2 Oktober 2014

[Cerbung SMASH] "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" SEASON 2 / Part 4

Fanfic-SMASH
Title          : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season    : 2
Author       : @ariek_andini (adm4)
Genre        : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast          : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...

-------------------------

             “Aku, denger pembicaraan kamu tadi...” ujar Eriska tiba-tiba.

             Rangga menghentikan kakinya di salah satu anak tangga. Dia menatap Eriska.

             “Kemaren dia juga ngomong gitu ke aku. Makanya, kemaren.... pas wartawan datang, aku ngomong gitu ke wartawan.”

             “Kamu yang ngomong ke wartawan?” tanya Rangga.

             “Bukan ngomong. Maksud aku, Cuma ngasih kode kalau...”

             Rangga berdecak. Eriska nampak kesulitan berbicara padanya. Wajar. Dia dan Eriska sama-sama berada di posisi terjepit sekarang. Nggak ada yang perlu disalahkan. Yang menjadi pertanyaannya, kenapa industri hiburan sekarang begitu buas?

             “Promosi?” ulang Bisma begitu Rangga selesai menceritakan pembicaraan dengan Om Suryo.

             Rangga mengangguk datar.

             “Season kemaren gue sama Franda yang dijadiin sasaran. Sekarang loe...” gumam Bisma.

             “Padahal gue udah ada Andin...” ucap Rangga.


             “Ya, makanya itu! Loe sasaran empuk. Kalo diliat-liat, yang nggak ganti formasi emang Cuma loe sama Eriska. Loe sejak season pertama sama dia. Loe sama Andin hangat di infotaiment setahun lalu pas awal jadian. Om Suryo pengen ngejadiin itu sebagai umpan untuk bikin kisah di infotaimen.”

             Andin?

             Eh iya....

             Tiba-tiba Rangga teringat sesuatu. Buru-buru dirogohnya handphonenya dan menelepon nomor handphone Andin. Baru semalam dia bertengkar. Pengen minta maaf malah ditabrak. Dia harus minta maaf sekarang atau Andin akan menguburnya hidup-hidup.

             Suara operator menjawab. Handphone Andin tidak aktif!! Rangga mendengus. Ia lalu beralih menelepon telepon rumah Andin.

             “Halo!!”

             “Iya, halo. Siapa ini?”

             Rangga cengo. Logat jawa kental. Ini pasti Lasi.

             “Ini Rangga, Las. Andin mana?”

             “Oh, Mas Rangga. Non Andin belum pulang, Mas..”

             “Belum pulang?”

             “Iya. Lha tadi malam kan Mas yang ngajak Non Andin ke nikahan temennya Non Andin.”

             “Jadi dari tadi malam Andin belum pulang??!”

             “Be-belum, Mas. Lha kan...”

             Rangga menutup teleponnya. Bicara sama Lasi lama-lama kayak lagi main ludruk. Rangga berpikir keras. Apa ada job? Tapi mana mungkin Andin langsung berangkat ngeband dengan dandanan kayak Nyi Ronggeng begitu? Apa di studio?

             “Gue harus pergi, Bis!” kata Rangga singkat.

             “Hah? Kemana?!!”

             “Penting!!”

             “Penting sih penting! Loe mau naik apa? Loe belum take sama sekali. Kalo loe pergi, loe bakal diomelin sama Kiki!”

             Rangga mendesis. Benar juga. Tenda Kiki, sang sutradara, tepat berada di jajaran mobil-mobil. Dan mobilnya ada di sana. Jika ia masuk ke dalam mobilnya, Kiki akan tahu. Scene mengambil setting outdoor di parkiran. Apes banget!!

             Rangga mengalihkan matanya ke White Lamborghini yang ada di depannya. Benar juga!! Mobil sport yang seharusnya akan dipakai syuting itu kan sedang nganggur.

             “Naik ini!!” jawab Rangga.

             “Ini? Ini kepalamu?!! Loe mau naik Lamborghini Cuma buat nemuin Andin?! Ini aset syuting, Ngga! Mobil sewaan! Lecet dikit aja loe terpaksa jual rumah buat ganti!!”

             Blammm!!!

             Rangga menutup pintu kemudi. Omelan Bisma nggak ada bedanya sama omelan Ustad Yusuf Mansyur. Di dalam sinetron, ini adalah mobilnya. Kunci mobil udah di tangan. Apa bedanya?!

             “Heh! Nggak waras loe!!?” Bisma nggak patah semangat. Dia membuka pintu sisi lainnya dan mencoba memaksa Rangga keluar.

             Rangga menyalakan mesin. Dimundurkannya mobil mewah itu ke belakang dan bersiap membelok.

             Bisma gelagapan. Dia kejepit pintu mobil. Tapi Rangga tetap melajukannya. Bisma jatuh terguling ke jok mobil. Tanpa ba-bi-bu, Rangga langsung membawanya pergi meninggalkan lokasi syuting beserta Bisma di dalamnya.

             Jalanan kota Jakarta padat lancar. Sela-sela sempit terbentuk di antara mobil yang melaju sedang. Tapi itu sama saja dengan jalang lapang bagi sebuah Lamborghini. Mobil sport yang Rangga kemudikan meliuk-liuk di antara sela-sela mobil. Dalam hitungan menit, sudah belasan mobil tersalip. Di sampingnya, Bisma duduk meringkuk dengan bibir komat-kamit. Bukan keselamatan yang dia pikirkan. Tapi konsekuensi bangkrut mendadak gara-gara mengganti ganti rugi kalo mobil mahal itu tiba-tiba lecet.

             Sesekali Rangga meraih handphonenya berusaha memastikan apakah handphone Andin sudah aktif. Bisma makin tegang.

             “Rangga!! Matamu!! Matamu lihat jalan!” bentak Bisma.

             “Bentar, Bis! Gue telpon Andin dulu!!”

             “Andin nggak bakal ada apa-apanya kalo loe sampe nubrukin nih mobil!! Nyetir yang beneerrrr!!!”

             Rangga acuh. Dia tetap memasang handphone di telinganya. Sekeras apapun Bisma memperingatkan, akal sehat Rangga terlanjur hilang.

             Tak sampai dua puluh menit, Rangga telah sampai di studio tempat D’Uneven biasa latihan. Dia memakirnya ke dalam halaman. Begitu pintu mobil terbuka, Rangga berlari ke dalam studio. Sementara Bisma, dengan kaki lemes keluar dari dalam mobil. Keringat dingin memenuhi dahinya. Dalam hati dia bersumpah, bakal nimpuk Rangga pakek linggis kalo dia keluar nanti.

             “Andin!!” teriak Rangga.

             Sesosok cewek dengan rambut acak-acakan dan wajah lusuh duduk di salah satu sofa di dalam studio. Tubuhnya berbalut jacket kulit tebal. Dari baliknya, menjulur gaun berwarna merah menyala. Benar kata Lasi, kayaknya semalaman Andin belum pulang. Keadaannya makin mirip ondel-ondel dengan eyeshadow tebal yang nggak juga dihapus.

             Andin tak menjawab. Dia hanya melirik Rangga sepintas. Di sudut yang lain, Erwin, Ipunk dan Ardhy duduk sambil memondong gitar.

             “Gue mau ngomong sama loe.” Ucap Rangga.

             “Ck....”

             “Ok! Gue akuin gue salah! Gue nggak sengaja ngomong gitu semalam! Gue cuman becanda!! Loe cantik kok!!!” Rangga menatap Andin dalam-dalam.

             “Cantik? Cantik mana sama Eriska?”

             “Eh?”

             Mampus! Kayaknya Andin udah tahu gosip miring itu.

             “Ndin...”

             “Mending loe pergi dari sini, Rang!” Andin beranjak pergi dari hadapan Rangga.

             “Ndin! gue sama Eriska nggak ada apa-apa!! Itu cuman gosip!!” Rangga berusaha mencegat Andin.

             “Gosip? Oh, enak ya? Yang di sana syuting sinetron, terus gosip-gosipan sama artis cantik!!”

             “Loe tuh ngomong apa, sih??!”

             “Loe yang ngomong apa?!! Loe emang nggak pernah serius kan sama hubungan kita? Dari dulu kerjaan loe cuman maen-maen!”

             “Loe pikir gue cuman maen-maen? Gue udah serius sama loe selama ini nggak ada harganya?!”

             “Emang kapan loe pernah serius sama gue??!” bentak Andin.

             “Loe pengen gue gimana biar loe tahu kalau gue serius?!!” suara Rangga tak kalah kencang.

             “Kenapa kalian nggak tunangan aja biar kelihaan serius?” tiba-tiba Erwin menyela.

             Jlebb!

             Rangga mangap.

             Andin bengong.

             “Nah! Bener! Tunangan!!” tiba-tiba Bisma muncul dari pintu studio.

             Ardhy dan Ipunk manggut-manggut setuju. Seluruh orang di dalam studio memandangi Andin dan Rangga. Sejenak ketegangan di antara keduanya memudar. Andin membenarkan anak rambutnya. Rangga membenarkan kerah bajunya. Kaku. Keduanya tidak berani saling memandang.

             Sunyi. Tak ada seorangpun bersuara.

             “Ehem... itu...”

             Rangga tidak meneruskan kalimatnya. Jika ditimang-timang, benar juga. Serius berarti tunangan. Mungkin itu yang diinginkan Andin. Lagi pula, mau sampai kapan ia dan Andin begini-begini terus.

             “Aaa! Gue inget! Gue mau beli makan!” teriak Ipunk tiba-tiba.

             “Loe lapar nggak sih, Dhy?!” sahut Erwin.

             Ardhy cengo.

             “Yaudah, kita keluar dulu ya!” tambah Ipunk. Diseretnya Ardhy keluar studio.

             “Ayo, Bis! Loe bilang loe yang traktir, kan?!!” kata Erwin. Sebelah tangannya menarik kerah belakang Bisma.

             Bisma gagap. Kakinya mengikuti langkah kaki Erwin sementara tubuhnya dijinjing kayak anak kucing “Kapan gue ngomong gitu?”

             “Udah... pokok loe yang traktir!!”

             Erwin menutup pintu studio. Pembicaraan Rangga dan Andin bukan ranahnya. Mereka berdua butuh privasi. Benar. Tunangan bukan soal main-main. Erwin lalu berbalik badan.

             “Busettt! Bangun-bangun makan nasi pake kerikil! INI MOBIL SIAPA???!!” jerit Erwin melihat sebuah mobil mewah terpakir di halaman studio.

             Bisma menghela nafas. Mesti jawab gimana? Bilang aja Pak Haji lagi nitip parkir.

             ************

             “Gue dan Eriska nggak lebih dari rekan syuting. Yang loe lihat tadi di TV itu cuman gosip. Kalo perlu, gue bakal telponin Eriska sekarang biar loe ngomong langsung sama dia.”

             Andin diam menunduk. Khidmat menyimak semua kalimat Rangga. Tingkahnya terlihat lebih tenang dibanding tadi.

             “Ndin... loe maafin gue kan?” Rangga meraih belah tangan Andin.

             “Bener loe dan Eriska nggak ada apa-apa?”

             “Iya! Serius! Loe kayak nggak tahu infotaimen aja! Isinya fake semua!!” tegas Rangga.

             Andin mengangguk. Cape juga dari semalam ngamuk terus. Jika Rangga sudah berbicara sambil memegang tangannya, dia pasti luluh. Suara baritonnya yang merdu membuat nyaman.

             “Dan mulai sekarang, gue akan serius sama loe.”

             “Eh?”

             “Kita udah lama jalan. Gue tahu udah saatnya kita menginjak jenjang yang lebih serius.”

             Jantung Andin berdegub kencang.

             “Gue akan nyari tanggal tunangan yang bagus.” Ucap Rangga.

             Andin berdesir. Matanya menatap bola mata Rangga tak percaya. Tanpa diduga Rangga meraih pundaknya dan mendekapnya. Hangat.

             Serius. Iya, salah satu buah dari cinta adalah keseriusan.

             ***********

             Cahaya lampu menyinari halaman kantor benderang. Putih menyilaukan mata. Tiga lampu yang serupa berjajar di sudut lainnya. Membuat susana malam tersamarkan.

             Rangga menutup wajahnya dengan kertas skenario. Wajahnya duduk melorot di kursi lipat. Di sampingnya, sutradara sibuk mengatur-ngatur properti syuting.

             “Kiii.... come on!! Biarin gue pulang~....” rengek Rangga dengan wajah masih ditutup kertas skenario. Penat, lelah dan ngantuk. Jam sudah menunjukkan jam 11 malam, tapi dia masih juga nggak dibolehin pulang.

             “Kagak bisa!!” jawab Kiki singkat.

             Rangga bergeming. Pemain-pemain lain telah pulang dan dia masih terdampar di lokasi syuting. Ini sinetron Cuma mini serial, kenapa berasa kayak stripping begini?

             “Dilanjut besok kan bisa!! Gue ngantuk!!”

             “Siapa suruh seharian tadi loe ngilang?! Pakek nyuri mobil segala! Untung nggak gue laporin Om Suryo!”

             “Gue nggak nyuri! Gue cuman minjem!! Lagian nih sinetron tayangnya juga dua bulan lagi! Nggak pake ngebut juga kali.”

             Sutradara tidak menyahut rengekan Rangga. Satu-satunya yang ada di otaknya, Rangga harus menyelesaikan jatah take-nya hari ini. Lama pengambilan gambar dan editing sudah dia persiapkan matang-matang. Nggak mungkin berantakan cuman karena bela-belain Rangga yang nemuin pacarnya.

             Rangga beralih mencermati script di tangannya. Matanya jereng-jereng. Semua tulisan terlihat gandeng. Hampir nggak kebaca. Di samping kanannya, Bisma telah lama terpulas. Mukanya ditutupi topi. Dia juga dilarang pulang sama Kiki karena alasan yang sama, menghilang pas syuting. Dasar sutradara tidak berperikesutradaraan.

             Rangga melempar pandangannya ke udara lepas. Berusaha mengusir kantuk. Beberapa orang kru sibuk menggeser-geser pot bunga. Selesai ditata, digeser lagi. Kiki mati-matian nyari view yang pas dan mengorbankan semua krunya. Untung nggak mati kesel tuh kru.

             Tiba-tiba di salah satu jajaran pot Ephorbia, sesosok cowok dengan sweater cokelat berdiri dengan melipat tangan. Wajahnya hampir tidak kelihatan karena terhalang bayangan lampu. Rangga memicingkan matanya. Dicky? Beneran itu Dicky? Bukannya seharusnya dia udah pulang?

             Rangga beranjak dari duduknya dan menghampiri Dicky. Begitu setengah jalan, tiba-tiba Dicky berjalan pergi. Rangga mempercepat langkahnya.

             “Dicky!!”

             Dicky tidak menoleh.

             “Dick!!”

             Dicky malah berlari.

             Rangga gregetan. Dia mengejar Dicky. Dicengkeramnya pundak Dicky. Dicky mengelak. Rangga beralih memegang pundak satunya. Dicky memutar badannya. Tangan Rangga terlepas. Tapi Rangga tidak menyerah. Tangannya meraih kerah sweater Dicky. Lagi-lagi Dicky memutar badannya.

             Dari kejauhan, sutradara dan kru melihati tingkah Rangga dan Dicky. Mereka mengernyitkan dahi. Entahlah, Dicky dan Rangga terlihat seperti sedang dansa salsa pakek muter-muter ala balerina begitu.

             “Lepasin gue!!!” bentak Dicky.

             “Loe mau sampe kapan mau ngambek sama gue?!!”

             Dicky meraih tangan Rangga dari sweaternya lalu menghempaskannya.

             “Berita antara gue sama Eriska itu bohongan!! Itu bikinan Om Suryo buat narik wartawan!”

             Dicky diam.

             “Gue cuman korban! Gue nggak pernah punya perasaan apa-apa sama Eriska!”

             “Bikinan Om Suryo?” ulang Dicky.

             Rangga menghela nafas. Syukur deh akhirnya Dicky mau bicara. Dicky kalo ngambek kayak remaja baru pubertas. Diemmmm.....

             “Kalo loe nggak percaya, loe tanya aja langsung ke Eriska!” jawab Rangga. Dicky melihatinya penuh perhatian, “Gue tahu kalo loe ngincer Eriska. Dan gue juga udah punya Andin. Mana mungkin gue nikung elo! Ck, kayak anak SMP aja loe!”

             Dicky manyun. Tangannya membenahi sweaternya yang miring-miring karena ditarik Rangga.

             “Loe kalo mau nungguin Eriska duduk aja di sana.” Ucap Rangga kemudian.

             “Siapa yang nungguin Eriska?! Ngasal!!” tandas Dicky.

             Udah ketahuan masih aja bohong. Bagiannya take sudah rampung dari sore tadi. Buat apa lagi Dicky ada di lokasi syuting kalo nggak buat Eriska.

             “Gue... nungguin Bisma...” kilah Dicky. Dia menggaruk kepalanya.

             Rangga cengo, “Ya udah terserah. Mau loe nungguin Eriska apa nungguin Bisma, terserah. Udah loe duduk aja di sana. Loe gelap-gelapan di sini dikira gerandong sama kru!”

             Rangga membalikkan badan dan berjalan ke tempatnya semula. Orang kedua yang harus dia urus seharian ini setelah Andin. Sekali senggol, Om Suryo benar-benar membuatnya dalam masalah besar. Kenapa nggak gosipin Reza sama Yuki Kato aja sih? Kenapa harus dia?

             ************

             “Pengetik naskah proklamasi?”

             “Sayuti Melik!”

             “Pemimpin pertempuran 10 November di Surabaya?!”

             “Bung Tomo!”

             “Presiden pertama Indonesia?!”

             “Soekarno!”

             “Penemu bola lampu?”

             “Pangeran Diponegoro!”

             Eh?

             Pembawa acara bengong.

             Rangga bengong.

             Andin menepuk jidatnya.

             “Sejak kapan Pangeran Diponegoro nemuin bola lampu?!” tanya host.

             Seluruh penonton di dalam studio tertawa terbahak-bahak. Rangga Cuma bisa nyengir. Habis deh jadi bulan-bulanan.

             “Udah jelas ya skornya! Nilai Rangga 405, dan Deny 410!! Pemenangnya Deny!” teriakan host berbaju vintage itu disambut tepuk tangan meriah. Dia lalu melanjutkannya dengan menutup acara dan pamit pada penonton.

             Rangga berjalan lesu dari panggung. matanya sepet. Kuis-kuisan macam begini bukan hal sulit. Dia sering menang berkali-kali. Ini gara-gara semalam dia syuting sampai jam 3 pagi makanya jadi mayat hidup begini.

             “Sejarah baru. Pangeran Diponegoro menemukan bola lampu, Raden Fatahillah menemukan televisi, Ken Arok menemukan gaya grativitas bumi.” Gumam Andin. Keduanya duduk di backstage sambil memegang sebotol air mineral.

             Rangga mendengus. Ini jadinya kalo on air bareng Andin. Kesalahan kecil apapun pasti jadi bahan sindiran. Stasiun-stasiun TV gawenya malah ngundang dia live bareng tuh cewek abal-abal. Pacaran sih pacaran, tapi nggak diundang berdua juga kali.

             “Jangan-jangan yang nemuin energi Nuklir itu bukan Einstein, jangan-jangan Kapitan Pattimura...”

             “Udah, deh! Mau sampe kapan loe nyindir gue terus?” sahut Rangga bete.

             “Elo sih kelewatan! Penemu lampu kok Pangeran Diponegoro... Mabok...”

             “Kuis beginian mah gue biasanya menang! Nilai gue juga selisih tipis sama Deny. Gue ngantuk! Tadi malam pulang syuting jam tiga!” bela Rangga.

             Andin tersenyum tipis. Rangga beneran jengkel gara-gara Pangeran Diponegoro.

             “Oh, ya. Tadi malam nyokap gue pulang dari Lampung. Gue udah bilang sama nyokap-bokap soal pertunangan kita. Mereka seneng banget.” Kata Andin.

             Rangga menoleh. Dia ikut terseyum, “Alhamdulillah deh..”

             “Bener banget! Awalnya mereka nggak percaya pas gue bilang soal tunangan. Mereka terkejut.”

             Senyum di wajah Rangga makin merekah. Matanya asik memandangi Andin yang sibuk bercerita.

             “Papa bilang, ntar kalo udah tunangan, kamu keluar aja dari dunia artis. Papa udah nyiapin kamu tempat di kantor papa, di kantor pengacara.”

             Hah?

             “Keluar dari dunia artis?” ulang Rangga.

--------------------------------

BERSAMBUNG KE PART 5

Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar