Title : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season : 2
Author : @ariek_andini (adm4)
Genre : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...
----------------------------------
“Target menuju
pintu!!”
“Ke kiriiii!!”
“Masuk ke
mobil!!” teriak Rangga. Dengan paksa dia membuka pintu mobilnya.
Eriska menurut.
Begitu keduanya masuk ke dalam mobil, kejaran tiga laki-laki kekar itu semakin
menjadi-jadi. Dengan tergesa-gesa Rangga menyalakan mobil. Dilajukannya
mobilnya keluar area parkir.
Suara mobil
berdecit. Sampai di ujung pintu keluar parkiran, salah satu laki-laki itu
menghadang. Rangga terkejut. Dalam sekejap mata laki-laki itu jatuh terguling
menimpa kaca depan mobil Rangga.
“Pegangan!!!”
perintah Rangga. Dia menambah kecepatan mobilnya. Dengan pandangan terhalang
percikan darah yang memenuhi kaca depan mobilnya, Rangga kabur.
Jalanan kota Jakarta nampak sepi
di tengah malam. Lampu-lampu jalan bersinar pudar. Kalah terang dari
lampu-lampu yang berasal dari bangunan, kafe dan kelab malam di sekelilingnya.
Rangga mengemudikan mobil tegang.
Sesekali ia menoleh ke belakang. Mewanti-wanti kalau tiga orang menyeramkan
tadi mengejarnya. Jantungnya semakin berdetak tak karuan melihat bercak darah
segar membekas di kaca mobilnya. Beberapa sisinya retak.
Di sampingnya, Eriska duduk
menggigit jari. Wajahnya nggak kalah panik. Keringat dingin memenuhi dahinya.
“Mereka siapa?”
Eriska terbangun mendengar
pertanyaan Rangga. Dia menoleh.
“Mereka tadi... siapa?” ulang
Rangga karena pertanyaannya tak dijawab.
“Mereka... eng-enggak tahu.
Mungkin preman.” Jawab Eriska. Dia memalingkan wajah ke arah lain. Nafasnya
masih terengah-engah. Dia mengerutkan dahinya melihat tiba-tiba Rangga membelok
ke jalan yang berlawanan dengan rumahnya.
“Ini kemana?” sergah Eriska.
“Kita ke kantor polisi.”
Eriska tersentak, “Nggak!!!
Stop!!”
Rangga balas menatap Eriska.
Heran.
“Gue bilang stop!!”
“Kita harus lapor ke polisi kalau
loe tadi habis diserang preman!!”
“Gue nggak kenapa-kenapa!!
sekarang berhenti!! Balik!!”
“Udah loe diam aja! Gue yang urus
ntar di kantor polisi! Preman kayak mereka nggak bisa dibiarin, Eris!”
“Berhenti sekarang, atau gue
lompat!!”
Rangga terdiam. Dia melambatkan
laju mobilnya. Ditatapnya lekat-lekat wajah Eriska. Sangat keras. Eriska balas
menatapnya tegas.
Rangga menghela nafas. Dia lalu membelokkan
mobilnya ke jalur lain. Tak ada pilihan lain selain menuruti Eriska. Keadaan
sedang kacau. Mungkin lain kali.
Seperempat jam berlalu. Tak
seorangpun membuka suara. Hanya deru mobil yang memenuhi udara. Bercak merah di
kaca depan mobil menjadi mozaik lain pemadangan malam. Mendekati rumah Eriska,
Rangga memelankan kecepatan mobil. Ada banyak pertanyaan berkecamuk di otaknya.
Tapi semua ia bendung melihat Eriska diam sedingin es.
Lima buah mobil sedan berjajar di
depan rumah Eriska. Beberapa orang nampak berdiri di sampingnya. Tiba-tiba
Eriska menggenggam tangan Rangga yang sedang memegang setir. Rangga menoleh.
“Putar balik sekarang!”
“Hah?”
“PUTAR BALIK SEKARANG!!!!” bentak
Eriska.
Belum sempat Rangga mengerti
maksud Eriska, tiba-tiba segerombol orang yang berdiri di depan sana berlari ke
arahnya. Sekilas wajah mereka tersorot lampu mobil. Rangga memicingkan matanya.
Dia lalu mendelik melihat salah satu dari mereka adalah laki-laki yang ia
tabrak tadi di parkiran.
Rangga banting setir. Dia membelok
ke jalan lain. Sedalam mungkin dia menginjak pedal gas. Di belakang sana, deru
mobil bersahutan mengejarnya. Rangga belingsatan. Matanya semakin jeli mencari
celah jalan di tengah perumahan untuk kabur dari mereka. Dia lalu membelok ke
jalan raya. Entah arah mana yang ia tuju. Satu-satunya yang mengisi otaknya
adalah pergi dari orang-orang yang ia sendiri tak tahu siapa mereka.
Malam semakin pekat. Perlahan
cahaya bulan berselimut mendung. Gedung-gedung pencakar langit mulai berganti
dengan pemukiman warga. Sepi. Hanya satu-dua truk besar lewat.
Rangga lalu menepikan mobilnya.
Dapat ia rasakan ketika ban mobilnya melindas batu besar di tepi jalan. Matanya
menatap lurus ke depan. Dia tak lagi was-was menoleh ke belakang. Kiloan meter
sebelumnya dia telah tahu bahwa gerombolan orang aneh itu tak lagi mengejarnya.
Iya, aneh. Mereka preman. Salah
satunya dia tabrak sampai bersimbah darah. Tapi mereka masih mati-matian
mengejar.
......bahkan mereka tahu rumah
Eriska.
“Mereka siapa?”
Untuk sekian kalinya Rangga
mengulang pertanyaannya. Dia memandang wajah Eriska dalam-dalam. Menguncinya.
Menyudutkannya. Sampai tak ada sautupun jalan berkelit bagi Eriska.
“Jawab gue! mereka siapa?!!”
“Orang Pak Bunawar...”
“Pak Bunawar?”
“Pemilik Bona Pictures...”
Rangga mengerutkan dahinya. Hanya
bisa menebak-nebak. Dia menanyakan gerombolan preman yang mengejarnya, dan dia
mendapat jawaban nama seorang pemilik production house besar di Indonesia?
“Loe nggak usah bingung. Ini udah
biasa kok.” Lanjut Eriska lirih.
“Udah biasa?? Loe dikejar-kejar
kayak gini udah biasa?”
“Yang mereka lakuin Cuma buntutin
gue! itu aja! Hanya saja tadi loe nabrak salah satu dari mereka. Mereka marah!
Makanya ngejar kita!”
“Buntutin loe?” potong Rangga.
Eriska terdiam.
“Kenapa orang-orang Pak Bunawar
buntutin loe?”
Eriska menunduk. Rangga tidak
berhenti menyudutkannya. Percuma berkilah. Dia dan Rangga juga sudah terjebak
sejauh ini.
“Karena hutang...”
“Eh?”
“Dulu gue pernah main di film yang
dia produseri. Gue udah tanda tangan kontrak. Tapi syuting dapat satu hari, gue
mengundurkan diri.”
“Kenapa?”
“Gue tertipu. Di script yang dia
kasih pertama kali, film itu ceritanya tentang anak kuliahan. Tapi pas gue
mulai syuting, ceritanya membelot. Isinya penuh adegan seronok! Dan gue meranin
peran yang... ck...!!” Eriska tidak meneruskan ceritanya. Dia membanting tangannya
ke kaca cendela.
Rangga hanya bisa diam. Tangannya masih
lekat memegang kemudi mobil.
“Gue minta berhenti dari film itu.
tapi nggak diijinin. Gue maksa. Hari berikutnya gue nggak pernah lagi datang
syuting. Pak Bunawar terus-terusan ngejar gue. Tiap hari anak buahnya datang
nyusulin gue. Udah gue bilang untuk nyari pemain lain, tapi dia bersih keras
nyuruh gue yang main. Dia ngancam gue dengan penalti kontrak. Sampe akhrinya
senin kemaren gue dapat undangan pemeriksaan dari pengadilan...”
“Hah?!! Pengadilan?!!”
“Pak Bunawar ngelaporin gue dengan
tuduhan pelanggaran kontrak film. Dia ngaku-ngaku mengalami rugi dua milyar.
Gue dituntut membayar ganti rugi. Sejak saat itu, tiap hari, kemana pun gue
pergi, gue pasti dibuntuti orang-orang bawahan Bunawar.”
“Loe udah divonis?” tanya Rangga.
“Divonis?”
“Hakim udah memvonis loe bersalah,
apa belum?”
Eriska mengerutkan dahinya, “Ehm....belum...”
“Ini namanya pelanggaran hak, Eris!!!” tukas
Rangga.
“Maksudnya?”
“Kasus loe baru tahap pemeriksaan.
Selama ini loe hanya menjadi terduga, belum menjadi terdakwa! Loe punya hak
praduga tak bersalah!! Kalau Bunawar nyuruh anak buahnya buat buntutin loe, itu
namanya loe diintimidasi. Dia maksa loe secara psikologis buat ngaku menjadi
tersangka di pengadilan nanti.”
Hening. Eriska memandangi Rangga
penuh tanda tanya.
Rangga menepuk kemudi mobil. Dia
berdesis. Salahnya menggunakan kata-kata sarat hukum di depan orang yang buta
hukum, “Intinya, Bunawar menggunakan cara licik dalam kasus ini. Dia
memanfaatkan ketidaktahuan loe tentang hukum! Kalau loe laporkan hal ini, loe
akan mendapat keringanan dari pengadilan. Dan bahkan kalau loe melaporkan soal
penipuan sebelum penandatanganan kontrak film, bisa aja loe lolos dari terduga.
Loe udah nyewa pengacara??”
“Udah...”
“Terus, dia bilang apa?” tanya
Rangga.
“Nggak bilang apa-apa. Dia cuman
nelpon gue kalau ada proses pengadilan. Sisanya, dia bilang dia yang urus.”
“Loe udah cerita soal penipuan di
awal penandatanganan kontrak??”
Eriska menunduk, dia nampak
berpikir. Jika ditanya soal cerita, sejujurnya dia tidak pernah menceritakan
apapun. Pengacara yang ia sewa sekarang selalu fokus pada isi kontrak,
mengacak-acak tafsirnya, dan hal rumit lainnya yang tidak ia tahu.
Rangga menyandarkan tubuhnya.
Penat.
“Denger, Eris! Kalau loe cuman
diam kayak gini, loe bisa kalah. Sekalipun Bunawar adalah bos perfilman kelas
kakap, loe jangan takut buat ngelawan dia!”
“Terus gue mesti gimana???”
“Kejadian malam ini, loe laporin
ke hakim!! Gue yang akan jadi saksinya nanti!”
Eriska bengong.
“Dan saran dari gue, loe ganti
pengacara aja! Pengacara loe yang sekarang pasif! Dia nggak serius mendalami
kasus loe! Cerita loe aja dia nggak tahu. Gue curiga, pasti dia disuap sama
Bunawar!”
Eriska masih diam. Dia menyimak
tiap kalimat dari Rangga dengan seksama. Sesimpul senyum lalu merekah di
bibirnya.
“Makasih, Rang. Gue nggak tahu soal
beginian...”
“Ya, mulai sekarang loe yang
teliti aja dengan kasus loe.”
“Loe pinter banget ya soal
beginian...” gumam Eriska.
Rangga bungkam. Dia mengalihkan
wajahnya ke sisi lain. Pintar soal beginian? Mampus!! Dia kebablasan!! Tanpa
sadar dia menasehati Eriska macam-macam soal hukum. Sudah lama kuliahnya
terbengkalai. Dia sendiri memilih fokus menjadi entertainer. Tapi entah
mengapa, jika sudah melihat tetek bengek hukum, semua teori di kepalanya
meluncur keluar.
“Benar kata loe, secara tidak
langsung gue sudah terpengaruh secara mental. Gue ngambil job lain diluar CCC.
Gue bahkan udah mulai nabung untuk melunasi denda gue nanti. Pas ada Festival
Film kemaren, gue mati-matian berharap gue menang. Gue butuh uangnya untuk
membayar Bunawar.” Lanjut Eriska. Matanya menerawang pemandangan dinihari di
depannya. Sesekali truk barang menyalip. Cahaya lampunya menyilaukan mata.
“Kenapa selama ini loe diam aja?”
tanya Rangga.
Eriska tersenyum. Dibenarkannya
letak rambutnya, “Nggak ada yang tahu. Bahkan manajer gue nggak tahu. Gue
nyuruh dia cuti panjang dengan alasan gue break.” Eriska menoleh pada Rangga,
“Karir gue taruhannya. Loe sendiri tahu kan, udah berapa artis jatuh karena
bermasalah dengan Bunawar?”
Rangga mendesah. Dia menggeser
letak duduknya. Tak nyaman. Apalagi jika sudah membicarakan Bunawar, siapapun
tidak merasa nyaman. Kadang terasa tidak adil. Kenapa dunia entertainment yang
besar ini harus berada di bawah kendali satu orang busuk seperti Bunawar.
“Loe masih punya script yang
dikasih Bunawar sebelum loe tanda tangan kontrak?” tanya Rangga.
“Ada. Gue simpan di rumah.” Jawab Eriska.
“Kapan persidangan loe yang
selanjutnya?”
“Nanti....”
“Hah??!”
“Iya, nanti. Jam sembilan pagi.”
Rangga menengok jam di tangannya.
Dia terbelalak. Tak disangkanya jarum jam telah menunjuk jam dua pagi. Sudah
berjam-jam dia dan Eriska terjebak di daerah antah berantah.
“Kita harus pulang sekarang!” ucap
Rangga.
“Loe anterin gue nyari taksi...”
Rangga menghentikan aksinya menyalakan
mobil. Ditolehnya Eriska, “Taksi?”
“Loe nggak mungkin kan nganterin
gue pulang? Gara-gara gue loe nggak pulang semalaman begini. Habis ini juga loe
syuting.”
“Loe pikir orang suruhan Bunawar
udah pergi? Bisa aja mereka sekarang nungguin loe di jalan. Mereka terlanjur
emosi gara-gara gue tabrak. Loe nggak bisa pulang sendirian!” tukas Rangga.
Eriska terdiam.
“Begitu sampai di rumah loe nanti,
ambil skenarionya. Lalu kita berangkat ke persidangan. Gue akan jadiin itu
senjata untuk nyerang Bunawar di depan hakim.”
Menyerangnya, mengalahkannya, dan
menghentikannya memonopoli. Gigi Rangga bergemelatuk. Tiap desah nafasnya
menahan rasa jijik. Dibelokkannya mobilnya. Waktu terus berjalan. Selama tak
ada yang bergerak, kelicikan Bunawar akan membelit siapapun yang ada di
depannya.
***************
“Tumben ada di rumah?” tegur Om
Budy, papa Andin. Dia berjalan menuju meja makan. Ditolehnya putri semata
wayangnya yang duduk menekuk lutut di ruang tengah.
Andin tidak menjawab. Dia turut
mengikuti papanya ke dapur. Masakan telah tersaji. Tante Melly, mama Andin,
juga sudah ada di sana. Sesekali dia membantu Lasi memboyong nampan makanan
yang telah penuh.
“Katanya libur syuting.” Sambung
Tante Melly. Tangannya masih sibuk memindahkan mangkuk makanan.
“Nggak manggung?” tanya Om Budy
lagi. Dia masih penasaran melihat Andin anteng di rumah. Padahal biasanya tuh
cewek berada di rumah kalau lagi lebaran doank. Sisanya, senggang sedikit saja,
pasti keluyuran.
Tante Melly menempatkan piring
kosong di depan Andin dan suaminya. Om Budy menyambutnya. Tangannya lalu
beralih menyendok nasi ke atas piringnya.
“Papa nanti lembur nggak?”
Hening.
Om Budy menghentikan aksinya
mengambil nasi. Demikian pula Tante Melly. Keduanya tertegun.
Andin menanyakan papanya lembur apa
tidak? Dia mabuk???
“Pa!” panggil Andin melihat
bokapnya malah balik melototinya.
“Eh... eng-enggak. Eh, nggak tahu.
Apa kata nanti. Kenapa kamu tiba-tiba nanya papa lembur apa nggak?”
“Mama-papanya Rangga nanti malam
ke sini.”
Tring!!!
Sendok di tangan Tante Melly
terjatuh ke lantai. Tapi tak ada gerakan sedikitpun. Dia diam. Suaminya juga
diam. Keduanya bengong melihati Andin.
“Diiihhh!! Mama sama papa kenapa
sihh?!!” gerutu Andin mulai gregetan.
“MAMA-PAPANYA RANGGA KE SINI??!!”
ulang Tante Melly terkejut.
“Iya.. tadi malam Rangga bilang
gitu.”
“Kenapa dadakan banget??” sergah
Om Budy.
“Kenapa kamu nggak bilang dari
tadi malam?!! Haduh!! Mama belum pesan katering!! Rumput di depan juga masih
panjang-panjang. Belum manggil tukang kebun buat bersihin!!”
“Ma! Pa!! Hadoooh!! Mereka ke sini
cuman mau ngomongin soal tunangan!! Heboh banget, deh, ah!! Ntar mereka juga
ujung-ujungnya duduk di ruang tamu, bukan duduk di kebon!!” sahut Andin.
“Ngomongin tunangan??”
Andin beringsut. Bagian ini, dia
tidak berani menimpali.
“Gimana kalo 6 Juni, Pa? Tanggalnya cantik
itu.” tanya Tante Melly.
“Terlalu mepet sama ramadhan, Ma.
10 Mei aja, kayak tanggal kita jadian dulu.” jawab Om Budy.
“10 Mei ada acara peringatan Hari
Kebangkitan Nasional di fakultas, Pa. Aku jadi pembicara. 25 Mei aja...”
“Hari Kebangkitan Nasional itu kan
tanggal 2. Dimajuin aja!”
“Idiiih... acaranya udah paten.
Undangannya udah disampein ke menteri pendidikan. Nggak mungkin diubah!”
Andin menepuk jidatnya. Ampun!
Malah bokap-nyokapnya yang ribut!
“Halahhh! Udah!! Udah!! Malah
ribut sendirian! Biar nanti nentuin tanggalnya bareng Om Rully sama Tante
Yudith!! Berisik banget!! Udah jam delapan noh! Papa pergi aja sono! Telat
ntar!!” potong Andin menghentikan perdebatan kedua orang tuanya. Pipinya
bersemu malu.
Om Budy tertawa lepas.
Diteruskannya makannya. Andin selalu berkilah jika ditanya soal hubungannya.
Sedikit saja menyebut nama Rangga, Andin pasti mengalihkan. Apalagi soal
ngomongin tanggal tunangan seperti sekarang, Andin bersemu seperti tomat rebus.
Usai menghabiskan sarapannya, Om
Budy beranjak pergi. Sebelum masuk ke dalam mobil, diceknya isi tasnya untuk
memastikan berkas-berkas penting yang sudah dia persiapkan tidak tertinggal.
Dia lalu memacu mobilnya. Bukan kantornya, Om Budy langsung menuju ke kantor
pengadilan untuk menghadapi persidangan kliennya.
“Iya, Pak! Iya! Sudah dekat!!...
iya... iya sudah saya bawa!! Ternyata tadi malam itu ada surat kesaksiannya
juga!!” ucap Om Budy berbicara dengan kliennya lewat telepon. Hubungan klien
dan pengacara tak lebih dari saling percaya. Dia mati-matian meyakinkan
kliennya bahwa kasus yang dititipkan padanya bisa dia menangkan.
“Lagian saya udah ngobrol sama
jurinya. Nanti gampang, kok. Tinggal disentil sedikit.” Ucap kliennya dari
seberang sana.
Om Budy mengernyitkan dahinya,
“Bicara sama juri? Bapak nemuin pihak juri sebelum persidangan??”
“Lha, iya...”
“Itu kan dilarang, Pak! Juri harus
disterilkan dari pengaruh luar. Kalau hakim tahu, nanti kita dalam bahaya!”
“Sudah, Pak Budy, sudah. Tenang
saja. Apa kata saya. Lha kita Cuma ngobrol sedikit sama jurinya. Cuma ngobrol
biasa.”
Om Budy terdiam. Sebelah tangannya
mengemudikan mobil dengan hati-hati. Rasanya kehabisan kata-kata untuk menanggapi
kliennya. Apa yang tidak bisa? Begitu katanya. Apapun bisa dilakukan untuk
mendapatkan apa yang dia inginkan. Semuanya menjadi kecil, bagi seorang bos
besar semacam Bunawar.
Om Budy masuk ke dalam ruang
persidangan dengan langkah tegap. Dia menuju meja dimana seorang laki-laki
berkemeja santai dengan setengah rambutnya yang memutih duduk. Pak Bunawar
melempar senyum ke arah Om Budy. Dia lalu mengangkat tangannya untuk berjabat
tangan. Wajahnya dipenuhi senyum kemenangan.
Tak berselang setelah itu, hakim
masuk ke dalam ruangan. Persidangan dibuka dengan membacakan tuntutan dan hasil
persidangan tiga hari lalu. Denda setengah milyar masih membayang-bayangi
Eriska. Gadis itu duduk menunduk di meja yang berseberangan dengan Pak Bunawar.
“Berhentinya Saudari Eriska secara
paksa dari film berdampak besar pada produksi film, pada citra rumah produksi,
nama baik rumah produksi, juga dana yang telah dikeluarkan untuk proses
syuting. Pengunduran diri Saudari Eriska juga tanpa ijin tertulis dari pihak
yang bersangkutan. Pihak Bona Pictures merasa dilecehkan dengan tindakan ini.
Kami menuntut Saudari Eriska sesuai tuntutan awal kami.” Jelas Om budy dengan
suara lantang di depan hakim. Seluruh pasang mata tertuju padanya.
Hakim mengusap dagunya. Dia lalu
melongok ke orang di sampingnya dan berbisik.
Om Budy duduk di kursinya kembali.
Dirinya disambut tepukan hangat dari Pak Bunawar. Dia lalu menoleh pada Eriska.
Sekedar memastikan perubahan ekspresi yag terjadi padanya setelah ia membacakan
tuntutannya tadi. Om Budy memicingkan matanya. Dilihatnya seseorang yang lain
di sana.
“Pengacaranya Eriska ganti?” bisik
Om Budy.
“Dia tahu kalau Firman orang kita. Dia lalu
ganti pengacara. Ck! Tapi nggak usah khawatir! Siapapun pengacaranya, dia pasti
nggak bisa apa-apa kalau melawan pengacara hebat seperti Anda.” jawab Pak
Bunawar sedikit memuji.
“Pihak Bona Pictures melakukan
penipuan kepada Saudari Eriska sebelum persetujuan kontrak. Isi skenario diubah
sedemikian rupa. Di depan saya sudah ada dua lampir skenario berbeda. Yang
sebelah kanan, diberikan pada Eriska sebelum kontrak ditandatangain. Yang
sebelah sini, diberikan ketika syuting dimulai.”
Pak Bunawar tersenyum masam.
“Di samping itu, Saudari Eriska
mengalami penekanan secara mental. Pak Bunawar mengirimkan orang suruhannya
untuk menguntit Eriska sepanjang waktu.”
“Keberatan, Yang Mulia!!” serta
merta Pak Bunawar berdiri dari kursinya.
“Dia ingin melakukan intimidasi
terhadap.....”
“Anda jangan asal tuduh! Kalo
nggak punya bukti jangan asal ngomong!!”
“HARAP TENANG!!” Hakim mengetuk
palunya.
Pak Bunawar mendengus. Dia lalu
kembali duduk.
“Kami memanggil saksi untuk
bersaksi di depan.” Pungkas pengacara Eriska.
“Sabar, Pak... ini nggak lebih
dari opini argumentatif. Biar saya yang hadapi.” Bisik Om Budy pada Pak
Bunawar. Om Budy lalu menghela nafas. Dia mulai menguras otak. Entahlah, Eriska
dan pengacaranya yang baru tiba-tiba saja bergerak cepat. Padahal baru tadi
malam dia yakin Eriska akan bertekuk lutut dan bisa memenangkan Pak Bunawar.
Om Budy memilah-milah berkas di
depannya. Mencari-cari celah untuk menyangkal. Matanya kemudian beralih pada
sosok yang duduk di meja saksi. Sosok yang dituding-tuding oleh si pengacara
kunyuk Eriska sebagai saksi andalannya.
Om Budy terhenyak. Matanya tak
berkedip.
RANGGA??!!!
--------------------------------------------
BERSAMBUNG KE PART 10
Part ini kependekan .-.
BalasHapusudah sepanjang ini masih dibilang pendek... astap... -___-
HapusBapaknya Andin pengacaranya Bunawar, Rangga saksinya Eriska. Kalo mereka beda kubu, gimana sama Andin? Rangga bisa jadi pilih kubu Eriska, Andin bisa ikut kubu Eriska, bisa juga kubu bapaknya. Tau dah, bingung.. (Alifa Yunia Rizky)
BalasHapusAaaaaaaahhh!! gue ikutan bingung.... #PeganganRangga... -___-
Hapus