Title : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season : 2
Author : @ariek_andini (adm4)
Genre : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...
-------------------------
“Aku, denger
pembicaraan kamu tadi...” ujar Eriska tiba-tiba.
Rangga
menghentikan kakinya di salah satu anak tangga. Dia menatap Eriska.
“Kemaren dia
juga ngomong gitu ke aku. Makanya, kemaren.... pas wartawan datang, aku ngomong
gitu ke wartawan.”
“Kamu yang
ngomong ke wartawan?” tanya Rangga.
“Bukan
ngomong. Maksud aku, Cuma ngasih kode kalau...”
Rangga
berdecak. Eriska nampak kesulitan berbicara padanya. Wajar. Dia dan Eriska
sama-sama berada di posisi terjepit sekarang. Nggak ada yang perlu disalahkan.
Yang menjadi pertanyaannya, kenapa industri hiburan sekarang begitu buas?
“Promosi?” ulang Bisma begitu
Rangga selesai menceritakan pembicaraan dengan Om Suryo.
Rangga mengangguk datar.
“Season kemaren gue sama Franda
yang dijadiin sasaran. Sekarang loe...” gumam Bisma.
“Padahal gue udah ada Andin...”
ucap Rangga.
“Ya, makanya itu! Loe sasaran
empuk. Kalo diliat-liat, yang nggak ganti formasi emang Cuma loe sama Eriska.
Loe sejak season pertama sama dia. Loe sama Andin hangat di infotaiment setahun
lalu pas awal jadian. Om Suryo pengen ngejadiin itu sebagai umpan untuk bikin
kisah di infotaimen.”
Andin?
Eh iya....
Tiba-tiba Rangga teringat sesuatu.
Buru-buru dirogohnya handphonenya dan menelepon nomor handphone Andin. Baru
semalam dia bertengkar. Pengen minta maaf malah ditabrak. Dia harus minta maaf
sekarang atau Andin akan menguburnya hidup-hidup.
Suara operator menjawab. Handphone
Andin tidak aktif!! Rangga mendengus. Ia lalu beralih menelepon telepon rumah
Andin.
“Halo!!”
“Iya, halo. Siapa ini?”
Rangga cengo. Logat jawa kental.
Ini pasti Lasi.
“Ini Rangga, Las. Andin mana?”
“Oh, Mas Rangga. Non Andin belum
pulang, Mas..”
“Belum pulang?”
“Iya. Lha tadi malam kan Mas yang
ngajak Non Andin ke nikahan temennya Non Andin.”
“Jadi dari tadi malam Andin belum
pulang??!”
“Be-belum, Mas. Lha kan...”
Rangga menutup teleponnya. Bicara
sama Lasi lama-lama kayak lagi main ludruk. Rangga berpikir keras. Apa ada job?
Tapi mana mungkin Andin langsung berangkat ngeband dengan dandanan kayak Nyi
Ronggeng begitu? Apa di studio?
“Gue harus pergi, Bis!” kata
Rangga singkat.
“Hah? Kemana?!!”
“Penting!!”
“Penting sih penting! Loe mau naik
apa? Loe belum take sama sekali. Kalo loe pergi, loe bakal diomelin sama Kiki!”
Rangga mendesis. Benar juga. Tenda Kiki, sang
sutradara, tepat berada di jajaran mobil-mobil. Dan mobilnya ada di sana. Jika
ia masuk ke dalam mobilnya, Kiki akan tahu. Scene mengambil setting outdoor di
parkiran. Apes banget!!
Rangga mengalihkan matanya ke
White Lamborghini yang ada di depannya. Benar juga!! Mobil sport yang
seharusnya akan dipakai syuting itu kan sedang nganggur.
“Naik ini!!” jawab Rangga.
“Ini? Ini kepalamu?!! Loe mau naik
Lamborghini Cuma buat nemuin Andin?! Ini aset syuting, Ngga! Mobil sewaan!
Lecet dikit aja loe terpaksa jual rumah buat ganti!!”
Blammm!!!
Rangga menutup pintu kemudi.
Omelan Bisma nggak ada bedanya sama omelan Ustad Yusuf Mansyur. Di dalam
sinetron, ini adalah mobilnya. Kunci mobil udah di tangan. Apa bedanya?!
“Heh! Nggak waras loe!!?” Bisma
nggak patah semangat. Dia membuka pintu sisi lainnya dan mencoba memaksa Rangga
keluar.
Rangga menyalakan mesin.
Dimundurkannya mobil mewah itu ke belakang dan bersiap membelok.
Bisma gelagapan. Dia kejepit pintu
mobil. Tapi Rangga tetap melajukannya. Bisma jatuh terguling ke jok mobil.
Tanpa ba-bi-bu, Rangga langsung membawanya pergi meninggalkan lokasi syuting
beserta Bisma di dalamnya.
Jalanan kota Jakarta padat lancar.
Sela-sela sempit terbentuk di antara mobil yang melaju sedang. Tapi itu sama
saja dengan jalang lapang bagi sebuah Lamborghini. Mobil sport yang Rangga
kemudikan meliuk-liuk di antara sela-sela mobil. Dalam hitungan menit, sudah
belasan mobil tersalip. Di sampingnya, Bisma duduk meringkuk dengan bibir
komat-kamit. Bukan keselamatan yang dia pikirkan. Tapi konsekuensi bangkrut
mendadak gara-gara mengganti ganti rugi kalo mobil mahal itu tiba-tiba lecet.
Sesekali Rangga meraih
handphonenya berusaha memastikan apakah handphone Andin sudah aktif. Bisma
makin tegang.
“Rangga!! Matamu!! Matamu lihat
jalan!” bentak Bisma.
“Bentar, Bis! Gue telpon Andin
dulu!!”
“Andin nggak bakal ada apa-apanya
kalo loe sampe nubrukin nih mobil!! Nyetir yang beneerrrr!!!”
Rangga acuh. Dia tetap memasang
handphone di telinganya. Sekeras apapun Bisma memperingatkan, akal sehat Rangga
terlanjur hilang.
Tak sampai dua puluh menit, Rangga
telah sampai di studio tempat D’Uneven biasa latihan. Dia memakirnya ke dalam
halaman. Begitu pintu mobil terbuka, Rangga berlari ke dalam studio. Sementara
Bisma, dengan kaki lemes keluar dari dalam mobil. Keringat dingin memenuhi
dahinya. Dalam hati dia bersumpah, bakal nimpuk Rangga pakek linggis kalo dia
keluar nanti.
“Andin!!” teriak Rangga.
Sesosok cewek dengan rambut
acak-acakan dan wajah lusuh duduk di salah satu sofa di dalam studio. Tubuhnya
berbalut jacket kulit tebal. Dari baliknya, menjulur gaun berwarna merah
menyala. Benar kata Lasi, kayaknya semalaman Andin belum pulang. Keadaannya
makin mirip ondel-ondel dengan eyeshadow tebal yang nggak juga dihapus.
Andin tak menjawab. Dia hanya
melirik Rangga sepintas. Di sudut yang lain, Erwin, Ipunk dan Ardhy duduk
sambil memondong gitar.
“Gue mau ngomong sama loe.” Ucap
Rangga.
“Ck....”
“Ok! Gue akuin gue salah! Gue
nggak sengaja ngomong gitu semalam! Gue cuman becanda!! Loe cantik kok!!!”
Rangga menatap Andin dalam-dalam.
“Cantik? Cantik mana sama Eriska?”
“Eh?”
Mampus! Kayaknya Andin udah tahu
gosip miring itu.
“Ndin...”
“Mending loe pergi dari sini,
Rang!” Andin beranjak pergi dari hadapan Rangga.
“Ndin! gue sama Eriska nggak ada
apa-apa!! Itu cuman gosip!!” Rangga berusaha mencegat Andin.
“Gosip? Oh, enak ya? Yang di sana
syuting sinetron, terus gosip-gosipan sama artis cantik!!”
“Loe tuh ngomong apa, sih??!”
“Loe yang ngomong apa?!! Loe emang
nggak pernah serius kan sama hubungan kita? Dari dulu kerjaan loe cuman
maen-maen!”
“Loe pikir gue cuman maen-maen?
Gue udah serius sama loe selama ini nggak ada harganya?!”
“Emang kapan loe pernah serius
sama gue??!” bentak Andin.
“Loe pengen gue gimana biar loe
tahu kalau gue serius?!!” suara Rangga tak kalah kencang.
“Kenapa kalian nggak tunangan aja
biar kelihaan serius?” tiba-tiba Erwin menyela.
Jlebb!
Rangga mangap.
Andin bengong.
“Nah! Bener! Tunangan!!” tiba-tiba
Bisma muncul dari pintu studio.
Ardhy dan Ipunk manggut-manggut
setuju. Seluruh orang di dalam studio memandangi Andin dan Rangga. Sejenak
ketegangan di antara keduanya memudar. Andin membenarkan anak rambutnya. Rangga
membenarkan kerah bajunya. Kaku. Keduanya tidak berani saling memandang.
Sunyi. Tak ada seorangpun
bersuara.
“Ehem... itu...”
Rangga tidak meneruskan kalimatnya.
Jika ditimang-timang, benar juga. Serius berarti tunangan. Mungkin itu yang
diinginkan Andin. Lagi pula, mau sampai kapan ia dan Andin begini-begini terus.
“Aaa! Gue inget! Gue mau beli
makan!” teriak Ipunk tiba-tiba.
“Loe lapar nggak sih, Dhy?!” sahut
Erwin.
Ardhy cengo.
“Yaudah, kita keluar dulu ya!”
tambah Ipunk. Diseretnya Ardhy keluar studio.
“Ayo, Bis! Loe bilang loe yang
traktir, kan?!!” kata Erwin. Sebelah tangannya menarik kerah belakang Bisma.
Bisma gagap. Kakinya mengikuti
langkah kaki Erwin sementara tubuhnya dijinjing kayak anak kucing “Kapan gue
ngomong gitu?”
“Udah... pokok loe yang traktir!!”
Erwin menutup pintu studio.
Pembicaraan Rangga dan Andin bukan ranahnya. Mereka berdua butuh privasi.
Benar. Tunangan bukan soal main-main. Erwin lalu berbalik badan.
“Busettt! Bangun-bangun makan nasi
pake kerikil! INI MOBIL SIAPA???!!” jerit Erwin melihat sebuah mobil mewah
terpakir di halaman studio.
Bisma menghela nafas. Mesti jawab
gimana? Bilang aja Pak Haji lagi nitip parkir.
************
“Gue dan Eriska nggak lebih dari
rekan syuting. Yang loe lihat tadi di TV itu cuman gosip. Kalo perlu, gue bakal
telponin Eriska sekarang biar loe ngomong langsung sama dia.”
Andin diam menunduk. Khidmat
menyimak semua kalimat Rangga. Tingkahnya terlihat lebih tenang dibanding tadi.
“Ndin... loe maafin gue kan?”
Rangga meraih belah tangan Andin.
“Bener loe dan Eriska nggak ada
apa-apa?”
“Iya! Serius! Loe kayak nggak tahu
infotaimen aja! Isinya fake semua!!” tegas Rangga.
Andin mengangguk. Cape juga dari
semalam ngamuk terus. Jika Rangga sudah berbicara sambil memegang tangannya,
dia pasti luluh. Suara baritonnya yang merdu membuat nyaman.
“Dan mulai sekarang, gue akan
serius sama loe.”
“Eh?”
“Kita udah lama jalan. Gue tahu udah
saatnya kita menginjak jenjang yang lebih serius.”
Jantung Andin berdegub kencang.
“Gue akan nyari tanggal tunangan
yang bagus.” Ucap Rangga.
Andin berdesir. Matanya menatap
bola mata Rangga tak percaya. Tanpa diduga Rangga meraih pundaknya dan
mendekapnya. Hangat.
Serius. Iya, salah satu buah dari
cinta adalah keseriusan.
***********
Cahaya lampu menyinari halaman
kantor benderang. Putih menyilaukan mata. Tiga lampu yang serupa berjajar di
sudut lainnya. Membuat susana malam tersamarkan.
Rangga menutup wajahnya dengan
kertas skenario. Wajahnya duduk melorot di kursi lipat. Di sampingnya,
sutradara sibuk mengatur-ngatur properti syuting.
“Kiii.... come on!! Biarin gue
pulang~....” rengek Rangga dengan wajah masih ditutup kertas skenario. Penat,
lelah dan ngantuk. Jam sudah menunjukkan jam 11 malam, tapi dia masih juga
nggak dibolehin pulang.
“Kagak bisa!!” jawab Kiki singkat.
Rangga bergeming. Pemain-pemain
lain telah pulang dan dia masih terdampar di lokasi syuting. Ini sinetron Cuma
mini serial, kenapa berasa kayak stripping begini?
“Dilanjut besok kan bisa!! Gue
ngantuk!!”
“Siapa suruh seharian tadi loe
ngilang?! Pakek nyuri mobil segala! Untung nggak gue laporin Om Suryo!”
“Gue nggak nyuri! Gue cuman
minjem!! Lagian nih sinetron tayangnya juga dua bulan lagi! Nggak pake ngebut
juga kali.”
Sutradara tidak menyahut rengekan
Rangga. Satu-satunya yang ada di otaknya, Rangga harus menyelesaikan jatah
take-nya hari ini. Lama pengambilan gambar dan editing sudah dia persiapkan
matang-matang. Nggak mungkin berantakan cuman karena bela-belain Rangga yang
nemuin pacarnya.
Rangga beralih mencermati script
di tangannya. Matanya jereng-jereng. Semua tulisan terlihat gandeng. Hampir
nggak kebaca. Di samping kanannya, Bisma telah lama terpulas. Mukanya ditutupi
topi. Dia juga dilarang pulang sama Kiki karena alasan yang sama, menghilang
pas syuting. Dasar sutradara tidak berperikesutradaraan.
Rangga melempar pandangannya ke
udara lepas. Berusaha mengusir kantuk. Beberapa orang kru sibuk menggeser-geser
pot bunga. Selesai ditata, digeser lagi. Kiki mati-matian nyari view yang pas
dan mengorbankan semua krunya. Untung nggak mati kesel tuh kru.
Tiba-tiba di salah satu jajaran
pot Ephorbia, sesosok cowok dengan sweater cokelat berdiri dengan melipat
tangan. Wajahnya hampir tidak kelihatan karena terhalang bayangan lampu. Rangga
memicingkan matanya. Dicky? Beneran itu Dicky? Bukannya seharusnya dia udah
pulang?
Rangga beranjak dari duduknya dan
menghampiri Dicky. Begitu setengah jalan, tiba-tiba Dicky berjalan pergi.
Rangga mempercepat langkahnya.
“Dicky!!”
Dicky tidak menoleh.
“Dick!!”
Dicky malah berlari.
Rangga gregetan. Dia mengejar
Dicky. Dicengkeramnya pundak Dicky. Dicky mengelak. Rangga beralih memegang
pundak satunya. Dicky memutar badannya. Tangan Rangga terlepas. Tapi Rangga
tidak menyerah. Tangannya meraih kerah sweater Dicky. Lagi-lagi Dicky memutar
badannya.
Dari kejauhan, sutradara dan kru melihati
tingkah Rangga dan Dicky. Mereka mengernyitkan dahi. Entahlah, Dicky dan Rangga
terlihat seperti sedang dansa salsa pakek muter-muter ala balerina begitu.
“Lepasin gue!!!” bentak Dicky.
“Loe mau sampe kapan mau ngambek sama
gue?!!”
Dicky meraih tangan Rangga dari
sweaternya lalu menghempaskannya.
“Berita antara gue sama Eriska itu
bohongan!! Itu bikinan Om Suryo buat narik wartawan!”
Dicky diam.
“Gue cuman korban! Gue nggak
pernah punya perasaan apa-apa sama Eriska!”
“Bikinan Om Suryo?” ulang Dicky.
Rangga menghela nafas. Syukur deh
akhirnya Dicky mau bicara. Dicky kalo ngambek kayak remaja baru pubertas.
Diemmmm.....
“Kalo loe nggak percaya, loe tanya
aja langsung ke Eriska!” jawab Rangga. Dicky melihatinya penuh perhatian, “Gue
tahu kalo loe ngincer Eriska. Dan gue juga udah punya Andin. Mana mungkin gue
nikung elo! Ck, kayak anak SMP aja loe!”
Dicky manyun. Tangannya membenahi
sweaternya yang miring-miring karena ditarik Rangga.
“Loe kalo mau nungguin Eriska
duduk aja di sana.” Ucap Rangga kemudian.
“Siapa yang nungguin Eriska?!
Ngasal!!” tandas Dicky.
Udah ketahuan masih aja bohong.
Bagiannya take sudah rampung dari sore tadi. Buat apa lagi Dicky ada di lokasi
syuting kalo nggak buat Eriska.
“Gue... nungguin Bisma...” kilah
Dicky. Dia menggaruk kepalanya.
Rangga cengo, “Ya udah terserah.
Mau loe nungguin Eriska apa nungguin Bisma, terserah. Udah loe duduk aja di
sana. Loe gelap-gelapan di sini dikira gerandong sama kru!”
Rangga membalikkan badan dan
berjalan ke tempatnya semula. Orang kedua yang harus dia urus seharian ini
setelah Andin. Sekali senggol, Om Suryo benar-benar membuatnya dalam masalah
besar. Kenapa nggak gosipin Reza sama Yuki Kato aja sih? Kenapa harus dia?
************
“Pengetik naskah proklamasi?”
“Sayuti Melik!”
“Pemimpin pertempuran 10 November
di Surabaya?!”
“Bung Tomo!”
“Presiden pertama Indonesia?!”
“Soekarno!”
“Penemu bola lampu?”
“Pangeran Diponegoro!”
Eh?
Pembawa acara bengong.
Rangga bengong.
Andin menepuk jidatnya.
“Sejak kapan Pangeran Diponegoro
nemuin bola lampu?!” tanya host.
Seluruh penonton di dalam studio
tertawa terbahak-bahak. Rangga Cuma bisa nyengir. Habis deh jadi bulan-bulanan.
“Udah jelas ya skornya! Nilai
Rangga 405, dan Deny 410!! Pemenangnya Deny!” teriakan host berbaju vintage itu
disambut tepuk tangan meriah. Dia lalu melanjutkannya dengan menutup acara dan
pamit pada penonton.
Rangga berjalan lesu dari panggung.
matanya sepet. Kuis-kuisan macam begini bukan hal sulit. Dia sering menang
berkali-kali. Ini gara-gara semalam dia syuting sampai jam 3 pagi makanya jadi
mayat hidup begini.
“Sejarah baru. Pangeran Diponegoro
menemukan bola lampu, Raden Fatahillah menemukan televisi, Ken Arok menemukan
gaya grativitas bumi.” Gumam Andin. Keduanya duduk di backstage sambil memegang
sebotol air mineral.
Rangga mendengus. Ini jadinya kalo
on air bareng Andin. Kesalahan kecil apapun pasti jadi bahan sindiran. Stasiun-stasiun
TV gawenya malah ngundang dia live bareng tuh cewek abal-abal. Pacaran sih
pacaran, tapi nggak diundang berdua juga kali.
“Jangan-jangan yang nemuin energi
Nuklir itu bukan Einstein, jangan-jangan Kapitan Pattimura...”
“Udah, deh! Mau sampe kapan loe
nyindir gue terus?” sahut Rangga bete.
“Elo sih kelewatan! Penemu lampu
kok Pangeran Diponegoro... Mabok...”
“Kuis beginian mah gue biasanya
menang! Nilai gue juga selisih tipis sama Deny. Gue ngantuk! Tadi malam pulang
syuting jam tiga!” bela Rangga.
Andin tersenyum tipis. Rangga
beneran jengkel gara-gara Pangeran Diponegoro.
“Oh, ya. Tadi malam nyokap gue
pulang dari Lampung. Gue udah bilang sama nyokap-bokap soal pertunangan kita.
Mereka seneng banget.” Kata Andin.
Rangga menoleh. Dia ikut terseyum,
“Alhamdulillah deh..”
“Bener banget! Awalnya mereka
nggak percaya pas gue bilang soal tunangan. Mereka terkejut.”
Senyum di wajah Rangga makin
merekah. Matanya asik memandangi Andin yang sibuk bercerita.
“Papa bilang, ntar kalo udah
tunangan, kamu keluar aja dari dunia artis. Papa udah nyiapin kamu tempat di
kantor papa, di kantor pengacara.”
Hah?
“Keluar dari dunia artis?” ulang
Rangga.
--------------------------------
BERSAMBUNG KE PART 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar