Title : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season : 2
Author : @ariek_andini (adm4)
Genre : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...
“Terima kasih untuk semunya.”
---------------------------------
“..... kami ingin, kamu putus dari
Rangga....”
Andin tak kuasa
meneruskan aksinya membaca surat di depannya. Baru satu paragraf dia baca, dan
jantungnya seketika berdetak cepat. Tangannya makin terguncang hebat. Surat
yang ia pegang mulai kusut di tepinya.
Dari fans
Rangga... ditujukan padanya, dikirim langsung ke rumahnya! Iya begitu!!
Andin memegang
pelipisnya. Pening. Surat yang ia pegang terjatuh ke atas kasur. Seketika rasa
penasarannya sirnah. Ia tidak berminat lagi membaca surat yang satunya.
Setahun pacaran
dengan Rangga, dia sudah terbiasa dengan hal semacam ini. Fans Rangga bahkan
bisa tahu di SD mana dia sekolah dulu, di SMP mana, SMA mana, dan universitas
mana. Foto-foto lama yang bahkan keberadaannya sudah tidak dia ketahui, bisa
muncul lagi di tengah publik berkat mereka. Mereka mengorek informasi
tentangnya sedemikian jauh. Bahkan untuk sebuah alamat rumah. Alamat rumah....
yang bisa mereka tuju untuk mengirim surat keluhan seperti sekarang.
Dia sudah terbiasa.
Iya... Sangat terbiasa, sampai dia ingin menangis.
***********
12.00 am
“Cut!! Ok!! Kita break sebentar!”
teriak sutradara.
Rangga menurunkan kakinya dari
pundak seorang stuntman di depannya. Nafasnya ngos-ngosan. Berjam-jam akting
berkelahi. Lumayan, rasanya seperti ngedance satu album penuh.
“Darahnya jangan dihapus dulu!!”
kata sutradara memperingatkan.
“Yaelah! Terus sampe kapan mata
gue merem sebelah kek begini??!” protes Reza. Matanya yang sebelah kiri
tertutup luka memar. Biru di sana-sini. Pelipisnya juga tersiram cairan warna
merah.
“Tahan!” pungkas Kiki.
Reza manyun. Wajahnya penuh siratan protes.
Rafael, Dicky, Bisma, Rangga dan Ilham make up lukanya biasa-biasa aja.
Paling-paling darahnya yang banyak. Ngapa cuman dia yang dibikin bonyok sampe
nggak bisa melek begitu?
Tiba-tiba, dari pintu masuk
studio, muncul Om Panchunk. Dia berjalan masuk dengan handphone di tangannya.
Sampai di dekat set, ia bersalaman dengan sutradara. Setelah itu ia kembali
berjalan ke depan. Matanya menatap Rangga.
“Sudah minta maaf sama Om Suryo?”
tanyanya tiba-tiba.
Hah?
“Pasti belum kan?!!” tebak Om
Panchunk.
Rangga gelagapan. Minta maaf?
“Om ngapain ke sini?” tanya
Rafael.
“Cuma mastiin! Kali aja ada yang
ngilang lagi!” jawabnya sambil melirik Rangga.
“Udah apa beluuuum??” kejar Om
Panchunk.
“Anu... belum...” jawab Rangga.
Wajahnya masih nggak ngeh. Minta maaf? Iya dia salah soal sering ngilang dan
bikin syuting jadi molor, tapi apa perlu sampai selebay itu?
“Ayo ke kantor Om Suryo
sekarang!!”
“Hah?!! Nggak bisa Om!”
“Apanya nggak bisa?!!”
“Nih!!” Rangga menunjuk wajahnya.
Penuh siraman cairan berwarna merah dan make up luka sayatan di mana-mana. Mau
menemui Om Suryo dengan wajah kayak zombie begini? Yang benar saja!
“Bagus!! Ini bisa jadi bukti kalau
kamu sekarang sedang serius syuting! Ayo ke sana sekarang! Aku juga ada urusan
sama bagian marketingnya! Ayo!”
“Eeettt!! Maen aya-ayo-aya-ayo aja!
Nanti aja ngapa!” Rangga masih bersihkukuh menolak.
“Nanti sore Pak Suryo udah terbang
ke Kuala Lumpur! Ayo sekarang! Kamu jangan bikin image kita jelek di mata
produser! Kalau nanti nggak dikontrak lagi gimana! Ayo!”
Rangga mendesis. Again! Iya,
manajer pinter! Soal mikirin karir dan kontrak, Om Panchunk juaranya.
Rangga akhirnya menurut. Dia
dituntun masuk ke dalam mobil seperti korban kecelakaan. Hatinya dongkol. Mau
menutupi mukanya pakai kantong plastik juga mustahil, yang ada ntar sutradara
ngamuk-ngamuk karena make upnya rusak. Mau pakai topi juga topi siapa?
Seperempat jam berlalu. Rangga dan
Om Panchunk sampai di kantor Om Suryo. Setelah memarkirkan mobil, keduanya lalu
berjalan masuk ke dalam kantor.
“Udah, kamu langsung aja ke
ruangannya Pak Suryo. Aku ada perlu sama Bu Vivi!” ucap Om Panchunk begitu lift
sampai di lantai tiga.
“Tapi, Om!”
“Ingat! Ngomong yang baik sama Pak
Suryo!” pamit Om Panchunk sambil melangkah keluar.
“Ooooommm!!”
Ting!!
Pintu lift tertutup. Rangga
mangap.
Haduh! Gimana ini!!? Dia tidak
ingin keliling di kantor orang dengan dandanan seperti korban bom nuklir
begini!
Rangga lalu mengambil
handphonenya. Dicarinya kontak atas nama manajernya itu. Baru sebentar
menggeser-geser layar handphonenya, tiba-tiba pintu lift terbuka.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaghrr!!!!” jerit
pegawai yang hendak masuk ke dalam lift.
Rangga bengong. Hanya sempat
melihati pegawai perempuan itu kebingungan. Pegawai itu lalu berlari tunggang
langgang. Pintu lift kembali tertutup.
“Kampret!!” batin Rangga. Kini dia
resmi divonis sebagai hantu penunggu lift dengan handphone android di tangan.
Sepanjang perjalanan lift menuju
lantai sepuluh, Rangga komat-kamit. Dia berharap tidak ada yang membuka lift
sebelum dia sampai di lantai sepuluh. Sekitar lima menit kemudian, dia sampai
di lantai tujuannya. Dengan langkah gugup Rangga berjalan menuju ruangan Om
Suryo. Sengaja ia melepas jas hitamnya untuk menutupi wajahnya. Dia bersyukur,
di lantai ini tidak banyak orang lalu lalang.
Cklek!
Rangga membuka pintu ruangan Om
Suryo. Tidak butuh ketuk pintu. Sekretaris yang biasa duduk di depan juga tidak
ada. Rangga nyelonong gitu aja ke dalam.
“Om Suryo....” panggil Rangga.
Om Suryo menoleh, “Iya? ASTAGHFIRULLAH HAL
ADZIMM!!” Om Suryo tersentak kaget. Dia terbangun dari duduknya. Matanya
terbelalak.
“Siang, Om...” sapa Rangga.
“Si-siang...” jawab Om Suryo
bingung. Badannya masih kaku. Melihati Rangga tanpa berkedip, “Kamu habis
kecelakaan??!!”
“Bukan, Om! Ini make up syuting!
Tadi banyak adegan action! Jadi wajah saya dibikin begini!” jelas Rangga sebisanya.
Dia melangkah maju. Berusaha menunjukkan bahwa cairan yang memenuhi wajahnya
sekarang adalah perwarna buatan, bukan darah.
Om Suryo manggut-manggut. Ganjil.
Masih setengah percaya. Siang bolong tiba-tiba saja didatangi orang berumuran
darah di dalam kantor.
“Ma-mau apa ke sini?” tanya Om
Suryo.
“Mau.....” Rangga nampak berpikir
sejenak. Mau apa?
“Iya?”
“Mau minta maaf, Om...”
“Hah?”
“Maaf karena kemaren-kemaren saya
sering absen syuting.”
“Hah?”
“Katanya, Om kena masalah
gara-gara saya...”
“Hah?”
Hah-heh-hah-heh mulu nih orang tua
satu. Rangga mulai gregetan. Dia menatap Om Suryo dengan tatapan ingin
membunuh. Bahkan ia tidak dipersilakan duduk.
“Soal sewa studio, Om. Yang
terpaksa molor sehari itu...” ucap Rangga kemudian.
“Oooooh! Ituuuu.....” jawab Om
Suryo akhirnya.
“Katanya sempet ribut sama PH lain
ya, Om! Maaf, Om. Saya soalnya banyak urusan mendadak.”
“Iyaa, iyaa... tidak apa-apa!
Memang masih ribut, tapi soal beginian sih sudah biasa. Besok juga selesai...”
“Iya, makanya Om, saya disuruh
manajer untuk....” Rangga tidak meneruskan kalimatnya. Matanya tertarik pada
secarik kertas yang sedang Om Suryo pegang. Dalam hati ia mengejanya.
“Titanium Coaching Management? Om
juga punya?!!” tanya Rangga tiba-tiba.
“Hah?”
“Itu! Kertas di tangan Om!!”
Om Suryo beralih menatap kertas di
tangannya, “Oooh! Ini?? Biasa! Tawaran tidak jelas dari manajemen-manajemen
kelas teri.”
Kelas teri? Melakukan karantina
bertaraf internasional yang melibatkan seluruh Asia dibilang kelas teri?
“Tapi itu karantinanya di Korea
lho, Om! Di Busan!” ucap Rangga.
Om Suryo tersenyum, “Iya, luar
negeri! Tapi yang kayak gini ini gayanya cecunguk! Udah bisa ditebak!”
“Maksudnya?”
“Gini, Om kasih tahu! Di luar
sana, banyak orang yang sok-sokan bikin agency artis, tapi nggak tumbuh.
Biasanya yang begini-begini ini yang kebanyakan tingkah!” Om Suryo mengangkat
kertas di tangannya, “Ini! Ajakan kayak gini! Bagusnya di awal doank! Kalo udah
dapat uangnya, mereka ngilang! Udah hapal Om sama yang begini ini!”
Rangga mengerutkan dahinya,
“Maksudnya? Mereka agency penipu gitu?”
“Bisa juga disebut gitu! Kalo Om
sih, lebih suka manggil mereka manajemen hitam! Baca aja! Kantornya nggak
jelas, strukturnya nggak jelas! Makai bahasa inggris semua biar kelihatan
berwibawa.”
Rangga manggut-manggut. Matanya
masih awas melihati tumpukan kertas di meja Om Suryo. Kertas-kertas yang tidak
beda jauh dengan yang ia lihat di mobil Andin.
Om Suryo lalu menawari Rangga
tisu, Rangga berkilah. Jangankan tisu, saat jalan saja ia mati-matian
berhati-hati agar lukanya tidak acak adul. Rangga lalu pamit, mumpung Om Suryo
belum memoles wajahnya dengan kain pel.
Sampai di luar ruangan, Rangga
menyabet salah satu tumpukan koran yang ada di meja sekretaris Om Suryo. Tak
peduli dituduh mencuri, ini hanya koran bekas, batinnya. Yang penting jangan
sampai ada pegawai lain yang melihat ia berjalan di kantor dengan darah
dimana-mana.
Rangga berjalan menuju mobil Om
Panchunk melalui lift yang sama. Sepanjang jalan ia terus-terusan menutupi
wajahnya dengan koran. Berpura-pura serius membaca. Kadang pot bunga hampir ia
tabrak.
Sampai di depan mobil Om Panchunk,
Rangga bersorak girang. Akhirnya sampai! Tapi sedetik kemudian dia manyun. Om
Panchunk masih belum balik dari urusannya. Pintu mobil juga dikunci. Fix,
Rangga terpaksa menunggu di parkiran, kepanasan, dan yang pasti, wajahnya masih
berlumuran darah.
Rangga lalu menelepon Om Panchunk.
“Om! Ayo balik!!”
“Ya! Ya!!”
“Udah mau jam satu! Sutradara
marah nih!!”
“Ya! Ya!!”
“Aku udah di mobil! Cepetan!!”
“Ya! Ya!!”
Rangga mematikan teleponnya.
Anjirr! Ya ya ya mulu dari tadi!
Rangga menoleh ke sekeliling
mencari tempat teduh. Ia lalu memasang koran lebar-lebar di depan wajahnya.
Dilangkahkan kakinya menuju tepian gedung. Kakinya melangkah sedikit demi
sedikit. Baru lima langkah berjalan, Rangga nabrak orang.
Sipp!!
“Maaf! Maaf! Saya nggak lihat!
Maaf!!!”
“Tas saya!!”
“Iya Maaf! Saya ambilkan! Maaf!
Eh....?? ERISKA??!!” pekik Rangga kaget. Dilihatnya Eriska berdiri di depannya.
“Rangga?!! Wajah kamu kenapa?!!”
“Enggak! Nggak apa-apa! Ini...”
Rangga memasang kembali koran ke depan wajahnya, “Ini properti syuting! Tadi
habis nemuin Om Suryo! Jadi...”
Eriska tersenyum. Baru kali ini
Rangga bertingkah gugup di depannya.
“Aku juga mau ke lokasi syuting.
Mau bareng?” tawar Eriska.
Rangga menimang-nimang. Ia
berpikir keras. Bingung harus bersikap bagaimana di depan Eriska setelah
pertengkarannya tempo hari. Tapi menunggu Om Panchunk yang kalo ngobrol sama
orang pasti lama juga nggak mungkin. Mana mau dia menggelandang di parkiran
mobil dengan wajah hancur kayak gini? Di sisi lain, sepuluh menit lagi syuting
dimulai lagi.
Lalu Rangga mengangguk. Pasrah.
Eriska tersenyum tipis. Ia lalu
menuntun Rangga menuju mobilnya. Setelah itu, keduanya berangkat menuju lokasi
syuting bersama-sama. Eriska bertingkah cair seperti biasa. Ngobrol dan
tertawa. Seperti tidak terjadi apa-apa antara ia dan Rangga. Seolah lupa bahwa
dia pernah memaksa Rangga untuk selingkuh dari Andin.
“Aku ada job baru. Syutingnya di
Jogja. Jadi setelah syuting selesai nanti malam, aku langsung terbang ke sana.
Tadi Cuma nyelesein urusan administrasi aja.”
Rangga manggut-manggut. Tidak
heran, Eriska artis beneran. Syuting di sana-sini. Bukan dia yang nyanyi iya,
ngehost iya, akting juga iya.
Sampai di studio, Eriska
memarkirkan mobilnya. Kedunya lalu turun bersamaan. Sejenak Rangga menoleh pada
kaca spion. Memastikan luka di wajahnya tidak kenapa-kenapa. Bukan apa, omelan
Kiki lebih parah dibanding pidato kepresidenan. Itu sutradara satu
perfeksionisnya udah tingkat akut.
“Ayo masuk!” ajak Eriska.
“Duluan aja...” jawab Rangga.
Tangannya masih sibuk menekan-nekan pipinya. Mampus, cairan merah di wajahnya
ada yang sudah kering.
Rangga lalu berjalan masuk ke
dalam. Dia terpaksa minta pembenahan make up pada kru. Tapi baru selangkah dia
meninggalkan mobil Eriska, tiba-tiba dilihatnya di seberang sana sesosok gadis
berdiri menatapnya. Tangannya menjinjing sebuah tas besar. Sangat besar,
seperti mau bepergian jauh.
“Andin?”
Andin memalingkan wajahnya. Tiba-tiba
ia membuka pintu mobilnya dan memasukkan tasnya.
“Ndin!!” cegat Rangga. Ia berlari
mendekat.
Kian dekat, ekspresi wajah Andin
kian jelas. Kusut. Alisnya hampir menyatu.
“Loe di sini?”
“Cuman kebetulan mampir aja!”
jawab Andin ketus.
Rangga terdiam. Nada bicara yang
sudah dia hapal. Andin marah padanya? Mengapa?
“Ndin!”
“Ternyata loe nggak bisa
melepaskan diri dari dia, ya?”
“Loe ngomong apa?!!” tanya Rangga.
Dipegangnya tangan Andin, tapi Andin berkelit. Ia memundurkan tubuhnya.
“Stop!”
“Ndin?”
“Jangan sentuh gue!”
“Gue tadi cuma nebeng mobilnya
Eriska! Itu aja! Gue kebetulan ketemu dia di kantornya Om Suryo!”
“Banyak omong loe, ya?” sanggah
Andin. Suaranya masih datar. Tidak ada bentakan-bentakan seperti kalau dia
marah biasanya.
“Please! Don’t be childish!
Dikit-dikit cemburu! Apa dikit cemburu! Loe kapan sih berubahnya?!! Gue dan Eriska
nggak ada apa-apa! Tadi cuma kebetulan!”
“Kebetulan? Hebat!” Andin
tersenyum masam, “Kebetulan yang sempurna!”
“Ndin!”
“Loe capek nggak sih, Rang?!”
“Eh?”
“Ya, ini! Dengan ini semua! Loe capek
nggak, sih?!!” tatap wajah Andin mulai berubah. Suaranya juga stagnan. Bukan
dia ketika sedang emosi. Bukan dia yang biasanya membanting barang atau
membentak orang. Andin yang sekarang, seperti putus asa.
“Ndin... kita masuk aja ke dalam!”
“Enggak!!” sekali lagi Andin
memundurkan kakinya. Ditatapnya Rangga tajam.
“Loe kenapa, sih?!!” bentak
Rangga.
“Gue capek...”
“Ndin....”
“Gue lelah!”
“..........”
“Hubungan kita selalu bermasalah!
Loe dibenci keluarga gue! Dan keluarga loe juga benci keluarga gue! Loe
digosipin sama cewek lain! Dan nggak ada satupun dari fans loe yang menyetujui
hubungan kita!!”
“Loe takut sama fans gue?!! Mereka
cuma fans! Yang ngejalanin hidup juga gue! Dan masalah keluarga, kita bisa
membicarakannya baik-baik! Gue akan datang lagi ke bokap loe dan me.....”
“Ssssttt....!” Andin meletakkan
telunjuknya di bibir Rangga, “Gue nggak sepengecut itu. Bukan restu keluarga
yang gue takutin. Bukan fans loe yang gue khawatirin. Yang gue takutin....
adalah diri kita sendiri...”
Rangga menurunkan pundaknya.
Matanya sayu menatap Andin yang mulai berlinangan air mata.
“Terlepas dari orang-orang di luar
sana. Terlepas dari semua hal itu. Hanya kita masalahnya, Rang. Loe nyadar
nggak, sih? Sejak awal, kita ini maksa. Untuk tunangan aja nggak ada satupun
dari kita yang ngalah. Gue pengen loe berhenti dari entertainment, loe juga
pengen gue berhenti dari entertainment. Kita bertaruh, bayaran siapa yang lebih
besar dari siapa. Loe tau kenapa hal itu bisa terjadi di antara kita?”
Rangga terdiam. Perlahan matanya
juga berkaca-kaca.
“Karena kita egois....”
“.......”
“Loe egois, gue juga egois. Dan
ini nggak akan pernah ada habisnya...”
Andin menghela nafas. Air matanya
makin deras mengalir. Sesak. Mencoba untuk tidak terisak, tapi tangisnya makin
menjadi-jadi.
“Kita sudahi aja....” lanjut
Andin.
Pohon Flamboyan melambai-lambai.
Pucuk bunganya yang kemerahan menari-nari. Salah satu daunnya terlepas.
Melayang-layang di udara. Lalu terbentur pipi Rangga yang basah.
--------------------------------------
Kalo sad ending gimana? -___-
BERSAMBUNG KE PART 15
Jaangaaannnn.. jangan sad ending dong plissss.. gak tega ngebayangin Kak Rangga sedih.. heu heu..
BalasHapusEh btw, emang Kak Rangga pake android?
android apa kagak, gue sih nggk tahu... pan ini cuma cerbung bree.....
Hapus"Reza, aku tau kenapa make-up mu paling ancur. Mungkin ini karma, karna kamu udah buat salah sama ibu penjual di episode sebelumnya."(saya).
BalasHapus"Siapa?"Reza.
"Kamu"(saya).
"Yang tanya?"Reza menoleh, dengan muka ancurnya.
"ASTAGHFIRULLAH HAL ADZIM! Kamu kenapa?"(saya).
"Gapapah!"Reza senyum ganteng. #abaikan
Kenapa Eriska yang jadi PHO di hubungan Andin-Rangga anteng tapi lebih menghanyutkan dari Ola. Gapapa deh, Eriska. GBU.
Iya, Kak. Sad ending aja, entar Andin nangis alay gitu. Rangga ending-nya jangan sama Eriska, juga jangan sama Andin, mending sama aku.. #kedip2
Eh, emang Rangga nangis ya? Bukannya cuma berkaca-kaca? Kok daun flamboyan-nya jatuh di pipi Rangga yang basah? Apa itu karna make-up? Tapi make-up nya kan, ada yang kering? Tau, ah, gelap.. #matilampu
Oke, Kakak.. Saya pamit dulu, jangan kange yayaya? #muah #ciumpipiIlham #gandengRangga #tebarmenyan #pergi #bayy (Alifa Yunia Rizky)
siapa yang kangen elu.... -___-
Hapus