiri proses syuting.

             Rangga menyabet jaketnya yang tersampir di tangan sofa. Tak bersemangat. Separuh otaknya masih saja tertuju pada kekacauan di media sosialnya. Sambil memainkan handphonenya, dia lalu berjalan keluar menuju mobilnya.

             “Hallo?” ucap Rangga sambil menempelkan handphonenya di telinganya.

             Hening. Sekian detik kemudian baru ada jawaban.

             “Rangga?”

             “Loe dimana, Ndin?”

             “Gue? gue di rumah...”

             “Ehm... besok bokap-nyokap gue bakal datang ke rumah loe.”

             “Oh... eh? HAH???”

             “Mungkin jam tujuh malam.”

             “Tap-tapi?? Sebentar! Ngapain?!!”

             “Mau ngomongin soal tunangan kita sama nyokap-bokap loe.”

             Andin terdiam. Jantungnya berdegub kencang.

             “Loe besok minta libur sehari aja sama Kiki. Gue juga bakalan pulang cepet.”

             “I-iya....”

             “Ya udah, gue udah nyampe mobil. Gue tutup...” pamit Rangga mengakhiri.

             Tunduk. Dalam deburan jantung bak genderang perang, Andin mengiyakan.

             Rangga lalu memasukkan handphonenya ke dalam saku jaketnya. Hampa. Dia bahkan mengatakan kepada Andin bahwa besok orang tuanya akan datang dengan otak setengah sadar. Masih tak habis pikir. Semangatnya terkuras habis dengan kekacauan yang muncul sekarang.

             Jika dia tunangan beneran nanti, akan separah apa fansnya menyerang Andin?

             Brakkk!!

             Rangga meninju pintu mobil dengan kepalan tangan. Dirinya urung masuk. Hanya bisa berdiri menyangga pada badan mobil. Terpekur. Derik jangkrik mengisi kekosonga larut malam. Bersama angin lembab yang menusuk. Dalam opera alam yang gulita itu, terselip suara janggal di setiap hembusannya. Kian lama kian terdengar. Membuat bulu kuduk merinding.

             Rangga mengernyitkan dahinya. Dia menoleh ke belakang.

             Sepi. Tak ada siapapun. Sejenak suara deru mobil dari kejauhan mengisi udara. Tapi lagi-lagi suara janggal itu terdengar. Seperti engahan.

             Rangga berbalik badan. Dia memandang seluruh penjuru parkiran mobil dengan seksama. Dengan rasa penasaran yang besar, dia berjalan ke sela-sela mobil. Ditengoknya tiap sudut yang ia lewati.

             Hingga pada salah satu mobil, tepat di belakang bemper, sesosok gadis duduk meringkuk dengan nafas tersengal-sengal. Ia menutupi kepalanya dengan tas.

             Rangga menyipitkan matanya, “Eriska??!”

             Eriska tersentak kaget. Badannya sedikit terguncang. Dia menatap Rangga yang tiba-tiba berdiri di sampingnya dengan wajah panik.

             “Loe ngapain ber....”

             Belum selesai Rangga menyelesaikan pertanyaannya, tiba-tiba Eriska menariknya ke bawah. Rangga jatuh terjengkal di samping Eriska.

             “Please! Jangan bersuara! Please!!” bisik Eriska. Saking lirihnya, suaranya terdengar parau. Bercampur dengan wajahnya yang sangat ketakutan. Cukup membuat Rangga terdiam dalam ketidakmengertian.

             Eriska memicingkan matanya ke satu sudut. Dia membungkukkan badannya ke kolong mobil. Pipinya hampir beradu dengan lantai parkiran yang dipenuhi ceceran oli, bensin dan pasir.

             Rangga semakin mengerutkan dahinya melihat tingkah Eriska. Siapa yang dia awasi?

             “Eris?”

             “Dia ke sini...”

             “Eh?”

             “Dia ke sini!!!”

             Eriska bangkit. Dia berlari ke sela mobil di sampingnya. Gerakannya disusul suara derap langkah dari sisi timur jajaran mobil. Rangga menoleh. Seketika dia terkejut. Dilihatnya tiga orang laki-laki berlari kencang ke arah Eriska menghilang.

             “Di sana!!!”

             Tiga laki-laki kekar itu tiba-tiba berpencar. Satu orang menghadang Eriska dari utara, satu lainnya menghadang dari selatan, dan sisanya menggiring Eriska menuju perangkap.

             Rangga mendelik. Sementara Eriska terus saja berlari ke arah barat menuju sisi buntu. Dengan sigap Rangga menghentakkan kakinya. Dikejarnya Eriska yang telah menjauh darinya sekian meter.

             “Jangan ke sana!!!” teriak Rangga. Dicengkeramnya tangan Eriska.

             Rangga panik. Dia menoleh mencari jalan keluar. Dia cuman bisa mangap ketika salah satu laki-laki itu mengeluarkan sebilah pisau.

             Rangga lalu menarik Eriska membelok ke salah satu celah. Keduanya berlari kencang. Laki-laki tak dikenal di belakang sana mulai berteriak-teriak. Mereka berlari mengejar Eriska.

             “Target menuju pintu!!”

             “Ke kiriiii!!”

             “Masuk ke mobil!!” teriak Rangga. Dengan paksa dia membuka pintu mobilnya.

             Eriska menurut. Begitu keduanya masuk ke dalam mobil, kejaran tiga laki-laki kekar itu semakin menjadi-jadi. Dengan tergesa-gesa Rangga menyalakan mobil. Dilajukannya mobilnya keluar area parkir.

             Suara mobil berdecit. Sampai di ujung pintu keluar parkiran, salah satu laki-laki itu menghadang. Rangga terkejut. Dalam sekejap mata laki-laki itu jatuh terguling menimpa kaca depan mobil Rangga.

             “Pegangan!!!” perintah Rangga. Dia menambah kecepatan mobilnya. Dengan pandangan terhalang percikan darah yang memenuhi kaca depan mobilnya, Rangga kabur.


---------------------------------
BERSAMBUNG KE PART 9

1 komentar: