Title : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season : 2
Author : @ariek_andini (adm4)
Genre : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...
-----------------------
“Dicky?” gumam
Rangga. Tertatih-tatih ia bangun. Jantungnya seperti berhenti berdetak,
“DIIIICKYYYYY!!!”
Tiga orang satpam berlari dari ujung
parkiran. Beberapa orang juga turut keluar dari dalam studio. Suasana berubah
ramai.
“Doni! Get in the car!!” perintah
seorang pria tua di dalam mobil sedan hitam yang tadi menabrak Rangga. Ia
membuka setengah kaca cendelanya.
Seorang pria bermata sipit dengan cerutu di mulutnya.
Pria bernama Doni itu menurut. Dia
lalu masuk ke dalam mobilnya. Meninggalkan Dicky yang tergolek. Mesin mobil
dinyalakan. Belum sempat satpam penjaga mencapainya, mobil sedan itu melaju
meninggalkan parkiran.
“Telpon polisi!! Ikuti mobilnya!!”
perintah salah satu satpam pada kedua rekannya. Dia lalu menghampiri Dicky yang
terkulai di tanah. Bulu kuduknya merinding.
“Astaghfirullah!! Tidak apa-apa,
Mas?” tanya satpam itu sambil memegangi pipi Dicky.
Dicky senewen, “Bukan ini yang
sakit! Ini nih!!” omel Dicky sambil menunjukkan pisau lipat yang menancap di
bahu belakangnya.
“Lha wajahnya juga berdarah itu,
Mas!!”
Dicky mendengus. Nyatanya, make-up
dan darah buatan habis syuting lebih menarik orang ketimbang luka tusuk di
punggungnya. Rafael, Bisma, Reza dan Ilham berlari menuju kerumunan. Keempatnya
bengong melihat Dicky dan Rangga telah tergolek lemas.
“Siapin mobil!! Kita ke rumah
sakit sekarang!!” teriak sutradara.
Seluruh orang bergegas. Beberapa
orang membopong Dicky dan Rangga ke dalam mobil. Perhatian seluruhnya
tercurahkan pada mereka. Panik dan bingung. Hingga tak seorangpun sadar dengan
seorang gadis berdiri kaku di sudut sana. Lidahnya kelu. Air matanya menggenang.
Melihati Dicky dari belakang dengan jantung berdetak cepat. Eriska meraba
blouse-nya yang terpercik noda merah. Anyir. Lalu bulir bening menggantung di
kelopak matanya. Otaknya dipenuhi bayang pisau lipat yang menancap di punggung
Dicky.
************
“DISERANG?!!” pekik Om Panchunk
kaget. Dia berdiri dengan mata terbelalak.
Rafael mengangguk. Keduanya
berdiri di lorong rumah sakit.
“Diserang gimana? Dirampok?” tanya
Om Panchunk.
Rafael menggeleng, “Nggak tahu,
Om. Dicky dan Rangga sedang diobati. Dan Eriska tadi tiba-tiba pingsan. Kita
juga nggak tahu. Katanya polisi udah ngejar mobilnya.”
Om Panchunk menghela nafas.
Pusing. Baru tiga jam dia meninggalkan artis asuhannya itu, dan tiba-tiba aja
mendengar kabar mengejutkan seperti ini. Sesekali erangan Dicky dari dalam
ruang UGD terdengar sampai keluar.
Om Panchunk lalu masuk ke dalam
ruangan di mana Dicky dirawat. Hanya untuk memastikan, batinnya. Sampai di
dalam ruangan, dilihatnya Dicky tengkurap sementara tiga orang dokter bedah
mengerubutinya.
Peralatan medis berjajar di meja
di samping Dicky. Satu demi satu diambil. Sebenarnya menutup luka tusuk sekecil
itu tidak sulit. Hanya saja, semuanya menjadi lama gara-gara Dicky tidak
berhenti bergerak. Ketika dokter menyentuhnya, Dicky menggeliat. Ketika lukanya
disiram dengan alkohol, Dicky ngamuk.
“Hati-hati, doooonk!! Perih
niiihh!!” omel Dicky.
“Iya, ini udah hati-hati...”
timpal dokter di sampingnya.
“Adaaaw! Adaaaw!! Pelan-pelan
doooonk!!”
“Ini udah pelan-pelan!!”
“Addaaaaawwww!!!”
Dicky mulai tidak tahan. Dia
mencoba bangkit, tapi ia didorong lagi berbaring ke ranjang.
“Jangan bergerak!!”
“Sakiittt woooy! Udah! Bius aja
dah! Bius gue!!”
“Tadi sudah disuntik obat bius
kan?!! Seharusnya sekarang sudah nggak sakit!!”
“MASIH SAKIT!!! Suntik lagi
buruan!!”
Merasa tuntutannya tidak didengar,
Dicky lalu meminta dukungan pada Om Panchunk, “Ooooom! Bilangin ke dokternya,
Ooom!! Suruh ngasih obat bius biar nggak sakit!!”
Om Panchunk menghela nafas.
“Terserah, obat bius, obat tidur,
yang penting nggak sakit! Ini masih periiih, Ooom! Atau beliin Antimo aja
buruan!!”
Om Panchunk menggaruk kepalanya
yang tidak gatal. Menunggui Dicky diobati nggak ada bedanya sama nungguin bocah
TK mau disuntik campak. Ributnya nggak ketulungan.
“Bu.....” Om Panchunk memanggil
salah seorang dokter yang menangani Dicky, “Udah... disuntik aja lagi...”
“Nggak bisa, Pak. Kita udah
nyuntik sampai tiga kali. Itu udah batas maksimal. Kalau ditambah nanti bahaya
ke pasien. Biasanya juga satu dosis udah mati rasa.”
Dicky berontak. Kakinya menghentak-hentak
ke ranjang dengan keras.
“Ya udah, Bu, sumpel aja mulutnya
pakai handuk.” Ucap Om Panchunk putus asa.
Sementara Om Panchunk sibuk
menjaga Dicky agar tidak kabur saat diobati, di ruang yang berlainan, Rangga
duduk di atas tempat tidur rumah sakit. Ia duduk di tepi ranjang. Kakinya
menapak lantai. Lesu. Rangga menatap kaki meja yang ada di samping ranjangnya
dalam diam. Semenit lalu dokter yang memeriksanya telah keluar. Tak ada luka
parah, begitu katanya. Hanya memar kecil di pinggulnya karena terbentur bemper
mobil, itu saja.
Sesekali teriakan Dicky sampai ke
dalam kamarnya. Terdengar lucu. Tapi semakin menambah miris hati Rangga. Dia
yang diburu penjahat tak dikenal itu, kenapa harus Dicky yang menjadi korban.
Penjahat tak dikenal? Benar, siapa
dia?!! Tiba-tiba saja dia menyerangnya. Lebih dari itu, dia seperti ingin
membunuhnya. Jika mau, tak keberatan Rangga menyerahkan kunci mobil, jam tangan
dan handphonenya saat itu juga. Tapi, kenapa dia tak memburunya? Kenapa dia
hanya diam dan terus-terusan menghunuskan pisau?
Cklekk!!
Tiba-tiba pintu kamar Rangga
terbuka. Bising lorong rumah sakit masuk melalui celah kecil. Sebuah kaki
jenjang beralaskan flat-shoes merah jambu menapak lantai. Sosok gadis manis
dengan ruffles-skirt selutut dan kemeja tanpa lengan berwarna senada muncul
dari balik pintu. Ia melongokkan kepala ke dalam. Seolah memastikan ruangan
yang akan ia masuki. Begitu ia melihat Rangga di sana, ia melangkah masuk.
Rangga terkesima. Dia balik
menatap gadis di depannya itu. Benar-benar di luar dugaan. Ola? Ada apa dia ke
sini?
“Rangga?? Kamu nggak apa-apa?”
tanya Ola sambil mendekat.
Rangga diam. Dia masih mengawasi
Ola dengan wajah bingung.
“Ehm, tadi... Reza ngasih tahu aku
katanya kamu dapat kecelakaan. Kamu habis diserang orang. Jadi, aku langsung ke
sini...”
Rangga menghela nafas. Ah, iya,
tentu saja. Reza pasti selalu memberi tahu Ola tentang apapun.
“Kamu gimana? Nggak apa-apa? Ada
yang luka?”
“Nggak. Aku nggak apa-apa, kok.
Yang kena Dicky, aku nggak apa-apa...”
“Katanya Dicky kena tusuk, ya?”
“Iya, di punggungnya. Sekarang
lagi dirawat...” jelas Rangga. Rasa gugup perlahan menyelimuti hatinya. Tiap
Ola memberinya perhatian, entahlah, seperti ada desiran aneh yang membuatnya
tak nyaman.
“Terus?” Ola memalingkan wajahnya ke
seluruh ruangan yang sepi senyap, “Andin mana?”
Eh?
Ola melihati Rangga dengan
ekspresi polos. Poni di dahinya berayun seiring ia memiringkan wajah. Begitu
manis. Dan ketika ia menanyakan Andin kepada Rangga, Rangga semakin bungkam.
Jadi, Ola tidak tahu?
“Andin... nggak di sini...” jawab
Rangga lirih.
“Kok? Terus kemana?”
“Aku dan Andin udah.... bubar...”
“Hah??!!” Ola terpekik kaget.
Spontan tangannya memegangi bibirnya.
Rangga menundukkan wajahnya. Ingin
protes, tapi hanya bisa meluapkannya melalui hembusan nafas. Mengapa Ola
menanyaka Andin di saat suasananya ruwet seperti ini?
“Serius??” sekali lagi Ola
bertanya.
Rangga tak menyahut. Matanya lekat
menatap garis tegel di lantai. Ola juga menghentikan pertanyaan-pertanyaannya.
Pelan-pelan dia paham. Raut wajah Rangga begitu kelam. Penuh awan mendung.
Ola lalu duduk di samping Rangga.
Menapakkan kaki seperti Rangga. Ikut memandangi lantai rumah sakit. Sejenak
suasana hening. Keduanya sama-sama diam. Seolah sedang berhitung dalam hati,
menentukan momen yang tepat untuk membuka suara.
“Aku dan dia udah nggak bisa bersatu...”
ucap Rangga kemudian. Suaranya sayup-sayup.
“Kenapa?”
Rangga menghela nafas panjang,
“Dia egois. Aku juga egois. Sama-sama keras kepala. Nggak pernah ada habisnya.
Ribut terus tiap hari.”
“Bukannya kalian emang selalu
ribut?”
“.......??”
Ola melempar senyum. Diliriknya
Rangga dengan kerling matanya yang khas.
“Dinner bareng ribut, jalan bareng
ribut, telpon-telponan juga ribut. Kalian emang selalu ribut kan?”
Jarum jam seperti berhenti
berdetak. Tercekat. Rangga terkunci oleh penuturan Ola.
“Kamu tahu dari mana? Reza ya yang
cerita?” sergah Rangga.
Ola tertawa kecil. Dia lalu meraih
tasnya. Dibukanya resleting tasnya, lalu dikeluarkannya sebuah baju berbalut
plastik bening dengan segel yang masih tertutup rapat. Rangga melihatinya tidak
mengerti.
“Ini baju Andin.”
“Hah?”
“Dia minta aku ngerahasiain ini
dari kamu.” Ola lalu membuka segel bungkus baju itu. Bibirnya masih mengulum
senyum, “Inget nggak pas kamu datang ke nikahannya temannya Andin? Yang kamu
bikin dia marah dan kamu hampir ditabrak sama dia?”
Rangga mengangguk kecil. Tentu
saja ingat. Dia hampir saja melaporkan Andin ke kantor polisi karena hal itu.
“Sebenarnya, setelah kejadian itu,
Andin datang ke rumah aku. Dia minta ke aku untuk ngajarin dia dandan...”
Rangga mangap, “HAH???!”
“Dia bilang, dia pengen bisa dandan.
Dia minta aku nganterin dia ke toko kosmetik buat beli alat make up. Belajar
gimana caranya pakai alat rias. Terus juga membeli baju-baju feminim kayak gini.
Ini, yang warna kuning ini, dia pesan dua hari lalu.” Jelas Ola sambil
membentangkan baju di tangannya. Sebuah dress selutut dengan renda cantik di
bawahnya. Warnanya kuning muda. Ada kerutan di bagian pinggulnya yang makin
menambah elegan.
Speechless!
“Dia ingin membuka hati, Ngga. Dia
pengen berubah demi kamu.”
“.......”
“Sekarang kamu tahu ‘kan? Siapa
sebenarnya yang egois?”
Pucuk tirai bergoyang-goyang.
Entah angin mana yang membelainya. Seluruh perabotan di dalam kamar rumah sakit
itu juga terasa hampa. Berdiri tiada arti. Sedari tadi hanya memakan sepi.
Melihati Ola dan Rangga yang saling berjajar. Menyadarkan hati tentang
keegoisan.
Rangga lalu meremas kepalanya.
Matanya terpejam. Kalimat terakhir Ola seperti belati yang langsung menikam
paru-parunya. Seketika sesak. Siapa sebenarnya yang egois? Entah!!!
“Cinta tanpa keegoisan akan lemah.
Tapi kalau terlalu banyak akan hancur. Telpon dia, Ngga...” ucap Ola.
Rangga tertegun.
“Aku tadi berpapasan dengan mobil
Andin di jalan. Dia nggak jauh dari sini. Telpon dia...”
“Tap-tapi....”
Serta merta Ola mengambil
handphone Rangga yang tergeletak di meja. Diraihnya tangan Rangga, lalu
digenggamkannya handphone itu di sana. Ola memberi isyarat dengan anggukan.
Berusaha meyakinkan Rangga.
“Masih ada waktu buat memperbaiki
kesalahan...”
Menurut. Rangga lalu menyalakan
ponselnya. Dibukanya riwayat panggilannya. Nama Andin masih bertengger di
posisi pertama. Dengan hati berdebur kencang, Rangga menelepon Andin.
Senyum di bibir Ola terkembang. Dia lalu
melangkah pergi dari sana. Meninggalkan Rangga dan dunianya. Ditutupnya pintu
kamar rumah sakit pelan-pelan.
Tiga kali deringan, telpon tak
juga diangkat. Rangga menunggu dengan hati was-was. Sudut otaknya yang lain
sibuk merangkai kata untuk diucapkan. Hingga akhirnya telponnya diangkat,
Rangga gelagapan.
“Apa?”
Suara Andin terdengar. Sangat
pendek dan ketus.
“A-andin? Halo?”
“Iya, halo! Apa?”
“Gue mau bicara sebentar.”
“Gue sedang nyetir!!”
“Oh, gitu!”
“Ya udah!”
“Ok, ya udah...”
Tuut... tuut... tuut....
UDAH GITU DOANK??!!
Rangga menyeringai gregetan. Emangnya
kenapa kalo Andin sedang nyetir? Dia sudah ribuan kali ngobrol dengan Andin
meskipun dia sedang nyetir! Lalu kenapa sekarang jadi sungkan sendiri?
Rangga kembali mengangkat
teleponnya. Kali ini ia bertekad bicara tanpa ijin-ijinan segala!
“Apa lagi, sih?!!”
“Gue mau ngomong sama loe!”
“Gue bilang gue sedang nyetir!”
“Loe dengerin aja! Gue yang
ngomong!”
“Kenapa gue harus dengerin loe?!”
“Karena gue mau ngomong!!”
“Gue sedang nyetir!!”
“Nyetir ya nyetir aja! Loe cukup
dengerin, gue yang ngomong!”
Tuut... tuut... tuut...
Kampret!!
Sekali lagi telpon dimatikan.
Rasanya Rangga ingin menelan handphonenya bulat-bulat. Ia bahkan belum sempat
mengatakan apapun. Hal terakhir yang ia lakukan justru bertengkar dengan Andin
soal nyetir dan ngomong.
Ia dan Andin sedang dalam situasi
berbeda saat ini. Baru tadi sore dia putus. Dan dia sekarang mau baikan lewat
telepon? Cemen banget! Batin Rangga. Ia lalu memutuskan untuk menelepon Erwin.
Seenggaknya dia yang tahu dimana jadwal Andin. Rangga harus menemui Andin,
meminta maaf secara langsung, dan menyelesaikan semua masalah ini.
“Mestinya gue yang nanya gitu ke elo!!”
Bentakan Erwin menyambut Rangga
begitu ia menanyakan keberadaan Andin.
“Keadaan di sini lagi berabe! Tuh
cewek tiba-tiba minta cuti selama setaun dari band!! Manajemen gue jadi ribut
gara-gara dia!!”
“Hah?!!”
“Loe mau ngapain dia sih?!! Loe
mau ngajak dia kawin lari?!! Pakek ke Korea segala! Loe pikir cuti dari band
bisa segampang itu?!”
“Bentar! Bentar!!”
“Band gue terancam nggak jalan!!
Manajer gue langsung shock! Loe logis dikit donk!! Ini ceritanya jadi nggak
karuan!!”
“Gue bilang bentar!!” bentak
Rangga, “Loe bilang Andin bilang ke Korea?!”
“Iya! Dia bilang mau ke Korea!
Setahun! Kampret!”
“Dia bilang apa lagi? Dia mau ngapain di
sana?!!”
“Kagak tahu. Dia nggak ngomong mau
apa. Loe... juga nggak tahu?”
Rangga tidak menggubris pertanyaan
Erwin. Seluruh otaknya tertuju pada Andin. Ke Korea? Apa dia... jangan-jangan...
manajemen hitam itu?!
Seketika Rangga berlari keluar.
Baru lima menit lalu Ola berpapasan dengan mobil Andin. Dia mungkin masih di
Jakarta. Sebisanya mengejar Andin. Ia harus berhasil menghentikan Andin.
Sambil berlari menyusuri lorong
rumah sakit, Rangga berusaha menelepon Andin. Berkali-kali menelepon,
berkali-kali pula telponnya di-reject.
Hal normal yang selalu Andin lakukan ketika marah. Ini masih mending daripada
ia menonaktifkan handphonenya.
Hingga di panggilan kelima,
akhirnya Andin mengangkat telponnya.
“Berisik banget sih loe!! Sekali
lagi loe telpon gue, gue bakal laporin loe ke...”
“JANGAN IKUT TRAINING ITU!!!”
“........”
“Dengerin gue!! loe pulang ke
rumah loe sekarang juga! Batalin keikutsertaan loe di training itu!!”
“Loe siapa ngatur-ngatur gue?!!”
“Ndin!!” Rangga menghentikan
larinya, “Terserah loe mau marah ke gue, loe nggak mau dengerin geu lagi, atau
nggak mau ketemu gue lagi. Gue akan turutin!! Tapi please untuk satu ini, loe
dengerin permintaan gue!! Please loe batalin niat loe ikut training di Korea
itu!”
“Kenapa?”
“Mereka itu manajemen penipu!!”
“Hahaha!!!”
“Ndin!!!”
“Gue nggak ada waktu buat
nanggapin tingkah kekanak-kanakkan loe!!”
“Andin!! Dengerin gue!....”
Telpon dimatikan. Rangga tak
sempat meneruskan kalimatnya. Sekali lagi ia berusaha menelepon Andin, suara
operator menjawab. Andin telah menonaktifkan teleponnya.
Gusar. Rangga meninju dinding di
sampinya. Harus bagaimana sekarang?!
--------------------
BERSAMBUNG KE PART 17
Gue gemeter baca part ini. Jangan sembunyiin Andiiinnnn!!
BalasHapusomaigaattttt kerennn (y)
BalasHapusDicky kebal dong, disuntik 3 kali tapi masih kesakitan. Dapet ilmu darimana tuh? Mbah Maridjan???
BalasHapusOla ikut main lagi, dia sekarang jadi sahabatnya Rangga ya? Ola baik banget, bijak juga. Udah nyadarin Rangga, kalo Andin sebenernya mau berubah.
Jangan-jangan, yang sembunyiin Andin itu orang yang mau nyelakain Rangga.. Bener nggak? Tapi kenapa sama Rangga? Mereka punya masalah sama Rangga? Apa mereka orang suruhannya Bunawar? Bunawar kan, punya dendam sama Rangga?
Om Budy emosian banget, asal nuduh lagi! Inget Om, fitnah lebih kejam dari fitness! Seenaknya aja, nuduh Rangga yang nyulik Andin. Padahal Rangga kan, nggak tau apa-apa!
Ntar kalo udah ketemu Andin, rame lagi deh! Apa malah dramatis gitu? Entahlah, hanya Tuhan dan kakak yang tau...
Udah ya, Kak? Aku capek ngetik, walaupun ini belum panjang. Malah kayaknya pendek banget ya? Yang penting part ini bikin tegang, merinding, seru banget! Semangat ya, Kak buat part selanjutnya! Dah...
Ka ariek lanjutin dongg..penasaran tauu..
BalasHapusKa ariek punya instagram gk?
BalasHapusInstagram? wah gak punya.... twitter aja deh ya...
Hapus