13 Oktober 2014

[Cerbung SMASH] "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" SEASON 2 / Part 9

Title          : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season    : 2
Author       : @ariek_andini (adm4)
Genre        : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast          : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...

----------------------------------

             “Target menuju pintu!!”

             “Ke kiriiii!!”

             “Masuk ke mobil!!” teriak Rangga. Dengan paksa dia membuka pintu mobilnya.

             Eriska menurut. Begitu keduanya masuk ke dalam mobil, kejaran tiga laki-laki kekar itu semakin menjadi-jadi. Dengan tergesa-gesa Rangga menyalakan mobil. Dilajukannya mobilnya keluar area parkir.

             Suara mobil berdecit. Sampai di ujung pintu keluar parkiran, salah satu laki-laki itu menghadang. Rangga terkejut. Dalam sekejap mata laki-laki itu jatuh terguling menimpa kaca depan mobil Rangga.

             “Pegangan!!!” perintah Rangga. Dia menambah kecepatan mobilnya. Dengan pandangan terhalang percikan darah yang memenuhi kaca depan mobilnya, Rangga kabur.

             Jalanan kota Jakarta nampak sepi di tengah malam. Lampu-lampu jalan bersinar pudar. Kalah terang dari lampu-lampu yang berasal dari bangunan, kafe dan kelab malam di sekelilingnya.

             Rangga mengemudikan mobil tegang. Sesekali ia menoleh ke belakang. Mewanti-wanti kalau tiga orang menyeramkan tadi mengejarnya. Jantungnya semakin berdetak tak karuan melihat bercak darah segar membekas di kaca mobilnya. Beberapa sisinya retak.

             Di sampingnya, Eriska duduk menggigit jari. Wajahnya nggak kalah panik. Keringat dingin memenuhi dahinya.

             “Mereka siapa?”

             Eriska terbangun mendengar pertanyaan Rangga. Dia menoleh.

             “Mereka tadi... siapa?” ulang Rangga karena pertanyaannya tak dijawab.

             “Mereka... eng-enggak tahu. Mungkin preman.” Jawab Eriska. Dia memalingkan wajah ke arah lain. Nafasnya masih terengah-engah. Dia mengerutkan dahinya melihat tiba-tiba Rangga membelok ke jalan yang berlawanan dengan rumahnya.


             “Ini kemana?” sergah Eriska.

             “Kita ke kantor polisi.”

             Eriska tersentak, “Nggak!!! Stop!!”

             Rangga balas menatap Eriska. Heran.

             “Gue bilang stop!!”

             “Kita harus lapor ke polisi kalau loe tadi habis diserang preman!!”

             “Gue nggak kenapa-kenapa!! sekarang berhenti!! Balik!!”

             “Udah loe diam aja! Gue yang urus ntar di kantor polisi! Preman kayak mereka nggak bisa dibiarin, Eris!”

             “Berhenti sekarang, atau gue lompat!!”

             Rangga terdiam. Dia melambatkan laju mobilnya. Ditatapnya lekat-lekat wajah Eriska. Sangat keras. Eriska balas menatapnya tegas.

             Rangga menghela nafas. Dia lalu membelokkan mobilnya ke jalur lain. Tak ada pilihan lain selain menuruti Eriska. Keadaan sedang kacau. Mungkin lain kali.

             Seperempat jam berlalu. Tak seorangpun membuka suara. Hanya deru mobil yang memenuhi udara. Bercak merah di kaca depan mobil menjadi mozaik lain pemadangan malam. Mendekati rumah Eriska, Rangga memelankan kecepatan mobil. Ada banyak pertanyaan berkecamuk di otaknya. Tapi semua ia bendung melihat Eriska diam sedingin es.

             Lima buah mobil sedan berjajar di depan rumah Eriska. Beberapa orang nampak berdiri di sampingnya. Tiba-tiba Eriska menggenggam tangan Rangga yang sedang memegang setir. Rangga menoleh.

             “Putar balik sekarang!”

             “Hah?”

             “PUTAR BALIK SEKARANG!!!!” bentak Eriska.

             Belum sempat Rangga mengerti maksud Eriska, tiba-tiba segerombol orang yang berdiri di depan sana berlari ke arahnya. Sekilas wajah mereka tersorot lampu mobil. Rangga memicingkan matanya. Dia lalu mendelik melihat salah satu dari mereka adalah laki-laki yang ia tabrak tadi di parkiran.

             Rangga banting setir. Dia membelok ke jalan lain. Sedalam mungkin dia menginjak pedal gas. Di belakang sana, deru mobil bersahutan mengejarnya. Rangga belingsatan. Matanya semakin jeli mencari celah jalan di tengah perumahan untuk kabur dari mereka. Dia lalu membelok ke jalan raya. Entah arah mana yang ia tuju. Satu-satunya yang mengisi otaknya adalah pergi dari orang-orang yang ia sendiri tak tahu siapa mereka.

             Malam semakin pekat. Perlahan cahaya bulan berselimut mendung. Gedung-gedung pencakar langit mulai berganti dengan pemukiman warga. Sepi. Hanya satu-dua truk besar lewat.

             Rangga lalu menepikan mobilnya. Dapat ia rasakan ketika ban mobilnya melindas batu besar di tepi jalan. Matanya menatap lurus ke depan. Dia tak lagi was-was menoleh ke belakang. Kiloan meter sebelumnya dia telah tahu bahwa gerombolan orang aneh itu tak lagi mengejarnya.

             Iya, aneh. Mereka preman. Salah satunya dia tabrak sampai bersimbah darah. Tapi mereka masih mati-matian mengejar.

             ......bahkan mereka tahu rumah Eriska.

             “Mereka siapa?”

             Untuk sekian kalinya Rangga mengulang pertanyaannya. Dia memandang wajah Eriska dalam-dalam. Menguncinya. Menyudutkannya. Sampai tak ada sautupun jalan berkelit bagi Eriska.

             “Jawab gue! mereka siapa?!!”

             “Orang Pak Bunawar...”

             “Pak Bunawar?”

             “Pemilik Bona Pictures...”

             Rangga mengerutkan dahinya. Hanya bisa menebak-nebak. Dia menanyakan gerombolan preman yang mengejarnya, dan dia mendapat jawaban nama seorang pemilik production house besar di Indonesia?

             “Loe nggak usah bingung. Ini udah biasa kok.” Lanjut Eriska lirih.

             “Udah biasa?? Loe dikejar-kejar kayak gini udah biasa?”

             “Yang mereka lakuin Cuma buntutin gue! itu aja! Hanya saja tadi loe nabrak salah satu dari mereka. Mereka marah! Makanya ngejar kita!”

             “Buntutin loe?” potong Rangga.

             Eriska terdiam.

             “Kenapa orang-orang Pak Bunawar buntutin loe?”

             Eriska menunduk. Rangga tidak berhenti menyudutkannya. Percuma berkilah. Dia dan Rangga juga sudah terjebak sejauh ini.

             “Karena hutang...”

             “Eh?”

             “Dulu gue pernah main di film yang dia produseri. Gue udah tanda tangan kontrak. Tapi syuting dapat satu hari, gue mengundurkan diri.”

             “Kenapa?”

             “Gue tertipu. Di script yang dia kasih pertama kali, film itu ceritanya tentang anak kuliahan. Tapi pas gue mulai syuting, ceritanya membelot. Isinya penuh adegan seronok! Dan gue meranin peran yang... ck...!!” Eriska tidak meneruskan ceritanya. Dia membanting tangannya ke kaca cendela.

             Rangga hanya bisa diam. Tangannya masih lekat memegang kemudi mobil.

             “Gue minta berhenti dari film itu. tapi nggak diijinin. Gue maksa. Hari berikutnya gue nggak pernah lagi datang syuting. Pak Bunawar terus-terusan ngejar gue. Tiap hari anak buahnya datang nyusulin gue. Udah gue bilang untuk nyari pemain lain, tapi dia bersih keras nyuruh gue yang main. Dia ngancam gue dengan penalti kontrak. Sampe akhrinya senin kemaren gue dapat undangan pemeriksaan dari pengadilan...”

             “Hah?!! Pengadilan?!!”

             “Pak Bunawar ngelaporin gue dengan tuduhan pelanggaran kontrak film. Dia ngaku-ngaku mengalami rugi dua milyar. Gue dituntut membayar ganti rugi. Sejak saat itu, tiap hari, kemana pun gue pergi, gue pasti dibuntuti orang-orang bawahan Bunawar.”

             “Loe udah divonis?” tanya Rangga.

             “Divonis?”

             “Hakim udah memvonis loe bersalah, apa belum?”

             Eriska mengerutkan dahinya, “Ehm....belum...”

             “Ini namanya pelanggaran hak, Eris!!!” tukas Rangga.

             “Maksudnya?”

             “Kasus loe baru tahap pemeriksaan. Selama ini loe hanya menjadi terduga, belum menjadi terdakwa! Loe punya hak praduga tak bersalah!! Kalau Bunawar nyuruh anak buahnya buat buntutin loe, itu namanya loe diintimidasi. Dia maksa loe secara psikologis buat ngaku menjadi tersangka di pengadilan nanti.”

             Hening. Eriska memandangi Rangga penuh tanda tanya.

             Rangga menepuk kemudi mobil. Dia berdesis. Salahnya menggunakan kata-kata sarat hukum di depan orang yang buta hukum, “Intinya, Bunawar menggunakan cara licik dalam kasus ini. Dia memanfaatkan ketidaktahuan loe tentang hukum! Kalau loe laporkan hal ini, loe akan mendapat keringanan dari pengadilan. Dan bahkan kalau loe melaporkan soal penipuan sebelum penandatanganan kontrak film, bisa aja loe lolos dari terduga. Loe udah nyewa pengacara??”

             “Udah...”

             “Terus, dia bilang apa?” tanya Rangga.

             “Nggak bilang apa-apa. Dia cuman nelpon gue kalau ada proses pengadilan. Sisanya, dia bilang dia yang urus.”

             “Loe udah cerita soal penipuan di awal penandatanganan kontrak??”

             Eriska menunduk, dia nampak berpikir. Jika ditanya soal cerita, sejujurnya dia tidak pernah menceritakan apapun. Pengacara yang ia sewa sekarang selalu fokus pada isi kontrak, mengacak-acak tafsirnya, dan hal rumit lainnya yang tidak ia tahu.

             Rangga menyandarkan tubuhnya. Penat.

             “Denger, Eris! Kalau loe cuman diam kayak gini, loe bisa kalah. Sekalipun Bunawar adalah bos perfilman kelas kakap, loe jangan takut buat ngelawan dia!”

             “Terus gue mesti gimana???”

             “Kejadian malam ini, loe laporin ke hakim!! Gue yang akan jadi saksinya nanti!”

             Eriska bengong.

             “Dan saran dari gue, loe ganti pengacara aja! Pengacara loe yang sekarang pasif! Dia nggak serius mendalami kasus loe! Cerita loe aja dia nggak tahu. Gue curiga, pasti dia disuap sama Bunawar!”

             Eriska masih diam. Dia menyimak tiap kalimat dari Rangga dengan seksama. Sesimpul senyum lalu merekah di bibirnya.

             “Makasih, Rang. Gue nggak tahu soal beginian...”

             “Ya, mulai sekarang loe yang teliti aja dengan kasus loe.”

             “Loe pinter banget ya soal beginian...” gumam Eriska.

             Rangga bungkam. Dia mengalihkan wajahnya ke sisi lain. Pintar soal beginian? Mampus!! Dia kebablasan!! Tanpa sadar dia menasehati Eriska macam-macam soal hukum. Sudah lama kuliahnya terbengkalai. Dia sendiri memilih fokus menjadi entertainer. Tapi entah mengapa, jika sudah melihat tetek bengek hukum, semua teori di kepalanya meluncur keluar.

             “Benar kata loe, secara tidak langsung gue sudah terpengaruh secara mental. Gue ngambil job lain diluar CCC. Gue bahkan udah mulai nabung untuk melunasi denda gue nanti. Pas ada Festival Film kemaren, gue mati-matian berharap gue menang. Gue butuh uangnya untuk membayar Bunawar.” Lanjut Eriska. Matanya menerawang pemandangan dinihari di depannya. Sesekali truk barang menyalip. Cahaya lampunya menyilaukan mata.

             “Kenapa selama ini loe diam aja?” tanya Rangga.

             Eriska tersenyum. Dibenarkannya letak rambutnya, “Nggak ada yang tahu. Bahkan manajer gue nggak tahu. Gue nyuruh dia cuti panjang dengan alasan gue break.” Eriska menoleh pada Rangga, “Karir gue taruhannya. Loe sendiri tahu kan, udah berapa artis jatuh karena bermasalah dengan Bunawar?”

             Rangga mendesah. Dia menggeser letak duduknya. Tak nyaman. Apalagi jika sudah membicarakan Bunawar, siapapun tidak merasa nyaman. Kadang terasa tidak adil. Kenapa dunia entertainment yang besar ini harus berada di bawah kendali satu orang busuk seperti Bunawar.

             “Loe masih punya script yang dikasih Bunawar sebelum loe tanda tangan kontrak?” tanya Rangga.

             “Ada. Gue simpan di rumah.” Jawab Eriska.

             “Kapan persidangan loe yang selanjutnya?”

             “Nanti....”

             “Hah??!”

             “Iya, nanti. Jam sembilan pagi.”

             Rangga menengok jam di tangannya. Dia terbelalak. Tak disangkanya jarum jam telah menunjuk jam dua pagi. Sudah berjam-jam dia dan Eriska terjebak di daerah antah berantah.

             “Kita harus pulang sekarang!” ucap Rangga.

             “Loe anterin gue nyari taksi...”

             Rangga menghentikan aksinya menyalakan mobil. Ditolehnya Eriska, “Taksi?”

             “Loe nggak mungkin kan nganterin gue pulang? Gara-gara gue loe nggak pulang semalaman begini. Habis ini juga loe syuting.”

             “Loe pikir orang suruhan Bunawar udah pergi? Bisa aja mereka sekarang nungguin loe di jalan. Mereka terlanjur emosi gara-gara gue tabrak. Loe nggak bisa pulang sendirian!” tukas Rangga.

             Eriska terdiam.

             “Begitu sampai di rumah loe nanti, ambil skenarionya. Lalu kita berangkat ke persidangan. Gue akan jadiin itu senjata untuk nyerang Bunawar di depan hakim.”

             Menyerangnya, mengalahkannya, dan menghentikannya memonopoli. Gigi Rangga bergemelatuk. Tiap desah nafasnya menahan rasa jijik. Dibelokkannya mobilnya. Waktu terus berjalan. Selama tak ada yang bergerak, kelicikan Bunawar akan membelit siapapun yang ada di depannya.

             ***************

             “Tumben ada di rumah?” tegur Om Budy, papa Andin. Dia berjalan menuju meja makan. Ditolehnya putri semata wayangnya yang duduk menekuk lutut di ruang tengah.

             Andin tidak menjawab. Dia turut mengikuti papanya ke dapur. Masakan telah tersaji. Tante Melly, mama Andin, juga sudah ada di sana. Sesekali dia membantu Lasi memboyong nampan makanan yang telah penuh.

             “Katanya libur syuting.” Sambung Tante Melly. Tangannya masih sibuk memindahkan mangkuk makanan.

             “Nggak manggung?” tanya Om Budy lagi. Dia masih penasaran melihat Andin anteng di rumah. Padahal biasanya tuh cewek berada di rumah kalau lagi lebaran doank. Sisanya, senggang sedikit saja, pasti keluyuran.

             Tante Melly menempatkan piring kosong di depan Andin dan suaminya. Om Budy menyambutnya. Tangannya lalu beralih menyendok nasi ke atas piringnya.

             “Papa nanti lembur nggak?”

             Hening.

             Om Budy menghentikan aksinya mengambil nasi. Demikian pula Tante Melly. Keduanya tertegun.

             Andin menanyakan papanya lembur apa tidak? Dia mabuk???

             “Pa!” panggil Andin melihat bokapnya malah balik melototinya.

             “Eh... eng-enggak. Eh, nggak tahu. Apa kata nanti. Kenapa kamu tiba-tiba nanya papa lembur apa nggak?”

             “Mama-papanya Rangga nanti malam ke sini.”

             Tring!!!

             Sendok di tangan Tante Melly terjatuh ke lantai. Tapi tak ada gerakan sedikitpun. Dia diam. Suaminya juga diam. Keduanya bengong melihati Andin.

             “Diiihhh!! Mama sama papa kenapa sihh?!!” gerutu Andin mulai gregetan.

             “MAMA-PAPANYA RANGGA KE SINI??!!” ulang Tante Melly terkejut.

             “Iya.. tadi malam Rangga bilang gitu.”

             “Kenapa dadakan banget??” sergah Om Budy.

             “Kenapa kamu nggak bilang dari tadi malam?!! Haduh!! Mama belum pesan katering!! Rumput di depan juga masih panjang-panjang. Belum manggil tukang kebun buat bersihin!!”

             “Ma! Pa!! Hadoooh!! Mereka ke sini cuman mau ngomongin soal tunangan!! Heboh banget, deh, ah!! Ntar mereka juga ujung-ujungnya duduk di ruang tamu, bukan duduk di kebon!!” sahut Andin.

             “Ngomongin tunangan??”

             Andin beringsut. Bagian ini, dia tidak berani menimpali.

             “Gimana kalo 6 Juni, Pa? Tanggalnya cantik itu.” tanya Tante Melly.

             “Terlalu mepet sama ramadhan, Ma. 10 Mei aja, kayak tanggal kita jadian dulu.” jawab Om Budy.

             “10 Mei ada acara peringatan Hari Kebangkitan Nasional di fakultas, Pa. Aku jadi pembicara. 25 Mei aja...”

             “Hari Kebangkitan Nasional itu kan tanggal 2. Dimajuin aja!”

             “Idiiih... acaranya udah paten. Undangannya udah disampein ke menteri pendidikan. Nggak mungkin diubah!”

             Andin menepuk jidatnya. Ampun! Malah bokap-nyokapnya yang ribut!

             “Halahhh! Udah!! Udah!! Malah ribut sendirian! Biar nanti nentuin tanggalnya bareng Om Rully sama Tante Yudith!! Berisik banget!! Udah jam delapan noh! Papa pergi aja sono! Telat ntar!!” potong Andin menghentikan perdebatan kedua orang tuanya. Pipinya bersemu malu.

             Om Budy tertawa lepas. Diteruskannya makannya. Andin selalu berkilah jika ditanya soal hubungannya. Sedikit saja menyebut nama Rangga, Andin pasti mengalihkan. Apalagi soal ngomongin tanggal tunangan seperti sekarang, Andin bersemu seperti tomat rebus.

             Usai menghabiskan sarapannya, Om Budy beranjak pergi. Sebelum masuk ke dalam mobil, diceknya isi tasnya untuk memastikan berkas-berkas penting yang sudah dia persiapkan tidak tertinggal. Dia lalu memacu mobilnya. Bukan kantornya, Om Budy langsung menuju ke kantor pengadilan untuk menghadapi persidangan kliennya.

             “Iya, Pak! Iya! Sudah dekat!!... iya... iya sudah saya bawa!! Ternyata tadi malam itu ada surat kesaksiannya juga!!” ucap Om Budy berbicara dengan kliennya lewat telepon. Hubungan klien dan pengacara tak lebih dari saling percaya. Dia mati-matian meyakinkan kliennya bahwa kasus yang dititipkan padanya bisa dia menangkan.

             “Lagian saya udah ngobrol sama jurinya. Nanti gampang, kok. Tinggal disentil sedikit.” Ucap kliennya dari seberang sana.

             Om Budy mengernyitkan dahinya, “Bicara sama juri? Bapak nemuin pihak juri sebelum persidangan??”

             “Lha, iya...”

             “Itu kan dilarang, Pak! Juri harus disterilkan dari pengaruh luar. Kalau hakim tahu, nanti kita dalam bahaya!”

             “Sudah, Pak Budy, sudah. Tenang saja. Apa kata saya. Lha kita Cuma ngobrol sedikit sama jurinya. Cuma ngobrol biasa.”

             Om Budy terdiam. Sebelah tangannya mengemudikan mobil dengan hati-hati. Rasanya kehabisan kata-kata untuk menanggapi kliennya. Apa yang tidak bisa? Begitu katanya. Apapun bisa dilakukan untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Semuanya menjadi kecil, bagi seorang bos besar semacam Bunawar.

             Om Budy masuk ke dalam ruang persidangan dengan langkah tegap. Dia menuju meja dimana seorang laki-laki berkemeja santai dengan setengah rambutnya yang memutih duduk. Pak Bunawar melempar senyum ke arah Om Budy. Dia lalu mengangkat tangannya untuk berjabat tangan. Wajahnya dipenuhi senyum kemenangan.

             Tak berselang setelah itu, hakim masuk ke dalam ruangan. Persidangan dibuka dengan membacakan tuntutan dan hasil persidangan tiga hari lalu. Denda setengah milyar masih membayang-bayangi Eriska. Gadis itu duduk menunduk di meja yang berseberangan dengan Pak Bunawar.

             “Berhentinya Saudari Eriska secara paksa dari film berdampak besar pada produksi film, pada citra rumah produksi, nama baik rumah produksi, juga dana yang telah dikeluarkan untuk proses syuting. Pengunduran diri Saudari Eriska juga tanpa ijin tertulis dari pihak yang bersangkutan. Pihak Bona Pictures merasa dilecehkan dengan tindakan ini. Kami menuntut Saudari Eriska sesuai tuntutan awal kami.” Jelas Om budy dengan suara lantang di depan hakim. Seluruh pasang mata tertuju padanya.

             Hakim mengusap dagunya. Dia lalu melongok ke orang di sampingnya dan berbisik.

             Om Budy duduk di kursinya kembali. Dirinya disambut tepukan hangat dari Pak Bunawar. Dia lalu menoleh pada Eriska. Sekedar memastikan perubahan ekspresi yag terjadi padanya setelah ia membacakan tuntutannya tadi. Om Budy memicingkan matanya. Dilihatnya seseorang yang lain di sana.

             “Pengacaranya Eriska ganti?” bisik Om Budy.

             “Dia tahu kalau Firman orang kita. Dia lalu ganti pengacara. Ck! Tapi nggak usah khawatir! Siapapun pengacaranya, dia pasti nggak bisa apa-apa kalau melawan pengacara hebat seperti Anda.” jawab Pak Bunawar sedikit memuji.

             “Pihak Bona Pictures melakukan penipuan kepada Saudari Eriska sebelum persetujuan kontrak. Isi skenario diubah sedemikian rupa. Di depan saya sudah ada dua lampir skenario berbeda. Yang sebelah kanan, diberikan pada Eriska sebelum kontrak ditandatangain. Yang sebelah sini, diberikan ketika syuting dimulai.”

             Pak Bunawar tersenyum masam.

             “Di samping itu, Saudari Eriska mengalami penekanan secara mental. Pak Bunawar mengirimkan orang suruhannya untuk menguntit Eriska sepanjang waktu.”

             “Keberatan, Yang Mulia!!” serta merta Pak Bunawar berdiri dari kursinya.

             “Dia ingin melakukan intimidasi terhadap.....”

             “Anda jangan asal tuduh! Kalo nggak punya bukti jangan asal ngomong!!”

             “HARAP TENANG!!” Hakim mengetuk palunya.

             Pak Bunawar mendengus. Dia lalu kembali duduk.

             “Kami memanggil saksi untuk bersaksi di depan.” Pungkas pengacara Eriska.

             “Sabar, Pak... ini nggak lebih dari opini argumentatif. Biar saya yang hadapi.” Bisik Om Budy pada Pak Bunawar. Om Budy lalu menghela nafas. Dia mulai menguras otak. Entahlah, Eriska dan pengacaranya yang baru tiba-tiba saja bergerak cepat. Padahal baru tadi malam dia yakin Eriska akan bertekuk lutut dan bisa memenangkan Pak Bunawar.

             Om Budy memilah-milah berkas di depannya. Mencari-cari celah untuk menyangkal. Matanya kemudian beralih pada sosok yang duduk di meja saksi. Sosok yang dituding-tuding oleh si pengacara kunyuk Eriska sebagai saksi andalannya.

             Om Budy terhenyak. Matanya tak berkedip.


             RANGGA??!!!

--------------------------------------------

BERSAMBUNG KE PART 10

4 komentar:

  1. Part ini kependekan .-.

    BalasHapus
    Balasan
    1. udah sepanjang ini masih dibilang pendek... astap... -___-

      Hapus
  2. Bapaknya Andin pengacaranya Bunawar, Rangga saksinya Eriska. Kalo mereka beda kubu, gimana sama Andin? Rangga bisa jadi pilih kubu Eriska, Andin bisa ikut kubu Eriska, bisa juga kubu bapaknya. Tau dah, bingung.. (Alifa Yunia Rizky)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aaaaaaaahhh!! gue ikutan bingung.... #PeganganRangga... -___-

      Hapus