3 Oktober 2014

[Cerbung SMASH] "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" SEASON 2 / Part 5

 Title          : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season    : 2
Author       : @ariek_andini (adm4)
Genre        : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast          : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...


-------------------------------

             Senyum di wajah Rangga makin merekah. Matanya asik memandangi Andin yang sibuk bercerita.

             “Papa bilang, ntar kalo udah tunangan, kamu keluar aja dari dunia artis. Papa udah nyiapin kamu tempat di kantor papa, di kantor pengacara.”

             Hah?

             “Keluar dari dunia artis?” ulang Rangga.

             “He’em. Kamu kan mau jadi kepala rumah tangga. Papa pengen kamu punya kerjaan yang bener. Aku bilang ke papa kalo kamu kuliah jurusan hukum. Papa seneng. Papa berencana masukin kamu ke kantor pengacara Papa.”

             “Tapi aku nggak bilang kalau aku mau keluar dari dunia artis, Ndin!”

             Kalimat Rangga seketika membungkam mulut Andin. Dia tidak meneruskan ceritanya. Andin memalingkan wajahnya lurus ke depan.

             Bingung. Sejenak keduanya saling diam.

             Sekian detik berpikir keras. Andin menoleh ke arah Rangga. Di saat bersamaan, Rangga juga menoleh padanya dan akan mengucapkan sesuatu.


             Rangga mengurungkan niatnya untuk bicara. Andin juga melakukan hal yang sama. Keduanya saling tersenyum.

             “Tapi loe kan yang ngajak gue tunangan!!” kata Andin.

             “Tapi loe duluan yang maksa gue serius!” sergah Rangga.

             “Kerja yang bener, Rang! Pikirin anak-anak loe entar! Mau sampai kapan loe nge-boyband kayak anak ABG begini?!”

             “Kenapa nggak loe aja yang keluar dari artis?! Loe perempuan! Diem aja di rumah, ngurus rumah dan anak! Gue yang kerja!”

             Seluruh orang di backstage memperhatikan Andin dan Rangga.

             Andin dan Rangga tergagap. Buru-buru mereka menutup mulut. Merasa menjadi pusat perhatian seluruh orang, keduanya lalu melangkah pergi. Andin dan Rangga berjalan beriringan. Matanya lurus menatap ke depan. Dahinya berkerut. Banyak kata yang ingin mereka ucapkan, tapi tertahan di kerongkongan.

             Keduanya lalu masuk ke dalam lift.

             Ting!

             Pintu lift tertutup.

             “Loe punya tanggung jawab besar buat masa depan kita nanti! Loe bilang janji akan serius! Tapi apa buktinya??! Loe lebih milih joget alay dan nyanyi!” Andin meluapkan emosinya.

             “Loe pikir gue nggak bisa ngidupin loe dengan jadi artis?! Bayaran gue gede! Lao mau rumah segede apa gue beliin!” balas Rangga.

             “Profesi kayak gini nggak ngejanjiin!! Loe nggak bisa jamin lima tahun lagi loe masih terkenal apa enggak!! Bokap gue udah ngasih loe kesempatan bagus buat jadi pengacara! Sesuai sama bidang loe!!”

             “Loe nggak tahu apa-apa soal bidang gue! kenapa nggak loe aja yang keluar dari dunia artis dan jadi cewek yang bener di rumah!”

             “Gue tetep kerja! Jaman sekarang, cewek kerja sambil ngurus rumah tangga itu udah lumrah! Loe yang mestinya nyari kerja yang bener! Jangan acak-adul begini!”

             “Nggak perlu jadi pengacara pun gue bisa ngidupin loe! Gue artis mahal?!”

             “Oh, ya?! Lebih banyak bayaran gue ketimbang loe!”

             “Banyakan gue!! nggak usah sotoy!!”

             “Banyakan gue!!”

             “Gue!”

             “Guee!!”

             “Guuueeee!!!”

             Rangga menatap Andin tajam. Dadanya kembang kempis. Keduanya saling melototi satu sama lain.

             “Oke! Kita lihat aja! Dalam sebulan ini siapa yang bayarannya lebih besar!” ucap Andin. Matanya menyala-nyala.

             “Dan yang bayarannya paling kecil, harus keluar dari entertaiment!!” tambah Rangga.

             “Oke! Gue setuju!!” jawab Andin.

             Rangga memasang wajah keras. Andin apalagi. Keduanya saling memicingkan mata. Pertempuran dimulai! masing-masing berteguh nggak akan kalah dari taruhan ini.

             Taruhan soal bayaran jadi artis bukan masalah besar. Andin percaya dia akan menang. Tahun kemarin bandnya mendapat anugerah sebagai band rock paling berprestasi di sebuah awards. Semakin banyak dia mendapat penghargaan, semakin mahal bayaran yang dia peroleh tiap manggung. Jika ditambah dengan perolehan penjualan albumnya kedelapan yang masih berlangsung sampai sekarang, juga penjualan ringtone lagunya, dia pasti bisa mengalahkan Rangga.

             Pulang show kali ini, Andin memilih pulang naik taksi. Dia terlanjur sentimen dengan Rangga. Tinggal menunggu tiga puluh hari, cowok keras kepala itu akan berakhir di kantor pengacara. Andin tersenyum penuh kemenangan.

             Sambil menunggu taksi yang mengantarnya sampai, Andin meraih handphonenya. Digeser-gesernya layar handphonenya dan mengecek akun twitternya. Jarinya berhenti pada salah satu tweet yang dikirim sebuah portal berita online. Ia mngernyitkan dahinya.

             Lima Artis dengan Bayaran Termahal di Indonesia?

             Buru-buru Andin menekan link berita itu. Tak sabar menunggu loading page selesai. Jempolnya terburu-buru men-scroll berita. Matanya bergerak ke kanan dan ke kiri membaca isi berita itu. Posisi pertama Agnes monica... NOAH... Afgan... SMASH...

             SMASH?

             Andin menganga. SMASH? Boyband alay itu ada di posisi empat?!

             Andin meneruskan scroll page ke bawah. Namun hingga batas terakhir halaman web itu, Andin tidak menemukan nama bandnya.

             Mampus!! Jantung Andin berdegub kencang. Dia menggigit bibir. Benar-benar nggak bisa dipercaya! Bandnya dua kali lipat lebih lama berkarya di industri musik dibanding SMASH, dan sama sekali nggak masuk urutan?!

             Taksi menepi ke gerbang rumah Andin. Setelah membayar, buru-buru Andin melompat keluar dan masuk ke rumah. Langkahnya tergesa-gesa. Wajahnya panik. Sesekali dia menggigit ujung kukunya.

             Ini nggak bisa dibiarin!! Dia nggak mungkin kalah dari Rangga!! Dia nggak mau berakhir di rumah ngurusin anak doank. Dia pengen tetep nyanyi. Rock adalah jiwanya. Mampus! Mampus!

             Andin membuka laci mejanya. Dikeluarkannya buku agendanya yang berisi salinan jadwal manggungnya. Dia harus melakukan kalkulasi untuk tahu kira-kira berapa bayarannya bulan ini.

             Semarang, Jogja, Medan, Jakarta, Bandung, Jakarta lagi. Andin mendesah. Bulan ini jadwalnya penuh dengan manggung. Kalau cuman ngandalin manggung, gimana bisa dia ngalahin Rangga? Bayaran D’Uneven nantinya masih akan dibagi dengan manajemen dan ketiga kawannya.

             Andin meremas kepalanya. Otaknya mati-matian mencari jalan keluar. Dia harus mencari kerjaan lain. Andin mengeluarkan bulpoin. Tangannya mulai membuat check list sumber pendapatan Rangga.

             Bisnis fashion line, manggung bareng SMASH, main sinetron juga, kadang pemotretan majalah, iklan, lalu... host.

             “Bunuh gue! bunuh gue! bunuh gue!!” desah Andin. Dia makin belingsatan. Tuh cowok banyak banget kerjaannya.

             Andin terpekur. Dia menopang dagu di atas meja. Bayang wajah Rangga seliweran di pelupuk matanya. Membuatnya makin terbakar emosi perjuangan. Perjuangan untuk menang dari taruhan hidup dan mati dari Rangga.

             **************

             Kerlip lampu hias menggantung di tengah ruangan pesta. Ornamen kaca berbentuk bujur sangkar menggantung di sekelilingnya. Menimbulkan kilau indah jika dipandang. Persis serpihan es di film Frozen. Kerumunan orang di bawahnya hanyut dalam suasana pesta. Pemandangan dipenuhi warna-warni gaun mewah dan setelan jas rapi.

             “Nanti penjahatnya akan muncul dari sana. Tapi kalian jangan langsung lari. Diam dulu. Tunggu aba-aba dari aku baru lari.” Jelas Kiki berapi-api. Di depannya, Rangga dan Eriska manggut-manggut.

             Kiki mengalihkan pandangannya ke sisi lainnya, “Di sana! Itu nanti yang jadi pintu belakang. Seterusnya, sama seperti di script!”

             Lagi-lagi Rangga dan Eriska manggut-manggut. Kiki benar-benar sutradara perfeksionis. Semuanya harus nampak sempurna. Dia lalu berjalan ke arah lain untuk memastikan persiapan syuting. Adegan kejar-kejaran antara Eriska, Rangga dan penjahat bayaran di tengah pesta. Kamera harus sigap di semua titik.

             “Loe nggak apa-apa pakek gaun begitu?” tanya Rangga sambil melihati tubuh Eriska yang dibalut gaun panjang press body. Seingatnya gaun yang disiapkan kru lebih pendek dan lebar. Gimana bisa Eriska lari dengan gaun ketat begitu?

             “Nggak apa-apa. Habis syuting, aku harus pergi ke Balai Sarbini. Waktunya mepet, jadi aku sekalian pakek baju ini biar nanti bisa langsung berangkat.” Jawab Eriska.

             Balai Sarbini? Oh, iya, ajang Festival Film Indonesia digelar malam ini di sana. Rangga mengangguk pelan.

             Di tempatnya, Kiki mulai berteriak. Semua orang harus siap pada posisinya. Belasan pemeran pembantu yang berdiri di belakang Rangga mulai menyebar. Suasana pesta dikemas se-real mungkin. Kiki menghitung mundur. Dan, Action!

             Rangga dan Eriska mengobrol mesra di tengah pesta. Sesuai skenario, datang lima orang berpakaian serba hitam dari pintu masuk. Rangga dan Eriska terkejut. Buru-buru mereka menyelinap di antara pengunjung lain. Rangga memegang tangan Eriska. Keduanya mempercepat langkah mereka. Tapi penjahat itu makin dekat. Tanpa banyak bicara, Rangga lalu menyeret Eriska pergi dari pesta menuju pintu yang ditunjuk Kiki.

             Dorrr!!

             Salah seorang penjahat mengacungkan pistol ke arah Rangga. Seluruh pengunjung berteriak ketakutan. Keadaan makin kacau.

             Sesekali Rangga melirik Eriska yang berlari di sampingnya. Benar seperti dugaannya, Eriska kesulitan berlari. Gaunnya menghambat kakinya. Bersamaan ketika Kiki meneriakkan “Cut!”, Eriska jatuh terpeleset.

             “Eriska!!!”

             Seluruh kru menghampiri Eriska. Rangga membungkukkan badannya, bermaksud membantu berdiri. Eriska mengerang kesakitan memegangi mata kakinya.

             “Gue nggak apa-apa kok! Nggak apa-apa!” ucap Eriska. Dia berusaha bangkit. High hills setinggi sepuluh sentimeter terlepas dari kakinya.

             “Beneran nggak apa-apa? Bisa lanjut?” tanya Kiki.

             Eriska mengangguk. Dia memasang sepatunya. Seluruh orang mulai bubar. Mempersiapkan scene berikutnya. Benar Eriska tidak apa-apa, karena dia tersenyum. Tapi Rangga bergeming. Matanya tertuju pada lecet kemerahan di kaki Eriska. Saat ia hendak menegur Eriska, Kiki menyeretnya pergi.

             “Ini take terakhir hari ini. Nanti Eriska dan Rangga lari ke dalam sini untuk sembunyi.” Kiki menunjuk sebuah ruangan sempit. Beberapa kaleng cat dan kardus diletakkan di sana untuk menggambar ruang penyimpanan pekakas.

             “Sembunyi di situ?” ulang Eriska.

             “Iya, di situ. Ron! Kamera tiga sudah nyala?” jawaban singkat Kiki disambung dengan teriakan kepada kru, membuat Eriska tidak punya kesempatan untuk melayangkan pertanyaannya. Dia memandang ngeri ke dalam ruangan. Nafasnya berubah berat.

             “Camera roll..... action!!”

             Rangga menggenggam tangan Eriska erat. Keduanya berlari kencang dari ruang pesta. Tapi mereka menemui jalan buntu. Rangga panik. Ia menoleh ke segala penjuru mencari jalan keluar. Dia lalu menyeret Eriska masuk ke dalam ruangan yang telah ditunjuk Kiki.

             Pintu ditutup. Rangga memeluk Eriska. Sebuah kamera menyorot mereka dari atas. Di luar sana, lima orang penjahat mencari-cari mereka.

             Sejenak suasana hening. Hanya terdengar suara benda-benda dijatuhkan. Nafas Rangga kembang kempis. Dia memasang wajah ketakutan. Tapi kian lama dia mulai merasakan kejanggalan. Tubuh Eriska kian berat. Nafasnya tidak beraturan. Tangan dan kakinya gemetaran. Rangga mengerjapkan matanya? Akting?

             “Gladys, kamu nggak apa-apa?” ucap Rangga. Dia memunculkan dialog untuk memancing kecurigaannya pada kondisi Eriska.

             Eriska melepas sandaran kepalanya dari bahu Rangga. Rangga makin terkejut. Dilihatnya wajah Eriska pucat pasi. Dahinya dipenuhi keringat dingin.

             “Eris....”

             “Aku nggak apa-apa. Penjahatnya udah pergi?” Eriska memotong kalimat Rangga. Dia tahu Rangga akan menyebutkan namanya dan akting akan buyar.

             Rangga menggeleng. Sesuai instruksi Kiki, dia dan Eriska akan keluar dari ruangan sempit itu setelah terdengar aba-aba dari Kiki. Tapi harus berapa lama lagi menunggu. Eriska terlihat kepayahan. Tubuhnya gemetaran makin hebat. Akting macam apa yang dia lakukan dengan memunculkan keadaan seperti itu?

             Sesekali Eriska melirik ke arah pintu. Mencoba memunculkan sandiwaranya.

             “Tahan, ya! Sebentar lagi!” bisik Rangga. Direbahkannya kepala Eriska ke dalam dekapannya. Dalam ketidakmengertiannya sekarang, menenangkan Eriska dengan kamuflase akting adalah yang terbaik. Entah apapun yang telah terjadi dengan Eriska.

             Sekian menit berlalu. Rangga menunggu aba-aba dari Kiki. Dalam hati dia bersungut, sampai kapan dia dan Eriska harus terjebak? Sementara keadaan Eriska kian lama kian memburuk?

             “Oke...! Cut...!”

             Brakkk!!

             Eriska membanting pintu kamar sempit itu dengan kencang. Dia berlari keluar. Kadang langkahnya terhuyung. Tepat di sebuah bangku kayu, dia duduk lemas.

             Rangga terkesima. Serasa hanya hitungan detik Eriska melepaskan diri dari pelukannya.

             “Nggak bisa, lah!! Studionya udah saya duluan yang dapat!!” tiba-tiba Kiki mengamuk.

             “Tapi tadi saya datang, ditolak Mas sama administrasinya!!” jelas seorang kru perempuan di depannya.

             Kiki panik. Entah apa kali ini yang ditakutkan sutradara perfeksionis itu. dia membanting topinya. Balik badan. Lalu berjalan pergi bersama beberapa orang krunya.

             Rangga bergeming. Matanya beralih pada sosok yang duduk menunduk di atas bangku kayu. Kadang terhalang oleh kru yang sibuk membersihkan tempat. Bahkan tak seorangpun menyadari keadaan Eriska. Ketika seorang kru mendekat, dia tersenyum.

             Akting sempurna.

             “Loe nggak apa-apa?” tanya Rangga menghampiri.

             Eriska menoleh, “Enggak apa-apa.”

             “Gue panggilin medis....”

             “Nggak usah!! Gue...” Eriska tidak meneruskan kalimatnya. Dia melirik ke sekelilingnya. Entahlah, seperti menunggu seseorang pergi dari sana, “Gue claustrophobia”

             Eh?

             “Phobia tempat sempit. Gue... nggak tahan kalau ada di tempat sempit seperti tadi. Sorry, ya. Gue pasti bikin loe takut.”

             Rangga menghela nafas. Iya, phobia. Kelainan yang membuat penderitanya ketakutan sampai mau mati.

             “Kenapa loe nggak bilang tadi ke sutradara? Jadi kan loe nggak perlu...”

             Eriska tiba-tiba berdiri, “Nggak apa-apa. Gue juga nggak mau nyusahin kalian. Gue nggak mau ngerusak syuting Cuma karena phobia gue yang nggak jelas kayak gini.”

             Eriska mengangkat dagunya. Berusaha tegar. Meyakinkan bahwa dia profesional.

             Rangga terdiam.

             Eriska lalu berbalik badan. Ia melangkah pergi. Tiga langkah ia menapakkan kakinya, tiba-tiba dia terhuyung.

             “Eris!” dengan sigap Rangga memegangi Eriska.

             Eriska mengusap keningnya. Nafasnya masih tidak beraturan, “Sorry... gue...”

             “Loe pucat! Udah loe pulang aja sekarang!” ucap Rangga.

             “Enggak. Gue nggak apa-apa, Rang. Gue udah biasa kok kayak gini. Lima menit lagi juga gue baikan. Gue nggak apa-apa!” Eriska melepas pegangan tangan Rangga.

             “Tapi loe udah kepayahan kayak gini. Loe pulang aja sekarang. Mana HP loe? Biar gue telponin manajer loe!”

             “Enggak!” sekali lagi Eriska menolak, dia memundurkan kakinya satu langkah, “Gue harus datang ke Balai Sarbini!”

             “Loe bisa datang lain kali. Segitu pentingnya acara begituan buat loe dibanding loe sendiri?”

             “Iya! Itu penting buat gue!!”

             Rangga terdiam. Kali ini benar-benar kehabisan cara untuk membujuk Eriska. Kian lama kru syuting mulai habis. Suasana sepi sunyi.

             “Gimana caranya loe pergi ke sana? Tangan loe aja masih gemeteran.” Ucap Rangga kemudian.

             Eriska menunduk. Dia menggigit bibir.

             “Mana kunci mobil loe? Biar gue yang anter...” kata Rangga.

             Sejenak Eriska nampak berpikir. Tapi kemudian ia menyerahkan kunci mobilnya. Sedikit tidak enak hati. Tapi hatinya tetap kukuh untuk datang ke acara penganugerahan itu. Untuk pertama kalinya masuk dalam nominasi, ia tidak mungkin melewatkan acara penghargaan malam ini.

             Keduanya lalu berjalan ke parkiran mobil. Angin malam berhembus pelan. Langit kota Jakarta benar-benar gulita. Rangga melajukan mobil pelan. Di sampingnya, Eriska duduk bersandar pada kaca mobil.

             “Sorrry... gue bener-bener ngerepotin loe...” ucap Eriska lirih. Hampir tak terdengar.
            
             Rangga tersenyum, “Nyantai aja kali. Loe dulu juga pernah nganterin gue ke apartemen pas gue abis syuting ujan-ujanan. Loe inget? Season tiga dulu...”

             Eriska juga tersenyum. Saat Rangga syuting di tengah hujan dulu. Iya, habis itu dia demam tinggi. Nggak tahu caranya pulang. Hanya ada Eriska di lokasi syuting. Persis kejadian malam ini.

             “Sejak kapan loe claustrophobia?” tanya Rangga kemudian.

             “Gue nggak inget tepatnya kapan. Waktu itu gue masih kecil. Gue main-main sama temen gue di rumah gue. Gue ceroboh. Gue masuk ke dalam kamar gudang dan nggak bisa keluar. Semalam suntuk gue kejebak di sana. Paginya baru nyokap gue nemuin gue...”

             “Temen loe nggak nolongin?”

             “Dia malah pulang ke rumahnya.” Kenang Eriska. Dia tersenyum tipis mengingat masa kecilnya.

             “Mestinya tadi loe bilang ke sutradara kalo loe phobia tempat sempit. Dulu Dicky mati-matian minta ganti lokasi syuting gara-gara ada pohon rambutan.”

             Eriska tertawa, “Oh, iya ya.. Dicky takut rambutan ya...”

             “Tahu deh kenapa. Keselek kulit rambutan kali pas kecil. Liat rambutan kayak liat mak lampir.”

             Eriska tertawa lepas. Benaknya melayang pada kejailan-kejailan kru di lokasi syuting. Dulu pernah ada yang naruh buah rambutan di dalam saku jas Dicky. Dan fix tuh anak ngambek nggak mau syuting seharian.

             “Loe gimana sama Dicky?”

             Eh?

             Rangga tersentak. Dia keceplosan. Bego banget dia tiba-tiba nanyain begituan ke Eriska.


             “Maksud loe?” tanya Eriska bingung.

---------------------------------

BERSAMBUNG KE PART 6

3 komentar:

  1. KAAKK ARIEKKK.. JANJINYA MANAAA.. KATANYA 1 HARI 1 PART.. INI UDAH TANGGAL 6 WOYY.. *demo *asahgolok ._.v

    BalasHapus
  2. Hadohhhh prontal pada....

    gue habis lebaran kurban di kampung... lagian barusan udah gue lanjut kok.... -___-

    BalasHapus