Title : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season : 2
Author : @ariek_andini (adm4)
Genre : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...
Konflik memanas.... Om Budy ternyata sekubu sama Bunawar.... Rangga dan Andin apa kabaaarrrr????
Konflik memanas.... Om Budy ternyata sekubu sama Bunawar.... Rangga dan Andin apa kabaaarrrr????
----------------------------------
Om Budy
memilah-milah berkas di depannya. Mencari-cari celah untuk menyangkal. Matanya
kemudian beralih pada sosok yang duduk di meja saksi. Sosok yang
dituding-tuding oleh si pengacara kunyuk Eriska sebagai saksi andalannya.
Om Budy terhenyak.
Matanya tak berkedip.
RANGGA??!!!
“Saksi secara kebetulan berada
dalam satu mobil dengan Eriska tadi malam. Keduanya diserang oleh tiga orang
laki-laki tidak dikenal di parkiran studio di Daerah Bilangan Jakarta. Berikut
merupakan foto mobil yang diserang.” Pengacara Eriska menampilkan slide foto
mobil Rangga di depan hakim. Kaca depan mobil yang dipenuhi retakan dan bercak
darah dipampang besar-besar.
Cahaya di dalam ruang sidang
sejenak berubah redup-terang seiring pergantian slide. Ronanya semakin menambah
tegang semua wajah yang ada di sana.
Tak terkecuali Rangga.
Rangga duduk membeku di tengah
persidangan. Matanya lekat menatap wajah Om Budy. Nafasnya terasa berat. Bahkan
untuk menarik nafas saja terasa sulit. Tiap Om Budy berkedip di depannya,
Rangga merasa tertusuk.
“Rangga?? Saudara Rangga!!??”
“Eh?” Rangga terbangun. Tiba-tiba
pengacara Eriska telah berdiri di depannya.
“Pertanyaannya silakan dijawab...”
lanjutnya.
Rangga gelagapan, “Pertanyaan?
Ma-maaf, yang mana?”
“Tadi malam Anda dan Eriska
diserang tiga orang tak dikenal kan? Apakah Anda melihat ada yang mereka ambil
dari Eriska? Mungkin mereka ingin mencuri jam tangan, atau benda berharga
lainnya?”
“Tidak....” jawab Rangga gamang.
Matanya kembali beralih pada Om Budy.
“Jadi benar orang-orang itu hanya
mengintai Eriska?”
“I-iya....”
Rangga meremas ujung jarinya.
Dilema. Yang ia bisa hanya menjawab iya dan tidak. Semakin lama matanya beradu
dengan Om Budy, semakin ia merasa beku.
“Bangsat!! Siapa anak ingusan
itu?!! Ayo, Pak Budy!! Kita nggak bisa tinggal diam!!” Pak Bunawar semakin
gusar. Dia terus-terusan menyudutkan Om Budy untuk membelanya.
Om Budy mendengus, “Interupsi,
Yang Mulia!! Kalau memang benar Eriska dan saksi diikuti oleh orang tidak
dikenal. Tidak bisa begitu saja kita mengklaim bahwa orang yang mengikuti
mereka adalah orang suruhan Saudara Bunawar. Mereka hanya main argumen. Tidak
ada bukti pasti yang mengatakan preman itu adalah orang suruhan saudara
Bunawar.”
“Jika kami undang mereka bertiga,
saya yakin, Anda dan Pak Bunawar tidak akan bisa bicara lagi.” Tiba-tiba Rangga
bersuara.
Om Budy tercekat.
“Dalam proses hukum, seseorang
tidak akan bisa dituduh begitu saja kalau tidak ada bukti!!” Om Budy tak kalah
lantang membalas.
“Dalam hukum, Anda tidak bisa
terus-terusan membela orang bersalah dan menutupi kebenaran sekalipun Anda
dibayar mahal.” Sahut Rangga.
Om Budy terpojok. Seketika
lidahnya kelu. Dia memandangi calon menantunya itu dengan mata terbelalak.
“Pak.... Sejak awal Anda tahu kalau Pak
Bunawar berlaku curang, iya kan? Sejak awal Anda menyadari penipuan di awal
penandatangan kontrak itu.......”
“Berhenti! Berhenti!! Jangan asal
ngomong kamu, ha?!! Keberatan, Yang Mulia!! Saksi melakukan pencemaran nama
baik!!” tiba-tiba Pak Bunawar berdiri dari duduknya. Ia menuding-nudingkan
telunjuknya ke muka Rangga.
Tiap orang yang ada di sana mulai
saling berbisik. Keadaan ruang persidangan riuh rendah. Hakim sibuk memilah-milah
kertas yang ada di depannya.
“Pak Budy! Ayo, Pak Budy!! Bocah
itu bohong!!” Pak Bunawar menggoyang-goyangkan lengan pengacara andalannya.
Namun sedikitpun Om Budy tidak
merespon. Tatapannya sedingin es. Sebisanya mencari celah untuk berkilah, tapi
semua jalan telah tertutup rapat. Buntu. Semua jalan kemenangan itu telah
ditutup rapat oleh calon suami putrinya sendiri.
“Semua harap tenang!! Keputusan
hakim akan dibacakan tiga puluh menit lagi!!”
Tamat sudah.
“Hakim berengsek!! Persidangan
belum selesai!! Ayo Pak Budy!! Katakan sesuatu!!” Pak Bunawar mengumpat
sejadinya.
Om Budy menghela nafas panjang,
“Maaf...”
“Hah??!!!”
“Saya akan mengembalikan setengah
dari bayaran saya. Maaf.” Om Budy merapikan kertas-kertas di depannya.
Tangannya lemas. Dahinya penuh keringat.
“Bapak ini pengacara hebat!! Ayo,
Pak!! Pasti ada cara!!” Pak Bunawar bersihkukuh.
Pengacara hebat? Tak salah!
Reputasinya telah tersohor kemana-mana. Tak ada satupun kasus yang tidak bisa
dia menangkan. Banyak penggede yang telah menaruh kepercayaan padanya. Puluhan
tahun dia membangun semua itu.
Lalu semua runtuh. Hari itu. Dalam
sekejap. Oleh seorang bocah ingusan.
“Ck!!!”
**************
Gemericik air mengisi keheningan.
Tetes demi tetes meluncur di permukaan kulit. Dingin menyengat. Serasa menusuk
hingga ke tulang. Membangunkan saraf yang terpulas. Namun Rangga bergeming. Tak
peduli sejam lamanya dia berdiri di bawah guyuran shower. Dia tetap terdiam.
Matanya memandangi embun yang muncul di kaca kamar mandi. Sangat hampa.
Di tengah suara air, sayup-sayup
Rangga mendengar suara handphone berdering. Tak bersemangat diambilnya handuk
yang menggantung di atasnya. Setelah mematikan shower, ia lalu keluar kamar
mandi.
“Hallo!! Rang?!!”
“Apa?” jawab Rangga sambil
mengeringkan rambutnya dengan handuk.
“Loe dimana?”
“Di apartemen. Ada apa sih,
Ndin??”
“Kayaknya loe nggak bisa ke rumah
malam ini. Papa masuk rumah sakit.”
Eh?
“Sekarang gue di Rumah Sakit
Dharmawangsa. Darah tinggi Papa kumat.”
“..........”
“Rang??”
“I-iya. Oke! Gue ke sana!!”
*************
Tak ada jalan yang tidak menikung.
Tak ada yang selurus benang. Meski matahari tak pernah membelok. Tapi, takdir
manusia selalu berliku. Seperti akar Flamboyan, kaku dan menelusup.
“Kamarnya nomor berapa??” tanya
Tante Yudith di sela langkah kakinya yang cepat.
Rangga tidak menyahut. Matanya
nanar membaca nomor kamar yang terpasang di tiap pintu. Mama dan papanya
semakin menambah riuh dengan terus menanyakan letak kamar dan beragumen tentang
kondisi calon besannya.
Sampai di kamar bernomor 115,
Rangga menghentikan langkahnya. Ia menahan nafas. Dipegangnya kenop pintu.
Begitu terbuka, dipersilakannya Tante Yudith dan Om Rully masuk terlebih
dahulu.
Suasana sunyi senyap menyambut
begitu mereka sampai di dalam kamar. Andin duduk di sofa. Om Budy duduk
bersandar di atas ranjang. Di sampingnya, istrinya duduk dengan sepiring irisan
buah apel.
Spontan Tante Melly berdiri.
Disambutnya Rangga dan kedua orang tuanya. Sebentar saling berbasa-basi.
Menanyakan kabar dan kedatangan mereka di Jakarta.
“Pak Budy gimana keadaannya? Sudah
membaik?” tanya Om Rully.
“Tensinya sudah menurun. Sudah
baikan. Parahnya ya tadi sore pas baru kumat. Tapi sekarang kata Dokter sudah
membaik.” Sahut Tante Melly mewakili suaminya.
“Kalau sudah urusan darah tinggi
memang repot. Banyak pikiran sedikit saja bikin masalah.” Tambah Tante Yudith.
“Benar. Apalagi kalau yang bikin
pikiran adalah orang dekat.” Sahut Om Budy tiba-tiba. Matanya melirik Rangga
tajam.
“Pa?” tegur Tante Melly.
“Kadang nggak sadar adabnya.
Kepintaran bukan untuk menyerang orang lain.” Om Budy masih berkata-kata.
Om Rully, Tante Yudith dan Tante
Melly terdiam. Andin bangkit dari duduknya. Keempatnya memandangi Om Budy.
Hening. Suasana terasa mencekam. Di sudut yang lain, Rangga berdiri tegang.
“Bukan masalah dekat apa jauh.
Yang namanya kebenaran tetap harus ditegakkan.” Tiba-tiba Rangga menyahut.
“Rangga?” tegur Tante Yudith.
“Aha... Capek ya pasti baru datang
dari jauh. Mari silakan duduk. Silakan di sini! Mau kopi apa teh?” potong Tante
Melly. Bermaksud mencairkan suasana. Tapi kebekuan antara Rangga dan Om Budy
semakin mengeras.
“Pintarnya...” sindir Om Budy.
Rangga menarik nafas panjang,
“Saya tahu Om marah karena masalah tadi. Tapi...”
“Marah? Hahahaha!” Om Budy tertawa
lepas, “Kamu pikir saya marah? Hanya karena dijegal oleh bocah kayak kamu?”
“Pa! Udah, Pa!!” lerai Tante
Melly. Dipegangnya pergelangan tangan suaminya.
“...Yang tiba-tiba datang di
tengah kasus dan membolak-balikkan keadaan!”
“Ini jadinya kalau soal kebenaran
dicampur dengan uang. Dibayar oleh orang lain bukan berarti Om harus
terus-terusan membela orang itu!”
“RANGGA!!!” bentak Andin.
Rangga menutup bibirnya.
Dikedipkannya matanya. Sejenak mengumpulkan kesadaran. Di depan sana,
dilihatnya Om Budy duduk dengan wajah merah padam.
Andin meraih tangan Rangga.
Bermaksud menyeretnya keluar untuk mendinginkan suasana. Terserah apapun
masalah yang muncul di antara Rangga dan papanya.
“Andin!!” tiba-tiba Om Budy
mencegat Andin.
Andin menoleh.
“Duduk!!”
“Tapi, Pa!!”
“Buat apa kamu ngajak dia keluar?
Biar dia keluar sendiri!”
Eh?
Denting jam di dinding menggaung
bak suara genderang. Berdetak. Tapi terasa memekakkan telinga. Menyulut api
yang membara kian membesar. Dengan serta merta Om Rully mencengkeram tangan
Rangga. Dia lalu melangkahkan kakinya keluar. Diikuti Tante Yudith dari
belakang. Ketiganya keluar tanpa suara.
Andin mengantar kepergian Rangga
dan kedua orang tuanya dengan wajah meringis. Ingin mencegahnya. Tapi tatap
mata papanya terasa merantai kedua kakinya.
Sepi.
Om Budy merebahkan tubuhnya.
Dibenarkannya letak selimutnya. Dia lalu memejamkan mata. Tante Melly
memundurkan langkahnya. Dia lalu duduk di kursi di samping suaminya. Tak ada
yang bersuara. Denting jam masih mendominasi di udara.
“Kenapa Papa ngusir mereka? Mereka datang
jauh-jauh ke sini untuk nengok Papa!!” protes Andin emosi.
“Besok-besok kalau Papa sakit,
kamu nggak usah telpon-telpon mereka lagi.”
“Pa!!!”
“Dan, mending, mulai sekarang,
kamu nggak usah ketemu-ketemu Rangga lagi.”
“Maksud Papa apa?!!”
“Andin! Udah! Papa kamu masih
sakit!!” cegah Tante Melly.
Andin menggigit bibirnya. Matanya
menatap tajam ke arah Papanya. Hatinya berontak. Tapi mulutnya dipaksa diam.
Air matanya lalu merembes. Menggenang seperti telaga.
Andin menghentakkan kakinya. Ia
berlari ke luar kamar. Sangat kencang. Beriringan dengan degub jantungnya yang
tidak beraturan.
*************
“Ciaaaattt!!!”
“Heeyyaaahhhhhh!!!”
Buaggh!!
“Adaw!!!”
“Loe berdua kalo mau berantem di
luar sana!!” bentak Rafael sambil mengacungkan gulungan koran ke arah Bisma dan
Reza.
“Ini buat syuting entar, Coh!!
Kita lagi latihan!!” bela Reza.
“Bodo amat! Di luarr!!!” Rafael
mulai kehabisan kesabaran. Terang saja, kamar mereka sudah menjadi langganan
security. Tiap hari selalu ditegur karena ramenya kayak terminal.
Bisma dan Reza manyun. Keduanya
lalu merapatkan kaki setelah sebelumnya bergaya ala Jet Li mau kungfu.
“Loe mau sampe kapan molor
terus?!! Buruan siap-siap!!” kali ini giliran Rangga yang disemprot Rafael.
Rangga acuh. Masih dengan sandal selop dan
rambut acak-acakan, ia lalu duduk di sofa. Lesu. Tak ada semangat sama sekali.
Matanya kosong menatap dinding.
Rangga lalu mengambil remot TV.
Belum sempat dia menekan tombol power, tiba-tiba Bisma melompat ke arahnya.
“JANGAN DINYALAIN!!!” teriak
Bisma.
“Loe apa-apaan, sih?!!” balas
Rangga ketus. Tangannya mendorong muka Bisma menjauh. Ditekannya lagi tombol
power, tapi sekali lagi Bisma mencoba menghentikannya. Dari sisi lain, Ilham
datang.
“Ambil, Ham!! Ambil!!” perintah
Bisma. Kepalanya terjepit lengan Rangga.
Ilham maju. Ia mulai memasang
kuda-kuda.
“Kampret!!” Rangga mulai emosi. Dia
bangkit. Ditendangnya Bisma sampai terjatuh dari sofa. Ilham mengeluarkan jurus
kemponya. Dari belakang, dijepitnya leher Rangga.
“Sekarang!! Ambil!!” teriak Bisma.
Reza berlari. Tujuannya adalah
remot TV yang ada di tangan Rangga.
Rangga cengo. Terlepas dari
tingkah gila kawan-kawannya, Rangga sekarang sedang tidak nafsu untuk bercanda.
Hatinya gundah. Ingin ketenangan.
“Sialan!” umpat Rangga.
“Ambil remotnya!!!” teriak Bisma.
“Loe kenapa, sih?!!”
“Kasih ke gue remotnya
sekarang??!!”
“Loe bisa nggak sih sehari aja
nggak gangguin orang?!!”
“Lepasin dulu remotnya!!”
“Gue mau nonton TV!!”
“Jangan!!”
“Kampret!!”
Rangga gregetan. Ditekannya tombol
power.
TV Menyala. Bisma bengong. Reza
mangap. Ilham melongo.
“Kedekatan Rangga ‘SMASH’ dan Eriska Rein kian lama kian terkuak.
Keduanya tak segan-segan menunjukkan kemesraan di lokasi syuting. Baru-baru ini
keduanya dikabarkan...”
Jlekkk!
Rafael mencabut kabel TV dari stop
kontak. Seketika layar TV menghitam. Hening. Rangga masih memandangi layar TV
yang sudah mati tanpa berkedip.
Tiba-tiba terdengar suara pintu
dibanting. Dicky keluar meninggalkan kamar.
“Elo, sih! Udah gue bilang jangan
nyalain TV!” seloroh Bisma.
Rangga memandangi pintu apartemen
yang tertutup rapat. Hatinya menimbang-nimbang. Dia lalu berlari menyusul
Dicky.
“Ranggaaaa!!!” panggil Reza.
Rangga tidak menoleh. Hatinya
kukuh untuk mengejar Dicky.
“Rangga!! Loe belum pakek
bajuuuuu!!!”
Rangga menghilang di balik pintu.
Terdengar lari kakinya yang cepat. Matanya mencari-cari keberadaan Dicky. Belum
sampai semenit dia keluar dari apartemen. Mungkin di parkiran.
“Dick!!” panggil Rangga.
Dicky berhenti tepat di depan
mobilnya. Dia menoleh, “Apa?” jawabnya singkat.
Rangga diam. Dia bingung harus
memulai dari mana.
Dicky bersiap masuk ke dalam
mobil.
“Gue nggak ada apa-apa sama
Eriska! Yang loe lihat tadi di TV itu nggak bener!!”
“Udah sepuluh kali loe bilang gitu
ke gue!” timpal Dicky sinis.
“Ayolah! Loe marah sama temen loe
sendiri cuman karena cewek?!”
“Mestinya gue yang ngomong gitu ke
elo!! Loe nikung cewek temen loe sendiri!!”
Rangga menghela nafas, “Gue udah
muak sama loe!! Loe kayak anak SMP, ngerti nggak?!! Kekanak-kanakan!! Ngambek,
marah, cuman karena cewek??! Lagian gue lihat selama ini loe nggak gerak sama
sekali! Loe bilang loe mau dapetin Eriska, tapi apa buktinya?!! Loe cuman
diem!!”
Dicky melangkahkan kakinya ke
depan. Selangkah demi selangkah. Begitu sampai tepat di depan Rangga,
dilayangkannya tinjunya ke wajah Rangga.
Rangga oleng ke belakang. Wajahnya
menyeringai.
“Gue nggak pernah bisa dapetin
Eriska, karena tiap kali gue ada di dekat dia, yang dia omongin cuman elo!!
Brengsek!!!”
--------------------------
BERSAMBUNG KE PART 11
Next kak, penasaran ceritanya, keren banget kak, kaya nyata
BalasHapusOhh... Jadi Andin takut bapaknya, anak yang baik... #wks
BalasHapusTapi kasian hubungannya Andin-Rangga, jangan-jangan nanti, eh besok, eh tergantung dilanjutnya kapan, putus. Trus Rangga bisa sama Eriska, tapi Dicky gimana? Andin sama Rangga jadi canggung juga, dong? Om Budy sih, membela orang demi uang, meskipun orang itu salah. #jangandicontoh
Oh iya, harusnya Dicky suruh maju. Tapi itu juga salah Eriska, dia nggak ngertiin Dicky. Tapi nggak apa, tetep semangat Dicky! Ganbatte!
Udahan ya, Kak? Capek ngetiknya... Dadah..!!! *lambaitangankekamera*
(Alifa Yunia Rizky)