14 Oktober 2014

[Cerbung SMASH] "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" SEASON 2 / Part 10

Title          : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season    : 2
Author       : @ariek_andini (adm4)
Genre        : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast          : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...

Konflik memanas.... Om Budy ternyata sekubu sama Bunawar.... Rangga dan Andin apa kabaaarrrr????


----------------------------------


              Om Budy memilah-milah berkas di depannya. Mencari-cari celah untuk menyangkal. Matanya kemudian beralih pada sosok yang duduk di meja saksi. Sosok yang dituding-tuding oleh si pengacara kunyuk Eriska sebagai saksi andalannya.

             Om Budy terhenyak. Matanya tak berkedip.

             RANGGA??!!!

             “Saksi secara kebetulan berada dalam satu mobil dengan Eriska tadi malam. Keduanya diserang oleh tiga orang laki-laki tidak dikenal di parkiran studio di Daerah Bilangan Jakarta. Berikut merupakan foto mobil yang diserang.” Pengacara Eriska menampilkan slide foto mobil Rangga di depan hakim. Kaca depan mobil yang dipenuhi retakan dan bercak darah dipampang besar-besar.

             Cahaya di dalam ruang sidang sejenak berubah redup-terang seiring pergantian slide. Ronanya semakin menambah tegang semua wajah yang ada di sana.

             Tak terkecuali Rangga.

             Rangga duduk membeku di tengah persidangan. Matanya lekat menatap wajah Om Budy. Nafasnya terasa berat. Bahkan untuk menarik nafas saja terasa sulit. Tiap Om Budy berkedip di depannya, Rangga merasa tertusuk.

             “Rangga?? Saudara Rangga!!??”

             “Eh?” Rangga terbangun. Tiba-tiba pengacara Eriska telah berdiri di depannya.

             “Pertanyaannya silakan dijawab...” lanjutnya.

             Rangga gelagapan, “Pertanyaan? Ma-maaf, yang mana?”


             “Tadi malam Anda dan Eriska diserang tiga orang tak dikenal kan? Apakah Anda melihat ada yang mereka ambil dari Eriska? Mungkin mereka ingin mencuri jam tangan, atau benda berharga lainnya?”

             “Tidak....” jawab Rangga gamang. Matanya kembali beralih pada Om Budy.

             “Jadi benar orang-orang itu hanya mengintai Eriska?”

             “I-iya....”

             Rangga meremas ujung jarinya. Dilema. Yang ia bisa hanya menjawab iya dan tidak. Semakin lama matanya beradu dengan Om Budy, semakin ia merasa beku.

             “Bangsat!! Siapa anak ingusan itu?!! Ayo, Pak Budy!! Kita nggak bisa tinggal diam!!” Pak Bunawar semakin gusar. Dia terus-terusan menyudutkan Om Budy untuk membelanya.

             Om Budy mendengus, “Interupsi, Yang Mulia!! Kalau memang benar Eriska dan saksi diikuti oleh orang tidak dikenal. Tidak bisa begitu saja kita mengklaim bahwa orang yang mengikuti mereka adalah orang suruhan Saudara Bunawar. Mereka hanya main argumen. Tidak ada bukti pasti yang mengatakan preman itu adalah orang suruhan saudara Bunawar.”

             “Jika kami undang mereka bertiga, saya yakin, Anda dan Pak Bunawar tidak akan bisa bicara lagi.” Tiba-tiba Rangga bersuara.

             Om Budy tercekat.

             “Dalam proses hukum, seseorang tidak akan bisa dituduh begitu saja kalau tidak ada bukti!!” Om Budy tak kalah lantang membalas.

             “Dalam hukum, Anda tidak bisa terus-terusan membela orang bersalah dan menutupi kebenaran sekalipun Anda dibayar mahal.” Sahut Rangga.

             Om Budy terpojok. Seketika lidahnya kelu. Dia memandangi calon menantunya itu dengan mata terbelalak.

             “Pak.... Sejak awal Anda tahu kalau Pak Bunawar berlaku curang, iya kan? Sejak awal Anda menyadari penipuan di awal penandatangan kontrak itu.......”

             “Berhenti! Berhenti!! Jangan asal ngomong kamu, ha?!! Keberatan, Yang Mulia!! Saksi melakukan pencemaran nama baik!!” tiba-tiba Pak Bunawar berdiri dari duduknya. Ia menuding-nudingkan telunjuknya ke muka Rangga.

             Tiap orang yang ada di sana mulai saling berbisik. Keadaan ruang persidangan riuh rendah. Hakim sibuk memilah-milah kertas yang ada di depannya.

             “Pak Budy! Ayo, Pak Budy!! Bocah itu bohong!!” Pak Bunawar menggoyang-goyangkan lengan pengacara andalannya.

             Namun sedikitpun Om Budy tidak merespon. Tatapannya sedingin es. Sebisanya mencari celah untuk berkilah, tapi semua jalan telah tertutup rapat. Buntu. Semua jalan kemenangan itu telah ditutup rapat oleh calon suami putrinya sendiri.

             “Semua harap tenang!! Keputusan hakim akan dibacakan tiga puluh menit lagi!!”

             Tamat sudah.

             “Hakim berengsek!! Persidangan belum selesai!! Ayo Pak Budy!! Katakan sesuatu!!” Pak Bunawar mengumpat sejadinya.

             Om Budy menghela nafas panjang, “Maaf...”

             “Hah??!!!”

             “Saya akan mengembalikan setengah dari bayaran saya. Maaf.” Om Budy merapikan kertas-kertas di depannya. Tangannya lemas. Dahinya penuh keringat.

             “Bapak ini pengacara hebat!! Ayo, Pak!! Pasti ada cara!!” Pak Bunawar bersihkukuh.

             Pengacara hebat? Tak salah! Reputasinya telah tersohor kemana-mana. Tak ada satupun kasus yang tidak bisa dia menangkan. Banyak penggede yang telah menaruh kepercayaan padanya. Puluhan tahun dia membangun semua itu.

             Lalu semua runtuh. Hari itu. Dalam sekejap. Oleh seorang bocah ingusan.

             “Ck!!!”

             **************

             Gemericik air mengisi keheningan. Tetes demi tetes meluncur di permukaan kulit. Dingin menyengat. Serasa menusuk hingga ke tulang. Membangunkan saraf yang terpulas. Namun Rangga bergeming. Tak peduli sejam lamanya dia berdiri di bawah guyuran shower. Dia tetap terdiam. Matanya memandangi embun yang muncul di kaca kamar mandi. Sangat hampa.

             Di tengah suara air, sayup-sayup Rangga mendengar suara handphone berdering. Tak bersemangat diambilnya handuk yang menggantung di atasnya. Setelah mematikan shower, ia lalu keluar kamar mandi.

             “Hallo!! Rang?!!”

             “Apa?” jawab Rangga sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.

             “Loe dimana?”

             “Di apartemen. Ada apa sih, Ndin??”

             “Kayaknya loe nggak bisa ke rumah malam ini. Papa masuk rumah sakit.”

             Eh?

             “Sekarang gue di Rumah Sakit Dharmawangsa. Darah tinggi Papa kumat.”

             “..........”

             “Rang??”

             “I-iya. Oke! Gue ke sana!!”

             *************

             Tak ada jalan yang tidak menikung. Tak ada yang selurus benang. Meski matahari tak pernah membelok. Tapi, takdir manusia selalu berliku. Seperti akar Flamboyan, kaku dan menelusup.

             “Kamarnya nomor berapa??” tanya Tante Yudith di sela langkah kakinya yang cepat.

             Rangga tidak menyahut. Matanya nanar membaca nomor kamar yang terpasang di tiap pintu. Mama dan papanya semakin menambah riuh dengan terus menanyakan letak kamar dan beragumen tentang kondisi calon besannya.

             Sampai di kamar bernomor 115, Rangga menghentikan langkahnya. Ia menahan nafas. Dipegangnya kenop pintu. Begitu terbuka, dipersilakannya Tante Yudith dan Om Rully masuk terlebih dahulu.

             Suasana sunyi senyap menyambut begitu mereka sampai di dalam kamar. Andin duduk di sofa. Om Budy duduk bersandar di atas ranjang. Di sampingnya, istrinya duduk dengan sepiring irisan buah apel.

             Spontan Tante Melly berdiri. Disambutnya Rangga dan kedua orang tuanya. Sebentar saling berbasa-basi. Menanyakan kabar dan kedatangan mereka di Jakarta.

             “Pak Budy gimana keadaannya? Sudah membaik?” tanya Om Rully.

             “Tensinya sudah menurun. Sudah baikan. Parahnya ya tadi sore pas baru kumat. Tapi sekarang kata Dokter sudah membaik.” Sahut Tante Melly mewakili suaminya.

             “Kalau sudah urusan darah tinggi memang repot. Banyak pikiran sedikit saja bikin masalah.” Tambah Tante Yudith.

             “Benar. Apalagi kalau yang bikin pikiran adalah orang dekat.” Sahut Om Budy tiba-tiba. Matanya melirik Rangga tajam.

             “Pa?” tegur Tante Melly.

             “Kadang nggak sadar adabnya. Kepintaran bukan untuk menyerang orang lain.” Om Budy masih berkata-kata.

             Om Rully, Tante Yudith dan Tante Melly terdiam. Andin bangkit dari duduknya. Keempatnya memandangi Om Budy. Hening. Suasana terasa mencekam. Di sudut yang lain, Rangga berdiri tegang.

             “Bukan masalah dekat apa jauh. Yang namanya kebenaran tetap harus ditegakkan.” Tiba-tiba Rangga menyahut.

             “Rangga?” tegur Tante Yudith.

             “Aha... Capek ya pasti baru datang dari jauh. Mari silakan duduk. Silakan di sini! Mau kopi apa teh?” potong Tante Melly. Bermaksud mencairkan suasana. Tapi kebekuan antara Rangga dan Om Budy semakin mengeras.

             “Pintarnya...” sindir Om Budy.

             Rangga menarik nafas panjang, “Saya tahu Om marah karena masalah tadi. Tapi...”

             “Marah? Hahahaha!” Om Budy tertawa lepas, “Kamu pikir saya marah? Hanya karena dijegal oleh bocah kayak kamu?”

             “Pa! Udah, Pa!!” lerai Tante Melly. Dipegangnya pergelangan tangan suaminya.

             “...Yang tiba-tiba datang di tengah kasus dan membolak-balikkan keadaan!”

             “Ini jadinya kalau soal kebenaran dicampur dengan uang. Dibayar oleh orang lain bukan berarti Om harus terus-terusan membela orang itu!”

             “RANGGA!!!” bentak Andin.

             Rangga menutup bibirnya. Dikedipkannya matanya. Sejenak mengumpulkan kesadaran. Di depan sana, dilihatnya Om Budy duduk dengan wajah merah padam.

             Andin meraih tangan Rangga. Bermaksud menyeretnya keluar untuk mendinginkan suasana. Terserah apapun masalah yang muncul di antara Rangga dan papanya.

             “Andin!!” tiba-tiba Om Budy mencegat Andin.

             Andin menoleh.

             “Duduk!!”

             “Tapi, Pa!!”

             “Buat apa kamu ngajak dia keluar? Biar dia keluar sendiri!”

             Eh?

             Denting jam di dinding menggaung bak suara genderang. Berdetak. Tapi terasa memekakkan telinga. Menyulut api yang membara kian membesar. Dengan serta merta Om Rully mencengkeram tangan Rangga. Dia lalu melangkahkan kakinya keluar. Diikuti Tante Yudith dari belakang. Ketiganya keluar tanpa suara.

             Andin mengantar kepergian Rangga dan kedua orang tuanya dengan wajah meringis. Ingin mencegahnya. Tapi tatap mata papanya terasa merantai kedua kakinya.

             Sepi.

             Om Budy merebahkan tubuhnya. Dibenarkannya letak selimutnya. Dia lalu memejamkan mata. Tante Melly memundurkan langkahnya. Dia lalu duduk di kursi di samping suaminya. Tak ada yang bersuara. Denting jam masih mendominasi di udara.

             “Kenapa Papa ngusir mereka? Mereka datang jauh-jauh ke sini untuk nengok Papa!!” protes Andin emosi.

             “Besok-besok kalau Papa sakit, kamu nggak usah telpon-telpon mereka lagi.”

             “Pa!!!”

             “Dan, mending, mulai sekarang, kamu nggak usah ketemu-ketemu Rangga lagi.”

             “Maksud Papa apa?!!”

             “Andin! Udah! Papa kamu masih sakit!!” cegah Tante Melly.

             Andin menggigit bibirnya. Matanya menatap tajam ke arah Papanya. Hatinya berontak. Tapi mulutnya dipaksa diam. Air matanya lalu merembes. Menggenang seperti telaga.

             Andin menghentakkan kakinya. Ia berlari ke luar kamar. Sangat kencang. Beriringan dengan degub jantungnya yang tidak beraturan.

             *************

             “Ciaaaattt!!!”

             “Heeyyaaahhhhhh!!!”

             Buaggh!!

             “Adaw!!!”

             “Loe berdua kalo mau berantem di luar sana!!” bentak Rafael sambil mengacungkan gulungan koran ke arah Bisma dan Reza.

             “Ini buat syuting entar, Coh!! Kita lagi latihan!!” bela Reza.

             “Bodo amat! Di luarr!!!” Rafael mulai kehabisan kesabaran. Terang saja, kamar mereka sudah menjadi langganan security. Tiap hari selalu ditegur karena ramenya kayak terminal.

             Bisma dan Reza manyun. Keduanya lalu merapatkan kaki setelah sebelumnya bergaya ala Jet Li mau kungfu.

             “Loe mau sampe kapan molor terus?!! Buruan siap-siap!!” kali ini giliran Rangga yang disemprot Rafael.

             Rangga acuh. Masih dengan sandal selop dan rambut acak-acakan, ia lalu duduk di sofa. Lesu. Tak ada semangat sama sekali. Matanya kosong menatap dinding.

             Rangga lalu mengambil remot TV. Belum sempat dia menekan tombol power, tiba-tiba Bisma melompat ke arahnya.

             “JANGAN DINYALAIN!!!” teriak Bisma.

             “Loe apa-apaan, sih?!!” balas Rangga ketus. Tangannya mendorong muka Bisma menjauh. Ditekannya lagi tombol power, tapi sekali lagi Bisma mencoba menghentikannya. Dari sisi lain, Ilham datang.

             “Ambil, Ham!! Ambil!!” perintah Bisma. Kepalanya terjepit lengan Rangga.

             Ilham maju. Ia mulai memasang kuda-kuda.

             “Kampret!!” Rangga mulai emosi. Dia bangkit. Ditendangnya Bisma sampai terjatuh dari sofa. Ilham mengeluarkan jurus kemponya. Dari belakang, dijepitnya leher Rangga.

             “Sekarang!! Ambil!!” teriak Bisma.

             Reza berlari. Tujuannya adalah remot TV yang ada di tangan Rangga.

             Rangga cengo. Terlepas dari tingkah gila kawan-kawannya, Rangga sekarang sedang tidak nafsu untuk bercanda. Hatinya gundah. Ingin ketenangan.

             “Sialan!” umpat Rangga.

             “Ambil remotnya!!!” teriak Bisma.

             “Loe kenapa, sih?!!”

             “Kasih ke gue remotnya sekarang??!!”

             “Loe bisa nggak sih sehari aja nggak gangguin orang?!!”

             “Lepasin dulu remotnya!!”

             “Gue mau nonton TV!!”

             “Jangan!!”

             “Kampret!!”

             Rangga gregetan. Ditekannya tombol power.

             TV Menyala. Bisma bengong. Reza mangap. Ilham melongo.

             “Kedekatan Rangga ‘SMASH’ dan Eriska Rein kian lama kian terkuak. Keduanya tak segan-segan menunjukkan kemesraan di lokasi syuting. Baru-baru ini keduanya dikabarkan...”

             Jlekkk!

             Rafael mencabut kabel TV dari stop kontak. Seketika layar TV menghitam. Hening. Rangga masih memandangi layar TV yang sudah mati tanpa berkedip.

             Tiba-tiba terdengar suara pintu dibanting. Dicky keluar meninggalkan kamar.

             “Elo, sih! Udah gue bilang jangan nyalain TV!” seloroh Bisma.

             Rangga memandangi pintu apartemen yang tertutup rapat. Hatinya menimbang-nimbang. Dia lalu berlari menyusul Dicky.

             “Ranggaaaa!!!” panggil Reza.

             Rangga tidak menoleh. Hatinya kukuh untuk mengejar Dicky.

             “Rangga!! Loe belum pakek bajuuuuu!!!”

             Rangga menghilang di balik pintu. Terdengar lari kakinya yang cepat. Matanya mencari-cari keberadaan Dicky. Belum sampai semenit dia keluar dari apartemen. Mungkin di parkiran.

             “Dick!!” panggil Rangga.

             Dicky berhenti tepat di depan mobilnya. Dia menoleh, “Apa?” jawabnya singkat.

             Rangga diam. Dia bingung harus memulai dari mana.

             Dicky bersiap masuk ke dalam mobil.

             “Gue nggak ada apa-apa sama Eriska! Yang loe lihat tadi di TV itu nggak bener!!”

             “Udah sepuluh kali loe bilang gitu ke gue!” timpal Dicky sinis.

             “Ayolah! Loe marah sama temen loe sendiri cuman karena cewek?!”

             “Mestinya gue yang ngomong gitu ke elo!! Loe nikung cewek temen loe sendiri!!”

             Rangga menghela nafas, “Gue udah muak sama loe!! Loe kayak anak SMP, ngerti nggak?!! Kekanak-kanakan!! Ngambek, marah, cuman karena cewek??! Lagian gue lihat selama ini loe nggak gerak sama sekali! Loe bilang loe mau dapetin Eriska, tapi apa buktinya?!! Loe cuman diem!!”

             Dicky melangkahkan kakinya ke depan. Selangkah demi selangkah. Begitu sampai tepat di depan Rangga, dilayangkannya tinjunya ke wajah Rangga.

             Rangga oleng ke belakang. Wajahnya menyeringai.

             “Gue nggak pernah bisa dapetin Eriska, karena tiap kali gue ada di dekat dia, yang dia omongin cuman elo!! Brengsek!!!”

--------------------------

BERSAMBUNG KE PART 11

2 komentar:

  1. Next kak, penasaran ceritanya, keren banget kak, kaya nyata

    BalasHapus
  2. Ohh... Jadi Andin takut bapaknya, anak yang baik... #wks
    Tapi kasian hubungannya Andin-Rangga, jangan-jangan nanti, eh besok, eh tergantung dilanjutnya kapan, putus. Trus Rangga bisa sama Eriska, tapi Dicky gimana? Andin sama Rangga jadi canggung juga, dong? Om Budy sih, membela orang demi uang, meskipun orang itu salah. #jangandicontoh
    Oh iya, harusnya Dicky suruh maju. Tapi itu juga salah Eriska, dia nggak ngertiin Dicky. Tapi nggak apa, tetep semangat Dicky! Ganbatte!
    Udahan ya, Kak? Capek ngetiknya... Dadah..!!! *lambaitangankekamera*
    (Alifa Yunia Rizky)

    BalasHapus