Title : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season : 2
Author : @ariek_andini (adm4)
Genre : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...
Terima kasih buat yang masih setia baca cerbung aing..... Heart you all!!
---------------------------------
Terima kasih buat yang masih setia baca cerbung aing..... Heart you all!!
---------------------------------
“Papa marah
besar, Rang. Selama karirnya sebagai pengacara, baru kali ini dia kalah di
persidangan. Dan itu tepat saat dia memegang kasus Om Bunawar, orang yang
sangat mempercayai dia dan berperan besar di keluarga aku.”
Rangga tertegun.
“Papa.... nyuruh aku mutusin kamu....”
Hah?
“Dia nggak mau lagi ketemu kamu... dia udah
nggak ngerestuin kita.” Kian lama suara Andin kian lirih. Lalu menghilang di
penghujung kalimatnya. Saat mulut tak kuasa berkata-kata, hanya mata yang mampu
bersuara. Air mata Andin luruh di pipinya. Mengalir membentuk garis bening.
Rangga lalu meraih kepala Andin.
Disandarkannya di dalam dekapannya. Tak banyak yang bisa ia lakukan. Membela
diri pun tak mampu. Semua yang Andin katakan benar. Dia membuat semuanya
berantakan. Porak poranda. Tiap rencana yang dia susun hancur berkeping-keping.
“Aku nggak mau itu terjadi. Aku
nggak mau putus dari kamu~...” isak Andin.
“Sssstt.... tenang! Aku akan
hadapi semua...” jawab Rangga. Tegar. Atau berpura-pura tegar. Dia bahkan tidak
tahu apa yang akan dia lakukan setelah ini.
Andin sesenggukan di pelukannya.
Saat berada dalam masalah, dia lebih sering meluapkannya dengan emosi dan
bentakan. Jika air matanya sampai menetes, bukan lain selain hatinya yang tak
mampu lagi melogika.
“Udah... jangan nangis. Ntar
Jakarta banjir. Kasihan Ahok...” canda Rangga. Dielusnya kepala Andin.
“Monyet!” balas Andin.
*************
Sutradara berjalan tak tentu arah
di dalam lokasi syuting. Sesekali dia menengok ke luar. Begitu Bisma datang,
langsung dihampirinya dengan tergesa-gesa.
“Rangga?” tanya Sutradara.
Bisma menggeleng. Dia kembali ke
lokasi syuting sendirian. Rangga terlanjur pergi meskipun dia sudah
berteriak-teriak mencegahnya.
“Terus ini gimana??!! Emangnya dia
kemana??!”
“Nggak tahu!” jawab Bisma. Jengkel
juga rasanya. Yang ngilang Rangga, yang kena omel malah dia.
Sutradara membalikkan badan.
Tangannya berkacak pinggang. Hampir gila rasanya memikirkan aktor tukang
ngilang satu itu. Banyak bagian Rangga yang belum rampung. Dan dia malah sirnah
di tengah-tengah proses syuting.
Sutradara memanggil salah satu
krunya. Diteriakinya kameramen di depannya. Ia lalu berganti memanggil-manggil
Rafael dan Reza. Kekacauan dimulai. Ketika salah satu pemeran tak ada,
pengambilan scene akan melompat-lompat.
Tak jauh dari keramaian itu, di dalam kamar
ganti, Eriska duduk menyangga di atas bangku. Rambut hitamnya menutupi separuh
wajahnya. Nafasnya berat. Bahkan terdengar dari kejauhan. Nafas yang mengandung
isakan.
“Berhenti...” ucap Eriska tiba-tiba.
Sosok bayangan di belakang Eriska
menghentikan langkahnya. Tangannya yang semula terbuka hendak membelai Eriska,
kini terkepal. Urung begitu saja menerima tolakan dingin dari Eriska.
“Kamu nggak apa-apa? Aku anterin
pulang, ya...” ujar Dicky kemudian. Suaranya sayup-sayup.
“Mau sampai kapan?”
“.........”
“Gue bilang mau sampai kapan??!”
bentak Eriska. Dia bangkit dari duduknya. Rambutnya tersibak. Kini jelas bola
matanya yang memerah, “Gue udah bilang kita nggak mungkin balikan!! Udah gue
bilang jauhin gue!!”
Dicky memalingkan wajahnya. Diam
seribu bahasa.
“Berhenti bersikap baik ke gue!!”
“Eris....”
Kebisingan kesibukan syuting
menembus hingga ruang ganti. Terkadang tirainya tersibak. Menampilkan celah kru
syuting yang lalu lalang. Eriska menghela nafas panjang. Tak ingin meluapkan
emosinya di lokasi syuting, ia lalu pergi meninggalkan Dicky. Yang bahkan tak
sempat mencegah kepergiannya.
Mungkin Nirwana akan
menyalahkannya. Bodoh. Seperti iblis. Ia mengejar-ngejar orang lain sementara
ada pemuda lain yang selalu memperhatikannya. Dicky mengawasi kepergian Eriska
dari belakang. Wajahnya lugu, seperti biasa. Seolah bisa mengiris hati tiap
orang yang melihatnya. Kadang hatinya gundah. Ingin menghentikan aksinya
mengejar-ngejar Eriska. Tapi hatinya yang lain sudah mati rasa. Berkali-kali
disakiti, berkali-kali pula mendekati Eriska.
“Scene loe udah habis, loe nggak
pulang?” tegur Reza. Dihampirinya Dicky yang berdiri seperti patung di dalam
ruang ganti.
Dicky menggelengkan kepala.
Reza menepuk pundak Dicky, “Nggak
ada usaha yang berjalan mulus. Sabar~...” ujarnya kemudian. Mengerucut tepat di
titiknya.
“Mungkin gue harus berhenti...”
Reza tertegun. Dicky membalasnya
dengan senyuman.
“Gue kayak bajingan, iya nggak
sih? Ribut sama temen sendiri cuman gara-gara cewek.”
“Kalo gitu, gue lebih bajingan
daripada loe.” Balas Reza kemudian. Ia lalu melipat tangannya di depan dadanya.
Terbesit pertengkaran-pertengkarang pelik dirinya dan Rangga setahun lalu. Ah,
iya, demi Ola. Waktu itu, dia hilang kesadaran, sama seperti Dicky.
“Kejar dia selama loe bisa. Kalau
nggak bisa, jangan pergi. Seenggaknya, loe ada di samping dia...” pungkas Reza
sambil tersenyum penuh kemenangan. Entahlah, siapa yang lebih bajingan dari
siapa, senang juga bisa menang.
**********
Masih di parkiran mobil di studio
syuting, Rangga dan Andin duduk saling menyandarkan kepala. Capek setelah
sebelumnya saling berteriak. Kini berada di titik nol. Memikirkan apa yang
harus dilakukan setelah ini.
“Aku akan pikirin cara untuk ngomong ke papa
kamu. Kamu pulang aja sekarang. Aku anterin...” ucap Rangga.
“Enggak!” Andin menegakkan
kepalanya, “Aku pulang sendiri. Kamu nggak bisa nganterin aku pulang. Papa akan
marah kalo tahu aku nemuin kamu!”
“Aku akan hadapi!”
“Rang!!!”
“Cepat atau lambat, aku harus
menghadapinya, iya kan? Aku akan bicara sama papa kamu. Aku akan minta maaf.”
Terlukis keraguan di wajah Andin. Berfikir
dalam diam. Menimang-nimang ucapan Rangga.
“Udah, jangan takut. Om Budy di
rumah kan? Kita berangkat sekarang.” Pungkas Rangga, mengisyaratkan Andin untuk
segera menyalakan mobil.
Andin menurut. Diputarnya kunci
mobil. Mesin mobil menyala. Pelan ia membelokkan mobil. Meninggalkan parkiran
menuju rumahnya. Di sampingnya, Rangga duduk menatap kaca spion. Berpura-pura
tenang sementara jantungnya berdebur seperti ombak tsunami. Otaknya bingung
mencari kalimat apa yang akan dia ucapkan pertama kali di depan Om Budy. Say
hello seperti biasa? Menyapa seperti tidak terjadi apa-apa? Atau tiba-tiba
sungkem sambil nangis?
“Kita ke Hypermart dulu...” ucap
Andin tiba-tiba. Dia membelokkan mobil ke sebuah toserba.
“Untuk?” tanya Rangga.
“Kamu nggak mungkin nemuin Papa
dengan tangan kosong, ‘kan?” jawab Andin. Sekedar pemanis. Sekilo jeruk mungkin
cukup untuk papanya yang mengidap darah tinggi.
Andin keluar dari mobil sementara
Rangga tetap duduk di dalam mobil. Sebenarnya ia tak suka dengan suasana
parkiran yang berbau oli dan sepi. Tapi mau gimana lagi. Mana mungkin dia
berkeliaran di tempat umum tanpa pengawalan. Terakhir dia muncul di rumah makan
dulu, dia diserbu fansnya.
Untuk mengusir suasana sepi,
Rangga menyalakan music player. Matanya lalu bergerilya ke penjuru mobil Andin.
Tanpa sengaja ia lalu melihat lembaran kertas teronggok di jok belakang mobil.
Tergeletak di samping tas ransel yang biasa Andin bawa kemana-mana.
Rangga mengambil setumpuk kertas
itu. Dipilahnya satu demi satu.
“Titanium.. Coaching...
Management...” Rangga mengeja judul yang tertera di kertas itu. Keseluruhannya
berbahasa inggris. Paragraf demi paragraf ia simak. Kadang terselip bahasa
persuasif yang menggiurkan.
Rangga mengernyitkan dahinya.
Setelah membacanya sekilas, ia menyimpulkan kertas itu berisi promosi pelatihan
keartisan oleh sebuah manajemen.
Titanium Management? Baru
dengar...
Tiba-tiba Andin muncul dari pintu
Hypermart. Ia berjalan menuju mobil dengan kantong putih di tangannya.
Diletakkannya jeruk yang baru dibelinya itu di jok belakang. Ia lalu duduk di
belakang kemudi dan bersiap menyalakan mobil. Wajahnya masih tegang, sama
seperti setengah jam lalu.
Andin lalu melirik Rangga, “Kok
rasanya kita me..... Aaaaaagghr!!!” tiba-tiba Andin berteriak.
Rangga tersentak kaget. Andin tak
kalah kaget. Direbutnya kertas yang dipegang Rangga dengan garang.
“Loe ngapain pegang-pegang ini!!”
bentak Andin.
Rangga melongo, “Nemu di belakang...”
jawabnya dengan wajah campur aduk. Baru sepuluh menit lalu Andin berbicara
manis padanya dengan panggilan aku-kamu. Ngapa sekarang jadi liar lagi?
“Enak aja main ambil barang
orang!! Dasar Badak Aer!!”
Dengan tergesa-gesa Andin melipat
kertas itu. Disembunyikannya ke balik jaketnya. Wajahnya yang semula tegang
makin tegang kayak kawat tembaga. Merah padam.
“Emang itu pelatihan apa?” tanya
Rangga kemudian. Penasaran.
Andin menjatuhkan kepalanya ke
kemudi mobil. Terbongkar sudah! Tamat riwayatnya! Ini yang dia nggak suka kalo
ngebiarin Rangga berada di dalam mobilnya tanpa pengawasannya. Tuh Ikan Buntal
satu nggak pernah bisa diem. Ada aja yang dia embat kalo lagi nggak ada orang.
“Loe mau ikutan pelatihan artis??!”
tuduh Rangga.
“Enggak! Enggak tahu!! Tadi gue
dapet dari mbak-mbak sales di jalan! Promosi apa gitu...”
Rangga mengerutkan dahinya. Dapat
dari mbak-mbak sales? Brosur? Kalau brosur, kenapa isinya paragraf semua kayak
Pembukaan Undang-undang empat lima?
“Loe bohong!” simpul Rangga.
Andin menghela nafas. Menahan diri
untuk nggak ngelempar Rangga keluar mobil lalu melindas dia dengan ban
mobilnya.
“Gue nemu di internet...”
Akhirnya jujur juga.
“Internet?” kejar Rangga. Berusaha
mengorek lebih detail.
“Dari web. Itu manajemen pelatihan
artis. Mereka lagi open recruitment.”
“Pelatihan gimana?”
“Ya, pelatihan! Pelatihan artis!
Loe daftar, terus loe dilatih biar jadi artis yang bener!”
“Loe mau ikut?” tebak Rangga.
“Ya, nggak apa-apa kali...”
“Jadi loe ntar ke Korea?”
Sebenarnya Rangga baca tuh dokumen
sampai seberapa jauh? Kenapa dia bisa tahu kalau pelatihan artis itu dilakukan
di Korea?
“Loe mabok, Ndin?”
“Diiih! Apa sih!! Itu pelatihannya
diselenggarakan manajemen internasional, Rang! Nggak main-main! Ada pelatih
profesionalnya. Ntar diajarin acting, styling, public speaking, vocal! Loe
sendiri tahu kan banyak artis-artis berbakat dari Korea! Mereka itu ikut
beginian sebelum berkarir! Nggak ada salahnya lagi gue ikutan! Gue pengen
totalitas jadi entertainer!”
“Loe udah tahu Titanium Management
itu manajemen apa?”
Andin diam. Penting gitu?
“Emang loe tahu?” Andin balik
bertanya.
“Gue juga nggak tahu! Baru kali
ini denger! Makanya gue nanya ke elo! Loe bilang pelatihannya di Korea, tapi
isinya orang China semua! Tomy Huang, Zhao Shu Hai, Chi Ying Chan, Ronny Yu!”
Andin mangap. Rangga sampai hapal
nama-nama pemilik manajemen, sponsor sampai pelatih-pelatihnya. Tuh cowok isi
otaknya apa?!! Tape recorder??!
“Loe jangan macem-macem, Ndin!!
paling-paling di sana juga loe diajarin nyanyi! Nah loe udah bertahun-tahun
ngeband! Loe nggak bakal kerasan! Loe pikir ikut karantina begitu enak?”
“Iye, iye! Lagian kan gue Cuma iseng....”
Andin beringsut.
“Iseng! Iseng! Udah tua masih aja
kayak anak SMA!”
“Loe tuh yang tua!!” Andin
menyalakan mesin mobil. Bersiap melajukan mobil. Hanya dengan begitu omelan
Rangga akan berhenti. Tuh cowok kalo marah omelannya kayak emak-emak, “Lagian
loe juga, sih!!”
“Kenapa jadi gue?!” balas Rangga
tidak terima.
“Ya gara-gara loe deket terus sama
Eriska! Dia cantik, pinter akting, anggun, gue pasti kalah dibanding dia, iya
kan?!!”
Mobil mulai bergerak maju.
Meninggalkan lapangan parkir Hypermart. Andin fokus mengemudikan mobil. Kalimat
terakhirnya ampuh membuat Rangga diam seribu bahasa.
Gara-gara Rangga? Ah, bisa jadi.
Sedikit banyak Andin pasti risau. Kekasihnya digosipkan dengan cewek lain yang
lebih cantik dan manis. Tiap hari lalu lalang di televisi. Hingga kemudian
tanpa sengaja ia menemukan iklan training artis di internet. Mungkin dari sana
dia menemukan jalan keluar untuk masalahnya.
Rangga memandang ke luar kaca
cendela. Matanya sayu. Di dalam hatinya, teronggok rasa bersalah yang perlahan
membukit. Gara-gara dia... Gara-gara dia Andin sampai berniat memasuki training
seperti itu. Sejak lahir dia tidak suka bersikap feminim. Jika tiba-tiba dia
ikut training seperti itu, dia hanya ingin merebut kembali perhatian darinya.
Untuk sementara perhatian Rangga
teralihkan. Otaknya tak lagi bingung memikirkan bagaimana ia menghadapi Om
Budy. Meter demi meter mobil Andin melaju. Semakin lama semakin dekat dengan
tempat tujuan.
“Nanti langsung aja masuk ke kamar
Papa. Dia pasti sedang tiduran di kamarnya...” ujar Andin.
Rangga mengangguk.
Mobil membelok ke halaman depan
rumah Andin. Seorang tukang kebun terlihat sedang memangkas Pohon Cemara. Sepi.
Hanya suara kapak yang menimpa kayu yang terdengar.
Andin menuntun Rangga masuk ke
dalam. Sebenarnya, bukan sekali ini Rangga datang ke rumahnya. Tapi entahlah,
rasanya canggung sampai bikin dengkul ngilu.
Baru menginjak ruang tengah, Andin
dan Rangga langsung berhenti. Om Budy telah berdiri tepat di depan mereka.
Sebelah tangannya memegang mug kosong.
Om Budy terkejut. Rangga apalagi.
Keduanya saling membelalakkan mata.
“Assalamu’alaikum.... Om...” ucap
Rangga mengawali. Suaranya bergetar.
Tak ada sahutan. Om Budy malah membalikkan
badan berniat masuk kembali ke dalam kamarnya.
“Papa!!” cegat Andin.
“Om... saya...”
“Ngapain kamu aja dia ke rumah
ini??!!” bentak Om Budy memotong kalimat Rangga.
“Rangga mau ngomong sebentar, Pa!”
“Bandel kamu!! Sudah dibilangi
nggak usah nemuin dia lagi!!”
“Maafkan saya, Om!” ucap Rangga dengan suara naik satu oktaf. Dia
maju selangkah. Dengan sisa keberaniannya, ditatapnya mata Om Budy.
“Kamu saya maafkan. Sekarang,
silakan pergi.” jawab Om Budy.
Rangga terhenyak.
“Pa!!” tegur Andin.
“Masuk ke kamar!” perintah Om
Budy.
“Kasih Rangga kesempatan! Dia mau
jelasin ke Papa!”
“Sudah! Sudah kamu pergi!” Om Budy
menyentakkan tangannya ke arah Rangga. Pemuda itu bahkan hanya sempat
mengucapkan satu kalimat saja. Tangan Om Budy terus-terusan menggertaknya
keluar. Mengayun-ayun seperti mengusir anjing liar.
“Laaaas! Panggilin Bambang!!”
teriak Om Budy.
Lasi muncul dari dapur. Tubuhnya
terhenti sejenak melihat keributan di depannya. Tapi kemudian ia menurut pada
majikannya. Dia lalu berlari ke pos satpam, memanggil Bambang, satpam penjaga
di rumah Andin.
Bimbang. Rangga menghadapi suasana
itu dengan kaki goyah. Om Budy bersihkukuh menyuruhnya keluar, sementara Andin
merengek di sampingnya. Keduanya berdebat. Hanya Rangga yang menyaksikan drama keributan
bapak-anak itu. Kadang tangan Om Budy yang menuding-nuding wajahnya menjadi
perhatiannya. Masih ada plester menempel di sana. Menutupi luka bekas jarum
infus. Semakin membuat Rangga luruh untuk menyangkal.
Orang macam apa yang melawan orang
tua yang sedang sakit dan baru tadi malam keluar dari rumah sakit? Sekalipun
untuk membela perempuan yang dicintainya. Rasanya, itu pengecut!
Maka Rangga pasrah ketika satpam
meringkus tangannya. Tubuhnya diseret paksa menuju halaman rumah. Andin
berontak. Berusaha mengejarnya, tapi Om Budy menariknya ke dalam. Pintu rumah
ditutup rapat. Tinggal Rangga berdiri di tengah rumput hijau bersama satpam
rumah.
“Maaf, Mas...” ujar Bambang. Raut
wajahnya penuh rasa bersalah. Rangga bukan orang lain. Dia sudah mengenalnya
akrab seperti teman dekat. Sering ketika Rangga mengunjungi Andin dan Andin
tidak ada di rumah, Rangga mengajaknya ngopi di pos satpam.
Rangga bukan orang lain. Jika
tiba-tiba Om Budy membenci Rangga setengah mati dan menyuruhnya mengusirnya, ia
tidak tahu.
“Titip Andin, ya...” pamit Rangga
sambil tersenyum. Dia lalu berjalan menuju pintu gerbang. Sendiri. Gontai
seperti tawanan perang.
Orang marah butuh waktu. Luka di hati Om
Budy masih segar. Mungkin lain kali, batin Rangga. Ia lalu melambaikan tangan
pada sebuah taksi. Pulang. Bukan menyerah. Dia hanya butuh ruang untuk
sementara.
“Masuk ke kamar!!” perintah Om
Budy sambil mengunci pintu depan. Acuh begitu saja.
Dada Andin kembang kempis. Hatinya
getir melihat kekasihnya diusir seperti penjahat. Ia berdiri di depan daun
pintu lunglai.
“Egois!!”
Om Budy menghentikan langkahnya.
Dia lalu menolehkan wajahnya ke belakang.
“Apanya yang pengacara hebat!??”
lanjut Andin.
“Ngomong apa kamu?!!”
“Papa bahkan nggak ngasih
kesempatan orang lain untuk bicara!! Apanya yang pengacara? Apanya yang
berjuang demi hukum?!! Papa takut karir Papa hancur, iya ‘kan?!!”
“Diaammm!!”
“Memang benar, ‘kan?!! Yang Papa
pikirin Cuma karir!! Papa membenci siapapun yang menghalangi kesuksesan Papa!!”
“ANDIN!!” bentak Tante Melly. Ia
tiba-tiba muncul dari arah tangga, “Papa kamu sedang sakit!” lanjutnya.
Andin menutup bibirnya. Hatinya
berontak. Bisa saja dia membanting seluruh pekakas yang terpajang di rumahnya.
Tapi tenaganya susut. Kakinya masih gemetaran. Bayangan Rangga yang diseret
seperti seorang narapidana, menggantung di pelupuk matanya. Dia lalu berlari
menaiki anak tangga. Suara langkah kakinya terdengar seperti letusan senjata
api.
Tinggal Tante Melly dan Om Budy berdiri
di ruang tengah. Melihati Andin yang berlari ke dalam kamarnya.
“Papa harus ngomong...” ucap Tante
Melly.
Om Budy melengos, “Dia lagi nggak
bisa diajak ngomong.”
“Ya, kalau nggak ngomong kasihan
Andin-nya, Pa. Dari kemaren dia uring-uringan terus.”
“Nggak sekarang, Ma.” Om Budy
berjalan ke dalam kamarnya. Disibaknya sedikit gorden yang menutupi cendelanya.
Ia mengintip keluar. Mencari-cari sosok yang sejak tadi ada di sana.
“Papa ngomong aja deh sama Pak
Bunawar. Saham di Bona Pictures kita lepas aja nggak apa-apa. Kasihan Rangga
sama Andin, Pa!” Tante Melly masih berteguh hati.
“Bukan saham yang aku takutin,
Ma.” Om Budy menutup kembali gorden yang ia pegang. Ia lalu mendekat ke depan
istrinya, “Yang mereka cari itu Rangga. Pokok untuk sementara kita jangan berhubungan
dulu dengan Rangga. Awasi Andin kemanapun dia pergi. Jangan sampai orangnya
Bunawar berhasil nemuin keberadaannya Rangga.”
Om Budy menempatkan tubuhnya ke
pembaringan. Ia menghela nafas panjang. Jantungnya yang tadi hampir saja
berhenti melihat kedatangan Rangga, kini perlahan berdetak normal. Kadang
terselip rasa bersalah. Tak pernah tega ia membentak-bentak Rangga dan
mengusirnya seperti tadi.
Terlepas dari putrinya yang
menuduhnya gila karir, ini hanya sementara. Hanya sementara sampai Bunawar lupa
dengan kekesalannya lalu dengan sendirinya menghentikan aksinya untuk membalas
dendam pada personil boyband itu.
-------------------------------
BERSAMBUNG KE PART 13
Part ini kok, nggak ada lucunya? Cuman waktu Andin bilang monyet sama badak air ke Rangga, padahal Rangga kan kloningan badak.. #eh
BalasHapusSemuanya tegang kayak part sebelumnya, tapi seru.
Kasian Dicky, dia galow gegara Eriska. Dicky, semangat ya? FD mendukungmu.. Btw, Reza masih inget tentang kejadian dia ngejar Ola di season 1. Ternyata Reza pengingat yang baik...
Jadi, yang jahat itu Bunawar? Bukan Om Budy? Sabar ya, Om Budy. Insya Allah, ada jalan #numpangnyanyi
Andin, tabahkanlah hatimu. Jodoh pasti bertemu... #huhu :')
Kesian Andin, dia jadi galowers di season ini. Kalo season kemaren dia kan, jadi pasangan debatnya Rangga, bersama dengan julukan-julukannya. Dan yang terbaru, BADAK AER.
Sekian, semlikum.. #tebarbunga :') :')
Warkop kali ah lucu2an mele... hehe... iya ini lg memunculkan konfliknya dulu....
Hapus(y)!!!!!!!
BalasHapus