17 Oktober 2014

[Cerbung SMASH] "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" SEASON 2 / Part 12

Title          : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season    : 2
Author       : @ariek_andini (adm4)
Genre        : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast          : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...

Terima kasih buat yang masih setia baca cerbung aing..... Heart you all!!
---------------------------------

             “Papa marah besar, Rang. Selama karirnya sebagai pengacara, baru kali ini dia kalah di persidangan. Dan itu tepat saat dia memegang kasus Om Bunawar, orang yang sangat mempercayai dia dan berperan besar di keluarga aku.”

             Rangga tertegun.

             “Papa.... nyuruh aku mutusin kamu....”

             Hah?

             “Dia nggak mau lagi ketemu kamu... dia udah nggak ngerestuin kita.” Kian lama suara Andin kian lirih. Lalu menghilang di penghujung kalimatnya. Saat mulut tak kuasa berkata-kata, hanya mata yang mampu bersuara. Air mata Andin luruh di pipinya. Mengalir membentuk garis bening.

             Rangga lalu meraih kepala Andin. Disandarkannya di dalam dekapannya. Tak banyak yang bisa ia lakukan. Membela diri pun tak mampu. Semua yang Andin katakan benar. Dia membuat semuanya berantakan. Porak poranda. Tiap rencana yang dia susun hancur berkeping-keping.

             “Aku nggak mau itu terjadi. Aku nggak mau putus dari kamu~...” isak Andin.

             “Sssstt.... tenang! Aku akan hadapi semua...” jawab Rangga. Tegar. Atau berpura-pura tegar. Dia bahkan tidak tahu apa yang akan dia lakukan setelah ini.

             Andin sesenggukan di pelukannya. Saat berada dalam masalah, dia lebih sering meluapkannya dengan emosi dan bentakan. Jika air matanya sampai menetes, bukan lain selain hatinya yang tak mampu lagi melogika.


             “Udah... jangan nangis. Ntar Jakarta banjir. Kasihan Ahok...” canda Rangga. Dielusnya kepala Andin.

             “Monyet!” balas Andin.

             *************

             Sutradara berjalan tak tentu arah di dalam lokasi syuting. Sesekali dia menengok ke luar. Begitu Bisma datang, langsung dihampirinya dengan tergesa-gesa.

             “Rangga?” tanya Sutradara.

             Bisma menggeleng. Dia kembali ke lokasi syuting sendirian. Rangga terlanjur pergi meskipun dia sudah berteriak-teriak mencegahnya.

             “Terus ini gimana??!! Emangnya dia kemana??!”

             “Nggak tahu!” jawab Bisma. Jengkel juga rasanya. Yang ngilang Rangga, yang kena omel malah dia.

             Sutradara membalikkan badan. Tangannya berkacak pinggang. Hampir gila rasanya memikirkan aktor tukang ngilang satu itu. Banyak bagian Rangga yang belum rampung. Dan dia malah sirnah di tengah-tengah proses syuting.

             Sutradara memanggil salah satu krunya. Diteriakinya kameramen di depannya. Ia lalu berganti memanggil-manggil Rafael dan Reza. Kekacauan dimulai. Ketika salah satu pemeran tak ada, pengambilan scene akan melompat-lompat.

             Tak jauh dari keramaian itu, di dalam kamar ganti, Eriska duduk menyangga di atas bangku. Rambut hitamnya menutupi separuh wajahnya. Nafasnya berat. Bahkan terdengar dari kejauhan. Nafas yang mengandung isakan.

             “Berhenti...” ucap Eriska tiba-tiba.

             Sosok bayangan di belakang Eriska menghentikan langkahnya. Tangannya yang semula terbuka hendak membelai Eriska, kini terkepal. Urung begitu saja menerima tolakan dingin dari Eriska.

             “Kamu nggak apa-apa? Aku anterin pulang, ya...” ujar Dicky kemudian. Suaranya sayup-sayup.

             “Mau sampai kapan?”

             “.........”

             “Gue bilang mau sampai kapan??!” bentak Eriska. Dia bangkit dari duduknya. Rambutnya tersibak. Kini jelas bola matanya yang memerah, “Gue udah bilang kita nggak mungkin balikan!! Udah gue bilang jauhin gue!!”

             Dicky memalingkan wajahnya. Diam seribu bahasa.

             “Berhenti bersikap baik ke gue!!”

             “Eris....”

             Kebisingan kesibukan syuting menembus hingga ruang ganti. Terkadang tirainya tersibak. Menampilkan celah kru syuting yang lalu lalang. Eriska menghela nafas panjang. Tak ingin meluapkan emosinya di lokasi syuting, ia lalu pergi meninggalkan Dicky. Yang bahkan tak sempat mencegah kepergiannya.

             Mungkin Nirwana akan menyalahkannya. Bodoh. Seperti iblis. Ia mengejar-ngejar orang lain sementara ada pemuda lain yang selalu memperhatikannya. Dicky mengawasi kepergian Eriska dari belakang. Wajahnya lugu, seperti biasa. Seolah bisa mengiris hati tiap orang yang melihatnya. Kadang hatinya gundah. Ingin menghentikan aksinya mengejar-ngejar Eriska. Tapi hatinya yang lain sudah mati rasa. Berkali-kali disakiti, berkali-kali pula mendekati Eriska.

             “Scene loe udah habis, loe nggak pulang?” tegur Reza. Dihampirinya Dicky yang berdiri seperti patung di dalam ruang ganti.

             Dicky menggelengkan kepala.

             Reza menepuk pundak Dicky, “Nggak ada usaha yang berjalan mulus. Sabar~...” ujarnya kemudian. Mengerucut tepat di titiknya.

             “Mungkin gue harus berhenti...”

             Reza tertegun. Dicky membalasnya dengan senyuman.

             “Gue kayak bajingan, iya nggak sih? Ribut sama temen sendiri cuman gara-gara cewek.”

             “Kalo gitu, gue lebih bajingan daripada loe.” Balas Reza kemudian. Ia lalu melipat tangannya di depan dadanya. Terbesit pertengkaran-pertengkarang pelik dirinya dan Rangga setahun lalu. Ah, iya, demi Ola. Waktu itu, dia hilang kesadaran, sama seperti Dicky.

             “Kejar dia selama loe bisa. Kalau nggak bisa, jangan pergi. Seenggaknya, loe ada di samping dia...” pungkas Reza sambil tersenyum penuh kemenangan. Entahlah, siapa yang lebih bajingan dari siapa, senang juga bisa menang.

             **********

             Masih di parkiran mobil di studio syuting, Rangga dan Andin duduk saling menyandarkan kepala. Capek setelah sebelumnya saling berteriak. Kini berada di titik nol. Memikirkan apa yang harus dilakukan setelah ini.

             “Aku akan pikirin cara untuk ngomong ke papa kamu. Kamu pulang aja sekarang. Aku anterin...” ucap Rangga.

             “Enggak!” Andin menegakkan kepalanya, “Aku pulang sendiri. Kamu nggak bisa nganterin aku pulang. Papa akan marah kalo tahu aku nemuin kamu!”

             “Aku akan hadapi!”

             “Rang!!!”

             “Cepat atau lambat, aku harus menghadapinya, iya kan? Aku akan bicara sama papa kamu. Aku akan minta maaf.”

             Terlukis keraguan di wajah Andin. Berfikir dalam diam. Menimang-nimang ucapan Rangga.

             “Udah, jangan takut. Om Budy di rumah kan? Kita berangkat sekarang.” Pungkas Rangga, mengisyaratkan Andin untuk segera menyalakan mobil.

             Andin menurut. Diputarnya kunci mobil. Mesin mobil menyala. Pelan ia membelokkan mobil. Meninggalkan parkiran menuju rumahnya. Di sampingnya, Rangga duduk menatap kaca spion. Berpura-pura tenang sementara jantungnya berdebur seperti ombak tsunami. Otaknya bingung mencari kalimat apa yang akan dia ucapkan pertama kali di depan Om Budy. Say hello seperti biasa? Menyapa seperti tidak terjadi apa-apa? Atau tiba-tiba sungkem sambil nangis?

             “Kita ke Hypermart dulu...” ucap Andin tiba-tiba. Dia membelokkan mobil ke sebuah toserba.

             “Untuk?” tanya Rangga.

             “Kamu nggak mungkin nemuin Papa dengan tangan kosong, ‘kan?” jawab Andin. Sekedar pemanis. Sekilo jeruk mungkin cukup untuk papanya yang mengidap darah tinggi.

             Andin keluar dari mobil sementara Rangga tetap duduk di dalam mobil. Sebenarnya ia tak suka dengan suasana parkiran yang berbau oli dan sepi. Tapi mau gimana lagi. Mana mungkin dia berkeliaran di tempat umum tanpa pengawalan. Terakhir dia muncul di rumah makan dulu, dia diserbu fansnya.

             Untuk mengusir suasana sepi, Rangga menyalakan music player. Matanya lalu bergerilya ke penjuru mobil Andin. Tanpa sengaja ia lalu melihat lembaran kertas teronggok di jok belakang mobil. Tergeletak di samping tas ransel yang biasa Andin bawa kemana-mana.

             Rangga mengambil setumpuk kertas itu. Dipilahnya satu demi satu.

             “Titanium.. Coaching... Management...” Rangga mengeja judul yang tertera di kertas itu. Keseluruhannya berbahasa inggris. Paragraf demi paragraf ia simak. Kadang terselip bahasa persuasif yang menggiurkan.

             Rangga mengernyitkan dahinya. Setelah membacanya sekilas, ia menyimpulkan kertas itu berisi promosi pelatihan keartisan oleh sebuah manajemen.

             Titanium Management? Baru dengar...

             Tiba-tiba Andin muncul dari pintu Hypermart. Ia berjalan menuju mobil dengan kantong putih di tangannya. Diletakkannya jeruk yang baru dibelinya itu di jok belakang. Ia lalu duduk di belakang kemudi dan bersiap menyalakan mobil. Wajahnya masih tegang, sama seperti setengah jam lalu.

             Andin lalu melirik Rangga, “Kok rasanya kita me..... Aaaaaagghr!!!” tiba-tiba Andin berteriak.

             Rangga tersentak kaget. Andin tak kalah kaget. Direbutnya kertas yang dipegang Rangga dengan garang.

             “Loe ngapain pegang-pegang ini!!” bentak Andin.

             Rangga melongo, “Nemu di belakang...” jawabnya dengan wajah campur aduk. Baru sepuluh menit lalu Andin berbicara manis padanya dengan panggilan aku-kamu. Ngapa sekarang jadi liar lagi?

             “Enak aja main ambil barang orang!! Dasar Badak Aer!!”

             Dengan tergesa-gesa Andin melipat kertas itu. Disembunyikannya ke balik jaketnya. Wajahnya yang semula tegang makin tegang kayak kawat tembaga. Merah padam.

             “Emang itu pelatihan apa?” tanya Rangga kemudian. Penasaran.

             Andin menjatuhkan kepalanya ke kemudi mobil. Terbongkar sudah! Tamat riwayatnya! Ini yang dia nggak suka kalo ngebiarin Rangga berada di dalam mobilnya tanpa pengawasannya. Tuh Ikan Buntal satu nggak pernah bisa diem. Ada aja yang dia embat kalo lagi nggak ada orang.

             “Loe mau ikutan pelatihan artis??!” tuduh Rangga.

             “Enggak! Enggak tahu!! Tadi gue dapet dari mbak-mbak sales di jalan! Promosi apa gitu...”

             Rangga mengerutkan dahinya. Dapat dari mbak-mbak sales? Brosur? Kalau brosur, kenapa isinya paragraf semua kayak Pembukaan Undang-undang empat lima?

             “Loe bohong!” simpul Rangga.

             Andin menghela nafas. Menahan diri untuk nggak ngelempar Rangga keluar mobil lalu melindas dia dengan ban mobilnya.

             “Gue nemu di internet...”

             Akhirnya jujur juga.

             “Internet?” kejar Rangga. Berusaha mengorek lebih detail.

             “Dari web. Itu manajemen pelatihan artis. Mereka lagi open recruitment.”

             “Pelatihan gimana?”

             “Ya, pelatihan! Pelatihan artis! Loe daftar, terus loe dilatih biar jadi artis yang bener!”

             “Loe mau ikut?” tebak Rangga.

             “Ya, nggak apa-apa kali...”

             “Jadi loe ntar ke Korea?”

             Sebenarnya Rangga baca tuh dokumen sampai seberapa jauh? Kenapa dia bisa tahu kalau pelatihan artis itu dilakukan di Korea?

             “Loe mabok, Ndin?”

             “Diiih! Apa sih!! Itu pelatihannya diselenggarakan manajemen internasional, Rang! Nggak main-main! Ada pelatih profesionalnya. Ntar diajarin acting, styling, public speaking, vocal! Loe sendiri tahu kan banyak artis-artis berbakat dari Korea! Mereka itu ikut beginian sebelum berkarir! Nggak ada salahnya lagi gue ikutan! Gue pengen totalitas jadi entertainer!”

             “Loe udah tahu Titanium Management itu manajemen apa?”

             Andin diam. Penting gitu?

             “Emang loe tahu?” Andin balik bertanya.

             “Gue juga nggak tahu! Baru kali ini denger! Makanya gue nanya ke elo! Loe bilang pelatihannya di Korea, tapi isinya orang China semua! Tomy Huang, Zhao Shu Hai, Chi Ying Chan, Ronny Yu!”

             Andin mangap. Rangga sampai hapal nama-nama pemilik manajemen, sponsor sampai pelatih-pelatihnya. Tuh cowok isi otaknya apa?!! Tape recorder??!

             “Loe jangan macem-macem, Ndin!! paling-paling di sana juga loe diajarin nyanyi! Nah loe udah bertahun-tahun ngeband! Loe nggak bakal kerasan! Loe pikir ikut karantina begitu enak?”

             “Iye, iye! Lagian kan gue Cuma iseng....” Andin beringsut.

             “Iseng! Iseng! Udah tua masih aja kayak anak SMA!”

             “Loe tuh yang tua!!” Andin menyalakan mesin mobil. Bersiap melajukan mobil. Hanya dengan begitu omelan Rangga akan berhenti. Tuh cowok kalo marah omelannya kayak emak-emak, “Lagian loe juga, sih!!”

             “Kenapa jadi gue?!” balas Rangga tidak terima.

             “Ya gara-gara loe deket terus sama Eriska! Dia cantik, pinter akting, anggun, gue pasti kalah dibanding dia, iya kan?!!”

             Mobil mulai bergerak maju. Meninggalkan lapangan parkir Hypermart. Andin fokus mengemudikan mobil. Kalimat terakhirnya ampuh membuat Rangga diam seribu bahasa.

             Gara-gara Rangga? Ah, bisa jadi. Sedikit banyak Andin pasti risau. Kekasihnya digosipkan dengan cewek lain yang lebih cantik dan manis. Tiap hari lalu lalang di televisi. Hingga kemudian tanpa sengaja ia menemukan iklan training artis di internet. Mungkin dari sana dia menemukan jalan keluar untuk masalahnya.

             Rangga memandang ke luar kaca cendela. Matanya sayu. Di dalam hatinya, teronggok rasa bersalah yang perlahan membukit. Gara-gara dia... Gara-gara dia Andin sampai berniat memasuki training seperti itu. Sejak lahir dia tidak suka bersikap feminim. Jika tiba-tiba dia ikut training seperti itu, dia hanya ingin merebut kembali perhatian darinya.

             Untuk sementara perhatian Rangga teralihkan. Otaknya tak lagi bingung memikirkan bagaimana ia menghadapi Om Budy. Meter demi meter mobil Andin melaju. Semakin lama semakin dekat dengan tempat tujuan.

             “Nanti langsung aja masuk ke kamar Papa. Dia pasti sedang tiduran di kamarnya...” ujar Andin.

             Rangga mengangguk.

             Mobil membelok ke halaman depan rumah Andin. Seorang tukang kebun terlihat sedang memangkas Pohon Cemara. Sepi. Hanya suara kapak yang menimpa kayu yang terdengar.

             Andin menuntun Rangga masuk ke dalam. Sebenarnya, bukan sekali ini Rangga datang ke rumahnya. Tapi entahlah, rasanya canggung sampai bikin dengkul ngilu.

             Baru menginjak ruang tengah, Andin dan Rangga langsung berhenti. Om Budy telah berdiri tepat di depan mereka. Sebelah tangannya memegang mug kosong.

             Om Budy terkejut. Rangga apalagi. Keduanya saling membelalakkan mata.

             “Assalamu’alaikum.... Om...” ucap Rangga mengawali. Suaranya bergetar.

             Tak ada sahutan. Om Budy malah membalikkan badan berniat masuk kembali ke dalam kamarnya.

             “Papa!!” cegat Andin.

             “Om... saya...”

             “Ngapain kamu aja dia ke rumah ini??!!” bentak Om Budy memotong kalimat Rangga.

             “Rangga mau ngomong sebentar, Pa!”

             “Bandel kamu!! Sudah dibilangi nggak usah nemuin dia lagi!!”

             “Maafkan saya, Om!”  ucap Rangga dengan suara naik satu oktaf. Dia maju selangkah. Dengan sisa keberaniannya, ditatapnya mata Om Budy.

             “Kamu saya maafkan. Sekarang, silakan pergi.” jawab Om Budy.

             Rangga terhenyak.

             “Pa!!” tegur Andin.

             “Masuk ke kamar!” perintah Om Budy.

             “Kasih Rangga kesempatan! Dia mau jelasin ke Papa!”

             “Sudah! Sudah kamu pergi!” Om Budy menyentakkan tangannya ke arah Rangga. Pemuda itu bahkan hanya sempat mengucapkan satu kalimat saja. Tangan Om Budy terus-terusan menggertaknya keluar. Mengayun-ayun seperti mengusir anjing liar.

             “Laaaas! Panggilin Bambang!!” teriak Om Budy.

             Lasi muncul dari dapur. Tubuhnya terhenti sejenak melihat keributan di depannya. Tapi kemudian ia menurut pada majikannya. Dia lalu berlari ke pos satpam, memanggil Bambang, satpam penjaga di rumah Andin.

             Bimbang. Rangga menghadapi suasana itu dengan kaki goyah. Om Budy bersihkukuh menyuruhnya keluar, sementara Andin merengek di sampingnya. Keduanya berdebat. Hanya Rangga yang menyaksikan drama keributan bapak-anak itu. Kadang tangan Om Budy yang menuding-nuding wajahnya menjadi perhatiannya. Masih ada plester menempel di sana. Menutupi luka bekas jarum infus. Semakin membuat Rangga luruh untuk menyangkal.

             Orang macam apa yang melawan orang tua yang sedang sakit dan baru tadi malam keluar dari rumah sakit? Sekalipun untuk membela perempuan yang dicintainya. Rasanya, itu pengecut!

             Maka Rangga pasrah ketika satpam meringkus tangannya. Tubuhnya diseret paksa menuju halaman rumah. Andin berontak. Berusaha mengejarnya, tapi Om Budy menariknya ke dalam. Pintu rumah ditutup rapat. Tinggal Rangga berdiri di tengah rumput hijau bersama satpam rumah.

             “Maaf, Mas...” ujar Bambang. Raut wajahnya penuh rasa bersalah. Rangga bukan orang lain. Dia sudah mengenalnya akrab seperti teman dekat. Sering ketika Rangga mengunjungi Andin dan Andin tidak ada di rumah, Rangga mengajaknya ngopi di pos satpam.

             Rangga bukan orang lain. Jika tiba-tiba Om Budy membenci Rangga setengah mati dan menyuruhnya mengusirnya, ia tidak tahu.

             “Titip Andin, ya...” pamit Rangga sambil tersenyum. Dia lalu berjalan menuju pintu gerbang. Sendiri. Gontai seperti tawanan perang.


             Orang marah butuh waktu. Luka di hati Om Budy masih segar. Mungkin lain kali, batin Rangga. Ia lalu melambaikan tangan pada sebuah taksi. Pulang. Bukan menyerah. Dia hanya butuh ruang untuk sementara.

             “Masuk ke kamar!!” perintah Om Budy sambil mengunci pintu depan. Acuh begitu saja.

             Dada Andin kembang kempis. Hatinya getir melihat kekasihnya diusir seperti penjahat. Ia berdiri di depan daun pintu lunglai.

             “Egois!!”

             Om Budy menghentikan langkahnya. Dia lalu menolehkan wajahnya ke belakang.

             “Apanya yang pengacara hebat!??” lanjut Andin.

             “Ngomong apa kamu?!!”

             “Papa bahkan nggak ngasih kesempatan orang lain untuk bicara!! Apanya yang pengacara? Apanya yang berjuang demi hukum?!! Papa takut karir Papa hancur, iya ‘kan?!!”

             “Diaammm!!”

             “Memang benar, ‘kan?!! Yang Papa pikirin Cuma karir!! Papa membenci siapapun yang menghalangi kesuksesan Papa!!”

             “ANDIN!!” bentak Tante Melly. Ia tiba-tiba muncul dari arah tangga, “Papa kamu sedang sakit!” lanjutnya.

             Andin menutup bibirnya. Hatinya berontak. Bisa saja dia membanting seluruh pekakas yang terpajang di rumahnya. Tapi tenaganya susut. Kakinya masih gemetaran. Bayangan Rangga yang diseret seperti seorang narapidana, menggantung di pelupuk matanya. Dia lalu berlari menaiki anak tangga. Suara langkah kakinya terdengar seperti letusan senjata api.

             Tinggal Tante Melly dan Om Budy berdiri di ruang tengah. Melihati Andin yang berlari ke dalam kamarnya.

             “Papa harus ngomong...” ucap Tante Melly.

             Om Budy melengos, “Dia lagi nggak bisa diajak ngomong.”

             “Ya, kalau nggak ngomong kasihan Andin-nya, Pa. Dari kemaren dia uring-uringan terus.”

             “Nggak sekarang, Ma.” Om Budy berjalan ke dalam kamarnya. Disibaknya sedikit gorden yang menutupi cendelanya. Ia mengintip keluar. Mencari-cari sosok yang sejak tadi ada di sana.

             “Papa ngomong aja deh sama Pak Bunawar. Saham di Bona Pictures kita lepas aja nggak apa-apa. Kasihan Rangga sama Andin, Pa!” Tante Melly masih berteguh hati.

             “Bukan saham yang aku takutin, Ma.” Om Budy menutup kembali gorden yang ia pegang. Ia lalu mendekat ke depan istrinya, “Yang mereka cari itu Rangga. Pokok untuk sementara kita jangan berhubungan dulu dengan Rangga. Awasi Andin kemanapun dia pergi. Jangan sampai orangnya Bunawar berhasil nemuin keberadaannya Rangga.”

             Om Budy menempatkan tubuhnya ke pembaringan. Ia menghela nafas panjang. Jantungnya yang tadi hampir saja berhenti melihat kedatangan Rangga, kini perlahan berdetak normal. Kadang terselip rasa bersalah. Tak pernah tega ia membentak-bentak Rangga dan mengusirnya seperti tadi.


            Terlepas dari putrinya yang menuduhnya gila karir, ini hanya sementara. Hanya sementara sampai Bunawar lupa dengan kekesalannya lalu dengan sendirinya menghentikan aksinya untuk membalas dendam pada personil boyband itu. 
-------------------------------

BERSAMBUNG KE PART 13

3 komentar:

  1. Part ini kok, nggak ada lucunya? Cuman waktu Andin bilang monyet sama badak air ke Rangga, padahal Rangga kan kloningan badak.. #eh
    Semuanya tegang kayak part sebelumnya, tapi seru.
    Kasian Dicky, dia galow gegara Eriska. Dicky, semangat ya? FD mendukungmu.. Btw, Reza masih inget tentang kejadian dia ngejar Ola di season 1. Ternyata Reza pengingat yang baik...
    Jadi, yang jahat itu Bunawar? Bukan Om Budy? Sabar ya, Om Budy. Insya Allah, ada jalan #numpangnyanyi
    Andin, tabahkanlah hatimu. Jodoh pasti bertemu... #huhu :')
    Kesian Andin, dia jadi galowers di season ini. Kalo season kemaren dia kan, jadi pasangan debatnya Rangga, bersama dengan julukan-julukannya. Dan yang terbaru, BADAK AER.
    Sekian, semlikum.. #tebarbunga :') :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Warkop kali ah lucu2an mele... hehe... iya ini lg memunculkan konfliknya dulu....

      Hapus