Title : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season : 2
Author : @ariek_andini (adm4)
Genre : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...
-------------------------------
Senyum di wajah Rangga makin
merekah. Matanya asik memandangi Andin yang sibuk bercerita.
“Papa bilang, ntar kalo udah
tunangan, kamu keluar aja dari dunia artis. Papa udah nyiapin kamu tempat di
kantor papa, di kantor pengacara.”
Hah?
“Keluar dari dunia artis?” ulang
Rangga.
“He’em. Kamu kan mau jadi kepala
rumah tangga. Papa pengen kamu punya kerjaan yang bener. Aku bilang ke papa
kalo kamu kuliah jurusan hukum. Papa seneng. Papa berencana masukin kamu ke
kantor pengacara Papa.”
“Tapi aku nggak bilang kalau aku
mau keluar dari dunia artis, Ndin!”
Kalimat Rangga seketika membungkam
mulut Andin. Dia tidak meneruskan ceritanya. Andin memalingkan wajahnya lurus
ke depan.
Bingung. Sejenak keduanya saling
diam.
Sekian detik berpikir keras. Andin
menoleh ke arah Rangga. Di saat bersamaan, Rangga juga menoleh padanya dan akan
mengucapkan sesuatu.
Rangga mengurungkan niatnya untuk
bicara. Andin juga melakukan hal yang sama. Keduanya saling tersenyum.
“Tapi loe kan yang ngajak gue
tunangan!!” kata Andin.
“Tapi loe duluan yang maksa gue serius!” sergah Rangga.
“Kerja yang bener, Rang! Pikirin
anak-anak loe entar! Mau sampai kapan loe nge-boyband kayak anak ABG begini?!”
“Kenapa nggak loe aja yang keluar
dari artis?! Loe perempuan! Diem aja di rumah, ngurus rumah dan anak! Gue yang
kerja!”
Seluruh orang di backstage memperhatikan
Andin dan Rangga.
Andin dan Rangga tergagap.
Buru-buru mereka menutup mulut. Merasa menjadi pusat perhatian seluruh orang,
keduanya lalu melangkah pergi. Andin dan Rangga berjalan beriringan. Matanya
lurus menatap ke depan. Dahinya berkerut. Banyak kata yang ingin mereka
ucapkan, tapi tertahan di kerongkongan.
Keduanya lalu masuk ke dalam lift.
Ting!
Pintu lift tertutup.
“Loe punya tanggung jawab besar
buat masa depan kita nanti! Loe bilang janji akan serius! Tapi apa buktinya??!
Loe lebih milih joget alay dan nyanyi!” Andin meluapkan emosinya.
“Loe pikir gue nggak bisa ngidupin
loe dengan jadi artis?! Bayaran gue gede! Lao mau rumah segede apa gue beliin!”
balas Rangga.
“Profesi kayak gini nggak ngejanjiin!!
Loe nggak bisa jamin lima tahun lagi loe masih terkenal apa enggak!! Bokap gue
udah ngasih loe kesempatan bagus buat jadi pengacara! Sesuai sama bidang loe!!”
“Loe nggak tahu apa-apa soal
bidang gue! kenapa nggak loe aja yang keluar dari dunia artis dan jadi cewek
yang bener di rumah!”
“Gue tetep kerja! Jaman sekarang,
cewek kerja sambil ngurus rumah tangga itu udah lumrah! Loe yang mestinya nyari
kerja yang bener! Jangan acak-adul begini!”
“Nggak perlu jadi pengacara pun
gue bisa ngidupin loe! Gue artis mahal?!”
“Oh, ya?! Lebih banyak bayaran gue
ketimbang loe!”
“Banyakan gue!! nggak usah sotoy!!”
“Banyakan gue!!”
“Gue!”
“Guee!!”
“Guuueeee!!!”
Rangga menatap Andin tajam.
Dadanya kembang kempis. Keduanya saling melototi satu sama lain.
“Oke! Kita lihat aja! Dalam
sebulan ini siapa yang bayarannya lebih besar!” ucap Andin. Matanya
menyala-nyala.
“Dan yang bayarannya paling kecil,
harus keluar dari entertaiment!!” tambah Rangga.
“Oke! Gue setuju!!” jawab Andin.
Rangga memasang wajah keras. Andin
apalagi. Keduanya saling memicingkan mata. Pertempuran dimulai! masing-masing
berteguh nggak akan kalah dari taruhan ini.
Taruhan soal bayaran jadi artis
bukan masalah besar. Andin percaya dia akan menang. Tahun kemarin bandnya
mendapat anugerah sebagai band rock paling berprestasi di sebuah awards.
Semakin banyak dia mendapat penghargaan, semakin mahal bayaran yang dia peroleh
tiap manggung. Jika ditambah dengan perolehan penjualan albumnya kedelapan yang
masih berlangsung sampai sekarang, juga penjualan ringtone lagunya, dia pasti
bisa mengalahkan Rangga.
Pulang show kali ini, Andin
memilih pulang naik taksi. Dia terlanjur sentimen dengan Rangga. Tinggal
menunggu tiga puluh hari, cowok keras kepala itu akan berakhir di kantor pengacara.
Andin tersenyum penuh kemenangan.
Sambil menunggu taksi yang
mengantarnya sampai, Andin meraih handphonenya. Digeser-gesernya layar
handphonenya dan mengecek akun twitternya. Jarinya berhenti pada salah satu
tweet yang dikirim sebuah portal berita online. Ia mngernyitkan dahinya.
Lima Artis dengan Bayaran Termahal di Indonesia?
Buru-buru Andin menekan link
berita itu. Tak sabar menunggu loading page selesai. Jempolnya terburu-buru
men-scroll berita. Matanya bergerak ke kanan dan ke kiri membaca isi berita
itu. Posisi pertama Agnes monica... NOAH... Afgan... SMASH...
SMASH?
Andin menganga. SMASH? Boyband
alay itu ada di posisi empat?!
Andin meneruskan scroll page ke
bawah. Namun hingga batas terakhir halaman web itu, Andin tidak menemukan nama
bandnya.
Mampus!! Jantung Andin berdegub
kencang. Dia menggigit bibir. Benar-benar nggak bisa dipercaya! Bandnya dua
kali lipat lebih lama berkarya di industri musik dibanding SMASH, dan sama
sekali nggak masuk urutan?!
Taksi menepi ke gerbang rumah
Andin. Setelah membayar, buru-buru Andin melompat keluar dan masuk ke rumah.
Langkahnya tergesa-gesa. Wajahnya panik. Sesekali dia menggigit ujung kukunya.
Ini nggak bisa dibiarin!! Dia
nggak mungkin kalah dari Rangga!! Dia nggak mau berakhir di rumah ngurusin anak
doank. Dia pengen tetep nyanyi. Rock adalah jiwanya. Mampus! Mampus!
Andin membuka laci mejanya.
Dikeluarkannya buku agendanya yang berisi salinan jadwal manggungnya. Dia harus
melakukan kalkulasi untuk tahu kira-kira berapa bayarannya bulan ini.
Semarang, Jogja, Medan, Jakarta,
Bandung, Jakarta lagi. Andin mendesah. Bulan ini jadwalnya penuh dengan manggung.
Kalau cuman ngandalin manggung, gimana bisa dia ngalahin Rangga? Bayaran
D’Uneven nantinya masih akan dibagi dengan manajemen dan ketiga kawannya.
Andin meremas kepalanya. Otaknya
mati-matian mencari jalan keluar. Dia harus mencari kerjaan lain. Andin
mengeluarkan bulpoin. Tangannya mulai membuat check list sumber pendapatan
Rangga.
Bisnis fashion line, manggung
bareng SMASH, main sinetron juga, kadang pemotretan majalah, iklan, lalu...
host.
“Bunuh gue! bunuh gue! bunuh
gue!!” desah Andin. Dia makin belingsatan. Tuh cowok banyak banget kerjaannya.
Andin terpekur. Dia menopang dagu
di atas meja. Bayang wajah Rangga seliweran di pelupuk matanya. Membuatnya
makin terbakar emosi perjuangan. Perjuangan untuk menang dari taruhan hidup dan
mati dari Rangga.
**************
Kerlip lampu hias menggantung di
tengah ruangan pesta. Ornamen kaca berbentuk bujur sangkar menggantung di
sekelilingnya. Menimbulkan kilau indah jika dipandang. Persis serpihan es di
film Frozen. Kerumunan orang di bawahnya hanyut dalam suasana pesta.
Pemandangan dipenuhi warna-warni gaun mewah dan setelan jas rapi.
“Nanti penjahatnya akan muncul
dari sana. Tapi kalian jangan langsung lari. Diam dulu. Tunggu aba-aba dari aku
baru lari.” Jelas Kiki berapi-api. Di depannya, Rangga dan Eriska
manggut-manggut.
Kiki mengalihkan pandangannya ke
sisi lainnya, “Di sana! Itu nanti yang jadi pintu belakang. Seterusnya, sama
seperti di script!”
Lagi-lagi Rangga dan Eriska
manggut-manggut. Kiki benar-benar sutradara perfeksionis. Semuanya harus nampak
sempurna. Dia lalu berjalan ke arah lain untuk memastikan persiapan syuting.
Adegan kejar-kejaran antara Eriska, Rangga dan penjahat bayaran di tengah
pesta. Kamera harus sigap di semua titik.
“Loe nggak apa-apa pakek gaun
begitu?” tanya Rangga sambil melihati tubuh Eriska yang dibalut gaun panjang
press body. Seingatnya gaun yang disiapkan kru lebih pendek dan lebar. Gimana
bisa Eriska lari dengan gaun ketat begitu?
“Nggak apa-apa. Habis syuting, aku
harus pergi ke Balai Sarbini. Waktunya mepet, jadi aku sekalian pakek baju ini
biar nanti bisa langsung berangkat.” Jawab Eriska.
Balai Sarbini? Oh, iya, ajang
Festival Film Indonesia digelar malam ini di sana. Rangga mengangguk pelan.
Di tempatnya, Kiki mulai
berteriak. Semua orang harus siap pada posisinya. Belasan pemeran pembantu yang
berdiri di belakang Rangga mulai menyebar. Suasana pesta dikemas se-real
mungkin. Kiki menghitung mundur. Dan, Action!
Rangga dan Eriska mengobrol mesra
di tengah pesta. Sesuai skenario, datang lima orang berpakaian serba hitam dari
pintu masuk. Rangga dan Eriska terkejut. Buru-buru mereka menyelinap di antara
pengunjung lain. Rangga memegang tangan Eriska. Keduanya mempercepat langkah
mereka. Tapi penjahat itu makin dekat. Tanpa banyak bicara, Rangga lalu
menyeret Eriska pergi dari pesta menuju pintu yang ditunjuk Kiki.
Dorrr!!
Salah seorang penjahat
mengacungkan pistol ke arah Rangga. Seluruh pengunjung berteriak ketakutan.
Keadaan makin kacau.
Sesekali Rangga melirik Eriska
yang berlari di sampingnya. Benar seperti dugaannya, Eriska kesulitan berlari.
Gaunnya menghambat kakinya. Bersamaan ketika Kiki meneriakkan “Cut!”, Eriska
jatuh terpeleset.
“Eriska!!!”
Seluruh kru menghampiri Eriska.
Rangga membungkukkan badannya, bermaksud membantu berdiri. Eriska mengerang
kesakitan memegangi mata kakinya.
“Gue nggak apa-apa kok! Nggak
apa-apa!” ucap Eriska. Dia berusaha bangkit. High hills setinggi sepuluh
sentimeter terlepas dari kakinya.
“Beneran nggak apa-apa? Bisa
lanjut?” tanya Kiki.
Eriska mengangguk. Dia memasang
sepatunya. Seluruh orang mulai bubar. Mempersiapkan scene berikutnya. Benar
Eriska tidak apa-apa, karena dia tersenyum. Tapi Rangga bergeming. Matanya
tertuju pada lecet kemerahan di kaki Eriska. Saat ia hendak menegur Eriska,
Kiki menyeretnya pergi.
“Ini take terakhir hari ini. Nanti
Eriska dan Rangga lari ke dalam sini untuk sembunyi.” Kiki menunjuk sebuah
ruangan sempit. Beberapa kaleng cat dan kardus diletakkan di sana untuk
menggambar ruang penyimpanan pekakas.
“Sembunyi di situ?” ulang Eriska.
“Iya, di situ. Ron! Kamera tiga
sudah nyala?” jawaban singkat Kiki disambung dengan teriakan kepada kru,
membuat Eriska tidak punya kesempatan untuk melayangkan pertanyaannya. Dia
memandang ngeri ke dalam ruangan. Nafasnya berubah berat.
“Camera roll..... action!!”
Rangga menggenggam tangan Eriska
erat. Keduanya berlari kencang dari ruang pesta. Tapi mereka menemui jalan
buntu. Rangga panik. Ia menoleh ke segala penjuru mencari jalan keluar. Dia
lalu menyeret Eriska masuk ke dalam ruangan yang telah ditunjuk Kiki.
Pintu ditutup. Rangga memeluk
Eriska. Sebuah kamera menyorot mereka dari atas. Di luar sana, lima orang
penjahat mencari-cari mereka.
Sejenak suasana hening. Hanya
terdengar suara benda-benda dijatuhkan. Nafas Rangga kembang kempis. Dia
memasang wajah ketakutan. Tapi kian lama dia mulai merasakan kejanggalan. Tubuh
Eriska kian berat. Nafasnya tidak beraturan. Tangan dan kakinya gemetaran.
Rangga mengerjapkan matanya? Akting?
“Gladys, kamu nggak apa-apa?” ucap
Rangga. Dia memunculkan dialog untuk memancing kecurigaannya pada kondisi
Eriska.
Eriska melepas sandaran kepalanya dari
bahu Rangga. Rangga makin terkejut. Dilihatnya wajah Eriska pucat pasi. Dahinya
dipenuhi keringat dingin.
“Eris....”
“Aku nggak apa-apa. Penjahatnya
udah pergi?” Eriska memotong kalimat Rangga. Dia tahu Rangga akan menyebutkan
namanya dan akting akan buyar.
Rangga menggeleng. Sesuai
instruksi Kiki, dia dan Eriska akan keluar dari ruangan sempit itu setelah
terdengar aba-aba dari Kiki. Tapi harus berapa lama lagi menunggu. Eriska
terlihat kepayahan. Tubuhnya gemetaran makin hebat. Akting macam apa yang dia
lakukan dengan memunculkan keadaan seperti itu?
Sesekali Eriska melirik ke arah
pintu. Mencoba memunculkan sandiwaranya.
“Tahan, ya! Sebentar lagi!” bisik
Rangga. Direbahkannya kepala Eriska ke dalam dekapannya. Dalam
ketidakmengertiannya sekarang, menenangkan Eriska dengan kamuflase akting
adalah yang terbaik. Entah apapun yang telah terjadi dengan Eriska.
Sekian menit berlalu. Rangga
menunggu aba-aba dari Kiki. Dalam hati dia bersungut, sampai kapan dia dan
Eriska harus terjebak? Sementara keadaan Eriska kian lama kian memburuk?
“Oke...! Cut...!”
Brakkk!!
Eriska membanting pintu kamar
sempit itu dengan kencang. Dia berlari keluar. Kadang langkahnya terhuyung.
Tepat di sebuah bangku kayu, dia duduk lemas.
Rangga terkesima. Serasa hanya
hitungan detik Eriska melepaskan diri dari pelukannya.
“Nggak bisa, lah!! Studionya udah
saya duluan yang dapat!!” tiba-tiba Kiki mengamuk.
“Tapi tadi saya datang, ditolak
Mas sama administrasinya!!” jelas seorang kru perempuan di depannya.
Kiki panik. Entah apa kali ini
yang ditakutkan sutradara perfeksionis itu. dia membanting topinya. Balik
badan. Lalu berjalan pergi bersama beberapa orang krunya.
Rangga bergeming. Matanya beralih
pada sosok yang duduk menunduk di atas bangku kayu. Kadang terhalang oleh kru
yang sibuk membersihkan tempat. Bahkan tak seorangpun menyadari keadaan Eriska.
Ketika seorang kru mendekat, dia tersenyum.
Akting sempurna.
“Loe nggak apa-apa?” tanya Rangga
menghampiri.
Eriska menoleh, “Enggak apa-apa.”
“Gue panggilin medis....”
“Nggak usah!! Gue...” Eriska tidak
meneruskan kalimatnya. Dia melirik ke sekelilingnya. Entahlah, seperti menunggu
seseorang pergi dari sana, “Gue claustrophobia”
Eh?
“Phobia tempat sempit. Gue...
nggak tahan kalau ada di tempat sempit seperti tadi. Sorry, ya. Gue pasti bikin
loe takut.”
Rangga menghela nafas. Iya,
phobia. Kelainan yang membuat penderitanya ketakutan sampai mau mati.
“Kenapa loe nggak bilang tadi ke
sutradara? Jadi kan loe nggak perlu...”
Eriska tiba-tiba berdiri, “Nggak
apa-apa. Gue juga nggak mau nyusahin kalian. Gue nggak mau ngerusak syuting
Cuma karena phobia gue yang nggak jelas kayak gini.”
Eriska mengangkat dagunya.
Berusaha tegar. Meyakinkan bahwa dia profesional.
Rangga terdiam.
Eriska lalu berbalik badan. Ia melangkah
pergi. Tiga langkah ia menapakkan kakinya, tiba-tiba dia terhuyung.
“Eris!” dengan sigap Rangga
memegangi Eriska.
Eriska mengusap keningnya.
Nafasnya masih tidak beraturan, “Sorry... gue...”
“Loe pucat! Udah loe pulang
aja sekarang!” ucap Rangga.
“Enggak. Gue nggak apa-apa, Rang.
Gue udah biasa kok kayak gini. Lima menit lagi juga gue baikan. Gue nggak
apa-apa!” Eriska melepas pegangan tangan Rangga.
“Tapi loe udah kepayahan kayak
gini. Loe pulang aja sekarang. Mana HP loe? Biar gue telponin manajer loe!”
“Enggak!” sekali lagi Eriska
menolak, dia memundurkan kakinya satu langkah, “Gue harus datang ke Balai
Sarbini!”
“Loe bisa datang lain kali. Segitu
pentingnya acara begituan buat loe dibanding loe sendiri?”
“Iya! Itu penting buat gue!!”
Rangga terdiam. Kali ini benar-benar
kehabisan cara untuk membujuk Eriska. Kian lama kru syuting mulai habis.
Suasana sepi sunyi.
“Gimana caranya loe pergi ke sana?
Tangan loe aja masih gemeteran.” Ucap Rangga kemudian.
Eriska menunduk. Dia menggigit
bibir.
“Mana kunci mobil loe? Biar gue
yang anter...” kata Rangga.
Sejenak Eriska nampak berpikir.
Tapi kemudian ia menyerahkan kunci mobilnya. Sedikit tidak enak hati. Tapi
hatinya tetap kukuh untuk datang ke acara penganugerahan itu. Untuk pertama
kalinya masuk dalam nominasi, ia tidak mungkin melewatkan acara penghargaan
malam ini.
Keduanya lalu berjalan ke parkiran
mobil. Angin malam berhembus pelan. Langit kota Jakarta benar-benar gulita.
Rangga melajukan mobil pelan. Di sampingnya, Eriska duduk bersandar pada kaca
mobil.
“Sorrry... gue bener-bener
ngerepotin loe...” ucap Eriska lirih. Hampir tak terdengar.
Rangga tersenyum, “Nyantai aja
kali. Loe dulu juga pernah nganterin gue ke apartemen pas gue abis syuting
ujan-ujanan. Loe inget? Season tiga dulu...”
Eriska juga tersenyum. Saat Rangga
syuting di tengah hujan dulu. Iya, habis itu dia demam tinggi. Nggak tahu
caranya pulang. Hanya ada Eriska di lokasi syuting. Persis kejadian malam ini.
“Sejak kapan loe claustrophobia?”
tanya Rangga kemudian.
“Gue nggak inget tepatnya kapan.
Waktu itu gue masih kecil. Gue main-main sama temen gue di rumah gue. Gue
ceroboh. Gue masuk ke dalam kamar gudang dan nggak bisa keluar. Semalam suntuk
gue kejebak di sana. Paginya baru nyokap gue nemuin gue...”
“Temen loe nggak nolongin?”
“Dia malah pulang ke rumahnya.”
Kenang Eriska. Dia tersenyum tipis mengingat masa kecilnya.
“Mestinya tadi loe bilang ke sutradara
kalo loe phobia tempat sempit. Dulu Dicky mati-matian minta ganti lokasi
syuting gara-gara ada pohon rambutan.”
Eriska tertawa, “Oh, iya ya..
Dicky takut rambutan ya...”
“Tahu deh kenapa. Keselek kulit
rambutan kali pas kecil. Liat rambutan kayak liat mak lampir.”
Eriska tertawa lepas. Benaknya
melayang pada kejailan-kejailan kru di lokasi syuting. Dulu pernah ada yang
naruh buah rambutan di dalam saku jas Dicky. Dan fix tuh anak ngambek nggak mau
syuting seharian.
“Loe gimana sama Dicky?”
Eh?
Rangga tersentak. Dia keceplosan.
Bego banget dia tiba-tiba nanyain begituan ke Eriska.
“Maksud loe?” tanya Eriska
bingung.
---------------------------------
BERSAMBUNG KE PART 6
KAAKK ARIEKKK.. JANJINYA MANAAA.. KATANYA 1 HARI 1 PART.. INI UDAH TANGGAL 6 WOYY.. *demo *asahgolok ._.v
BalasHapusKa ariek ko gk dilanjut sih.?
BalasHapusHadohhhh prontal pada....
BalasHapusgue habis lebaran kurban di kampung... lagian barusan udah gue lanjut kok.... -___-