18 Oktober 2014

[Cerbung SMASH] "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" SEASON 2 / Part 13

Title          : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season    : 2
Author       : @ariek_andini (adm4)
Genre        : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast          : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...

Isi cerbung part kali ini agak-agak sensitif bree.... tapi jangan sakit hati atau tersinggung ya... ini cuma fiktif kok... Pengarang memohon maaf kalo ada yang sakit hati...
---------------------------------

             “Bukan saham yang aku takutin, Ma.” Om Budy menutup kembali gorden yang ia pegang. Ia lalu mendekat ke depan istrinya, “Yang mereka cari itu Rangga. Pokok untuk sementara kita jangan berhubungan dulu dengan Rangga. Awasi Andin kemanapun dia pergi. Jangan sampai orangnya Bunawar berhasil nemuin keberadaannya Rangga.”

             Om Budy menempatkan tubuhnya ke pembaringan. Ia menghela nafas panjang. Jantungnya yang tadi hampir saja berhenti melihat kedatangan Rangga, kini perlahan berdetak normal. Kadang terselip rasa bersalah. Tak pernah tega ia membentak-bentak Rangga dan mengusirnya seperti tadi.

            Terlepas dari putrinya yang menuduhnya gila karir, ini hanya sementara. Hanya sementara sampai Bunawar lupa dengan kekesalannya lalu dengan sendirinya menghentikan aksinya untuk membalas dendam pada personil boyband itu.

             ***********

             Fajar menyembul dari mega timur. Bersembunyi di balik bayang gedung-gedung pencakar langit. Jarum jam menunjuk angka empat. Masih subuh. Hanya segelintir saja orang yang sudah keluar dari rumahnya untuk memulai aktivitas.

             Dan dari segelintir orang itu, ada Rangga di dalamnya.

             “Masih ingat kan sama isi kontraknya?” ujar Om Panchunk. Telunjuk kirinya melengkung di pegangan cangkir teh. Angin subuh kadang berhembus dari celah lubang angin-angin. Membelai kepulan asap dari dalam cangkir.

             Tepat di depannya, Rangga duduk menunduk. Tangannya bertumpu menjadi satu. Bibirnya mengatup seperti sedia kala. Tak perlu ia menjawab pertanyaan Om Panchunk. Itu hanya mengetes.

             “Kenapa, sih? Ada job lain?” tanya Om Panchunk. Lagi.

             Rangga diam.

             “Syuting jadi molor gara-gara kamu sering ngilang. Itu studio sudah di-book orang lain, Ngga. Molor sehari saja, yang kena itu Pak Suryo.”

             Om Panchunk meletakkan cangkir teh dari tangannya. Ditatapnya artis asuhannya itu lekat-lekat.


             “Ini syuting terakhir CCC season 4. Job lain udah aku kosongin. Seharian ini, semuanya lembur. Kejar target!” Om Panchunk menyandarkan tubuhnya, “Udah! Kamu susul yang lain sana! Mereka nggak pulang dari kemarin.”

             Rangga menegakkan kakinya. Ia lalu melangkah pergi. Baru semeter pergi, lagi-lagi Om Panchunk memanggilnya.

             “Jangan lupa, minta maaf sama Pak Suryo!”

             Rangga mendesis. Begitu ia menapakkan kaki keluar, langit telah terang benderang. Lumayan, dua jam sudah dia diceramahi Om Panchunk gara-gara sering ngilang dari lokasi syuting.

             Rangga lalu memacu mobilnya menuju lokasi syuting. Dia sih mending masih sempat keluyuran, sementara Bisma, Rafael, Reza, Ilham dan Dicky, mungkin udah pada lumutan di lokasi syuting.

             “Ini bukan sinetron yang kalau ratingnya tinggi, episodenya dipanjang-panjangin. Bukan sinetron yang kalo artisnya nggak ada, dengan mudah diganti artis yang lain. Kita ini mini serial! Terikat plot dan perencanaan matang! Ingat itu!”

             Omelan Om Panchunk menggema di telinga Rangga. Sejak awal dia tahu hal itu. Tak perlu dijelasin sambil ngotot gitu dia juga ingat. Dia ngilang bukan tanpa sebab. Ya mungkin karena satu hal. Dia yang badung.

             “Pelan-pelan! Pelan-pelan! Jangan langsung ditendang! Biar kamera dua nge-shoot dulu!!” teriakan sutradara menyambut Rangga begitu ia sampai di lokasi syuting.

             Asap buatan mengepul. Puing-puing kayu berserakan dimana-mana. Pelan-pelan Rangga memijakkan kakinya. Semakin dekat dengan set syuting, dilihatnya Ilham berlumuran darah sedang mencekik seorang laki-laki. Di depannya, Kiki sibuk memberi arahan.

             Rangga melengos. Dia berjalan ke sisi lain. Dia lalu disambut Bisma dan Reza yang sedang latihan berkelahi. Tendang sana tendang sini. Belasan kali mereka mempraktekkannya di dalam apartemen. Dia sampai hapal dengan sendirinya.

             “Weh, baru datang?!!” sapa Bisma.

             Rangga manyun. Diambilnya kertas skenario dari dalam tasnya. Dibacanya halaman demi halaman. Fix, seharian ini dia bakal jadi Jackie Chan nyasar. Tiap scene isinya berkelahi semua. Pinter banget Kiki, naruh scene awur-awuran kayak gini di hari terakhir syuting.

             “Loe jangan cengengesan gitu doonk!!” protes Reza.

             “Ya, terserah gue, lah!!” sanggah Bisma.

             “Loe kan baru ditinggal Andin mati! Berkelahinya agak sedih dikit doonk! Seneng amat loe ditinggal gebetan mati!”

             Rangga mendengus. Reza dan Bisma yang ribut, malah dia yang bete. Dibaliknya kertas skenario ke belakang. Pemberhentian Andin secara tiba-tiba membuat cerita dibelokkan. Ia dikisahkan meninggal karena kecelakaan.

             Aishhh!! Jadi keinget Andin!

             Rangga melempar script ke lantai. Teringat Andin, jadi teringat keributannya dengan Om Budy di rumah Andin kemarin. Parah! Dia bahkan tidak pernah menyangka hubungan baiknya dengan keluarga Andin akan memburuk sampai seperti ini. Beliau memaksanya berpisah dari Andin, Ya Tuhan!!

             Tiba-tiba keributan terjadi di depan sana. Hanya masalah kecil. Tapi tak ada yang bisa menandingi suara Kiki yang membahana. Satu perkara, urusannya bisa panjang kalau sampai dia tahu.

             “Dibayar mahal masih nggak mau?!! Lalu maunya apa?!!” bentak Kiki pada salah satu kru.

             “Kurang katanya, Mas!”

             “Ck!!” Kiki berkacak pinggang.

             Bisma, Reza dan Rangga mendekat. Penasaran juga jadinya.

             “Ada apa, sih?!!”

             “Pedagang jaman sekarang matre-matre!” jawab Kiki sekenanya.

             “Hah?!!”

             “Itu, gerobak mie ayam di depan, disewa buat syuting nggak mau, dibeli dan udah dikasih uang, malah bilang kurang! Udah untung dibeli mahal-mahal!” jawab Kiki berapi-api. Tuntutan properti syuting mengejar-ngejar otaknya.

             “Yang jualan perempuan apa laki-laki?” tanya Reza tiba-tiba.

             “Heh?” Kiki cengo. Dia memandangi Bisma heran, “Yang jualan emak-emak...” jawabnya akhirnya.

             “Serahin ke gue!!” jawab Reza penuh keyakinan. Dia lalu menggandeng tangan Rangga, “Ayo!!”

             “Kenapa gue!!?” sergah Rangga.

             “Udah, ayo!!” ucap Reza. Ditemani seorang kru, ketiganya keluar menuju gerobak mie yang mangkal di depan studio.

             “Itu, Mas! Yang gerobaknya warna ijo. Yang ada tulisan ‘Mie Ayam Hidayah’-nya.” Tunjuk kru.

             Reza mangut-mangut. Dengan langkah tegas ia lalu menghampiri gerobak naas itu. Wajahnya sangar. Matanya menyiratkan kemenangan. Jangan memberikan tugas orang ganteng pada orang lain, batinnya.

             “Mbak...” panggil Reza.

             Pemilik gerobak menoleh. Rangga melongo. Itu ibu-ibu yang jualan mie udah seumuran nyokapnya. Dan Reza manggil dia ‘mbak’?? katarak dia!

             “Mie ayam satu berapa?” tanya Reza.

             “Sepuluh ribu, Mas. Masnya mau beli? Bungkus apa makan sini?” jawab sang penjual. Logat jawanya sangat kental.

             “Kalo sepuluh bungkus, berapa?” Reza kembali bertanya.

             Rangga diam. Dalam hati dia merutuk. Mampus!!

             “Seratus ribu, Mas. Mas mau beli sepuluh bungkus? Pedas apa biasa?”

             “Masa nggak ada diskon, Mbak?”

             “Ndak ada e, Mas.”

             Reza mendekatkan badannya. Lagaknya mulai berubah. Kepalanya mengibas pelan. Tangannya membenarkan rambutnya ke belakang, “Beneran nggak ada?”

             “Oaalahh.. Wong Bagus... Ya sudah, nanti bayar sembilan lima saja...” jawab ibu-ibu itu akhirnya. Tangannya bersiap memasukkan mie dan sawi.

             “Seneng ya, Mbak, kalo yang beli banyak.” Lanjut Reza. Pembicaraannya makin melantur kemana-mana. Di sampingnya, Rangga berdiri dengan wajah bersemu seperti kepiting rebus. Malu setengah mati.

             “Ya seneng toh, Mas. Laris manis...”

             “Jadi banyak untung ya, Mbak...”

             “Lho, iya, Mas...”

             “Kalo saya beli segerobak, seneng nggak?”

             Ibu-ibu itu menghentikan aksinya mencacah sawi. Ekspresi wajahnya berubah masam. Perlahan dia menangkap kemana arah pembicaraa pemuda di depannya. Baru lima menit lalu ada orang mati-matian ingin mendapatkan gerobak dagangannya, dan sekarang ada lagi yang bertingkah seperti itu?

             “Gimana, Mbak? Nanti saya bayar mahal nggak pakek diskon satu gerobak. Gimana?” tanya Reza. Alisnya bergerak turun-naik.

             Ibu-ibu itu menoleh, “CANGKEMMU!!”

             Reza cengo. Buru-buru Rangga menarik Reza pergi dari sana mumpung belum disiram kuah mie. Diseretnya Reza kembali ke lokasi syuting. Baru sampai pintu masuk, Kiki dan krunya telah menunggu.

             “Gimana? Gimana? Udah dapat gerobaknya?!”

             Rangga memasang wajah melas. Sementara Reza memasang wajah kepedean ala romeo baru aja nggombalin juliet.

             “Tadi sih hampir aja mau.” jawab Reza.

             “Terus?”

             “Ya, kayaknya sih mau! Rangga tuh tiba-tiba narik gue pergi!”

             Rangga mendesis, malah dia yang disalahin.

             “Jadi dia mau?” tanya Kiki.

             “Iya kali. Tadi dia bilang ‘cangkemmu’. Emangnya, ‘cangkemmu’ artinya apa ya?” tanya Reza.

             “Artinya, ‘makasih’!!” balas Rangga gregetan. Dia lalu beralih menatap sutradara di depannya, “Udah!! Nyari gerobak lain aja! Banyak kali yang mau!!”

             Kiki manggut-manggut. Bersiap memerintah salah satu krunya untuk mencari gerobak lain. Baru saja hendak membalikkan badan, tiba-tiba ibu-ibu sang pemilik gerobak mie memanggil-manggil. Dia berlari menyeberang jalan menghampiri Rangga, Reza dan sutradara.

             “Ya sudah, Mas. Saya mau.” katanya berubah pikiran.

             Kiki, Rangga dan Reza tersenyum lega. Akhirnya...

             “Pakai uang tadi ya, Bu.” Ucap Kiki.

             “Iya iya..”

             Kiki mulai mengeluarkan uang, “Ini cash ya, Bu...”

             “Iya, Mas! Iya...”

             “Cangkemmu, ya, Bu!” ucap Reza tiba-tiba.

             Hah?

             Rangga dan Kiki mangap. Si Ibu menatap Reza dengan wajah merah padam.

             “CANGKEMMU DEWE!!!” bentak Si Ibu.

             “Bu! Maaf! Tadi maksudnya...” Rangga berusaha menjelaskan. Tapi si Ibu sudah terlanjur naik pitam.

             “Wes! Ora usah kakehan molo! Ora usah urusan maneh! Ndang modyar kono! Dikeki ati malah njaluk rempelo! Ngomong sak penake udele! Dapure!!” si Ibu mengumpat sejadinya. Dengan wajah marah, dia kembali ke gerobaknya.

