Title : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season : 2
Author : @ariek_andini (adm4)
Genre : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...
Isi cerbung part kali ini agak-agak sensitif bree.... tapi jangan sakit hati atau tersinggung ya... ini cuma fiktif kok... Pengarang memohon maaf kalo ada yang sakit hati...
---------------------------------
“Bukan saham yang
aku takutin, Ma.” Om Budy menutup kembali gorden yang ia pegang. Ia lalu
mendekat ke depan istrinya, “Yang mereka cari itu Rangga. Pokok untuk sementara
kita jangan berhubungan dulu dengan Rangga. Awasi Andin kemanapun dia pergi.
Jangan sampai orangnya Bunawar berhasil nemuin keberadaannya Rangga.”
Om Budy
menempatkan tubuhnya ke pembaringan. Ia menghela nafas panjang. Jantungnya yang
tadi hampir saja berhenti melihat kedatangan Rangga, kini perlahan berdetak normal.
Kadang terselip rasa bersalah. Tak pernah tega ia membentak-bentak Rangga dan
mengusirnya seperti tadi.
Terlepas dari
putrinya yang menuduhnya gila karir, ini hanya sementara. Hanya sementara
sampai Bunawar lupa dengan kekesalannya lalu dengan sendirinya menghentikan
aksinya untuk membalas dendam pada personil boyband itu.
***********
Fajar menyembul dari mega timur.
Bersembunyi di balik bayang gedung-gedung pencakar langit. Jarum jam menunjuk
angka empat. Masih subuh. Hanya segelintir saja orang yang sudah keluar dari
rumahnya untuk memulai aktivitas.
Dan dari segelintir orang itu, ada
Rangga di dalamnya.
“Masih ingat kan sama isi
kontraknya?” ujar Om Panchunk. Telunjuk kirinya melengkung di pegangan cangkir
teh. Angin subuh kadang berhembus dari celah lubang angin-angin. Membelai
kepulan asap dari dalam cangkir.
Tepat di depannya, Rangga duduk
menunduk. Tangannya bertumpu menjadi satu. Bibirnya mengatup seperti sedia kala.
Tak perlu ia menjawab pertanyaan Om Panchunk. Itu hanya mengetes.
“Kenapa, sih? Ada job lain?” tanya
Om Panchunk. Lagi.
Rangga diam.
“Syuting jadi molor gara-gara kamu
sering ngilang. Itu studio sudah di-book orang lain, Ngga. Molor sehari saja,
yang kena itu Pak Suryo.”
Om Panchunk meletakkan cangkir teh
dari tangannya. Ditatapnya artis asuhannya itu lekat-lekat.
“Ini syuting terakhir CCC season
4. Job lain udah aku kosongin. Seharian ini, semuanya lembur. Kejar target!” Om
Panchunk menyandarkan tubuhnya, “Udah! Kamu susul yang lain sana! Mereka nggak
pulang dari kemarin.”
Rangga menegakkan kakinya. Ia lalu
melangkah pergi. Baru semeter pergi, lagi-lagi Om Panchunk memanggilnya.
“Jangan lupa, minta maaf sama Pak
Suryo!”
Rangga mendesis. Begitu ia
menapakkan kaki keluar, langit telah terang benderang. Lumayan, dua jam sudah
dia diceramahi Om Panchunk gara-gara sering ngilang dari lokasi syuting.
Rangga lalu memacu mobilnya menuju
lokasi syuting. Dia sih mending masih sempat keluyuran, sementara Bisma,
Rafael, Reza, Ilham dan Dicky, mungkin udah pada lumutan di lokasi syuting.
“Ini bukan sinetron yang kalau
ratingnya tinggi, episodenya dipanjang-panjangin. Bukan sinetron yang kalo
artisnya nggak ada, dengan mudah diganti artis yang lain. Kita ini mini serial!
Terikat plot dan perencanaan matang! Ingat itu!”
Omelan Om Panchunk menggema di
telinga Rangga. Sejak awal dia tahu hal itu. Tak perlu dijelasin sambil ngotot
gitu dia juga ingat. Dia ngilang bukan tanpa sebab. Ya mungkin karena satu hal.
Dia yang badung.
“Pelan-pelan! Pelan-pelan! Jangan
langsung ditendang! Biar kamera dua nge-shoot dulu!!” teriakan sutradara
menyambut Rangga begitu ia sampai di lokasi syuting.
Asap buatan mengepul. Puing-puing
kayu berserakan dimana-mana. Pelan-pelan Rangga memijakkan kakinya. Semakin
dekat dengan set syuting, dilihatnya Ilham berlumuran darah sedang mencekik
seorang laki-laki. Di depannya, Kiki sibuk memberi arahan.
Rangga melengos. Dia berjalan ke
sisi lain. Dia lalu disambut Bisma dan Reza yang sedang latihan berkelahi.
Tendang sana tendang sini. Belasan kali mereka mempraktekkannya di dalam
apartemen. Dia sampai hapal dengan sendirinya.
“Weh, baru datang?!!” sapa Bisma.
Rangga manyun. Diambilnya kertas
skenario dari dalam tasnya. Dibacanya halaman demi halaman. Fix, seharian ini
dia bakal jadi Jackie Chan nyasar. Tiap scene isinya berkelahi semua. Pinter
banget Kiki, naruh scene awur-awuran kayak gini di hari terakhir syuting.
“Loe jangan cengengesan gitu
doonk!!” protes Reza.
“Ya, terserah gue, lah!!” sanggah
Bisma.
“Loe kan baru ditinggal Andin
mati! Berkelahinya agak sedih dikit doonk! Seneng amat loe ditinggal gebetan
mati!”
Rangga mendengus. Reza dan Bisma
yang ribut, malah dia yang bete. Dibaliknya kertas skenario ke belakang. Pemberhentian
Andin secara tiba-tiba membuat cerita dibelokkan. Ia dikisahkan meninggal
karena kecelakaan.
Aishhh!! Jadi keinget Andin!
Rangga melempar script ke lantai.
Teringat Andin, jadi teringat keributannya dengan Om Budy di rumah Andin
kemarin. Parah! Dia bahkan tidak pernah menyangka hubungan baiknya dengan
keluarga Andin akan memburuk sampai seperti ini. Beliau memaksanya berpisah
dari Andin, Ya Tuhan!!
Tiba-tiba keributan terjadi di
depan sana. Hanya masalah kecil. Tapi tak ada yang bisa menandingi suara Kiki
yang membahana. Satu perkara, urusannya bisa panjang kalau sampai dia tahu.
“Dibayar mahal masih nggak mau?!!
Lalu maunya apa?!!” bentak Kiki pada salah satu kru.
“Kurang katanya, Mas!”
“Ck!!” Kiki berkacak pinggang.
Bisma, Reza dan Rangga mendekat.
Penasaran juga jadinya.
“Ada apa, sih?!!”
“Pedagang jaman sekarang
matre-matre!” jawab Kiki sekenanya.
“Hah?!!”
“Itu, gerobak mie ayam di depan,
disewa buat syuting nggak mau, dibeli dan udah dikasih uang, malah bilang
kurang! Udah untung dibeli mahal-mahal!” jawab Kiki berapi-api. Tuntutan
properti syuting mengejar-ngejar otaknya.
“Yang jualan perempuan apa
laki-laki?” tanya Reza tiba-tiba.
“Heh?” Kiki cengo. Dia memandangi
Bisma heran, “Yang jualan emak-emak...” jawabnya akhirnya.
“Serahin ke gue!!” jawab Reza
penuh keyakinan. Dia lalu menggandeng tangan Rangga, “Ayo!!”
“Kenapa gue!!?” sergah Rangga.
“Udah, ayo!!” ucap Reza. Ditemani
seorang kru, ketiganya keluar menuju gerobak mie yang mangkal di depan studio.
“Itu, Mas! Yang gerobaknya warna
ijo. Yang ada tulisan ‘Mie Ayam Hidayah’-nya.” Tunjuk kru.
Reza mangut-mangut. Dengan langkah
tegas ia lalu menghampiri gerobak naas itu. Wajahnya sangar. Matanya
menyiratkan kemenangan. Jangan memberikan tugas orang ganteng pada orang lain,
batinnya.
“Mbak...” panggil Reza.
Pemilik gerobak menoleh. Rangga
melongo. Itu ibu-ibu yang jualan mie udah seumuran nyokapnya. Dan Reza manggil
dia ‘mbak’?? katarak dia!
“Mie ayam satu berapa?” tanya
Reza.
“Sepuluh ribu, Mas. Masnya mau
beli? Bungkus apa makan sini?” jawab sang penjual. Logat jawanya sangat kental.
“Kalo sepuluh bungkus, berapa?”
Reza kembali bertanya.
Rangga diam. Dalam hati dia
merutuk. Mampus!!
“Seratus ribu, Mas. Mas mau beli
sepuluh bungkus? Pedas apa biasa?”
“Masa nggak ada diskon, Mbak?”
“Ndak ada e, Mas.”
Reza mendekatkan badannya.
Lagaknya mulai berubah. Kepalanya mengibas pelan. Tangannya membenarkan
rambutnya ke belakang, “Beneran nggak ada?”
“Oaalahh.. Wong Bagus... Ya sudah,
nanti bayar sembilan lima saja...” jawab ibu-ibu itu akhirnya. Tangannya
bersiap memasukkan mie dan sawi.
“Seneng ya, Mbak, kalo yang beli
banyak.” Lanjut Reza. Pembicaraannya makin melantur kemana-mana. Di sampingnya,
Rangga berdiri dengan wajah bersemu seperti kepiting rebus. Malu setengah mati.
“Ya seneng toh, Mas. Laris
manis...”
“Jadi banyak untung ya, Mbak...”
“Lho, iya, Mas...”
“Kalo saya beli segerobak, seneng
nggak?”
Ibu-ibu itu menghentikan aksinya
mencacah sawi. Ekspresi wajahnya berubah masam. Perlahan dia menangkap kemana
arah pembicaraa pemuda di depannya. Baru lima menit lalu ada orang mati-matian
ingin mendapatkan gerobak dagangannya, dan sekarang ada lagi yang bertingkah
seperti itu?
“Gimana, Mbak? Nanti saya bayar
mahal nggak pakek diskon satu gerobak. Gimana?” tanya Reza. Alisnya bergerak
turun-naik.
Ibu-ibu itu menoleh, “CANGKEMMU!!”
Reza cengo. Buru-buru Rangga
menarik Reza pergi dari sana mumpung belum disiram kuah mie. Diseretnya Reza
kembali ke lokasi syuting. Baru sampai pintu masuk, Kiki dan krunya telah
menunggu.
“Gimana? Gimana? Udah dapat
gerobaknya?!”
Rangga memasang wajah melas.
Sementara Reza memasang wajah kepedean ala romeo baru aja nggombalin juliet.
“Tadi sih hampir aja mau.” jawab
Reza.
“Terus?”
“Ya, kayaknya sih mau! Rangga tuh
tiba-tiba narik gue pergi!”
Rangga mendesis, malah dia yang
disalahin.
“Jadi dia mau?” tanya Kiki.
“Iya kali. Tadi dia bilang ‘cangkemmu’.
Emangnya, ‘cangkemmu’ artinya apa ya?” tanya Reza.
“Artinya, ‘makasih’!!” balas
Rangga gregetan. Dia lalu beralih menatap sutradara di depannya, “Udah!! Nyari
gerobak lain aja! Banyak kali yang mau!!”
Kiki manggut-manggut. Bersiap
memerintah salah satu krunya untuk mencari gerobak lain. Baru saja hendak
membalikkan badan, tiba-tiba ibu-ibu sang pemilik gerobak mie
memanggil-manggil. Dia berlari menyeberang jalan menghampiri Rangga, Reza dan
sutradara.
“Ya sudah, Mas. Saya mau.” katanya
berubah pikiran.
Kiki, Rangga dan Reza tersenyum
lega. Akhirnya...
“Pakai uang tadi ya, Bu.” Ucap
Kiki.
“Iya iya..”
Kiki mulai mengeluarkan uang, “Ini
cash ya, Bu...”
“Iya, Mas! Iya...”
“Cangkemmu, ya, Bu!” ucap Reza
tiba-tiba.
Hah?
Rangga dan Kiki mangap. Si Ibu
menatap Reza dengan wajah merah padam.
“CANGKEMMU DEWE!!!” bentak Si Ibu.
“Bu! Maaf! Tadi maksudnya...”
Rangga berusaha menjelaskan. Tapi si Ibu sudah terlanjur naik pitam.
“Wes! Ora usah kakehan molo! Ora
usah urusan maneh! Ndang modyar kono! Dikeki ati malah njaluk rempelo! Ngomong
sak penake udele! Dapure!!” si Ibu mengumpat sejadinya. Dengan wajah marah, dia
kembali ke gerobaknya.
Kiki masih melongo. Tangannya
urung menarik uang dari dalam dompet.
“Aneh, ya? Dibilangin terima kasih
malah marah?” gumam Reza tidak mengerti.
Rangga menelan ludah. Menahan diri
untuk nggak mendorong Reza ke tengah jalan biar ditabrak truk kontainer.
Kiki menghela nafas. Rangga
membalikkan badan. Keduanya berjalan masuk ke dalam studio. Meninggalkan Reza
yang masih berdiri kayak orang bego.
“Elo, sih...” gerutu Kiki pada
Rangga.
Rangga acuh. Salahnya juga ngomong
asal di depan Reza. Kini sutradara itu harus mencari gerobak lain.
*********
Cover up with make up in the
mirror
Tell yourself it’s never gonna happen
again
You cry alone
And then he swears he loves you
Do you feel like......
Klik!!
Andin mematikan music player di
sampingnya dengan jempol kakinya. Wajahnya tenggelam ke dalam guling. Rambutnya
acak-acakan. Kuncir rambutnya menggelantung tak karuan.
Genap lima belas jam sudah dia
ngejogrog di dalam kamar. Rekor mengagumkan bagi seorang Andin yang gawenya
keluyuran kemana-mana. Ia nggak pernah kerasan berada di rumah. Tapi pengecualian untuk hari ini. Setelah
keributan bokapnya dan Rangga. Setelah semua hal memedihkan yang ia lihat
kemarin sore.
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka.
Cahaya dari luar seketika masuk ke dalam kamarnya yang gelap gulita.
“Ndin? Bangun!!” suara nyokapnya
membahana di tengah suasana kamarnya yang gelap.
Andin tidak menggubrisnya.
Disembunyikannya wajahnya di balik bantal untuk menghindari cahaya yang
menyilaukan mata.
“Masyaallah! Nih kamar ada
hantunya pasti! Udah dibilang berkali-kali kalo pagi itu cendela dibuka! Biar
udaranya berganti!” Tante Melly berjalan masuk ke dalam kamar. Ditariknya tirai
cendela. Suasana kamar langsung terang benderang karena cahaya matahari.
Andin mengerjapkan matanya. Loh?
Udah pagi?
“Ayo! Bangun!! Nggak manggung?!”
“Nggak ada jadwal...” jawab Andin
parau.
Tante Melly terdiam. Iya, masa
transisi menuju album baru, biasanya jadwal manggung menjadi renggang.
Minggu-minggu belakangan ini Andin menyibukkan diri dengan syuting. Tapi sejak
ia disuruh berhenti olah papanya...
“Ini... ada paket surat...” ucap
Tante Melly sambil meletakkan tiga buah amplop berwarna cokelat. Satu di
antaranya berbentuk kotak persegi sebesar buku tulis.
Andin bangun dari tidurnya.
Diamatinya tiga paket pos itu. Tumben, batinnya. Biasanya manajemennya selalu
mengirimkan info atau surat lewat email.
“Rangga nggak ke sini, Ma?” tanya
Andin.
Seketika Tante Melly menghentikan
langkah kakinya menuju pintu kamar. Dia menoleh, “Udah, kalo masih ngantuk
tidur aja lagi.”
“Ma!!”
“Sementara... jangan ketemu dia
dulu!”
“Mama!!!”
Tante Melly meraih gagang pintu,
“Udah siang, mama harus ngajar.”
Lalu pintu tertutup rapat.
“Shit!!!” Andin membanting
bantalnya. Ia lagi-lagi bergulingan di kasur.
Puas menggelinding ke sana kemari,
Andin lalu mengambil handphonenya. Dibukanya ikon message, bersiap mengetik SMS
untuk Rangga. Tapi kemudian jemarinya berhenti. Mengetik apa? Apa yang akan dia
katakan pada Rangga? Nanya kabar? Nanyain keberadaannya? Setelah kejadian memalukan
yang dilakukan keluarganya terhadap Rangga, tanpa tahu diri dia akan melakukan
itu?
Andin memukulkan kepalanya ke kasur.
Damn it! Damn it! Dia tidak punya keberanian untuk bicara dengan Rangga. Sekalipun
dari kemarin dia terus kepikiran, tapi buruan sudah berhadapan dengan layar
handphonenya, dia bingung apa yang akan dia ungkapkan.
Andin mengarahkan pandangannya
pada atap kamarnya. Menerawang jauh. Berusaha menemukan inspirasi dengan
mengawasi lampu kamarnya. Tiba-tiba benaknya melayang pada tiga paket pos yang
diberikan nyokapnya. Buru-buru diambilnya tiga amplop cokelat itu. Dipilihnya
yang paling besar, berbentuk persegi dan keras kalau dipegang. Disobeknya
pelan-pelan. Satu demi satu bungkusnya terlepas. Ujungnya yang berwarna hitam
mulai kelihatan, seperti... ujung figura.
Begitu keseluruhan pembungkus
paket itu terbuka, Andin terdiam. Jantungnya seperti berhenti mendadak. Benar
itu figura. Tak besar, sekitar lima inchi. Terpasang foto dirinya dan Rangga
berdua. Foto itu, pernah dia upload di akun instagramnya. Di atasnya, ada
selotip hitam. Ditempelkan melintang membentuk tanda silang. Dan masih ditambah
kaca figura yang sengaja diretakkan. Membentuk mozaik menyeramkan di wajahnya
dan wajah Rangga.
Prangg!!!
Tanpa sadar Andin melemparkan
figura itu ke lantai. Tangannya gemetaran. Dadanya kembang kempis. Matanya
memandangi pecahan kaca figura yang berserakan di lantai. Tak habis pikir.
Maksudnya apa?
Tangannya lalu mengais-ngais
sobekan bungkus yang menumpuk di depannya. Diambilnya secarik kertas memo
berwarna putih. Dibukanya kertas itu.
“Heh, cabe-cabean! Buruan putus sama Rangga!”
Deg!!!
Andin menegapkan badannya. Matanya
nanar menatap kertas putih itu. Otaknya kosong. Bingung harus menyimpulkan
bagaimana. Siapa? Siapa yang mengirimkan barang seperti itu padanya?
Bimbang, kini mata Andin beralih
pada dua amplop yang tersisa. Ia menimang-nimang, haruskah ia buka juga?
Dibacanya nama pengirim yang tertera di sana. Dwi Handayanti? Dari Makassar?
Siapa? Ia bahkan tidak mengenalnya.
Andin beralih pada amplop yang
satunya. Putri Lestari, begitu tulisannya. Dari... Medan.
Masih dengan rasa penasaran yang
besar dan bercampur rasa takut, Andin lalu membuka amplop itu. Dua lembar
kertas penuh dengan tulisan bertinta hitam menyambutnya.
“Surat ini mewakili seluruh Rangganizer dan Smashblast di
Makassar. Kami tahu kamu orang yang
baik. Kamu juga baik sama smashblast di Indonesia. Tapi kasihan Rangga, kamu
belum cukup baik untuk Rangga. Kamu tidak pantas untuk dia.....”
Eh.....
“..... kami ingin, kamu putus dari Rangga....”
Andin tak kuasa meneruskan aksinya
membaca surat di depannya. Baru satu paragraf dia baca, dan jantungnya seketika
berdetak cepat. Tangannya makin terguncang hebat. Surat yang ia pegang mulai
kusut di tepinya.
Dari fans Rangga... ditujukan
padanya, dikirim langsung ke rumahnya! Iya begitu!!
Andin memegang pelipisnya. Pening.
Surat yang ia pegang terjatuh ke atas kasur. Seketika rasa penasarannya sirnah.
Ia tidak berminat lagi membaca surat yang satunya.
Setahun pacaran dengan Rangga, dia
sudah terbiasa dengan hal semacam ini. Fans Rangga bahkan bisa tahu di SD mana
dia sekolah dulu, di SMP mana, SMA mana, dan universitas mana. Foto-foto lama
yang bahkan keberadaannya sudah tidak dia ketahui, bisa muncul lagi di tengah
publik berkat mereka. Mereka mengorek informasi tentangnya sedemikian jauh.
Bahkan untuk sebuah alamat rumah. Alamat rumah.... yang bisa mereka tuju untuk
mengirim surat keluhan seperti sekarang.
Dia sudah terbiasa. Iya... Sangat
terbiasa, sampai dia ingin menangis.
***********
*Cangkemmu (bahasa jawa) = mulutmu (sangat kasar)
BERSAMBUNG KE PART 14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar