Title : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season : 2
Author : @ariek_andini (adm4)
Genre : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...
----------------------------------
Rangga memukul
kepala Bisma dengan gulungan kertas skenario, “Loe ngomong nggak usah
teriak-teriak ngapa sih?! Yang ngomporin gue buat tunangan sama Andin juga
elo!!”
Bisma memutar
memori di otaknya ke beberapa hari lalu. Hari dimana Rangga dan Andin
bertengkar hebat. Dia ada di sana bersama Erwin, Ipunk, dan Ardhy. Oh, iya
ya....
“Lagian otak gue
udah buntu. Mungkin dengan begini, Dicky nggak marah lagi sama gue.” gumam
Rangga kemudian. Matanya
asik menelisik pajangan keramik di depannya. Ukiran bunga Teratai di atasnya
mengalihkan perhatian. Siapa yang tahu apa isi di dalamnya. Entah bersih, entah
kotor. Ukiran Teratai itu menyelubungi keindahan.
Sama seperti keadaan yang menjepitnya
sekarang.
**************
Angin kencang berhembus melalui
celah cendela kamar Andin. Tirai putih yang menggantung di sana menari-nari bak
gelombang di pantai. Segar. Pagi itu Jakarta diselimuti angin. Kencangnya mampu
merontokkan ranting-ranting di pepohonan. Gemeretak kering. Lalu jatuh mengetuk
kaca cendela.
“Gue bingung!! Ini yang dipakai
eyeliner dulu, apa eye-shadow dulu??”
“Eye-shadow dulu!!”
“Ok!”
“Ingat, ini masih siang, pakai
warna ringan dan cerah!”
“Apaan?”
“Sesuaiin sama baju loe!! Bisa
orange, pink, atau coklat muda.”
Andin manggut-manggut. Belasan
alat rias berjajar di depannya. Beberapa masih tersegel plastik. Masih baru.
Andin lalu mematikan teleponnya dan duduk tegak di atas meja rias.
Andin menghela nafas. Berusaha
mengingat semua nasihat Ola satu per satu. Diambilnya tempat eye-shadow. Lalu
perlahan disapukannya ke kelopak matanya.
Ola bilang, dari ujung luar lalu ke ujung
dalam. Tipis. Seperti melukis. Andin tersenyum. Sedikit lucu juga. Rasanya baru
kemarin dia dan Ola bertengkar merebutkan Rangga. Dan sekarang, Ola menjelma
menjadi teman baiknya.
Andin memutar kepalanya.
Memastikan polesannya terlihat natural. Perfect! Rasanya seperti melihat
dirinya yang lain di dalam cermin. Masa depannya yang baru, dimulai dari hari
ini!
Dua jam lamanya Andin mematut diri
di depan cermin. Berkali-kali dia berputar untuk memastikan penampilannya.
Sedikit tidak percaya diri. Dia tidak terbiasa memakai baju berwarna cerah
seperti itu. Tapi saat bayang foto Rangga dan Eriska melayang di pelupuk
matanya, Andin kembali berteguh hati. Dia tidak akan kalah dari Eriska.
Sampai di lokasi syuting, Andin
disambut segerombol wartawan. Bahkan ia tidak punya kesempatan untuk
memarkirkan mobil. Diturutinya ketukan wartawan itu di kaca mobilnya. Begitu
dia membuka pintu mobil, terjangan pertanyaan wartawan langsung menghujan.
“Mbak Andin, katanya mau tunangan
dengan Rangga SMASH, ya?!!”
“Gimana perasaannya? Hubungannya
makin lama makin serius?”
“Kapan tunangannya? Sudah sejak
kapan terencana??”
Andin bengong. Sejenak dia
berpikir keras.
Kayaknya Rangga udah beberin ke
wartawan, batinnya.
Hampir setengah jam Andin tertahan
di parkiran. Kewalahan juga meladeni tiap pertanyaan wartawan. Begitu ia
menginjakkan kaki ke dalam lokasi syuting, seluruh pasang mata langsung tertuju
padanya.
Andin kikuk. Dia melangkahkan kaki
dengan waswas. Rasanya seperti menjadi buronan polisi. Segitunya dia menjadi
pusat perhatian.
“Mbak Andin cantik banget hari
ini. Style baru?” sapa salah seorang kru.
Jantung Andin berdesir. Bibirnya
lalu merekahkan senyum. Bahagia. Seperti menjadi puteri dalam sekejap. Pertama
soal pertunangannya yang sudah tersebar di publik. Lalu sekarang, make-over
dirinya yang sangat mengagumkan.
“Selamat, ya. Langgeng terus sama
Rangga.”
“Jangan lupa undangannya.”
Satu per satu artis dan kru
menyalaminya. Andin tergagap. Hanya bisa membalas mereka dengan senyuman. Dia
yang biasanya pecicilan seperti cowok, sekarang bertingkah manis.
Sementara orang di sekelilingnya
ramai membincangkan kabar pertunangannya, Andin menengok ke seluruh penjuru
lokasi syuting. Dari sekian orang yang dia temui, kemana Rangga?
Andin berjalan makin ke dalam.
Hanya ada Dicky sedang take di depan kamera. Di samping sutradara, Ilham dan
Reza duduk mengamati. Andin kembali melangkahkan kakinya. Tiap celah dia
teliti. Hingga kemudian dilihatnya sesosok laki-laki duduk bersandar di lantai
sambil memainkan handphone. Tshirt hitam polos hampir membuatnya samar-samar
dari pemandangan. Andin menggeleng heran. Kenapa Rangga malah mojok bareng
pekakas syuting?
Tapi saat Andin hendak
melangkahkan kaki mendekat, tiba-tiba sebuah tangan mencegatnya dari belakang.
Andin menoleh.
“Loe mau datengin Rangga?” tanya
Rafael.
Andin mengernyitkan dahinya.
“Nanti aja, jangan sekarang.”
“Eh?”
Andin bersiap melontarkan
pertanyaan, tapi buru-buru Rafael menggandeng tangannya dan menyeretnya pergi
dari sana. Rafael lalu mendudukkannya di sebuah sofa. Bisma juga duduk di sana
sambil menggeser-geser layar handphonenya.
“Kenapa, sih?” tanya Andin.
“Kalo loe mau bicara sama Rangga,
sementara tunda dulu. Coba paling enggak tiga jam lagi.” Ucap Rafael.
“Kenapa?”
“Sejak tadi subuh dia kayak gitu.”
Sahut Bisma.
“Dia habis bertengkar sama
kalian?” tanya Andin.
“Loe nggak lihat twitter?”
“Eh?”
“Suasananya kacau, Ndin. Begitu
berita pertunangan loe dan Rangga turun ke media, fans Rangga langsung ribut.
Gue saranin, mending loe nggak usah buka twitter loe sekarang. Mention loe
pasti penuh serangan.”
Andin bergeming. Wajahnya berubah
tegang.
“Dari kita berenam, cuman Rangga
yang fanbasenya paling adem. Nggak pernah dapet masalah. Tapi, tiba-tiba aja
berita pertunangan loe dan Rangga muncul. Keadaannya jadi ruwet.” Jelas Rafael.
“Rangga pasti shock. Dia biasanya
akrab sama fansnya, tapi sekarang malah ribut. Ada yang ngancem keluar dari
fanbase lah, ngancem mau bunuh diri lah.” Tambah Bisma.
“Hah??!!”
“Sorry. Bisma pasti nakutin loe.”
Rafael melirik Bisma, “Itu cuman ancaman, kok. Kita udah biasa lihat serangan
seperti itu. Tapi kayaknya, cuman Rangga yang nggak terbiasa dengan situasi
begini.
Andin menghela nafas berat. Dia
lalu duduk lemas di samping Bisma.
“Loe nyantai aja, Ndin. Loe
sendiri tahu kan fans boyband itu kayak gimana? Hampir semuanya cewek, dan
rata-rata posesif. Tunggu aja tiga hari, ntar juga reda sendiri...”
Andin mendesah. Rambutnya yang
terurai menutupi separuh wajahnya. Gusar. iya, dia tahu. Bukan dia satu-satunya
artis yang berada dalam posisi seperti ini. Sering dia melihat kesaksian
selebriti lain menghadapi fans SMASH. Penuh serangan. Segelintir mendukung,
lalu sisanya mencibir.
Ck!! Damn it!! Kenapa Rangga harus
jadi member SMASH? Kenapa Rangga harus jadi personil boyband terkenal dengan
fans besar seperti ini? Tidak bisakah dia disulap menjadi laki-laki biasa
sehingga ia bisa menikah tanpa banyak rintangan?
Andin lalu menyandarkan badannya
ke sofa. Lesu. Wajahnya suram. Rambutnya yang sengaja ia gerai sesuai nasihat
Ola, nggak ada bedanya dengan penampakan kuntilanak. Andin mulai acuh dengan
penampilan barunya. Alih-alih ingin memberi Rangga kejutan, bertemu saja tidak
bisa.
Hari itu, Andin meninggalkn lokasi
syuting begitu matahari tergelincir di ufuk barat. Dia memutuskan pulang lebih
awal daripada di lokasi syuting jadi mayat hidup. Baginya, Rangga butuh waktu.
Biarkan sehari berlalu. Sampai Rangga menjadi tenang, lalu mengajaknya bicara
dan menyelesaikan masalahnya.
Mendekati mobilnya, Andin melihat
sesosok gadis berbaju peach dengan rambut terurai berjalan dari parkiran.
Sejenak Andin menghentikan aksinya membuka pintu mobil. Eriska? Jam segini baru
sampai lokasi syuting?
Ah, iya. Dia artis sungguhan.
Syuting di sana-sini. Bukan dirinya, vokalis band rock yang mendadak jadi artis
demi menang lomba dengan pacar sendiri.
**************
“Kak, kenapa harus dia?!! Masih banyak cewek lain!”
“Rangga mau tunangan sama cewek rocker berandalan itu? mending gue
keluar dari fandom!”
“Aku cuman bisa nangis denger berita ini. Kak Rangga tunangan? Terus
gimana dengan SMASH?”
“Kakak berubah. Dikit-dikit pacar. Fansnya nggak pernah lagi
diperhatiin.”
Rangga mendesah. Cercaan demi
cercaan semakin memacu dirinya menggeser interaksi twitternya semakin ke bawah.
Hampa. Tatapan matanya sama sekali tak bercahaya.
Tiba-tiba sebuah panggilan masuk
terpampang di layar ponselnya. Rangga tertegun.
“Mama?”
“Kamu dimana, Rangga? Masih
sibuk?” sebuah suara lembut menyahut dari seberang sana.
Rangga menghela nafas.
Dibenarkannya letak duduknya, “Masih di lokasi syuting, Ma. Nggak tahu kapan ke
Bandung. Kenapa, Ma?”
“Kamu bilang mau tunangan itu
beneran? Apa Cuma bercanda?”
“Eh?”
“Papamu bingung mau nyusulin kamu
ke Jakarta. Kok nggak ngomong kamu? Tadi Mama nelpon Andin juga nggak
diangkat.”
“Mama nelpon Andin?”
“Lha, iya. Memangnya kapan rencana
mau tunangan?”
Rangga terdiam. Tangannya memegang
handphone semakin erat.
“Rangga?”
“Y-ya udah. Kalo Mama sama Papa
mau nyusul ke Jakarta, ya ke sini aja. Besok kita datang ke rumahnya Om Beni.
Nanti biar aku kasih tahu Andin kalo keluarga kita mau ke rumahnya. Andin lagi
sibuk kali, Ma. Makanya nggak jawab telpon.”
“Oh, gitu? Iya! Iya! Alhamdulillah!
Ya, udah. Mama siap-siap!”
Rangga menggigit bibirnya. Di
telinganya, nada bicara mamanya terdengar naik satu oktaf. Sangat riang.
Rangga lalu menutup ponselnya. Di
tekannya tombol menu utama. Sejenak hatinya menimbang-nimbang. Sejurus
kemudian, ditekannya tombol power.
Hitam. Layar handphonenya mati
total. Rangga lalu memasukkannya ke dalam saku. Di tegakkannya kakinya. Di
depan sana, Kiki sudah memanggil-manggil namanya. Gilirannya take tiba begitu
Eriska datang.
Fokus dengan syuting, setidaknya
dengan begitu galau hatinya akan berkurang.
“Sorry, udah lama, ya, nungguin?”
sapa Eriska pada Rangga yang berjalan masuk ke dalam set syuting.
Rangga tidak menjawab. Dia cukup
menimpalinya dengan senyum. Bukan cerita baru. Sering dia pergi ke lokasi
syuting dan hanya duduk menunggu. Bagiannya sering ditunda lantaran menunggu
Eriska yang tak kunjung datang.
Hari telah beranjak malam.
Sutradara hanya memfokuskan scene yang tertunda. Kesemuanya hanya menampilkan
Rangga dan Eriska berdua dalam satu frame. Sekian jam berlangsung. Begitu larut
malam tiba, Sutradara mengakhiri proses syuting.
Rangga menyabet jaketnya yang tersampir
di tangan sofa. Tak bersemangat. Separuh otaknya masih saja tertuju pada
kekacauan di media sosialnya. Sambil memainkan handphonenya, dia lalu berjalan
keluar menuju mobilnya.
“Hallo?” ucap Rangga sambil
menempelkan handphonenya di telinganya.
Hening. Sekian detik kemudian baru
ada jawaban.
“Rangga?”
“Loe dimana, Ndin?”
“Gue? gue di rumah...”
“Ehm... besok bokap-nyokap gue
bakal datang ke rumah loe.”
“Oh... eh? HAH???”
“Mungkin jam tujuh malam.”
“Tap-tapi?? Sebentar! Ngapain?!!”
“Mau ngomongin soal tunangan kita
sama nyokap-bokap loe.”
Andin terdiam. Jantungnya berdegub
kencang.
“Loe besok minta libur sehari aja
sama Kiki. Gue juga bakalan pulang cepet.”
“I-iya....”
“Ya udah, gue udah nyampe mobil.
Gue tutup...” pamit Rangga mengakhiri.
Tunduk. Dalam deburan jantung bak
genderang perang, Andin mengiyakan.
Rangga lalu memasukkan
handphonenya ke dalam saku jaketnya. Hampa. Dia bahkan mengatakan kepada Andin
bahwa besok orang tuanya akan datang dengan otak setengah sadar. Masih tak
habis pikir. Semangatnya terkuras habis dengan kekacauan yang muncul sekarang.
Jika dia tunangan beneran nanti,
akan separah apa fansnya menyerang Andin?
Brakkk!!
Rangga meninju pintu mobil dengan
kepalan tangan. Dirinya urung masuk. Hanya bisa berdiri menyangga pada badan
mobil. Terpekur. Derik jangkrik mengisi kekosonga larut malam. Bersama angin
lembab yang menusuk. Dalam opera alam yang gulita itu, terselip suara janggal
di setiap hembusannya. Kian lama kian terdengar. Membuat bulu kuduk merinding.
Rangga mengernyitkan dahinya. Dia
menoleh ke belakang.
Sepi. Tak ada siapapun. Sejenak
suara deru mobil dari kejauhan mengisi udara. Tapi lagi-lagi suara janggal itu
terdengar. Seperti engahan.
Rangga berbalik badan. Dia memandang
seluruh penjuru parkiran mobil dengan seksama. Dengan rasa penasaran yang
besar, dia berjalan ke sela-sela mobil. Ditengoknya tiap sudut yang ia lewati.
Hingga pada salah satu mobil,
tepat di belakang bemper, sesosok gadis duduk meringkuk dengan nafas
tersengal-sengal. Ia menutupi kepalanya dengan tas.
Rangga menyipitkan matanya,
“Eriska??!”
Eriska tersentak kaget. Badannya
sedikit terguncang. Dia menatap Rangga yang tiba-tiba berdiri di sampingnya
dengan wajah panik.
“Loe ngapain ber....”
Belum selesai Rangga menyelesaikan
pertanyaannya, tiba-tiba Eriska menariknya ke bawah. Rangga jatuh terjengkal di
samping Eriska.
“Please! Jangan bersuara!
Please!!” bisik Eriska. Saking lirihnya, suaranya terdengar parau. Bercampur dengan
wajahnya yang sangat ketakutan. Cukup membuat Rangga terdiam dalam
ketidakmengertian.
Eriska memicingkan matanya ke satu
sudut. Dia membungkukkan badannya ke kolong mobil. Pipinya hampir beradu dengan
lantai parkiran yang dipenuhi ceceran oli, bensin dan pasir.
Rangga semakin mengerutkan dahinya
melihat tingkah Eriska. Siapa yang dia awasi?
“Eris?”
“Dia ke sini...”
“Eh?”
“Dia ke sini!!!”
Eriska bangkit. Dia berlari ke
sela mobil di sampingnya. Gerakannya disusul suara derap langkah dari sisi
timur jajaran mobil. Rangga menoleh. Seketika dia terkejut. Dilihatnya tiga
orang laki-laki berlari kencang ke arah Eriska menghilang.
“Di sana!!!”
Tiga laki-laki kekar itu tiba-tiba
berpencar. Satu orang menghadang Eriska dari utara, satu lainnya menghadang
dari selatan, dan sisanya menggiring Eriska menuju perangkap.
Rangga mendelik. Sementara Eriska terus saja
berlari ke arah barat menuju sisi buntu. Dengan sigap Rangga menghentakkan
kakinya. Dikejarnya Eriska yang telah menjauh darinya sekian meter.
“Jangan ke sana!!!” teriak Rangga.
Dicengkeramnya tangan Eriska.
Rangga panik. Dia menoleh mencari
jalan keluar. Dia cuman bisa mangap ketika salah satu laki-laki itu
mengeluarkan sebilah pisau.
Rangga lalu menarik Eriska
membelok ke salah satu celah. Keduanya berlari kencang. Laki-laki tak dikenal
di belakang sana mulai berteriak-teriak. Mereka berlari mengejar Eriska.
“Target menuju pintu!!”
“Ke kiriiii!!”
“Masuk ke mobil!!” teriak Rangga.
Dengan paksa dia membuka pintu mobilnya.
Eriska menurut. Begitu keduanya
masuk ke dalam mobil, kejaran tiga laki-laki kekar itu semakin menjadi-jadi.
Dengan tergesa-gesa Rangga menyalakan mobil. Dilajukannya mobilnya keluar area
parkir.
Suara mobil berdecit. Sampai di
ujung pintu keluar parkiran, salah satu laki-laki itu menghadang. Rangga
terkejut. Dalam sekejap mata laki-laki itu jatuh terguling menimpa kaca depan
mobil Rangga.
“Pegangan!!!” perintah Rangga. Dia
menambah kecepatan mobilnya. Dengan pandangan terhalang percikan darah yang
memenuhi kaca depan mobilnya, Rangga kabur.
---------------------------------
BERSAMBUNG KE PART 9
:s
BalasHapus