21 Oktober 2014

[Cerbung SMASH] "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" SEASON 2 / Part 16

Title          : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season    : 2
Author       : @ariek_andini (adm4)
Genre        : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast          : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...

-----------------------

             “Dicky?” gumam Rangga. Tertatih-tatih ia bangun. Jantungnya seperti berhenti berdetak, “DIIIICKYYYYY!!!”

             Tiga orang satpam berlari dari ujung parkiran. Beberapa orang juga turut keluar dari dalam studio. Suasana berubah ramai.

             “Doni! Get in the car!!” perintah seorang pria tua di dalam mobil sedan hitam yang tadi menabrak Rangga. Ia membuka setengah kaca cendelanya.  Seorang pria bermata sipit dengan cerutu di mulutnya.

             Pria bernama Doni itu menurut. Dia lalu masuk ke dalam mobilnya. Meninggalkan Dicky yang tergolek. Mesin mobil dinyalakan. Belum sempat satpam penjaga mencapainya, mobil sedan itu melaju meninggalkan parkiran.

             “Telpon polisi!! Ikuti mobilnya!!” perintah salah satu satpam pada kedua rekannya. Dia lalu menghampiri Dicky yang terkulai di tanah. Bulu kuduknya merinding.

             “Astaghfirullah!! Tidak apa-apa, Mas?” tanya satpam itu sambil memegangi pipi Dicky.


             Dicky senewen, “Bukan ini yang sakit! Ini nih!!” omel Dicky sambil menunjukkan pisau lipat yang menancap di bahu belakangnya.

             “Lha wajahnya juga berdarah itu, Mas!!”

             Dicky mendengus. Nyatanya, make-up dan darah buatan habis syuting lebih menarik orang ketimbang luka tusuk di punggungnya. Rafael, Bisma, Reza dan Ilham berlari menuju kerumunan. Keempatnya bengong melihat Dicky dan Rangga telah tergolek lemas.

             “Siapin mobil!! Kita ke rumah sakit sekarang!!” teriak sutradara.

             Seluruh orang bergegas. Beberapa orang membopong Dicky dan Rangga ke dalam mobil. Perhatian seluruhnya tercurahkan pada mereka. Panik dan bingung. Hingga tak seorangpun sadar dengan seorang gadis berdiri kaku di sudut sana. Lidahnya kelu. Air matanya menggenang. Melihati Dicky dari belakang dengan jantung berdetak cepat. Eriska meraba blouse-nya yang terpercik noda merah. Anyir. Lalu bulir bening menggantung di kelopak matanya. Otaknya dipenuhi bayang pisau lipat yang menancap di punggung Dicky.

             ************

             “DISERANG?!!” pekik Om Panchunk kaget. Dia berdiri dengan mata terbelalak.

             Rafael mengangguk. Keduanya berdiri di lorong rumah sakit.

             “Diserang gimana? Dirampok?” tanya Om Panchunk.

             Rafael menggeleng, “Nggak tahu, Om. Dicky dan Rangga sedang diobati. Dan Eriska tadi tiba-tiba pingsan. Kita juga nggak tahu. Katanya polisi udah ngejar mobilnya.”

             Om Panchunk menghela nafas. Pusing. Baru tiga jam dia meninggalkan artis asuhannya itu, dan tiba-tiba aja mendengar kabar mengejutkan seperti ini. Sesekali erangan Dicky dari dalam ruang UGD terdengar sampai keluar.

             Om Panchunk lalu masuk ke dalam ruangan di mana Dicky dirawat. Hanya untuk memastikan, batinnya. Sampai di dalam ruangan, dilihatnya Dicky tengkurap sementara tiga orang dokter bedah mengerubutinya.

             Peralatan medis berjajar di meja di samping Dicky. Satu demi satu diambil. Sebenarnya menutup luka tusuk sekecil itu tidak sulit. Hanya saja, semuanya menjadi lama gara-gara Dicky tidak berhenti bergerak. Ketika dokter menyentuhnya, Dicky menggeliat. Ketika lukanya disiram dengan alkohol, Dicky ngamuk.

             “Hati-hati, doooonk!! Perih niiihh!!” omel Dicky.

             “Iya, ini udah hati-hati...” timpal dokter di sampingnya.

             “Adaaaw! Adaaaw!! Pelan-pelan doooonk!!”

             “Ini udah pelan-pelan!!”

             “Addaaaaawwww!!!”

             Dicky mulai tidak tahan. Dia mencoba bangkit, tapi ia didorong lagi berbaring ke ranjang.

             “Jangan bergerak!!”

             “Sakiittt woooy! Udah! Bius aja dah! Bius gue!!”

             “Tadi sudah disuntik obat bius kan?!! Seharusnya sekarang sudah nggak sakit!!”

             “MASIH SAKIT!!! Suntik lagi buruan!!”

             Merasa tuntutannya tidak didengar, Dicky lalu meminta dukungan pada Om Panchunk, “Ooooom! Bilangin ke dokternya, Ooom!! Suruh ngasih obat bius biar nggak sakit!!”

             Om Panchunk menghela nafas.

             “Terserah, obat bius, obat tidur, yang penting nggak sakit! Ini masih periiih, Ooom! Atau beliin Antimo aja buruan!!”

             Om Panchunk menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Menunggui Dicky diobati nggak ada bedanya sama nungguin bocah TK mau disuntik campak. Ributnya nggak ketulungan.

             “Bu.....” Om Panchunk memanggil salah seorang dokter yang menangani Dicky, “Udah... disuntik aja lagi...”

             “Nggak bisa, Pak. Kita udah nyuntik sampai tiga kali. Itu udah batas maksimal. Kalau ditambah nanti bahaya ke pasien. Biasanya juga satu dosis udah mati rasa.”

             Dicky berontak. Kakinya menghentak-hentak ke ranjang dengan keras.

             “Ya udah, Bu, sumpel aja mulutnya pakai handuk.” Ucap Om Panchunk putus asa.

             Sementara Om Panchunk sibuk menjaga Dicky agar tidak kabur saat diobati, di ruang yang berlainan, Rangga duduk di atas tempat tidur rumah sakit. Ia duduk di tepi ranjang. Kakinya menapak lantai. Lesu. Rangga menatap kaki meja yang ada di samping ranjangnya dalam diam. Semenit lalu dokter yang memeriksanya telah keluar. Tak ada luka parah, begitu katanya. Hanya memar kecil di pinggulnya karena terbentur bemper mobil, itu saja.

             Sesekali teriakan Dicky sampai ke dalam kamarnya. Terdengar lucu. Tapi semakin menambah miris hati Rangga. Dia yang diburu penjahat tak dikenal itu, kenapa harus Dicky yang menjadi korban.

             Penjahat tak dikenal? Benar, siapa dia?!! Tiba-tiba saja dia menyerangnya. Lebih dari itu, dia seperti ingin membunuhnya. Jika mau, tak keberatan Rangga menyerahkan kunci mobil, jam tangan dan handphonenya saat itu juga. Tapi, kenapa dia tak memburunya? Kenapa dia hanya diam dan terus-terusan menghunuskan pisau?

             Cklekk!!

             Tiba-tiba pintu kamar Rangga terbuka. Bising lorong rumah sakit masuk melalui celah kecil. Sebuah kaki jenjang beralaskan flat-shoes merah jambu menapak lantai. Sosok gadis manis dengan ruffles-skirt selutut dan kemeja tanpa lengan berwarna senada muncul dari balik pintu. Ia melongokkan kepala ke dalam. Seolah memastikan ruangan yang akan ia masuki. Begitu ia melihat Rangga di sana, ia melangkah masuk.

             Rangga terkesima. Dia balik menatap gadis di depannya itu. Benar-benar di luar dugaan. Ola? Ada apa dia ke sini?

             “Rangga?? Kamu nggak apa-apa?” tanya Ola sambil mendekat.

             Rangga diam. Dia masih mengawasi Ola dengan wajah bingung.

             “Ehm, tadi... Reza ngasih tahu aku katanya kamu dapat kecelakaan. Kamu habis diserang orang. Jadi, aku langsung ke sini...”

             Rangga menghela nafas. Ah, iya, tentu saja. Reza pasti selalu memberi tahu Ola tentang apapun.

             “Kamu gimana? Nggak apa-apa? Ada yang luka?”

             “Nggak. Aku nggak apa-apa, kok. Yang kena Dicky, aku nggak apa-apa...”

             “Katanya Dicky kena tusuk, ya?”

             “Iya, di punggungnya. Sekarang lagi dirawat...” jelas Rangga. Rasa gugup perlahan menyelimuti hatinya. Tiap Ola memberinya perhatian, entahlah, seperti ada desiran aneh yang membuatnya tak nyaman.

             “Terus?” Ola memalingkan wajahnya ke seluruh ruangan yang sepi senyap, “Andin mana?”

             Eh?

             Ola melihati Rangga dengan ekspresi polos. Poni di dahinya berayun seiring ia memiringkan wajah. Begitu manis. Dan ketika ia menanyakan Andin kepada Rangga, Rangga semakin bungkam.

             Jadi, Ola tidak tahu?

             “Andin... nggak di sini...” jawab Rangga lirih.

             “Kok? Terus kemana?”

             “Aku dan Andin udah.... bubar...”

             “Hah??!!” Ola terpekik kaget. Spontan tangannya memegangi bibirnya.

             Rangga menundukkan wajahnya. Ingin protes, tapi hanya bisa meluapkannya melalui hembusan nafas. Mengapa Ola menanyaka Andin di saat suasananya ruwet seperti ini?

             “Serius??” sekali lagi Ola bertanya.

             Rangga tak menyahut. Matanya lekat menatap garis tegel di lantai. Ola juga menghentikan pertanyaan-pertanyaannya. Pelan-pelan dia paham. Raut wajah Rangga begitu kelam. Penuh awan mendung.

             Ola lalu duduk di samping Rangga. Menapakkan kaki seperti Rangga. Ikut memandangi lantai rumah sakit. Sejenak suasana hening. Keduanya sama-sama diam. Seolah sedang berhitung dalam hati, menentukan momen yang tepat untuk membuka suara.

             “Aku dan dia udah nggak bisa bersatu...” ucap Rangga kemudian. Suaranya sayup-sayup.

             “Kenapa?”

             Rangga menghela nafas panjang, “Dia egois. Aku juga egois. Sama-sama keras kepala. Nggak pernah ada habisnya. Ribut terus tiap hari.”

             “Bukannya kalian emang selalu ribut?”

             “.......??”

             Ola melempar senyum. Diliriknya Rangga dengan kerling matanya yang khas.

             “Dinner bareng ribut, jalan bareng ribut, telpon-telponan juga ribut. Kalian emang selalu ribut kan?”

             Jarum jam seperti berhenti berdetak. Tercekat. Rangga terkunci oleh penuturan Ola.

             “Kamu tahu dari mana? Reza ya yang cerita?” sergah Rangga.

             Ola tertawa kecil. Dia lalu meraih tasnya. Dibukanya resleting tasnya, lalu dikeluarkannya sebuah baju berbalut plastik bening dengan segel yang masih tertutup rapat. Rangga melihatinya tidak mengerti.

             “Ini baju Andin.”

             “Hah?”

             “Dia minta aku ngerahasiain ini dari kamu.” Ola lalu membuka segel bungkus baju itu. Bibirnya masih mengulum senyum, “Inget nggak pas kamu datang ke nikahannya temannya Andin? Yang kamu bikin dia marah dan kamu hampir ditabrak sama dia?”

             Rangga mengangguk kecil. Tentu saja ingat. Dia hampir saja melaporkan Andin ke kantor polisi karena hal itu.

             “Sebenarnya, setelah kejadian itu, Andin datang ke rumah aku. Dia minta ke aku untuk ngajarin dia dandan...”

             Rangga mangap, “HAH???!”

             “Dia bilang, dia pengen bisa dandan. Dia minta aku nganterin dia ke toko kosmetik buat beli alat make up. Belajar gimana caranya pakai alat rias. Terus juga membeli baju-baju feminim kayak gini. Ini, yang warna kuning ini, dia pesan dua hari lalu.” Jelas Ola sambil membentangkan baju di tangannya. Sebuah dress selutut dengan renda cantik di bawahnya. Warnanya kuning muda. Ada kerutan di bagian pinggulnya yang makin menambah elegan.

             Speechless!

             “Dia ingin membuka hati, Ngga. Dia pengen berubah demi kamu.”

             “.......”

              “Sekarang kamu tahu ‘kan? Siapa sebenarnya yang egois?”

             Pucuk tirai bergoyang-goyang. Entah angin mana yang membelainya. Seluruh perabotan di dalam kamar rumah sakit itu juga terasa hampa. Berdiri tiada arti. Sedari tadi hanya memakan sepi. Melihati Ola dan Rangga yang saling berjajar. Menyadarkan hati tentang keegoisan.

             Rangga lalu meremas kepalanya. Matanya terpejam. Kalimat terakhir Ola seperti belati yang langsung menikam paru-parunya. Seketika sesak. Siapa sebenarnya yang egois? Entah!!!

             “Cinta tanpa keegoisan akan lemah. Tapi kalau terlalu banyak akan hancur. Telpon dia, Ngga...” ucap Ola.

             Rangga tertegun.

             “Aku tadi berpapasan dengan mobil Andin di jalan. Dia nggak jauh dari sini. Telpon dia...”

             “Tap-tapi....”

             Serta merta Ola mengambil handphone Rangga yang tergeletak di meja. Diraihnya tangan Rangga, lalu digenggamkannya handphone itu di sana. Ola memberi isyarat dengan anggukan. Berusaha meyakinkan Rangga.

             “Masih ada waktu buat memperbaiki kesalahan...”

             Menurut. Rangga lalu menyalakan ponselnya. Dibukanya riwayat panggilannya. Nama Andin masih bertengger di posisi pertama. Dengan hati berdebur kencang, Rangga menelepon Andin.

             Senyum di bibir Ola terkembang. Dia lalu melangkah pergi dari sana. Meninggalkan Rangga dan dunianya. Ditutupnya pintu kamar rumah sakit pelan-pelan.

             Tiga kali deringan, telpon tak juga diangkat. Rangga menunggu dengan hati was-was. Sudut otaknya yang lain sibuk merangkai kata untuk diucapkan. Hingga akhirnya telponnya diangkat, Rangga gelagapan.

             “Apa?”

             Suara Andin terdengar. Sangat pendek dan ketus.

             “A-andin? Halo?”

             “Iya, halo! Apa?”

             “Gue mau bicara sebentar.”

             “Gue sedang nyetir!!”

             “Oh, gitu!”

             “Ya udah!”

             “Ok, ya udah...”

             Tuut... tuut... tuut....

             UDAH GITU DOANK??!!

             Rangga menyeringai gregetan. Emangnya kenapa kalo Andin sedang nyetir? Dia sudah ribuan kali ngobrol dengan Andin meskipun dia sedang nyetir! Lalu kenapa sekarang jadi sungkan sendiri?

             Rangga kembali mengangkat teleponnya. Kali ini ia bertekad bicara tanpa ijin-ijinan segala!

             “Apa lagi, sih?!!”

             “Gue mau ngomong sama loe!”

             “Gue bilang gue sedang nyetir!”

             “Loe dengerin aja! Gue yang ngomong!”

             “Kenapa gue harus dengerin loe?!”

             “Karena gue mau ngomong!!”

             “Gue sedang nyetir!!”

             “Nyetir ya nyetir aja! Loe cukup dengerin, gue yang ngomong!”

             Tuut... tuut... tuut...

             Kampret!!

             Sekali lagi telpon dimatikan. Rasanya Rangga ingin menelan handphonenya bulat-bulat. Ia bahkan belum sempat mengatakan apapun. Hal terakhir yang ia lakukan justru bertengkar dengan Andin soal nyetir dan ngomong.

             Ia dan Andin sedang dalam situasi berbeda saat ini. Baru tadi sore dia putus. Dan dia sekarang mau baikan lewat telepon? Cemen banget! Batin Rangga. Ia lalu memutuskan untuk menelepon Erwin. Seenggaknya dia yang tahu dimana jadwal Andin. Rangga harus menemui Andin, meminta maaf secara langsung, dan menyelesaikan semua masalah ini.

             “Mestinya gue yang nanya gitu ke elo!!”

             Bentakan Erwin menyambut Rangga begitu ia menanyakan keberadaan Andin.

             “Keadaan di sini lagi berabe! Tuh cewek tiba-tiba minta cuti selama setaun dari band!! Manajemen gue jadi ribut gara-gara dia!!”

             “Hah?!!”

             “Loe mau ngapain dia sih?!! Loe mau ngajak dia kawin lari?!! Pakek ke Korea segala! Loe pikir cuti dari band bisa segampang itu?!”

             “Bentar! Bentar!!”

             “Band gue terancam nggak jalan!! Manajer gue langsung shock! Loe logis dikit donk!! Ini ceritanya jadi nggak karuan!!”

             “Gue bilang bentar!!” bentak Rangga, “Loe bilang Andin bilang ke Korea?!”

             “Iya! Dia bilang mau ke Korea! Setahun! Kampret!”

             “Dia bilang apa lagi? Dia mau ngapain di sana?!!”

             “Kagak tahu. Dia nggak ngomong mau apa. Loe... juga nggak tahu?”

             Rangga tidak menggubris pertanyaan Erwin. Seluruh otaknya tertuju pada Andin. Ke Korea? Apa dia... jangan-jangan... manajemen hitam itu?!

             Seketika Rangga berlari keluar. Baru lima menit lalu Ola berpapasan dengan mobil Andin. Dia mungkin masih di Jakarta. Sebisanya mengejar Andin. Ia harus berhasil menghentikan Andin.

             Sambil berlari menyusuri lorong rumah sakit, Rangga berusaha menelepon Andin. Berkali-kali menelepon, berkali-kali pula telponnya di-reject. Hal normal yang selalu Andin lakukan ketika marah. Ini masih mending daripada ia menonaktifkan handphonenya.

             Hingga di panggilan kelima, akhirnya Andin mengangkat telponnya.

             “Berisik banget sih loe!! Sekali lagi loe telpon gue, gue bakal laporin loe ke...”

             “JANGAN IKUT TRAINING ITU!!!”

             “........”

             “Dengerin gue!! loe pulang ke rumah loe sekarang juga! Batalin keikutsertaan loe di training itu!!”

             “Loe siapa ngatur-ngatur gue?!!”

             “Ndin!!” Rangga menghentikan larinya, “Terserah loe mau marah ke gue, loe nggak mau dengerin geu lagi, atau nggak mau ketemu gue lagi. Gue akan turutin!! Tapi please untuk satu ini, loe dengerin permintaan gue!! Please loe batalin niat loe ikut training di Korea itu!”

             “Kenapa?”

             “Mereka itu manajemen penipu!!”

             “Hahaha!!!”

             “Ndin!!!”

             “Gue nggak ada waktu buat nanggapin tingkah kekanak-kanakkan loe!!”

             “Andin!! Dengerin gue!....”

             Telpon dimatikan. Rangga tak sempat meneruskan kalimatnya. Sekali lagi ia berusaha menelepon Andin, suara operator menjawab. Andin telah menonaktifkan teleponnya.


             Gusar. Rangga meninju dinding di sampinya. Harus bagaimana sekarang?!

--------------------
BERSAMBUNG KE PART 17

6 komentar:

  1. Gue gemeter baca part ini. Jangan sembunyiin Andiiinnnn!!

    BalasHapus
  2. omaigaattttt kerennn (y)

    BalasHapus
  3. Dicky kebal dong, disuntik 3 kali tapi masih kesakitan. Dapet ilmu darimana tuh? Mbah Maridjan???
    Ola ikut main lagi, dia sekarang jadi sahabatnya Rangga ya? Ola baik banget, bijak juga. Udah nyadarin Rangga, kalo Andin sebenernya mau berubah.
    Jangan-jangan, yang sembunyiin Andin itu orang yang mau nyelakain Rangga.. Bener nggak? Tapi kenapa sama Rangga? Mereka punya masalah sama Rangga? Apa mereka orang suruhannya Bunawar? Bunawar kan, punya dendam sama Rangga?
    Om Budy emosian banget, asal nuduh lagi! Inget Om, fitnah lebih kejam dari fitness! Seenaknya aja, nuduh Rangga yang nyulik Andin. Padahal Rangga kan, nggak tau apa-apa!
    Ntar kalo udah ketemu Andin, rame lagi deh! Apa malah dramatis gitu? Entahlah, hanya Tuhan dan kakak yang tau...
    Udah ya, Kak? Aku capek ngetik, walaupun ini belum panjang. Malah kayaknya pendek banget ya? Yang penting part ini bikin tegang, merinding, seru banget! Semangat ya, Kak buat part selanjutnya! Dah...

    BalasHapus
  4. Ka ariek lanjutin dongg..penasaran tauu..

    BalasHapus
  5. Balasan
    1. Instagram? wah gak punya.... twitter aja deh ya...

      Hapus