16 Oktober 2014

[Cerbung SMASH] "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" SEASON 2 / Part 11

Title          : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season    : 2
Author       : @ariek_andini (adm4)
Genre        : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast          : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...

Jadwal kuliah menggila... resiko juga jadi asdos... ini nyari selingan waktu buat posting cerbung aja sulitnya naudubileh......

-------------------------------------

             Dicky melangkahkan kakinya ke depan. Selangkah demi selangkah. Begitu sampai tepat di depan Rangga, dilayangkannya tinjunya ke wajah Rangga.

             Rangga oleng ke belakang. Wajahnya menyeringai.

             “Gue nggak pernah bisa dapetin Eriska, karena tiap kali gue ada di dekat dia, yang dia omongin cuman elo!! Brengsek!!!”

             Rangga mengusap pipinya yang memar. Dari belakang, terdengar hiruk pikuk Bisma, Reza, Ilham dan Rafael berlari.

             Dicky memundurkan langkahnya. Matanya masih menatap tajam ke arah Rangga. Dia lalu membuka pintu mobilnya. Dinyalakannya mobilnya. Lalu dalam hitungan detik, Dicky tancap gas.

             “Loe nggak apa-apa?” tanya Rafael.

             Rangga berdesis. Matanya liar menatap jalanan. Kacau. Otaknya terasa ditekan dari segala sudut. Muak melihat gosip murahan yang tiap hari makin menjadi-jadi. Benaknya lalu tertuju pada satu orang. Satu orang yang menambah rancu keadaan.

             “Om mau sampek kapan main gosip-gosipan kayak gini??!” bentak Rangga di depan Om Suryo. Hatinya benar-benar tidak tahan. Persetan dengan rating. Jika bisa, dia akan keluar dari sinetron itu.

             “Kamu ngomong apa?” tanya Om Suryo kaget.

             “Saya kan udah bilang, saya nggak ada hubungan apa-apa sama Eriska. Nggak ada cinlok-cinlokan!! Tolong Om stop ngomong yang enggak-enggak ke wartawan!! Yang jadi korbannya itu saya!!”

             Om Suryo melepas cerutu dari mulutnya, “Sejak Andin masuk ke dalam casting, Om udah nggak pernah gosipin kamu sama Eriska.”

             Eh?


             Rangga bungkam. Benar. Selama ini, infotaiment dipenuhi beritanya dengan Andin yang main dalam satu sinetron. Ditambah kabar pertunangannya dengan Andin. Jika tiba-tiba media beralih pada gosipnya dan Eriska, itu berarti....

             ************

             “Gue udah nemuin tempat pesen cincin yang bagus! Ada di daerah Menteng. Loe bisa pesen desainnya dulu. Ini nomor telponnya.” Jelas Bisma sambil menyerahkan selembar kartu.

             Tak ada respon. Rangga masih duduk bersandar tanpa semangat. Matanya memandangi sutradara dan kameramen di depan sana.

             “Loe habis diomongin apa sih sama Om Suryo?!!” tanya Bisma. Rangga makin kelihatan suram setelah tadi menemui Om Suryo di ruangannya.

             “Loe mau apa enggak? Ini ambil kartu namanya!!” kata Bisma. Tangannya menyodorkan kartu nama makin ke atas.

             “Nggak tahu, Bis...”

             “Hah?” Bisma keheranan, “Heh, monyet! Pesen cincin mana bisa seminggu jadi! Loe bilang mau tunangan sama Andin 10 Maret kan?!! Buruan loe pesen sekarang!!”

             “Loe bawel banget, sih!! Kayak emak gue!! Gue bilang gue nggak tahu!!” semprot Rangga.

             Bisma mengerutkan dahinya. Nggak tahu? Dia yang mau tunangan dan dia malah bilang nggak tahu?

             Rangga meremas kepalanya. Pening. Jika saja kepala bisa dilepas dan dititipkan ke penitipan barang, dia akan melakukannya sekarang juga. Sangat berat. Dia bisa merasakan kepalanya sudah seberat Gunung Krakatau. Andin, Om Budy, Dicky, Eriska, semua berputar jadi satu. Menekannya dari segala arah.

             Rangga lalu meraih handphonenya. Tangannya menggeser-geser riwayat panggilannya. Sejak tadi pagi Andin tak ada di lokasi syuting. Kemana dia?

             “Rangga! Giliran loe!!” teriak Sutradara.

             Dengan lesu Rangga beranjak dari duduknya. Eriska telah berdiri di set. Sutradara nampak berbicara dengannya. Tangannya menunjuk-nunjuk kertas script.

             “Sesuai skenario saja! Cuma sebentar!” ucap Kiki, sang sutradara.

             Eriska diam menunduk. Wajahnya tersembunyi di balik rambutnya yang tergerai.

             “Nanti ciumannya setelah dialog selesai.” Lanjut Kiki sambil menepuk pundak Rangga. Dia lalu berjalan ke belakang kamera.

             Ah, iya. Adegan ciuman. Simpel saja. Rangga dan Eriska beradegan romantis. Mereka saling membuka diri karena sebuah pertengkaran. Lalu Eriska mencium pipi Rangga.

             Action!

             “Kakek Usman membatalkan kepergian aku ke Amsterdam. Sekarang perusahaan itu udah aku lepas. Kita bisa bersama lagi.” Ucap Rangga.

             Eriska tersenyum. Matanya berlinangan air mata.

             “Kamu mau maafin aku, ‘kan?” lanjut Rangga.

             Tiga kamera menyorot Rangga dan Eriska dari tiga sudut. Sutradara serius mengamati gambar di layar di depannya.

             Rangga mendekatkan dirinya ke hadapan Eriska. Diraihnya tangan Eriska. Sejenak keduanya hanya saling pandang. Rangga mengamati bola mata Eriska lekat-lekat. Berusaha meyakinkan ia dengan pengakuannya barusan.

             Pelan tapi pasti, Eriska lalu mengangguk, “Iya....” jawabnya.

             Rangga berbinar. Dipeluknya Eriska erat. Sekian detik kemudian, sesuai arahan dari sutradara, Eriska melepas pelukan Rangga. Diraihnya pipi Rangga.

             Rangga terdiam. Eriska mendekatkan wajahnya. Tapi kemudian tangannya membelokkan wajah Rangga. Bukan pipi Rangga yang ia cium, melainkan bibir Rangga.

             Sutradara terdiam. Seluruh kru melongo. Pun demikian dengan pemain-pemain lain. Suasana syuting seketika hening. Seluruh pasang mata tertuju pada Rangga dan Eriska.

             Sekian detik Rangga bengong. Tubuhnya mematung. Butuh waktu sampai kesadarannya kembali. Dipegangnya pundak Eriska. Lalu dijauhkannya wajah Eriska.

             “Mampus~... Kena KPI nih....” gumam Ilham.

             Tanpa menunggu aba-aba ‘cut’ dari sutradara, Rangga keluar dari depan kamera. Ia berjalan meninggalkan Eriska sendirian. Wajahnya tegang. Jantungnya berdegub tak karuan.

             Suasana masih hening. Terasa beku. Kini tiap orang yang ada di sana berganti melihati Rangga yang berjalan menuju ruang ganti. Langkahnya terlihat janggal.

             “Rangga~...” panggil Eriska begitu Rangga sampai di dalam ruang ganti.

             Tak ada respon. Rangga masih berdiri membelakangi Eriska.

             Sepi. Tak ada yang membuka suara. Eriska masih memandangi punggung Rangga. Ia memberanikan diri mengejar Rangga sekalipun tak tahu apa yang harus ia katakan.

             “Loe.... yang nyebarin berita itu ke wartawan?” tanya Rangga tiba-tiba.

             Eriska gelagapan.

             “Kenapa?” kejar Rangga.

             Eriska balas menatap Rangga, “Itu bukan berita. Apa yang gue katakan ke wartawan... itu benar...”

             “Maksud loe?!” Rangga membalikkan badannya, “Loe nggak sadar apa yang loe lakukan, ha?!! Keributan kayak gitu di media massa akan bikin kita dalam masalah!!”

             “Masalah apa?” potong Eriska.

             Rangga terdiam.

             “Gue sayang sama loe....”

             “Enggak!!” Rangga memundurkan kakinya, “Kita nggak bisa kayak gini!!”

             “Gue tahu loe udah punya pacar?!! Kita bisa melakukannya diam-diam!!”

             “ENGGAK!!” bentak Rangga.

             Eriska mengatupkan bibirnya.

             Nafas Rangga mulai tersengal-sengal. Otaknya tak habis pikir. Eriska pasti salah paham. Baru kemarin ia membantu Eriska yang terjerat masalah pelik dengan Pak Bunawar. Eriska berhasil melepaskan diri dari vonis hakim berkat dirinya. Dan mungkin ia salah mengartikan.

             “Apa yang loe takutin?” sergah Eriska.

             “Loe nggak ngerti!”

             “Apa karena Dicky?!!”

             Eh?

             “Karena dia temen loe makanya loe nggak berani berhubungan dengan gue?!” Eriska melangkahkan kakinya. Kian lama kian dekat dengan Rangga, “Gue nggak punya perasaan apapun sama dia! Gue dan Dicky cuma masa lalu! Gue selama ini cuma diem. Yang ada di hati gue, cuma loe, Rangga...”

             Rangga menggeleng. Nafasnya masih memburu. Lidahnya kelu. Entah harus bagaimana lagi menanggapi Eriska. Gadis itu berdiri di depannya seperti kehilangan kesadaran.

             Merasa kalut. Rangga meraih tasnya. Ia lalu berlari meninggalkan ruang ganti. Tak diindahkannya lagi Eriska yang memanggil-manggil namanya dan berusaha mencegatnya.

             “Loe mau kemana?!!” cegat Bisma di pintu keluar.

             “Pergi!” jawab Rangga singkat. Ia makin mempercepat langkahnya.

             “Syuting loe belum selesai! Woooy!! Ranggaaaa!

             Rangga menghilang di balik tikungan. Masa bodoh dengan syuting. Gila!! Rasanya tiap orang yang ia temui hari ini sudah gila! Bahkan untuk seorang gadis kalem semacam Eriska. Kelakuannya benar-benar membuat otaknya jungkir-balik.

             Sampai di pintu masuk parkiran, Rangga menghentikan langkahnya. Matanya lekat menatap tanah. Mau kemana? batinnya. Ia tak punya tujuan. Jika dia masuk ke dalam mobil, lalu ia akan kemana?

             “Sialan!!” umpat Rangga. Sebelah tangannya meremas kepalanya. Otaknya kacau.

             “Rangga...” panggil seseorang dari belakang.

             Rangga terhenyak. Suara yang tidak asing lagi di telinganya.

             “Andin?”

             Andin berdiri di balik pintu mobilnya yang terbuka. Sebelah kakinya masih berpijak di dalam mobil. Andin menelengkan kepalanya. Mengisyaratkan Rangga untuk masuk ke dalam mobilnya.

             Rangga menurut. Dengan hati-hati ia berjalan menuju mobil Andin. Sekali lagi terasa tegang. Udara yang menyelubungi mobil Andin terasa menyayat-nyayat kulitnya.

             Sejenak setelah Rangga duduk di jok di samping Andin, suasana mobil sunyi senyap. Andin menatap lurus ke depan. Mengamati sedan hitam yang terparkir di depan mobilnya. Sementara Rangga duduk bersandar di sampingnya. Masih berusaha mengatur nafas.

             Masih hening. Sama-sama terdiam. Tapi keduanya sama-sama memutar ulang memori otak ke beberapa jam lalu. Jam dimana Rangga dan Om Budy saling menatap tajam. Saling melontarkan kalimat setajam belati. Iya, tak ada lagi yang mengusik mereka selain kejadian itu.

             “Loe nggak ke dalam?” tanya Rangga mengalihkan.

             “Gue udah berhenti.”

             Rangga menghela nafas.

             “Loe dan papa.... ada apa?” tanya Andin.

             Rangga menoleh. Sudah ia duga Andin akan bertanya demikian. Tapi entahlah, masih sempat-sempatnya ia terkejut untuk sebuah pertanyaan yang sudah lama dia pikirkan.

             “Bener, loe ngalahin dia di persidangan final Om Bunawar dua hari lalu?”

             Rangga terhenyak. Andin langsung mengerucut pada persidangan. Dia sudah tahu?

             “Papa loe yang bilang?” Rangga balik bertanya.

             Andin mendesis, “Nggak penting gue tahu dari siapa! Jawab pertanyaan gue!!” Andin mulai kehabisan kesabaran.

             “Maaf...”

             “Maaf?!! Loe pikir ini bisa selesai dengan maaf dari loe?!! Loe udah bikin semuanya berantakan!!!”

             Rangga terdiam.

             “Loe bilang loe nggak mau jadi pengacara. Loe bilang loe udah nggak ngerti hukum. Tapi apa yang loe lakuin sekarang, ha?!! Loe ikut campur persidangan orang lain, bikin calon mertua loe sendiri jatuh!! Loe senang sekarang?!!”

             “Loe pikir gue ngelakuin ini karena senang?!! Kasus itu penuh kecurangan, Ndin!! Bunawar melakukan hal busuk di depan mata gue sendiri!! Mana bisa gue diam aja!!”

             Andin tersenyum masam, “Ya iya lah... ceweknya dalam masalah, ya pasti dibantu”

             “Eh....”

             “Siapa yang nggak sedih kalau pacarnya terancam denda dua milyar...”

             “Ini nggak ada hubungannya sama Eriska!! Gue masuk ke dalam kasus itu karena gue pengen menunjukkan kebenaran pada hakim!! Loe nggak usah seret-seret dia!”

             “Bagus!! Terus aja bela dia!!”

             “Mau sampai kapan loe terus-terusan berprasangka buruk sama orang lain?!!”

             “Sampai kamu berhenti bikin aku muak dengan berita-berita yang muncul di luar sana!” balas Andin lantang. Nafasnya tidak beraturan, “Aku berusaha mati-matian menahan diri sementara kamu dan Eriska terus-terusan diberitain di televisi! Aku harus berpura-pura tersenyum di depan orang lain saat mereka nanyain kamu ke aku!! Rangga kenapa!! Dia sama Eriska beneran apa enggak!! Terus aku gimana!! Sakit, Rang!! Kamu nggak ngerti seberapa keras aku nahan selama ini!!”

             Rangga bungkam. Dia menatap Andin yang mulai bermandikan air mata. Andin mulai menggunakan aku-kamu padanya. Sesuatu yang jarang terjadi. Kecuali dalam keadaan yang benar-benar menjepitnya.

             “Kamu bilang itu cuman bikinan produser untuk menaikkan rating! Aku cuman bisa nurut! Sampai kamu ngajak aku tunangan! Aku kira dengan pertungan itu gosip berengsek itu akan berakhir!! Tapi kamu lihat apa yang terjadi sekarang! Kamu ngerusak semuanya!! Kamu ngerusak janji kamu sendiri!!”

             “Ndin...”

             “Jangan mendekat!” tukas Andin saat Rangga berusaha merengkuh pundaknya, “Kayaknya emang aku yang goblok!! Sekeras apapun aku berusaha berubah! Sekeras apapun aku mengubah diri untuk jadi cantik! Aku tetep kalah dari dia, iya kan?”

             “Ini pasti bisa diperbaiki! Aku akan perbaiki semuanya!”

             “Gimana?? Dengan kamu datang ke papa dan meminta maaf, begitu?”

             “.............”

             “Papa marah besar, Rang. Selama karirnya sebagai pengacara, baru kali ini dia kalah di persidangan. Dan itu tepat saat dia memegang kasus Om Bunawar, orang yang sangat mempercayai dia dan berperan besar di keluarga aku.”

             Rangga tertegun.

             “Papa.... nyuruh aku mutusin kamu....”

             Hah?

             “Dia nggak mau lagi ketemu kamu... dia udah nggak ngerestuin kita.” Kian lama suara Andin kian lirih. Lalu menghilang di penghujung kalimatnya. Saat mulut tak kuasa berkata-kata, hanya mata yang mampu bersuara. Air mata Andin luruh di pipinya. Mengalir membentuk garis bening.

--------------------------------

BERSAMBUNG KE PART 12

2 komentar:

  1. Sensoorrr!! gue masih 13 woyy!!
    Tapi asik banget part ini.. LANJOOOTTT...

    BalasHapus
  2. Kak, aku masih 13 tahun... #hmm
    Kasian Andin. Sumpah, kalo aku jadi Andin, pasti rasanya nyesek. Part ini nggak ada yang lucu, semua tegang, sedih, dan nggak ada senengnya. Kenapa Eriska harus suka sama Rangga? Dia kan, udah nikah! #eh
    Trus Dicky gimana, kalo dia tau pasti... </3 #kretek
    Andin pasti udah cinta banget sama Rangga, sampai nangis-nangis kayak di sinetron yang dibilang alay sama dia.
    Rangga nggak peka, dia berarti bukan manusia, karna manusia peka terhadap rangsangan!!! #asahgolok #bunuhRangga
    Ilham bener, pasti kena KPI KALO ditayangin, KALO ya? Tapi enggak mungkin, ini cuma cerita. #tibatibakangenCCC
    Rangga, belajarlah peka.
    Dicky, belajarlah dewasa.
    Andin, belajarlah tabah.
    Eriska, JANGAN REBUT PACAR ORANG.
    Okey, Kakak. #dadah #babay #muahmuah :* :* (Alifa Yunia Rizky)

    BalasHapus