20 Oktober 2014

[Cerbung SMASH] "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" SEASON 2 / Part 15

Title          : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season    : 2
Author       : @ariek_andini (adm4)
Genre        : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast          : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...

Awal bikin season 2, gue udah niat bakal bikin konfliknya ringan-ringan aja... fokus ke Andin-Rangga aja gitu. Taunya, pas udah jadi, malah kayak gini... -___-" .... kayak ge-ge-es... astapp.... bukan maksud gue guys...

---------------------------

             “Ssssttt....!” Andin meletakkan telunjuknya di bibir Rangga, “Gue nggak sepengecut itu. Bukan restu keluarga yang gue takutin. Bukan fans loe yang gue khawatirin. Yang gue takutin.... adalah diri kita sendiri...”

             Rangga menurunkan pundaknya. Matanya sayu menatap Andin yang mulai berlinangan air mata.

             “Terlepas dari orang-orang di luar sana. Terlepas dari semua hal itu. Hanya kita masalahnya, Rang. Loe nyadar nggak, sih? Sejak awal, kita ini maksa. Untuk tunangan aja nggak ada satupun dari kita yang ngalah. Gue pengen loe berhenti dari entertainment, loe juga pengen gue berhenti dari entertainment. Kita bertaruh, bayaran siapa yang lebih besar dari siapa. Loe tau kenapa hal itu bisa terjadi di antara kita?”

             Rangga terdiam. Perlahan matanya juga berkaca-kaca.

             “Karena kita egois....”

             “.......”

             “Loe egois, gue juga egois. Dan ini nggak akan pernah ada habisnya...”

             Andin menghela nafas. Air matanya makin deras mengalir. Sesak. Mencoba untuk tidak terisak, tapi tangisnya makin menjadi-jadi.

             “Kita sudahi aja....” lanjut Andin.

             Pohon Flamboyan melambai-lambai. Pucuk bunganya yang kemerahan menari-nari. Salah satu daunnya terlepas. Melayang-layang di udara. Lalu terbentur pipi Rangga yang basah.

             “Terima kasih untuk semunya.” Ucap Andin. Ia lalu masuk ke dalam mobil. Mesin dinyalakan. Mobil mulai melaju. Derunya halus. Seperti pamitan. Andin lalu pergi dari lokasi syuting. Meninggalkan Rangga yang masih berdiri mematung. Bergeming. Menatap tanah tanpa berkedip. Ia bahkan tak sempat menjawab terima kasih dari Andin.

             Begitu? Karena egois?

             Dan....

             Berakhir....

             Rangga menengadahkan kepalanya. Memandang pucuk-pucuk daun yang diterpa sinar matahari. Sesekali bergoyang karena dibelai angin. Hijau tua. Makin ke pucuk makin terang. Hijau pupus. Ada juga yang hijau kekuningan. Lalu semua warna itu melebur menjadi satu. Membayang tanpa batas. Membuat mata pedih.

             Rangga menghela nafas panjang. Disekanya air matanya dengan jarinya. Dia lalu melangkahkan kaki ke dalam studio. Langkahnya gamang. Seperti tidak menginjak tanah. Dia lalu menghilang di balik sekat.

             Sepeninggalnya, suasana meredup. Sepi. Hanya nampak satpam penjaga yang duduk di dalam pos. Lalu lalang kendaraan mengisi keheningan. Bersela dengan suara klakson mobil. Di seberang jalan, di bawah pohon peneduh, sebuah sedan hitam terpakir. Kaca cendelanya terbuka penuh. Menampakkan pengemudi berkaca mata hitam di dalamnya. Dia tajam mengamati studio. Menelisik jengkal demi jengkal. Dia lalu memasang handphone di telinganya.

             “Target menghilang!”

             “Batalkan!” jawab suara parau dari balik telepon.

             “Baik!”

             “Awasi terus!!”

             “Baik!”


             Laki-laki itu lalu menutup teleponnya. Matanya masih jeli mengamati. Sesekali terhalang oleh mobil lain yang menyalipnya.

             ***********

             “Ini! Ambil satu-satu!” ujar sutradara sambil meletakkan sebuah tas di depan Rangga, Rafael, Bisma, Ilham, Dicky dan Reza. Sebuah tas besar yang nampak berat.

             Mereka lalu membuka resletingnya yang tertutup. Dan seketika tercengang.

             “Busettt!!!”

             “Sadiissss!!!”

             “Ini beneran, Ki?!!” tanya Rafael sambil mengangkat salah satu isi di dalam tas itu. Bermacam-macam pistol dengan berbagai tipe. Ilham, Reza, Bisma dan Dicky juga turut mengambilnya. Masing-masing berdecak kagum. Baru kali ini lihat senjata api beneran.

             “Berat, yak!” gumam Bisma.

             “Itu asli! Tapi nggak ada pelurunya! Hati-hati kalo megang! Itu gue minjem!” jawab Sutradara.

             “Temen loe polisi?” tanya Reza.

             “Bukan~.. dia emang gudangnya barang beginian. Biasa jadi supply buat film-film begini. Tahu The Raid? Dapetnya ya dari dia!”

             Semua orang berdecak kagum. Bicara soal totalitas, Kiki nggak bakal ada nyerahnya. Apapun bisa dia lakukan untuk membuat efek yang dia mau. Satu-satunya yang dia ingat, jangan sampai sinetron yang dia pegang terlihat murahan seperti sinetron kebanyakan.

             “Inget! Hati-hati makeknya!!” sekali lagi Kiki memperingatkan.

             Tapi pesannya masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Aktor-aktor di depannya sibuk mengais-ngais pistol dan nyari mana yang paling keren. Nggak digubris. Kiki menghela nafas.

             “Gue yang ini!” seru Ilham.

             “Gue duluan yang dapet!” cegat Bisma.

             “Loe kan udah megang yang itu! gue yang ini!”

             “Gue berubah pikiran! Gue yang ini!”

             “Loe udah tua! Ngalah kek!”

             “Loe tuh bontot! Hormat kek!”

             “Kagak bisa! Gue yang ini!”

             “Kagak bisa! Kagak bisa!!”

             Ilham dan Bisma saling seret pistol. Udah nggak ada bedanya sama anak SD. Reza masih sibuk mengotak-atik pistol ditangannya. Menarik-narik pelatuk ala James Bond. Sementara Rafael sibuk membaca keterangan produksi yang hurufnya segede kutu. Dia lalu mengalihkan perhatiannya pada Rangga yang duduk di sampingnya. Dia mengerutkan dahinya. Yang lain sibuk berebut revolver, kenapa dia hanya bertopang dagu?

             Rafael meletakkan Beretta 92 di tangannya ke dalam tas. Diliriknya Rangga. Masih tak bergerak. Rangga menopang dagunya sambil menerawang jauh ke arah kameramen yang sibuk memboyong-boyong kamera. Tatap matanya kosong.

             “Ngga!” panggil Rafael.

             Rangga menoleh, “Apa?” jawabnya datar dengan muka bantal.

             “Nggak milih pistol? Habis ini syutingnya mulai.”

             “Habis ini...” Rangga kembali menatap barisan kameramen di depan sana. Seolah ada yang menarik perhatiannya. Mungkin wajah si Hendra yang sedang otak-atik kamera, atau sutradara yang sibuk nuding sana nuding sini, atau Eriska, yang berdiri di tengahnya menjadi titik shoot.

             Ck~.... jika saja dia nggak nebeng mobil Eriska. Jika saja dia menolaknya dan mau menunggu Om Panchunk meskipun harus dikatain sebagai setan nyasar.

             Karena Eriska?

             Bukan. Bukan dia.

             Andin benar. Sebanyak apapun gosip murahan tersebar di luar sana, dia dan Andin bisa bertahan. Buktinya sudah ada selama ini. Masalah-masalah seperti ini muncul, tak lain karena keegoisannya sendiri.

             “Ayo, masuk!! Rangga dan Rafael ada di tangga! Bisma dan Ilham di depan mobil! Arahkan pistol ke teras rumah!”

             Menolak berhenti dari entertainment, dan balik menyuruh Andin yang berhenti dari bandnya. Sama-sama keras kepala, lalu berdua bertaruh tentang bayaran siapa yang lebih tinggi. Jika salah satu saja ada yang mengalah, jika saja ada yang mau bersikap lunak....

             “Tahan!! Itu pistol tipe semi-otomatis. Ada sedikit guncangan ketika menarik pelatuk! Jangan los begitu! Ada tekanan sedikit! Lengan dan tangan bergetar sedikit! Ayo Dicky dan Reza langsung lari!”

             Jika ada satu saja yang mau berlogika, maka perpisahan seperti ini tidak akan terjadi.

             “Lepas ikatan Kakek Usman!”

             “Kakek! Bertahan, Kek!”

             “Astaga!! Kakek udah nggak bernafas!!”

             Terang saja Andin lelah. Terang saja hubungan ini seperti memaksa. Lalu semua orang ikut merasa lelah. Letih. Masalah demi masalah selalu menghadang. Menekan, mengekang, merajam melebihi batas kemampuan.

             “Kakek! Buka mata, Kek!”

             “Cepat panggil bantuan!! Bisma! Telpon polisi!”

             “Kakek!”

             Rangga jatuh bersimpuh. Walther P99 di tangannya terlepas ke lantai. Dipeluknya Om Hengky, pemeran Kakek Usman, dengan erat. Ia menangis.

             “Bagus! Cut!” teriak sutradara.

             Bisma, Rafael, Reza, Dicky dan Ilham bubar. Beberapa pemain figuran yang berpura-pura mati tergeletak di lantai juga bangun. Mereka menepi dan mulai membersihkan diri.

             “Rangga?” panggil Om Hengky heran. Syuting sudah selesai, tapi Rangga masih saja memeluknya sambil menangis.

             Rangga bergeming. Pundaknya terlihat gemetaran. Air matanya membanjir di bahu Om Hengky. Rafael lalu menghampiri Rangga. Dipegangnya pundak kawannya itu. Tapi tak satu katapun terucap. Rafael hanya diam. Om Hengky juga diam. Membiarkan tubuhnya menjadi sandaran Rangga.

             Hening. Seluruh pasang mata tertuju ke tengah set. Memandangi Rangga dalam ketidakmengertian. Bingung dan keheranan. Tapi tak seorangpun berani menyadarkannya. Mereka ikut larut. Merasakan dari jauh hembusan angin kelam yang menyulubungi pemuda itu.

             **********

             “HAH?!! Loe putus sama Andin?” tanya Bisma dan Reza bersamaan.

             “Sejak kapan?!” tanya Ilham.

             Pletakk!!

             Rafael memukul kepala Ilham dengan gagang pistol, “Sssssttt...!” Rafael memberi kode.

             Bisma, Reza, Ilham dan Dicky diam. Memandangi Rangga penuh selidik. Rentan, tapi agak kaget juga. Kadang Rangga dan Andin bertengkar di lokasi syuting, nggak nyangka bakal kandas beneran.

             “Sabar, Bro....” ucap Reza sambil menepuk pundak Rangga.

             Rangga hanya menghela nafas. Ia beralih menatap Om Hengky yang sibuk mengibas-ngibaskan lengan kemejanya yang basah. Kasihan itu kakek satu. Dia tidak tahu apa-apa, tahu-tahu Rangga memeluknya sambil nangis-nangis.

             “Gue mau cuci muka...” ucap Rangga. Dia berdiri dari kerumunan teman-temannya. Baru putus sama pacar, segitunya banget kalo merhatiin.

             “Woy! Kamar mandi sebelah sana!” cegat Bisma.

             “Ngambil tas dulu di mobil...” jawab Rangga sambil terus melangkah.

             Kelima kawannya masih stagnan melihatinya meski hanya punggungnya yang nampak. Satu kata yang muncul di otak mereka, ‘nggak nyangka’.... Terlebih Dicky. Ekspresinya paling miris dibanding yang lain. Bercampur rasa bersalah. Menyesal telah ngambek dan marah pada Rangga hanya karena hal kecil.

             ************

             Rangga berjalan keluar studio menuju mobilnya. Langkahnya gontai. Tak bersemangat. Bukan hubungannya yang dia pikirkan, dia sendiri tidak tahu apa yang memenuhi otaknya sekarang. Kadang membuat penat. Membuat degub jantung tersendat-sendat.

             Rangga lalu membuka pintu mobilnya. Diambilnya tasnya. Setelah itu, ditutupnya lagi pintu mobil dan menguncinya. Saat ia hendak melangkahkan kaki kembali ke dalam studio, Rangga terhenti.

             “Eris?”

             Eriska tercekat. Langkah kakinya yang hendak menghampiri mobil Rangga juga terhenti. Keduanya saling berhadapan di parkiran mobil. Saling menatap, tapi tak ada yang bersuara.

             Angin sore berhembus kecil. Mengantar mega merah menghampar di langit senja. Matahari kian lama kian tenggelam di ufuk barat. Lalu suasana menjadi temaram.

             “Gue....” Eriska tidak meneruskan kalimatnya. Wajahnya resah. Sebelah tangannya menggenggam ujung pakaiannya, “Gue minta maaf...”

             Rangga mengerutkan dahinya.

             “Maafin gue....”

             “Loe ngomong apa?” tanya Rangga.

             “Loe putus sama Andin, gara-gara gue....”

             Seperti ada yang menyumbat kerongkongannya, Rangga tak kuasa membalas kalimat Eriska. Wajahnya kembali sendu.

             “Gue minta maaf. Loe bener, gue salah mengartikan kebaikan loe saat membantu gue dulu. Maaf...” sekali lagi bibir Eriska melatunkan kata maaf.

             “Bukan salah loe, kok. Gue putus sama Andin, karena hal lain....” tandas Rangga.

             Eriska menundukkan wajahnya, “Maaf, tadi... gue nguping pembicaraan loe sama temen-temen loe...”

             “Udahlah... loe ngapain sih minta maaf mulu... gue udah lupa kok...” hibur Rangga dengan senyum tipis di wajahnya yang sembab.

             Eriska turut tersenyum. Ada raut kelegaan di wajahnya. Dia mengangguk, “Kalau gitu, gue masuk ke dalam, ya...”

             Rangga balas mengangguk. Eriska lalu melangkahkan kaki ke dalam studio. Wajahnya masih menunduk. Sudut hatinya masih sungkan. Pikirannya melayang pada tingkah gilanya tempo hari.

             Bruakk!!

             Eriska menghentikan langkahnya. Sebuah suara kencang datang dari belakangnya. Eriska menoleh.

             “Ranggaaaaa!!!” jerit Eriska. Dilihatnya Rangga jatuh tersungkur di depan sebuah mobil. Rangga mencoba bangkit. Buru-buru Eriska berlari menghampiri Rangga dan membantunya bangkit.

             Rangga mendesis. Tangannya memegangi pinggangnya. Keduanya menatap tajam pada mobil sedan hitam yang tiba-tiba muncul dan menabrak Rangga.

             Seorang pria berbaju hitam keluar dari dalamnya. Ia menghampiri Rangga dan Eriska.

             “Maaf! Maaf! Anda nggak apa-apa?!” tanyanya.

             “Hati-hati donk, Pak, kalo nyetir! Ini are parkir! Pelan-pelan, donk!” semprot Rangga.

             “Iya! Maaf! Maaf! Saya terburu-buru! Anda nggak apa-apa?!” Pria itu melongok lebih dekat kearah Rangga. Diselidikinya tangan dan kaki Rangga untuk memastikan apakah terluka atau tidak.

             Rangga semakin emosi. Ia justru risih tubuhnya diputar-putar oleh pria tak dikenalnya itu. Rangga lalu mencengkeram tangan laki-laki itu untuk menghentikannya. Tapi kemudian dia terkejut. Dilihatnya sebilah pisau menyembul dari dalam lengan bajunya. Rangga mangap.

             “Eriiiisss!! Lariiii!!” teriak Rangga.

             Sadar modusnya terbongkar, pria itu langsung meraih pisaunya dan menghunusnya ke arah Rangga. Eriska tersentak kaget. Ia menjerit kencang. Pria itu terus saja menghunuskan pisau ke wajah Rangga. Rangga berkelit. Dia berlari menghindar. Tapi pria itu mengejarnya.

             Eriska panik. Dia lalu melepas high-heels-nya. Dipukulnya kepala pria itu dari belakang.

             Tidak berhasil. Pria sama sekali acuh dengan Eriska yang berusaha menghentikan aksinya. Dia menghunuskan pisau ke wajah Rangga yang kini tergeletak di tanah. Sebelah tangannya mencekik leher Rangga, sementara tangannya yang lain berusaha menancapkan pisau ke pipi Rangga.

             Rangga terdesak. Kedua tangannya menahan lengan pria itu mati-matian. Kian lama ujung pisau hampir menyentuh kulitnya. Rangga menahan nafas. Keduanya tangannya hampir tak mampu menyangga lengan kekar pria itu.

             Prakkkk!!!

             Eriska membanting sebuah pot bunga ke kepala pria itu. Tanah berhamburan kemana-mana. Laki-laki itu berteriak kesakitan. Pisau di tangannya hampir terlepas. Ia geram. Kini ia beralih menghadap Eriska dan menghunuskan pisaunya ke arah Eriska.

             Eriska panik. Dia hendak berlari namun keburu dicegat. Melihat hal itu, buru-buru Rangga bangun dari tanah. Dicengkeramnya baju pria itu dari belakang lalu diseretnya menjauh dari Eriska. Tapi di luar dugaan, pria itu balik mencengkeram Rangga lalu menendangnya hingga membentur bemper mobil. Rangga jatuh terkulai di depan mobil. Tangannya memegangi ulu hatinya yang ngilu.

             Pria itu kembali berbalik badan menghadap Eriska. Matanya menyala penuh emosi. Didorongnya Eriska hingga jatuh terduduk. Ia lalu menghunuskan pisaunya dengan cepat.

             “ERISKA!!”

             Seketika suasana meredup. Di tengah suasana senja yang kian menghitam, angin sore berhembus perlahan. Rangga memicingkan matanya. Dikerjapkannya matanya ke arah Eriska dan pria itu. Buram. Pandangannya nampak bergoyang-goyang. Samar-samar matanya menangkap sebuah sosok. Sebuah sosok yang merengkuh Eriska ke dalam dekapannya. Sebuah pisau lipat menancap di punggungnya.


             “Dicky?” gumam Rangga. Tertatih-tatih ia bangun. Jantungnya seperti berhenti berdetak, “DIIIICKYYYYY!!!”

--------------------------------

BERSAMBUNG KE PART 16

3 komentar:

  1. Semuanya salah Eriska, Eriska yang buat Rangga-Andin putus, Eriska yang buat Dicky sama Rangga bertengkar, Eriska sumber masalahnya. Kasian Andin, Dicky, sama Rangga... Hiks..hiks... #ketawa
    Season ini dramatis banget, rasanya bertolak belakang sama season kemarin. Di sini Dicky-Eriska juga lebih dijelasin ya, Kak? Walaupun PU-nya tetep Andin-Rangga.
    Dicky kasian, kalo pisau lipet nancep di punggungnya, dia masuk RS. Eriska nangis nyesel gitu, Rangga juga ikutan nyesel, kali..
    Trus Bunawar sama Om Budy gimana? Masa nggak diceritain, lagi?
    Kasian Kakek Usman, bajunya harus dikeringin tuh. Rangga kalo nangis kan, alay kayak di sinetron-sinetron gitu.. #yagak #peace
    Dicky orangnya jadi diem ya, di sini. Nggak terlalu pecicilan gitu, bener nggak?
    Ola nggak keluar lagi ya? Kontrak kerjanya udah habis? Kesian...
    Okesip, Kakak... Aku pergi dulu, babay... #please #kangen #sama #aku #edisingarep #yayaya #hehe #muahmuah #dadah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gue sih juga nggak bakal nyangka season ini konfliknya bakal awut-awutan kek begini.... =,= ...... Gue bakal usahain ngembaliin Andin dan Rangga ribut seperti semula...

      Hapus
  2. Berharap ada season 3

    BalasHapus