30 Oktober 2014

[Cerbung SMASH] "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" SEASON 2 / Part 17

Title          : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season    : 2
Author       : @ariek_andini (adm4)
Genre        : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast          : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...

Please doain dosen gue tobat... Dari kemaren dia ngasih tugas buanyak banget... gue jadi lelet nih mau posting CR VS CB.... -__-

Plus, thanks buat yang sampe sekarang sabar ngikutin imajinasi gila gue di cerbung ini... imajinasinya kemana-mana... beyond your imagination lah... -___-

------------------------------------

             “Mereka itu manajemen penipu!!”

             “Hahaha!!!”

             “Ndin!!!”

             “Gue nggak ada waktu buat nanggapin tingkah kekanak-kanakkan loe!!”

             “Andin!! Dengerin gue!....”

             Telpon dimatikan. Rangga tak sempat meneruskan kalimatnya. Sekali lagi ia berusaha menelepon Andin, suara operator menjawab. Andin telah menonaktifkan teleponnya.

             Gusar. Rangga meninju dinding di sampinya. Harus bagaimana sekarang?! Sekejap kemudian ia berlari menuju lobi rumah sakit. Entah bagaimana caranya, dia harus bisa menghentikan Andin sebelum terlambat.

             “Rangga!!” panggil seseorang dari belakang.

             Rangga menghentikan langkahnya.

             “Loe kemana? Loe belum boleh keluar dari kamar!!” tambah Rafael.

             Rangga tak menyahut. Ketika ia menoleh, seluruh perhatiannya tertuju pada sosok yang berdiri di samping Rafael. Sesosok pria paruh baya berkemeja putih licin. Ia memandangi Rangga sayu.

             “Om Budy?”

             Om Budy berjalan mendahului Rafael. Ia mendekat ke depan Rangga.

             “Gimana kabar kamu?”


             Om Budy bertanya lembut. Rangga terkesima. Om Budy tiba-tiba bersikap manis padanya? Ada apa?

             “Alhamdulillah nggak ada yang terluka, ya...” tambah Om Budy.

             Rangga makin terbengong-bengong.

             “Maaf...”

             Eh?

             “Mestinya Om bilang ini dari awal ke kamu. Maaf...”

             Rangga mengerutkan dahinya, “Maaf?”

             “Kamu nggak ngerti, ya? Selama ini kamu diincar.”

             “Om ngomong apa?”

             Om Budy tak langsung menjawab. Ia diam sejenak. Seperti sedang mengatur kata.

             “Bunawar....”

             Sebuah nama mencuat ke udara. Rangga tertegun. Bulu romanya berdiri.

             “Dia yang berada di balik penyerangan ini.”

             “Apa?”

             “Bunawar nggak pernah sudi dikalahkan orang lain. Sehari setelah kamu mengalahkan dia di persidangan, dia menyuruh bawahannya untuk mengincar kamu.”

             Hening. Rafael berjalan menghampiri Rangga dan menepuk pundaknya yang tegang.

             “24 jam rumah Om diintai. Kemanapun Om atau Andin pergi, pasti mereka ikuti. Mereka tahu kalau kamu pacar Andin. Om udah berusaha keras melindungi kamu. Tapi kayaknya... cara Om yang salah.” Om Budy menarik nafas berat. Wajahnya begitu lesu, “Sekeras apapun Om melarang Andin menemui kamu, tapi tetap aja dia pergi secara diam-diam, iya kan?”

             “Mereka pengen ngebunuh aku?”

             “Bukan! Bukan begitu cara mereka bekerja.” Om Budy menelengkan wajahnya, mendekat ke wajah Rangga jengkal demi jengkal, “Wajah kamu...”

             “Wajah?”

             “Kamu pernah tahu seorang artis yang sangat terkenal, lalu tiba-tba dia menghilang dan nggak diketahui jejaknya? Seperti itu.”

             “.........?”

             “Wajah kamu, adalah aset kamu. Dengan membuat wajah kamu cacat, Bunawar akan berhasil mendepak kamu dari entertainment. Begitu cara dia bekerja.”

             “Kalau Om tahu, kenapa Om nggak lapor ke polisi dari awal?!!” sergah Rangga.

             “Ssssstt...” Om Budy meletakkan telunjuknya di depan bibirnya, “Nggak segampang itu. Ada banyak orang yang rela mati demi dia. Laki-laki yang melawan kamu tadi sore, dia salah satunya. Sekalipun ada yang lapor, penyelidikan akan mentok. Bagi berandalan kayak dia, keluar masuk penjara nggak masalah asal dibayar. Dan Bunawar, akan tetap berada di atas sana dengan kedok pemilik production house terbesar di Indonesia.”

             Rangga bungkam. Ingin berontak, tapi entahlah. Ia hanya bisa berdiri kaku mendengar semua fakta mengerikan dari bibir Om Budy.

             “Laki-laki yang nyerang kamu, namanya Doni Sambara. Om pernah menjadi kuasa hukumnya dulu. Waktu itu dia diperintah untuk mencuri sebuah surat kontrak. Aksinya hampir kepergok, dia membunuh putra CEO Amanirta Group. Rekam jejaknya sangat kelam. Dia nggak segan-segan menghabisi orang yang ada di hadapannya.”

             “Tapi syukurlah, kamu nggak terluka sedikitpun. Om datang, Cuma pengen memastikan itu.”

             Rangga menghela nafas panjang.

             “Juga... soal Andin.”

             “..........”

             “Andin pergi dari rumah. Baju-bajunya di lemari dibawa semua. Orang-orang di manajemennya juga tiba-tiba telpon ke rumah dan menanyakan dia. Tolong kamu jawab yang jujur, Andin kamu sembunyikan dimana?”

             “Sembunyikan?” Rangga menggeleng, “Aku nggak nyembunyiin dia...”

             Sebegitunya kah Andin menghilang? Teman-teman bandnya, manajemennya, sampai ayahnya sendiri, mencarinya. Semua orang bertanya padanya. Tak pahamkah mereka kalau dia dan Andin sudah putus?

             Eh?

             “BENAR JUGA!!!” tiba-tiba Rangga memekik. Tubuhnya seketika tegap. Otaknya tersadar. Andin! Benar juga! Bukankah tadi dia harus menyusul Andin? Rangga membalikkan badan. Dia lalu berjalan cepat meninggalkan Rafael dan Om Budy. Ke parkiran! Dia harus menyusul Andin mumpung belum terlambat!!

             “Kamu mau kemana?!!”

             “Nyusul Andin, Om!!”

             “Emangnya dia dimana?!” Om Budy ikut-ikutan mempercepat langkahnya.

             “Di bandara!!”

             “Di bandara?”

             “Ceritanya panjang!!”

             Sampai di pintu keluar rumah sakit, Rangga menghentikan langkah kakinya. Segerombol polisi berdiri di sana. Dua di antaranya memandang tegas ke arah Rangga. Tajam!

             “Anda dilarang keluar dari rumah sakit sampai penyelidikan selesai.”

             Mampuss!!!

             “Saya Cuma mau keluar sebentar!!” sergah Rangga.

             “Maaf! Tetap tidak boleh!”

             “Saya bukan tersangka kenapa dilarang-larang?!!” emosi Rangga mulai meletup.

             “Karena itulah, keamanan Anda menjadi tanggung jawab kami. Anda dilarang kemana-mana untuk sementara.”

             Rafael menarik tubuh Rangga ke belakang. Dibawanya menjauh dari sana, “Loe yang tenang!”

             “Lepasin!!”

             “Dari tadi sore, kita kalo kemana-mana dijaga polisi. Gue, Ilham, Bisma, Reza, semuanya!! Kita dilarang keluar sendiri sampe pelakunya ditemuin!”

             Rangga tertegun, “Manajemen?”

             Rafael mengangguk. Tak ada yang lain selain manajemen mereka sendiri. Agensi yang menaungi merekalah yang mati-matian menjaga tiap personel sampai titik terkecil.

             “Memangnya Saudara mau kemana?” tiba-tiba seorang polisi mendekat dan menegur Rangga.

             “Nyari orang! Penting!!” sahut Rangga.

             “Biar kami yang carikan. Berapa nomor teleponnya?” tanya komisaris itu sambil membuka catatan kecil dari sakunya.

             “Percuma ditelpon! Hpnya udah nggak aktif!! Dia harus ditemui langsung!”

             “Oh begitu, ya sudah, dimana alamat rumahnya? Biar kami yang jemput.”

             Rangga gregetan, “Dia nggak di rumah! Dia dimana gue juga nggak tahu!!”

             “Rangga!!” sekali lagi Rafael berusaha menenangkan Rangga.

             Komisaris polisi itu memandangi Rafael dan Rangga heran, “Boleh minta nomor handphonenya?”

             “Udah gue bilang Hpnya nggak aktif!”

             “Bukan begitu. Kami akan melacaknya melalui sistem kami. Melalui nomor Handphone, sinyal akan bisa diketahui. Tolong juga tunjukkan jam berapa Anda terakhir meneleponnya.”

             Sebegitunya melarang Rangga keluar dari rumah sakit, polisi itu sampai meretas sinyal handphone Andin. Rangga menurut. Apalagi yang bisa ia lakukan? Diserahkannya handphonenya dan membiarkan polisi itu mengotak-atiknya.

             “6-7881-06.... Tujuh menit sebelas detik yang lalu....” ucap komisaris itu berbicara melalui telepon sambil memandangi layar handphone Rangga. Mungkin bawahannya.

             “Persempit! Jakut!” lanjutnya lagi

             Hening. Rangga dan Rafael menyimak pembicaraan dengan muka bego.

             “Persempit lagi!”

             Polisi itu menurunkan teleponnya. Dia menoleh ke arah Rangga sambil mengembalikan handphonenya, “Sinyal ditangkap berada di sekitar Kelapa Gading.”

             “HAH?”

             “Saya akan mengirim tim untuk menjemputnya...”

             “NGGAK SALAHH?!!”

             Pekikan Rangga seketika mengejutkan petugas polisi itu. Beberapa petugas yang bergerombol di depan juga ikut menoleh. Rafael menyenggol sikut Rangga.

             “Kok di Kelapa Gading? Bukan di bandara Soekarno-Hatta? Atau, sekitar Jakarta Pusat, atau....”

             “Sinyal jelas-jelas ditangkap berada di daerah Kelapa Gading.”

             Rangga tercenung. Tak habis pikir. Sambil lalu, komisaris polisi berbadan tegap itu berbalik badan dan memerintahkan salah satu bawahannya. Ketika tiga orang polisi beranjak pergi, Rangga menyusup pergi dari lobi rumah sakit.

             “Rang! Woy! Rangga!! Loe kemana?!!” panggil Rafael menyusul Rangga.

             “Perasaan gue nggak enak, Coh!”

             “Polisi lagi nyari Andin, loe yang tenang...”

             “Polisi mah belibet, pakek olah TKP, nunggu ijin, muter-muter, yang ada Andin keburu ngilang!”

             Rafael mengerutkan dahinya. Ia mulai menangkap gelagat aneh. Sedari tadi Rangga merisaukan Andin sampai ketakutan. “Ada apa?” tanyanya kemudian.

             “Andin... kena penipuan.”

             “Penipuan?”

             “Manajemen penipu!! Dia ikutan pelatihan artis dan itu fake!! Perasaan gue nggak enak!! Gue harus nyusul Andin sekarang!”  

             Dari arah lain, tiba-tiba muncul Reza dan Ilham. Keduanya hendak masuk ke dalam lift. Tapi melihat Rangga dan Rafael berdiri di salah satu sisi, mereka mengurungkan niat.

             “Ada apa, nih?” sapa Reza.

             “Loe harus ikut gue!!”

             Reza bengong.

             “Kemana?!!” tanya Ilham.

             “Nyari Andin!”

             “Loe nggak bisa gegabah, Rangga! Kita nggak tahu pasti sekarang Andin dimana!”

             “Nggak tahu, tapi habis ini, gue tahu!!”

             Rafael terdiam. Tak berkutik ketika Rangga menampilkan wajah memelas dan penuh kekhawatiran.

             “Ya udah... Ham, Za, ayo!” jawab Rafael akhirnya.

             YESS!!

             Rafael lalu menuntun Rangga masuk ke dalam sebuah lorong sepi. Rak dan kardus kosong bertumpuk. Janitor berjajar di sepanjang lorong. Rangga menurut dalam diam. Ilham dan Reza mengekor di belakangnya. Hening. Hanya dia yang memasang wajah bingung.

             “Ini apaan?”

             “Tempat keluar rahasia...” canda Reza.

             “Loe pikir kita mau diikutin terus sama polisi? Syuting diawasin, pacaran diawasin...”’

             Benar saja. Lorong kumuh itu tembus ke salah satu pintu parkiran mobil. Sepertinya lorong tadi adalah lorong yang biasa digunakan karyawan untuk keluar masuk.

             Sampai di dekat mobil, muncul Bisma dengan sekantong nasi kotak.

             “Loh, mau kemana?” tegur Bisma yang baru keluar dari mobil.

              Tiba-tiba Ilham meringkus kedua tangannya. Bisma tersentak kaget. Dia lalu diseret masuk kembali ke dalam mobil. Rafael mengambil alih kemudi. Rangga duduk di sampingnya. Sementara Ilham dan Reza memegangi Bisma yag mulai berontak di jok belakang.

             Mesin mobil dinyalakan. Mobil melaju meninggalkan rumah sakit.

             “Ini kemana?” tanya Rafael sambil memegang setir.

             “Kelapa Gading!”

             “Loe yakin Andin masih di sana? Itu kan udah sepuluh menit yang lalu, bisa aja sekarang dia udah nggak di sana!”

             “Sebenarnya gue juga bingung. Dia bilang mau berangkat ke Korea, tapi ngapa tiba-tiba ada di sana. Mestinya dia udah naik pesawat.” Rangga nampak berpikir keras. dia memandangi jam tangannya, “Perasaan gue bener-bener nggak enak...”

             Sejenak suasana sunyi senyap. Hanya ada suara jok mobil dipukul-pukul karena Bisma dan Ilham yang masih bergulat.

             “Ke kantor Om Suryo.” ucap Rangga tiba-tiba.

             “Hah?”

             “Gue tahu Om Suryo juga punya berkas manajemen penipu itu!”

             “Tapi Om Suryo udah di Kuala Lumpur!”

             “Udah sikat aja!! Ntar apa kata gue!!” pungkas Rangga.

             Rafael mengangguk. Dia menambah kecepatan mobilnya.

             “Ini mau kemana, sih?!! Buruan balik ke rumah sakit!! Nasinya udah ditunggu Om Panchunk!! Ini apa lagi cobak!! Ham!! Lepasin gue!!””

             Bisma berteriak-teriak di jok belakang. Dia tidak tahu apa-apa. Datang-datang, tiba-tiba saja diculik keempat kawannya.

             Suasana sepi menyambut kelima personil SMASH itu begitu sampai di kantor Om Suryo. Lampu gedung menyala terang benderang dari dalam. Dua orang satpam nampak berdiri di pintu masuk.  Tak ada orang lalu lalang. Mungkin hanya ada beberapa staf yang kebetulan lembur.

             Tak sulit Rangga, Rafael, Bisma, Reza dan Ilham melewati dua satpam itu. Cukup berbasa-basi saja, lalu berjalan masuk seolah-olah ada urusan dengan orang di dalam sana. Bisma yang tidak mengerti apa-apa, menurut begitu saja ketika keempat kawannya menggiringnya ke dalam lift.

             Rangga langsung menuju lantai sepuluh, dimana ruangan Om Suryo berada. Begitu pintu lift terbuka, kelimanya berjalan keluar. Suasana kantor begitu remang-remang. Terang saja, ini udah jam sembilan malam. Beberapa lampu juga sudah dimatikan. Memberikan kesan horor yang bikin bulu kuduk berdiri.

             Kelimanya melongokkan kepala ke depan ruangan Om Suryo. pintu tertutup rapat. Di depannya, seorang perempuan berseragam kerja duduk sambil menulis-nulis.

             “Kita nggak bisa ke sana, sekretarisnya belum pulang...” bisik Rafael.

             “Tunggu sampe dia pulang aja..” jawab Ilham.

             “Kagak bisa!! Kita harus dapat surat itu sekarang juga!!” tolak Rangga.

             “Kalian ini ngomongin....”

             “SSSSSSTTT....!!!”

             Seketika Reza membungkam mulut Bisma dengan tangannya, “Kecilin suara loe!!”

             “Lagian pintunya tertutup. Pasti udah dikunci. Kita nggak bisa masuk.”

             “Bisa! Kuncinya pasti dipegang mbaknya!”

             “Gimana loe tahu?!”

             “Dimana-mana sekretaris pasti punya kunci ruangan bosnya!”

             Rafael, Rangga, Ilham dan Reza  berpikir keras. Mereka mencari cara untuk bisa lolos ke dalam ruangan Om Suryo. Sekian detik berpikir, keempatnya lalu menoleh pada Bisma.

             “Apa?” bisik Bisma merasa risih karena dilihati keempat kawannya.

             Rafael, Rangga, Reza dan Ilham tersenyum.

             “Kagak!! Kagak!! Gue nggak akan ngelakuin itu!!” tolak Bisma.

             Bisma bersiap berlari. Tapi kedua kakinya keburu dipegang Ilham. Bisma jatuh terjengkang. Rangga berlari ke cendela. Ditariknya tirai putih yang menggantung di sana secara paksa. Dengan bantuan Rafael, ia lalu membalut tubuh kurus Bisma dengan tirai. Sebuah kuncup dibentuk di atasnya. FIX, dalam hitungan detik, Bisma sudah menjelma menjadi pocong jadi-jadian.

             “Sukses, ya, Bis...” bisik Rangga.

             “Sukses jidat loe!!”

             Dengan hati donkol Bisma berjalan ke depan. Dia sudah duga, dia yang akan menjadi kambing hitam keempat kawannya. Mereka selalu menggunakan alasan tubuhnya yang kurus makanya cocok jadi setan. Soalnya setan pasti kurus. Bullshit logic!! batin Bisma.

             Sesuai dengan pengetahuannya, bahwa biasanya kemunculan setan diawali dengan suara aneh, Bisma mulai menciptakan suara aneh. Bibirnya membuat desahan nafas panjang. Kian lama kian keras. Menggema di seluruh sudut kantor.

             Klik!!

             Reza menekan saklar lampu. Seketika suasana menjadi gelap. Hanya ada berkas cahaya dari ruangan sebelah. Sekretari Om Suryo menghentikan aksinya menulis. Dia celingak-celinguk bingung. Dia lalu berdiri, hendak menyalakan lampu.

             Suara low heels yang dikenakan sekretaris Om Suryo berderap setiap ia melangkah. Dia berjalan menuju saklar lampu berada. Sejenak ia memelankan langkahnya. Ia mengernyitkan dahi. Ia lalu menoleh ke belakang.

             Apa ia salah dengar?

             Seketaris itu kembai melanjutkan langkahnya. Semakin ia dekat dengan saklar lampu, semakin suara engahan nafas terdengar jelas. Segalanya semakin terasa mencekam di tengah ruangan yang gelap gulita. Dan ketika ia mengulurkan tangan hendak menekan saklar, sosok putih misterius muncul di depannya.

             Bisma mendelik.

             “Aaaaaaaaaaaaaaaghhhhhrrrr!!!” Sekretaris itu menjerit kencang. Jantungnya seperti copot. Dengan sekuat tenaga, ia lalu berlari tunggang-langgang.

             Sip.

             Rafael, Rangga Reza dan Ilham muncul dari balik pajangan keramik. Mereka berlari menuju ruangan Om Suryo.

             “HEH!! LOE MAU KEMANA?! INI GUE GIMANA??!” bentak Bisma.

             “Loe di situ dulu! Jaga-jaga kalo ada orang!” jawab Rangga. Dia berlari menuju meja sekretaris Om Suryo. Dibukanya laci meja sekretaris malang itu satu per satu.

             Benar, kunci ditemukan. Rangga lalu membuka ruangan Om Suryo. Lampu ia nyalakan. Dia menuju meja kerja Om Suryo. Terakhir ia tahu, surat itu ada di atas meja.

             “Cepetan!! Sekretarisnya keburu balik!” perintah Rafael.

             “Ja! Loe cari di sana! Iam, loe cari di lemari! Mapnya warna hitam, ada tulisan Titanium Coaching Management!” ucap Rangga sambil menuding-nudingkan jarinya. Dia sendiri mengobrak-abrik laci dan tumpukan map di meja kerja Om Suryo.

             Sekitar semenit ketiganya mencari-cari surat-surat itu. Ancaman sekretaris Om Suryo akan kembali dengan membawa satpam membayang di pelupuk mata. Pasti Bisma yang akan habis duluan. Kecuali tuh bocah mengeluarkan jurus setannya yang terpendam. Tiba-tiba melayang di udara misalnya.

             Dua menit berlalu, Ilham, Reza dan Rangga masih sibuk mencari-cari. Sebisa mereka mencari dan menjaga ruangan tetap rapi, ujung-ujungnya berantakan juga. Ketika Reza membuka sebuah ring files, tiba-tiba setumpuk foto bertebaran ke lantai. Dia berdecak kagum.

             “Cantik.....”

             “Hoy!! Kampret!! Yang serius!!” omel Rafael.

             Reza lalu mengambil foto itu. Bukan dikembalikan ke mapnya, tapi ia masukan ke dalam saku jaketnya.

             “Ini bukan?!!” seru Ilham sambil mengacungkan sebuah map. Buru-buru Rangga menghampirinya. Dibukanya map itu dan dipilahnya satu per satu. Persis! Ini persis yang ia lihat kemarin!

             “Udah ketemu! Ayo keluar!!”

             Mereka lalu berlari keluar. Dikuncinya pintu ruangan Om Suryo dan melemparkan kuncinya ke meja sang sekretaris. Menyadari keempat kawannya sudah selesai, Bisma melepas kain gorden yang menyelimuti tubuhnya dan ikut kabur. Kelimanya berlari menuju mobil. Sedikit heran, sekian lama mencari, sekretaris Om Suryo nggak juga balik. Apa pingsan, ya?

             Sampai di dalam mobil, Rangga membuka-buka map itu. Surat tawaran, surat keterangan, budget explanation, company.... ini dia! Company Profile!

             “Loe bilang itu penipuan, kan?! Kenapa loe percaya sama tuh data? Kali aja itu bikinan mereka aja.” Tanya Rafael sambil mengemudikan mobil.

             “Iya, datanya palsu, tapi enggak dengan nomor rekening dan nomor telepon mereka!” jawab Rangga sambil tersenyum.

             Rangga lalu merogoh handphonenya. Ditekannya nomor handphone yag tercantum di sana.

             “Et! Et! Et! Loe ngapain?!!” cegah Ilham, “Loe mau nelpon dia?”

             Rangga bengong, “Iya... ada yang salah?!!”

             “Loe pikir dengan loe nelpon dia terus minta Andin dibalikin, semuanya akan selesai?” tambah Reza.

             Benar juga!!

             “Sini! Kasihin ke gue!!”

             Rangga memberikan handphonenya pada Reza. Ditekannya tombol calling. Suasana mobil mendadak hening. Bersiap menyimak obrolan Reza dan pemilik manajemen itu.

             “Hallo?” jawab sebuah suara serak dari balik telepon.

             “Ya... hallo...” Reza membekap telepon itu dengan telapak tangannya, dia lalu berbisik, “Namanya siapa?”

             “Tomy Huang...” jawab Rangga sambil mengeja tulisan di dalam map.

             “Ya, halo, Tomy Huang.”

             “Yah, who is this?”

             Reza membekap teleponnya lagi, “Kok ngomong bahasa inggris??”

             “Udah buruan ngomong!! Tuyul!!” bentak Rangga.

             “We are from Pizza Hut! We’ve just delivered your order, but you didn’t give your complete address.”

             Rangga manggut-manggut, sipp... berpura-pura sebagai pengantar pizza. Cerdik!

             “Pizza hut? But I didn’t order pizza...”

             “Yes, you did, Sir!”

             “No, I didn’t...”

             “Yes, sir!”

             “No!”

             “Yes!”

             “No!”

             “Yes!”

             “I guess you’re calling the wrong number. I’m pretty sure I didn’t order pizza. Now, turn off the phone, bastard!!”

             “Just give me your address and I will give you free pizza! Free, sir! Free!!” Reza masih bersihkukuh.

             “Are you fuckin’ kidding me?!!”

             “I only wanna deliver you pizza! Bawel sekali you, sir!!” Reza ikut-ikutan kehabisan kesabaran.

             “What the fuck!! I have told you, I didn’t order pizza!!”

             “You tell me, and this is selesai! Tell me alamatnya, I will find you, and I will give you pizza gratis! Anggap aja itu my apologize! You laki-laki is so bawel like my emak!”

             Tuut... tuut.. tuut...

             Seluruh orang di dalam mobil terbengong-bengong. Telinga terasa berdenging gara-gara mendengar bahasa acak adul ala gado-gado disiram es kopyor. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau selama ini Reza mempunyai bakat bicara kayak alien.

             “Loe ngomong apa barusan?” tanya Bisma.

             “Bodo!! Kampret tuh bapak-bapak!! Disabar-sabarin, malah ngelunjak!!” Reza balik ngomel.

             “Elu, sih! Orang kagak pesen pizza malah dipaksa-paksa. Sini gue aja yang telpon!!” ucap Ilham.

             “UDAH! UDAH!!” Rangga merebut teleponnya. Bukannya dapat alamat, yang ada omongannya malah kemana-mana. Bisa ditebak, Ilham pasti habis ini akan berpura-pura sebagai ahli silat yang mau ikut gabung jadi anak buahnya Tomy Huang.

             “Langsung aja berpura-pura jadi Om Suryo!” ucap Rafael.

             “Tapi, kalau dia sadar suara gue bukan suara Om Suryo, dia bakal curiga.” ucap Rangga ragu.

             “Emangnya dia udah pernah ngomong sama Om Suryo?”

             Rangga terdiam. 

--------------------------------------

BERSAMBUNG KE PART 18

Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar