19 Oktober 2014

[Cerbung SMASH] "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" SEASON 2 / Part 14

Title          : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season    : 2
Author       : @ariek_andini (adm4)
Genre        : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast          : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...

---------------------------------
             “..... kami ingin, kamu putus dari Rangga....”

             Andin tak kuasa meneruskan aksinya membaca surat di depannya. Baru satu paragraf dia baca, dan jantungnya seketika berdetak cepat. Tangannya makin terguncang hebat. Surat yang ia pegang mulai kusut di tepinya.

             Dari fans Rangga... ditujukan padanya, dikirim langsung ke rumahnya! Iya begitu!!

             Andin memegang pelipisnya. Pening. Surat yang ia pegang terjatuh ke atas kasur. Seketika rasa penasarannya sirnah. Ia tidak berminat lagi membaca surat yang satunya.

             Setahun pacaran dengan Rangga, dia sudah terbiasa dengan hal semacam ini. Fans Rangga bahkan bisa tahu di SD mana dia sekolah dulu, di SMP mana, SMA mana, dan universitas mana. Foto-foto lama yang bahkan keberadaannya sudah tidak dia ketahui, bisa muncul lagi di tengah publik berkat mereka. Mereka mengorek informasi tentangnya sedemikian jauh. Bahkan untuk sebuah alamat rumah. Alamat rumah.... yang bisa mereka tuju untuk mengirim surat keluhan seperti sekarang.

             Dia sudah terbiasa. Iya... Sangat terbiasa, sampai dia ingin menangis.

             ***********

             12.00 am

             “Cut!! Ok!! Kita break sebentar!” teriak sutradara.

             Rangga menurunkan kakinya dari pundak seorang stuntman di depannya. Nafasnya ngos-ngosan. Berjam-jam akting berkelahi. Lumayan, rasanya seperti ngedance satu album penuh.

             “Darahnya jangan dihapus dulu!!” kata sutradara memperingatkan.

             “Yaelah! Terus sampe kapan mata gue merem sebelah kek begini??!” protes Reza. Matanya yang sebelah kiri tertutup luka memar. Biru di sana-sini. Pelipisnya juga tersiram cairan warna merah.

             “Tahan!” pungkas Kiki.

             Reza manyun. Wajahnya penuh siratan protes. Rafael, Dicky, Bisma, Rangga dan Ilham make up lukanya biasa-biasa aja. Paling-paling darahnya yang banyak. Ngapa cuman dia yang dibikin bonyok sampe nggak bisa melek begitu?

             Tiba-tiba, dari pintu masuk studio, muncul Om Panchunk. Dia berjalan masuk dengan handphone di tangannya. Sampai di dekat set, ia bersalaman dengan sutradara. Setelah itu ia kembali berjalan ke depan. Matanya menatap Rangga.

             “Sudah minta maaf sama Om Suryo?” tanyanya tiba-tiba.

             Hah?

             “Pasti belum kan?!!” tebak Om Panchunk.

             Rangga gelagapan. Minta maaf?


             “Om ngapain ke sini?” tanya Rafael.

             “Cuma mastiin! Kali aja ada yang ngilang lagi!” jawabnya sambil melirik Rangga.

             “Udah apa beluuuum??” kejar Om Panchunk.

             “Anu... belum...” jawab Rangga. Wajahnya masih nggak ngeh. Minta maaf? Iya dia salah soal sering ngilang dan bikin syuting jadi molor, tapi apa perlu sampai selebay itu?

             “Ayo ke kantor Om Suryo sekarang!!”

             “Hah?!! Nggak bisa Om!”

             “Apanya nggak bisa?!!”

             “Nih!!” Rangga menunjuk wajahnya. Penuh siraman cairan berwarna merah dan make up luka sayatan di mana-mana. Mau menemui Om Suryo dengan wajah kayak zombie begini? Yang benar saja!

             “Bagus!! Ini bisa jadi bukti kalau kamu sekarang sedang serius syuting! Ayo ke sana sekarang! Aku juga ada urusan sama bagian marketingnya! Ayo!”

             “Eeettt!! Maen aya-ayo-aya-ayo aja! Nanti aja ngapa!” Rangga masih bersihkukuh menolak.

             “Nanti sore Pak Suryo udah terbang ke Kuala Lumpur! Ayo sekarang! Kamu jangan bikin image kita jelek di mata produser! Kalau nanti nggak dikontrak lagi gimana! Ayo!”

             Rangga mendesis. Again! Iya, manajer pinter! Soal mikirin karir dan kontrak, Om Panchunk juaranya.

             Rangga akhirnya menurut. Dia dituntun masuk ke dalam mobil seperti korban kecelakaan. Hatinya dongkol. Mau menutupi mukanya pakai kantong plastik juga mustahil, yang ada ntar sutradara ngamuk-ngamuk karena make upnya rusak. Mau pakai topi juga topi siapa?

             Seperempat jam berlalu. Rangga dan Om Panchunk sampai di kantor Om Suryo. Setelah memarkirkan mobil, keduanya lalu berjalan masuk ke dalam kantor.

             “Udah, kamu langsung aja ke ruangannya Pak Suryo. Aku ada perlu sama Bu Vivi!” ucap Om Panchunk begitu lift sampai di lantai tiga.

             “Tapi, Om!”

             “Ingat! Ngomong yang baik sama Pak Suryo!” pamit Om Panchunk sambil melangkah keluar.

             “Ooooommm!!”

             Ting!!

             Pintu lift tertutup. Rangga mangap.

             Haduh! Gimana ini!!? Dia tidak ingin keliling di kantor orang dengan dandanan seperti korban bom nuklir begini!

             Rangga lalu mengambil handphonenya. Dicarinya kontak atas nama manajernya itu. Baru sebentar menggeser-geser layar handphonenya, tiba-tiba pintu lift terbuka.

             “Aaaaaaaaaaaaaaaaghrr!!!!” jerit pegawai yang hendak masuk ke dalam lift.

             Rangga bengong. Hanya sempat melihati pegawai perempuan itu kebingungan. Pegawai itu lalu berlari tunggang langgang. Pintu lift kembali tertutup.

             “Kampret!!” batin Rangga. Kini dia resmi divonis sebagai hantu penunggu lift dengan handphone android di tangan.

             Sepanjang perjalanan lift menuju lantai sepuluh, Rangga komat-kamit. Dia berharap tidak ada yang membuka lift sebelum dia sampai di lantai sepuluh. Sekitar lima menit kemudian, dia sampai di lantai tujuannya. Dengan langkah gugup Rangga berjalan menuju ruangan Om Suryo. Sengaja ia melepas jas hitamnya untuk menutupi wajahnya. Dia bersyukur, di lantai ini tidak banyak orang lalu lalang.

             Cklek!

             Rangga membuka pintu ruangan Om Suryo. Tidak butuh ketuk pintu. Sekretaris yang biasa duduk di depan juga tidak ada. Rangga nyelonong gitu aja ke dalam.

             “Om Suryo....” panggil Rangga.

             Om Suryo menoleh, “Iya? ASTAGHFIRULLAH HAL ADZIMM!!” Om Suryo tersentak kaget. Dia terbangun dari duduknya. Matanya terbelalak.

             “Siang, Om...” sapa Rangga.

             “Si-siang...” jawab Om Suryo bingung. Badannya masih kaku. Melihati Rangga tanpa berkedip, “Kamu habis kecelakaan??!!”

             “Bukan, Om! Ini make up syuting! Tadi banyak adegan action! Jadi wajah saya dibikin begini!” jelas Rangga sebisanya. Dia melangkah maju. Berusaha menunjukkan bahwa cairan yang memenuhi wajahnya sekarang adalah perwarna buatan, bukan darah.

             Om Suryo manggut-manggut. Ganjil. Masih setengah percaya. Siang bolong tiba-tiba saja didatangi orang berumuran darah di dalam kantor.

             “Ma-mau apa ke sini?” tanya Om Suryo.

             “Mau.....” Rangga nampak berpikir sejenak. Mau apa?

             “Iya?”

             “Mau minta maaf, Om...”

             “Hah?”

             “Maaf karena kemaren-kemaren saya sering absen syuting.”

             “Hah?”

             “Katanya, Om kena masalah gara-gara saya...”

             “Hah?”

             Hah-heh-hah-heh mulu nih orang tua satu. Rangga mulai gregetan. Dia menatap Om Suryo dengan tatapan ingin membunuh. Bahkan ia tidak dipersilakan duduk.

            “Soal sewa studio, Om. Yang terpaksa molor sehari itu...” ucap Rangga kemudian.

             “Oooooh! Ituuuu.....” jawab Om Suryo akhirnya.

             “Katanya sempet ribut sama PH lain ya, Om! Maaf, Om. Saya soalnya banyak urusan mendadak.”

             “Iyaa, iyaa... tidak apa-apa! Memang masih ribut, tapi soal beginian sih sudah biasa. Besok juga selesai...”

             “Iya, makanya Om, saya disuruh manajer untuk....” Rangga tidak meneruskan kalimatnya. Matanya tertarik pada secarik kertas yang sedang Om Suryo pegang. Dalam hati ia mengejanya.

             “Titanium Coaching Management? Om juga punya?!!” tanya Rangga tiba-tiba.

             “Hah?”

             “Itu! Kertas di tangan Om!!”

             Om Suryo beralih menatap kertas di tangannya, “Oooh! Ini?? Biasa! Tawaran tidak jelas dari manajemen-manajemen kelas teri.”

             Kelas teri? Melakukan karantina bertaraf internasional yang melibatkan seluruh Asia dibilang kelas teri?

             “Tapi itu karantinanya di Korea lho, Om! Di Busan!” ucap Rangga.

             Om Suryo tersenyum, “Iya, luar negeri! Tapi yang kayak gini ini gayanya cecunguk!  Udah bisa ditebak!”

             “Maksudnya?”

             “Gini, Om kasih tahu! Di luar sana, banyak orang yang sok-sokan bikin agency artis, tapi nggak tumbuh. Biasanya yang begini-begini ini yang kebanyakan tingkah!” Om Suryo mengangkat kertas di tangannya, “Ini! Ajakan kayak gini! Bagusnya di awal doank! Kalo udah dapat uangnya, mereka ngilang! Udah hapal Om sama yang begini ini!”

             Rangga mengerutkan dahinya, “Maksudnya? Mereka agency penipu gitu?”

             “Bisa juga disebut gitu! Kalo Om sih, lebih suka manggil mereka manajemen hitam! Baca aja! Kantornya nggak jelas, strukturnya nggak jelas! Makai bahasa inggris semua biar kelihatan berwibawa.”

             Rangga manggut-manggut. Matanya masih awas melihati tumpukan kertas di meja Om Suryo. Kertas-kertas yang tidak beda jauh dengan yang ia lihat di mobil Andin.

             Om Suryo lalu menawari Rangga tisu, Rangga berkilah. Jangankan tisu, saat jalan saja ia mati-matian berhati-hati agar lukanya tidak acak adul. Rangga lalu pamit, mumpung Om Suryo belum memoles wajahnya dengan kain pel.

             Sampai di luar ruangan, Rangga menyabet salah satu tumpukan koran yang ada di meja sekretaris Om Suryo. Tak peduli dituduh mencuri, ini hanya koran bekas, batinnya. Yang penting jangan sampai ada pegawai lain yang melihat ia berjalan di kantor dengan darah dimana-mana.

             Rangga berjalan menuju mobil Om Panchunk melalui lift yang sama. Sepanjang jalan ia terus-terusan menutupi wajahnya dengan koran. Berpura-pura serius membaca. Kadang pot bunga hampir ia tabrak.

             Sampai di depan mobil Om Panchunk, Rangga bersorak girang. Akhirnya sampai! Tapi sedetik kemudian dia manyun. Om Panchunk masih belum balik dari urusannya. Pintu mobil juga dikunci. Fix, Rangga terpaksa menunggu di parkiran, kepanasan, dan yang pasti, wajahnya masih berlumuran darah.

             Rangga lalu menelepon Om Panchunk.

             “Om! Ayo balik!!”

             “Ya! Ya!!”

             “Udah mau jam satu! Sutradara marah nih!!”

             “Ya! Ya!!”

             “Aku udah di mobil! Cepetan!!”

             “Ya! Ya!!”

             Rangga mematikan teleponnya. Anjirr! Ya ya ya mulu dari tadi!

             Rangga menoleh ke sekeliling mencari tempat teduh. Ia lalu memasang koran lebar-lebar di depan wajahnya. Dilangkahkan kakinya menuju tepian gedung. Kakinya melangkah sedikit demi sedikit. Baru lima langkah berjalan, Rangga nabrak orang.

             Sipp!!

             “Maaf! Maaf! Saya nggak lihat! Maaf!!!”

             “Tas saya!!”

             “Iya Maaf! Saya ambilkan! Maaf! Eh....?? ERISKA??!!” pekik Rangga kaget. Dilihatnya Eriska berdiri di depannya.

             “Rangga?!! Wajah kamu kenapa?!!”

             “Enggak! Nggak apa-apa! Ini...” Rangga memasang kembali koran ke depan wajahnya, “Ini properti syuting! Tadi habis nemuin Om Suryo! Jadi...”

             Eriska tersenyum. Baru kali ini Rangga bertingkah gugup di depannya.

             “Aku juga mau ke lokasi syuting. Mau bareng?” tawar Eriska.

             Rangga menimang-nimang. Ia berpikir keras. Bingung harus bersikap bagaimana di depan Eriska setelah pertengkarannya tempo hari. Tapi menunggu Om Panchunk yang kalo ngobrol sama orang pasti lama juga nggak mungkin. Mana mau dia menggelandang di parkiran mobil dengan wajah hancur kayak gini? Di sisi lain, sepuluh menit lagi syuting dimulai lagi.

             Lalu Rangga mengangguk. Pasrah.

             Eriska tersenyum tipis. Ia lalu menuntun Rangga menuju mobilnya. Setelah itu, keduanya berangkat menuju lokasi syuting bersama-sama. Eriska bertingkah cair seperti biasa. Ngobrol dan tertawa. Seperti tidak terjadi apa-apa antara ia dan Rangga. Seolah lupa bahwa dia pernah memaksa Rangga untuk selingkuh dari Andin.

             “Aku ada job baru. Syutingnya di Jogja. Jadi setelah syuting selesai nanti malam, aku langsung terbang ke sana. Tadi Cuma nyelesein urusan administrasi aja.”

             Rangga manggut-manggut. Tidak heran, Eriska artis beneran. Syuting di sana-sini. Bukan dia yang nyanyi iya, ngehost iya, akting juga iya.

             Sampai di studio, Eriska memarkirkan mobilnya. Kedunya lalu turun bersamaan. Sejenak Rangga menoleh pada kaca spion. Memastikan luka di wajahnya tidak kenapa-kenapa. Bukan apa, omelan Kiki lebih parah dibanding pidato kepresidenan. Itu sutradara satu perfeksionisnya udah tingkat akut.

             “Ayo masuk!” ajak Eriska.

             “Duluan aja...” jawab Rangga. Tangannya masih sibuk menekan-nekan pipinya. Mampus, cairan merah di wajahnya ada yang sudah kering.

             Rangga lalu berjalan masuk ke dalam. Dia terpaksa minta pembenahan make up pada kru. Tapi baru selangkah dia meninggalkan mobil Eriska, tiba-tiba dilihatnya di seberang sana sesosok gadis berdiri menatapnya. Tangannya menjinjing sebuah tas besar. Sangat besar, seperti mau bepergian jauh.

             “Andin?”

             Andin memalingkan wajahnya. Tiba-tiba ia membuka pintu mobilnya dan memasukkan tasnya.

             “Ndin!!” cegat Rangga. Ia berlari mendekat.

             Kian dekat, ekspresi wajah Andin kian jelas. Kusut. Alisnya hampir menyatu.

             “Loe di sini?”

             “Cuman kebetulan mampir aja!” jawab Andin ketus.

             Rangga terdiam. Nada bicara yang sudah dia hapal. Andin marah padanya? Mengapa?

             “Ndin!”

             “Ternyata loe nggak bisa melepaskan diri dari dia, ya?”

             “Loe ngomong apa?!!” tanya Rangga. Dipegangnya tangan Andin, tapi Andin berkelit. Ia memundurkan tubuhnya.

             “Stop!”

             “Ndin?”

             “Jangan sentuh gue!”

             “Gue tadi cuma nebeng mobilnya Eriska! Itu aja! Gue kebetulan ketemu dia di kantornya Om Suryo!”

             “Banyak omong loe, ya?” sanggah Andin. Suaranya masih datar. Tidak ada bentakan-bentakan seperti kalau dia marah biasanya.

             “Please! Don’t be childish! Dikit-dikit cemburu! Apa dikit cemburu! Loe kapan sih berubahnya?!! Gue dan Eriska nggak ada apa-apa! Tadi cuma kebetulan!”

             “Kebetulan? Hebat!” Andin tersenyum masam, “Kebetulan yang sempurna!”

             “Ndin!”

             “Loe capek nggak sih, Rang?!”

             “Eh?”

             “Ya, ini! Dengan ini semua! Loe capek nggak, sih?!!” tatap wajah Andin mulai berubah. Suaranya juga stagnan. Bukan dia ketika sedang emosi. Bukan dia yang biasanya membanting barang atau membentak orang. Andin yang sekarang, seperti putus asa.

             “Ndin... kita masuk aja ke dalam!”

             “Enggak!!” sekali lagi Andin memundurkan kakinya. Ditatapnya Rangga tajam.

             “Loe kenapa, sih?!!” bentak Rangga.

             “Gue capek...”

             “Ndin....”

             “Gue lelah!”

             “..........”

             “Hubungan kita selalu bermasalah! Loe dibenci keluarga gue! Dan keluarga loe juga benci keluarga gue! Loe digosipin sama cewek lain! Dan nggak ada satupun dari fans loe yang menyetujui hubungan kita!!”

             “Loe takut sama fans gue?!! Mereka cuma fans! Yang ngejalanin hidup juga gue! Dan masalah keluarga, kita bisa membicarakannya baik-baik! Gue akan datang lagi ke bokap loe dan me.....”

             “Ssssttt....!” Andin meletakkan telunjuknya di bibir Rangga, “Gue nggak sepengecut itu. Bukan restu keluarga yang gue takutin. Bukan fans loe yang gue khawatirin. Yang gue takutin.... adalah diri kita sendiri...”

             Rangga menurunkan pundaknya. Matanya sayu menatap Andin yang mulai berlinangan air mata.

             “Terlepas dari orang-orang di luar sana. Terlepas dari semua hal itu. Hanya kita masalahnya, Rang. Loe nyadar nggak, sih? Sejak awal, kita ini maksa. Untuk tunangan aja nggak ada satupun dari kita yang ngalah. Gue pengen loe berhenti dari entertainment, loe juga pengen gue berhenti dari entertainment. Kita bertaruh, bayaran siapa yang lebih besar dari siapa. Loe tau kenapa hal itu bisa terjadi di antara kita?”

             Rangga terdiam. Perlahan matanya juga berkaca-kaca.

             “Karena kita egois....”

             “.......”

             “Loe egois, gue juga egois. Dan ini nggak akan pernah ada habisnya...”

             Andin menghela nafas. Air matanya makin deras mengalir. Sesak. Mencoba untuk tidak terisak, tapi tangisnya makin menjadi-jadi.

             “Kita sudahi aja....” lanjut Andin.

             Pohon Flamboyan melambai-lambai. Pucuk bunganya yang kemerahan menari-nari. Salah satu daunnya terlepas. Melayang-layang di udara. Lalu terbentur pipi Rangga yang basah.

             “Terima kasih untuk semunya.”

--------------------------------------

Kalo sad ending gimana? -___-

BERSAMBUNG KE PART 15 

4 komentar:

  1. Jaangaaannnn.. jangan sad ending dong plissss.. gak tega ngebayangin Kak Rangga sedih.. heu heu..

    Eh btw, emang Kak Rangga pake android?

    BalasHapus
    Balasan
    1. android apa kagak, gue sih nggk tahu... pan ini cuma cerbung bree.....

      Hapus
  2. "Reza, aku tau kenapa make-up mu paling ancur. Mungkin ini karma, karna kamu udah buat salah sama ibu penjual di episode sebelumnya."(saya).
    "Siapa?"Reza.
    "Kamu"(saya).
    "Yang tanya?"Reza menoleh, dengan muka ancurnya.
    "ASTAGHFIRULLAH HAL ADZIM! Kamu kenapa?"(saya).
    "Gapapah!"Reza senyum ganteng. #abaikan
    Kenapa Eriska yang jadi PHO di hubungan Andin-Rangga anteng tapi lebih menghanyutkan dari Ola. Gapapa deh, Eriska. GBU.
    Iya, Kak. Sad ending aja, entar Andin nangis alay gitu. Rangga ending-nya jangan sama Eriska, juga jangan sama Andin, mending sama aku.. #kedip2
    Eh, emang Rangga nangis ya? Bukannya cuma berkaca-kaca? Kok daun flamboyan-nya jatuh di pipi Rangga yang basah? Apa itu karna make-up? Tapi make-up nya kan, ada yang kering? Tau, ah, gelap.. #matilampu
    Oke, Kakak.. Saya pamit dulu, jangan kange yayaya? #muah #ciumpipiIlham #gandengRangga #tebarmenyan #pergi #bayy (Alifa Yunia Rizky)

    BalasHapus