             Kiki masih melongo. Tangannya urung menarik uang dari dalam dompet.

             “Aneh, ya? Dibilangin terima kasih malah marah?” gumam Reza tidak mengerti.

             Rangga menelan ludah. Menahan diri untuk nggak mendorong Reza ke tengah jalan biar ditabrak truk kontainer.

             Kiki menghela nafas. Rangga membalikkan badan. Keduanya berjalan masuk ke dalam studio. Meninggalkan Reza yang masih berdiri kayak orang bego.

             “Elo, sih...” gerutu Kiki pada Rangga.

             Rangga acuh. Salahnya juga ngomong asal di depan Reza. Kini sutradara itu harus mencari gerobak lain.

             *********

             Cover up with make up in the mirror
             Tell yourself it’s never gonna happen again
             You cry alone
             And then he swears he loves you
             Do you feel like......

             Klik!!

             Andin mematikan music player di sampingnya dengan jempol kakinya. Wajahnya tenggelam ke dalam guling. Rambutnya acak-acakan. Kuncir rambutnya menggelantung tak karuan.

             Genap lima belas jam sudah dia ngejogrog di dalam kamar. Rekor mengagumkan bagi seorang Andin yang gawenya keluyuran kemana-mana. Ia nggak pernah kerasan berada di rumah.  Tapi pengecualian untuk hari ini. Setelah keributan bokapnya dan Rangga. Setelah semua hal memedihkan yang ia lihat kemarin sore.

             Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Cahaya dari luar seketika masuk ke dalam kamarnya yang gelap gulita.

             “Ndin? Bangun!!” suara nyokapnya membahana di tengah suasana kamarnya yang gelap.

             Andin tidak menggubrisnya. Disembunyikannya wajahnya di balik bantal untuk menghindari cahaya yang menyilaukan mata.

             “Masyaallah! Nih kamar ada hantunya pasti! Udah dibilang berkali-kali kalo pagi itu cendela dibuka! Biar udaranya berganti!” Tante Melly berjalan masuk ke dalam kamar. Ditariknya tirai cendela. Suasana kamar langsung terang benderang karena cahaya matahari.

             Andin mengerjapkan matanya. Loh? Udah pagi?

             “Ayo! Bangun!! Nggak manggung?!”

             “Nggak ada jadwal...” jawab Andin parau.

             Tante Melly terdiam. Iya, masa transisi menuju album baru, biasanya jadwal manggung menjadi renggang. Minggu-minggu belakangan ini Andin menyibukkan diri dengan syuting. Tapi sejak ia disuruh berhenti olah papanya...

             “Ini... ada paket surat...” ucap Tante Melly sambil meletakkan tiga buah amplop berwarna cokelat. Satu di antaranya berbentuk kotak persegi sebesar buku tulis.

             Andin bangun dari tidurnya. Diamatinya tiga paket pos itu. Tumben, batinnya. Biasanya manajemennya selalu mengirimkan info atau surat lewat email.

             “Rangga nggak ke sini, Ma?” tanya Andin.

             Seketika Tante Melly menghentikan langkah kakinya menuju pintu kamar. Dia menoleh, “Udah, kalo masih ngantuk tidur aja lagi.”

             “Ma!!”

             “Sementara... jangan ketemu dia dulu!”

             “Mama!!!”

             Tante Melly meraih gagang pintu, “Udah siang, mama harus ngajar.”

             Lalu pintu tertutup rapat.

             “Shit!!!” Andin membanting bantalnya. Ia lagi-lagi bergulingan di kasur.

             Puas menggelinding ke sana kemari, Andin lalu mengambil handphonenya. Dibukanya ikon message, bersiap mengetik SMS untuk Rangga. Tapi kemudian jemarinya berhenti. Mengetik apa? Apa yang akan dia katakan pada Rangga? Nanya kabar? Nanyain keberadaannya? Setelah kejadian memalukan yang dilakukan keluarganya terhadap Rangga, tanpa tahu diri dia akan melakukan itu?

             Andin memukulkan kepalanya ke kasur. Damn it! Damn it! Dia tidak punya keberanian untuk bicara dengan Rangga. Sekalipun dari kemarin dia terus kepikiran, tapi buruan sudah berhadapan dengan layar handphonenya, dia bingung apa yang akan dia ungkapkan.

             Andin mengarahkan pandangannya pada atap kamarnya. Menerawang jauh. Berusaha menemukan inspirasi dengan mengawasi lampu kamarnya. Tiba-tiba benaknya melayang pada tiga paket pos yang diberikan nyokapnya. Buru-buru diambilnya tiga amplop cokelat itu. Dipilihnya yang paling besar, berbentuk persegi dan keras kalau dipegang. Disobeknya pelan-pelan. Satu demi satu bungkusnya terlepas. Ujungnya yang berwarna hitam mulai kelihatan, seperti... ujung figura.

             Begitu keseluruhan pembungkus paket itu terbuka, Andin terdiam. Jantungnya seperti berhenti mendadak. Benar itu figura. Tak besar, sekitar lima inchi. Terpasang foto dirinya dan Rangga berdua. Foto itu, pernah dia upload di akun instagramnya. Di atasnya, ada selotip hitam. Ditempelkan melintang membentuk tanda silang. Dan masih ditambah kaca figura yang sengaja diretakkan. Membentuk mozaik menyeramkan di wajahnya dan wajah Rangga.

             Prangg!!!

             Tanpa sadar Andin melemparkan figura itu ke lantai. Tangannya gemetaran. Dadanya kembang kempis. Matanya memandangi pecahan kaca figura yang berserakan di lantai. Tak habis pikir. Maksudnya apa?

             Tangannya lalu mengais-ngais sobekan bungkus yang menumpuk di depannya. Diambilnya secarik kertas memo berwarna putih. Dibukanya kertas itu.

             “Heh, cabe-cabean! Buruan putus sama Rangga!”

             Deg!!!

             Andin menegapkan badannya. Matanya nanar menatap kertas putih itu. Otaknya kosong. Bingung harus menyimpulkan bagaimana. Siapa? Siapa yang mengirimkan barang seperti itu padanya?

             Bimbang, kini mata Andin beralih pada dua amplop yang tersisa. Ia menimang-nimang, haruskah ia buka juga? Dibacanya nama pengirim yang tertera di sana. Dwi Handayanti? Dari Makassar? Siapa? Ia bahkan tidak mengenalnya.

             Andin beralih pada amplop yang satunya. Putri Lestari, begitu tulisannya. Dari... Medan.

             Masih dengan rasa penasaran yang besar dan bercampur rasa takut, Andin lalu membuka amplop itu. Dua lembar kertas penuh dengan tulisan bertinta hitam menyambutnya.

             “Surat ini mewakili seluruh Rangganizer dan Smashblast di Makassar.  Kami tahu kamu orang yang baik. Kamu juga baik sama smashblast di Indonesia. Tapi kasihan Rangga, kamu belum cukup baik untuk Rangga. Kamu tidak pantas untuk dia.....”

             Eh.....

             “..... kami ingin, kamu putus dari Rangga....”

             Andin tak kuasa meneruskan aksinya membaca surat di depannya. Baru satu paragraf dia baca, dan jantungnya seketika berdetak cepat. Tangannya makin terguncang hebat. Surat yang ia pegang mulai kusut di tepinya.

             Dari fans Rangga... ditujukan padanya, dikirim langsung ke rumahnya! Iya begitu!!

             Andin memegang pelipisnya. Pening. Surat yang ia pegang terjatuh ke atas kasur. Seketika rasa penasarannya sirnah. Ia tidak berminat lagi membaca surat yang satunya.

             Setahun pacaran dengan Rangga, dia sudah terbiasa dengan hal semacam ini. Fans Rangga bahkan bisa tahu di SD mana dia sekolah dulu, di SMP mana, SMA mana, dan universitas mana. Foto-foto lama yang bahkan keberadaannya sudah tidak dia ketahui, bisa muncul lagi di tengah publik berkat mereka. Mereka mengorek informasi tentangnya sedemikian jauh. Bahkan untuk sebuah alamat rumah. Alamat rumah.... yang bisa mereka tuju untuk mengirim surat keluhan seperti sekarang.

             Dia sudah terbiasa. Iya... Sangat terbiasa, sampai dia ingin menangis.


             ***********
*Cangkemmu (bahasa jawa) = mulutmu (sangat kasar)
BERSAMBUNG KE PART 14

Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar