Title : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season : 2
Author : @ariek_andini (adm4)
Genre : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...
Plus, thanks buat yang sampe sekarang sabar ngikutin imajinasi gila gue di cerbung ini... imajinasinya kemana-mana... beyond your imagination lah... -___-
------------------------------------
“Mereka itu
manajemen penipu!!”
“Hahaha!!!”
“Ndin!!!”
“Gue nggak ada
waktu buat nanggapin tingkah kekanak-kanakkan loe!!”
“Andin!! Dengerin
gue!....”
Telpon dimatikan.
Rangga tak sempat meneruskan kalimatnya. Sekali lagi ia berusaha menelepon
Andin, suara operator menjawab. Andin telah menonaktifkan teleponnya.
Gusar. Rangga
meninju dinding di sampinya. Harus bagaimana sekarang?! Sekejap kemudian ia
berlari menuju
lobi rumah sakit. Entah bagaimana caranya, dia harus bisa menghentikan Andin
sebelum terlambat.
“Rangga!!” panggil
seseorang dari belakang.
Rangga menghentikan langkahnya.
“Loe kemana? Loe belum boleh
keluar dari kamar!!” tambah Rafael.
Rangga tak menyahut. Ketika ia
menoleh, seluruh perhatiannya tertuju pada sosok yang berdiri di samping
Rafael. Sesosok pria paruh baya berkemeja putih licin. Ia memandangi Rangga
sayu.
“Om Budy?”
Om Budy berjalan mendahului
Rafael. Ia mendekat ke depan Rangga.
“Gimana kabar kamu?”
Om Budy bertanya lembut. Rangga
terkesima. Om Budy tiba-tiba bersikap manis padanya? Ada apa?
“Alhamdulillah nggak ada yang
terluka, ya...” tambah Om Budy.
Rangga makin terbengong-bengong.
“Maaf...”
Eh?
“Mestinya Om bilang ini dari awal
ke kamu. Maaf...”
Rangga mengerutkan dahinya,
“Maaf?”
“Kamu nggak ngerti, ya? Selama ini
kamu diincar.”
“Om ngomong apa?”
Om Budy tak langsung menjawab. Ia
diam sejenak. Seperti sedang mengatur kata.
“Bunawar....”
Sebuah nama mencuat ke udara. Rangga
tertegun. Bulu romanya berdiri.
“Dia yang berada di balik
penyerangan ini.”
“Apa?”
“Bunawar nggak pernah sudi
dikalahkan orang lain. Sehari setelah kamu mengalahkan dia di persidangan, dia
menyuruh bawahannya untuk mengincar kamu.”
Hening. Rafael berjalan
menghampiri Rangga dan menepuk pundaknya yang tegang.
“24 jam rumah Om diintai.
Kemanapun Om atau Andin pergi, pasti mereka ikuti. Mereka tahu kalau kamu pacar
Andin. Om udah berusaha keras melindungi kamu. Tapi kayaknya... cara Om yang
salah.” Om Budy menarik nafas berat. Wajahnya begitu lesu, “Sekeras apapun Om
melarang Andin menemui kamu, tapi tetap aja dia pergi secara diam-diam, iya
kan?”
“Mereka pengen ngebunuh aku?”
“Bukan! Bukan begitu cara mereka
bekerja.” Om Budy menelengkan wajahnya, mendekat ke wajah Rangga jengkal demi
jengkal, “Wajah kamu...”
“Wajah?”
“Kamu pernah tahu seorang artis
yang sangat terkenal, lalu tiba-tba dia menghilang dan nggak diketahui
jejaknya? Seperti itu.”
“.........?”
“Wajah kamu, adalah aset kamu.
Dengan membuat wajah kamu cacat, Bunawar akan berhasil mendepak kamu dari
entertainment. Begitu cara dia bekerja.”
“Kalau Om tahu, kenapa Om nggak
lapor ke polisi dari awal?!!” sergah Rangga.
“Ssssstt...” Om Budy meletakkan
telunjuknya di depan bibirnya, “Nggak segampang itu. Ada banyak orang yang rela
mati demi dia. Laki-laki yang melawan kamu tadi sore, dia salah satunya.
Sekalipun ada yang lapor, penyelidikan akan mentok. Bagi berandalan kayak dia,
keluar masuk penjara nggak masalah asal dibayar. Dan Bunawar, akan tetap berada
di atas sana dengan kedok pemilik production house terbesar di Indonesia.”
Rangga bungkam. Ingin berontak,
tapi entahlah. Ia hanya bisa berdiri kaku mendengar semua fakta mengerikan dari
bibir Om Budy.
“Laki-laki yang nyerang kamu,
namanya Doni Sambara. Om pernah menjadi kuasa hukumnya dulu. Waktu itu dia
diperintah untuk mencuri sebuah surat kontrak. Aksinya hampir kepergok, dia membunuh
putra CEO Amanirta Group. Rekam jejaknya sangat kelam. Dia nggak segan-segan
menghabisi orang yang ada di hadapannya.”
“Tapi syukurlah, kamu nggak
terluka sedikitpun. Om datang, Cuma pengen memastikan itu.”
Rangga menghela nafas panjang.
“Juga... soal Andin.”
“..........”
“Andin pergi dari rumah.
Baju-bajunya di lemari dibawa semua. Orang-orang di manajemennya juga tiba-tiba
telpon ke rumah dan menanyakan dia. Tolong kamu jawab yang jujur, Andin kamu
sembunyikan dimana?”
“Sembunyikan?” Rangga menggeleng,
“Aku nggak nyembunyiin dia...”
Sebegitunya kah Andin menghilang?
Teman-teman bandnya, manajemennya, sampai ayahnya sendiri, mencarinya. Semua
orang bertanya padanya. Tak pahamkah mereka kalau dia dan Andin sudah putus?
Eh?
“BENAR JUGA!!!” tiba-tiba Rangga
memekik. Tubuhnya seketika tegap. Otaknya tersadar. Andin! Benar juga! Bukankah
tadi dia harus menyusul Andin? Rangga membalikkan badan. Dia lalu berjalan
cepat meninggalkan Rafael dan Om Budy. Ke parkiran! Dia harus menyusul Andin
mumpung belum terlambat!!
“Kamu mau kemana?!!”
“Nyusul Andin, Om!!”
“Emangnya dia dimana?!” Om Budy
ikut-ikutan mempercepat langkahnya.
“Di bandara!!”
“Di bandara?”
“Ceritanya panjang!!”
Sampai di pintu keluar rumah
sakit, Rangga menghentikan langkah kakinya. Segerombol polisi berdiri di sana.
Dua di antaranya memandang tegas ke arah Rangga. Tajam!
“Anda dilarang keluar dari rumah
sakit sampai penyelidikan selesai.”
Mampuss!!!
“Saya Cuma mau keluar sebentar!!”
sergah Rangga.
“Maaf! Tetap tidak boleh!”
“Saya bukan tersangka kenapa
dilarang-larang?!!” emosi Rangga mulai meletup.
“Karena itulah, keamanan Anda
menjadi tanggung jawab kami. Anda dilarang kemana-mana untuk sementara.”
Rafael menarik tubuh Rangga ke
belakang. Dibawanya menjauh dari sana, “Loe yang tenang!”
“Lepasin!!”
“Dari tadi sore, kita kalo kemana-mana
dijaga polisi. Gue, Ilham, Bisma, Reza, semuanya!! Kita dilarang keluar sendiri
sampe pelakunya ditemuin!”
Rangga tertegun, “Manajemen?”
Rafael mengangguk. Tak ada yang
lain selain manajemen mereka sendiri. Agensi yang menaungi merekalah yang
mati-matian menjaga tiap personel sampai titik terkecil.
“Memangnya Saudara mau kemana?”
tiba-tiba seorang polisi mendekat dan menegur Rangga.
“Nyari orang! Penting!!” sahut
Rangga.
“Biar kami yang carikan. Berapa
nomor teleponnya?” tanya komisaris itu sambil membuka catatan kecil dari
sakunya.
“Percuma ditelpon! Hpnya udah
nggak aktif!! Dia harus ditemui langsung!”
“Oh begitu, ya sudah, dimana
alamat rumahnya? Biar kami yang jemput.”
Rangga gregetan, “Dia nggak di
rumah! Dia dimana gue juga nggak tahu!!”
“Rangga!!” sekali lagi Rafael
berusaha menenangkan Rangga.
Komisaris polisi itu memandangi
Rafael dan Rangga heran, “Boleh minta nomor handphonenya?”
“Udah gue bilang Hpnya nggak
aktif!”
“Bukan begitu. Kami akan
melacaknya melalui sistem kami. Melalui nomor Handphone, sinyal akan bisa
diketahui. Tolong juga tunjukkan jam berapa Anda terakhir meneleponnya.”
Sebegitunya melarang Rangga keluar
dari rumah sakit, polisi itu sampai meretas sinyal handphone Andin. Rangga
menurut. Apalagi yang bisa ia lakukan? Diserahkannya handphonenya dan
membiarkan polisi itu mengotak-atiknya.
“6-7881-06.... Tujuh menit sebelas
detik yang lalu....” ucap komisaris itu berbicara melalui telepon sambil
memandangi layar handphone Rangga. Mungkin bawahannya.
“Persempit! Jakut!” lanjutnya lagi
Hening. Rangga dan Rafael menyimak
pembicaraan dengan muka bego.
“Persempit lagi!”
Polisi itu menurunkan teleponnya. Dia menoleh
ke arah Rangga sambil mengembalikan handphonenya, “Sinyal ditangkap berada di
sekitar Kelapa Gading.”
“HAH?”
“Saya akan mengirim tim untuk
menjemputnya...”
“NGGAK SALAHH?!!”
Pekikan Rangga seketika
mengejutkan petugas polisi itu. Beberapa petugas yang bergerombol di depan juga
ikut menoleh. Rafael menyenggol sikut Rangga.
“Kok di Kelapa Gading? Bukan di
bandara Soekarno-Hatta? Atau, sekitar Jakarta Pusat, atau....”
“Sinyal jelas-jelas ditangkap
berada di daerah Kelapa Gading.”
Rangga tercenung. Tak habis pikir.
Sambil lalu, komisaris polisi berbadan tegap itu berbalik badan dan
memerintahkan salah satu bawahannya. Ketika tiga orang polisi beranjak pergi,
Rangga menyusup pergi dari lobi rumah sakit.
“Rang! Woy! Rangga!! Loe
kemana?!!” panggil Rafael menyusul Rangga.
“Perasaan gue nggak enak, Coh!”
“Polisi lagi nyari Andin, loe yang
tenang...”
“Polisi mah belibet, pakek olah
TKP, nunggu ijin, muter-muter, yang ada Andin keburu ngilang!”
Rafael mengerutkan dahinya. Ia
mulai menangkap gelagat aneh. Sedari tadi Rangga merisaukan Andin sampai ketakutan.
“Ada apa?” tanyanya kemudian.
“Andin... kena penipuan.”
“Penipuan?”
“Manajemen penipu!! Dia ikutan
pelatihan artis dan itu fake!! Perasaan gue nggak enak!! Gue harus nyusul Andin
sekarang!”
Dari arah lain, tiba-tiba muncul Reza dan
Ilham. Keduanya hendak masuk ke dalam lift. Tapi melihat Rangga dan Rafael
berdiri di salah satu sisi, mereka mengurungkan niat.
“Ada apa, nih?” sapa Reza.
“Loe harus ikut gue!!”
Reza bengong.
“Kemana?!!” tanya Ilham.
“Nyari Andin!”
“Loe nggak bisa gegabah, Rangga!
Kita nggak tahu pasti sekarang Andin dimana!”
“Nggak tahu, tapi habis ini, gue
tahu!!”
Rafael terdiam. Tak berkutik
ketika Rangga menampilkan wajah memelas dan penuh kekhawatiran.
“Ya udah... Ham, Za, ayo!” jawab
Rafael akhirnya.
YESS!!
Rafael lalu menuntun Rangga masuk
ke dalam sebuah lorong sepi. Rak dan kardus kosong bertumpuk. Janitor berjajar
di sepanjang lorong. Rangga menurut dalam diam. Ilham dan Reza mengekor di
belakangnya. Hening. Hanya dia yang memasang wajah bingung.
“Ini apaan?”
“Tempat keluar rahasia...” canda
Reza.
“Loe pikir kita mau diikutin terus
sama polisi? Syuting diawasin, pacaran diawasin...”’
Benar saja. Lorong kumuh itu
tembus ke salah satu pintu parkiran mobil. Sepertinya lorong tadi adalah lorong
yang biasa digunakan karyawan untuk keluar masuk.
Sampai di dekat mobil, muncul
Bisma dengan sekantong nasi kotak.
“Loh, mau kemana?” tegur Bisma
yang baru keluar dari mobil.
Tiba-tiba Ilham meringkus kedua
tangannya. Bisma tersentak kaget. Dia lalu diseret masuk kembali ke dalam
mobil. Rafael mengambil alih kemudi. Rangga duduk di sampingnya. Sementara
Ilham dan Reza memegangi Bisma yag mulai berontak di jok belakang.
Mesin mobil dinyalakan. Mobil
melaju meninggalkan rumah sakit.
“Ini kemana?” tanya Rafael sambil
memegang setir.
“Kelapa Gading!”
“Loe yakin Andin masih di sana? Itu
kan udah sepuluh menit yang lalu, bisa aja sekarang dia udah nggak di sana!”
“Sebenarnya gue juga bingung. Dia
bilang mau berangkat ke Korea, tapi ngapa tiba-tiba ada di sana. Mestinya dia
udah naik pesawat.” Rangga nampak berpikir keras. dia memandangi jam tangannya,
“Perasaan gue bener-bener nggak enak...”
Sejenak suasana sunyi senyap.
Hanya ada suara jok mobil dipukul-pukul karena Bisma dan Ilham yang masih
bergulat.
“Ke kantor Om Suryo.” ucap Rangga
tiba-tiba.
“Hah?”
“Gue tahu Om Suryo juga punya
berkas manajemen penipu itu!”
“Tapi Om Suryo udah di Kuala
Lumpur!”
“Udah sikat aja!! Ntar apa kata
gue!!” pungkas Rangga.
Rafael mengangguk. Dia menambah
kecepatan mobilnya.
“Ini mau kemana, sih?!! Buruan
balik ke rumah sakit!! Nasinya udah ditunggu Om Panchunk!! Ini apa lagi cobak!!
Ham!! Lepasin gue!!””
Bisma berteriak-teriak di jok
belakang. Dia tidak tahu apa-apa. Datang-datang, tiba-tiba saja diculik keempat
kawannya.
Suasana sepi menyambut kelima
personil SMASH itu begitu sampai di kantor Om Suryo. Lampu gedung menyala
terang benderang dari dalam. Dua orang satpam nampak berdiri di pintu
masuk. Tak ada orang lalu lalang.
Mungkin hanya ada beberapa staf yang kebetulan lembur.
Tak sulit Rangga, Rafael, Bisma,
Reza dan Ilham melewati dua satpam itu. Cukup berbasa-basi saja, lalu berjalan
masuk seolah-olah ada urusan dengan orang di dalam sana. Bisma yang tidak
mengerti apa-apa, menurut begitu saja ketika keempat kawannya menggiringnya ke
dalam lift.
Rangga langsung menuju lantai
sepuluh, dimana ruangan Om Suryo berada. Begitu pintu lift terbuka, kelimanya
berjalan keluar. Suasana kantor begitu remang-remang. Terang saja, ini udah jam
sembilan malam. Beberapa lampu juga sudah dimatikan. Memberikan kesan horor
yang bikin bulu kuduk berdiri.
Kelimanya melongokkan kepala ke
depan ruangan Om Suryo. pintu tertutup rapat. Di depannya, seorang perempuan
berseragam kerja duduk sambil menulis-nulis.
“Kita nggak bisa ke sana,
sekretarisnya belum pulang...” bisik Rafael.
“Tunggu sampe dia pulang aja..”
jawab Ilham.
“Kagak bisa!! Kita harus dapat
surat itu sekarang juga!!” tolak Rangga.
“Kalian ini ngomongin....”
“SSSSSSTTT....!!!”
Seketika Reza membungkam mulut
Bisma dengan tangannya, “Kecilin suara loe!!”
“Lagian pintunya tertutup. Pasti
udah dikunci. Kita nggak bisa masuk.”
“Bisa! Kuncinya pasti dipegang
mbaknya!”
“Gimana loe tahu?!”
“Dimana-mana sekretaris pasti
punya kunci ruangan bosnya!”
Rafael, Rangga, Ilham dan
Reza berpikir keras. Mereka mencari cara
untuk bisa lolos ke dalam ruangan Om Suryo. Sekian detik berpikir, keempatnya
lalu menoleh pada Bisma.
“Apa?” bisik Bisma merasa risih
karena dilihati keempat kawannya.
Rafael, Rangga, Reza dan Ilham
tersenyum.
“Kagak!! Kagak!! Gue nggak akan
ngelakuin itu!!” tolak Bisma.
Bisma bersiap berlari. Tapi kedua
kakinya keburu dipegang Ilham. Bisma jatuh terjengkang. Rangga berlari ke
cendela. Ditariknya tirai putih yang menggantung di sana secara paksa. Dengan
bantuan Rafael, ia lalu membalut tubuh kurus Bisma dengan tirai. Sebuah kuncup
dibentuk di atasnya. FIX, dalam hitungan detik, Bisma sudah menjelma menjadi
pocong jadi-jadian.
“Sukses, ya, Bis...” bisik Rangga.
“Sukses jidat loe!!”
Dengan hati donkol Bisma berjalan
ke depan. Dia sudah duga, dia yang akan menjadi kambing hitam keempat kawannya.
Mereka selalu menggunakan alasan tubuhnya yang kurus makanya cocok jadi setan.
Soalnya setan pasti kurus. Bullshit logic!! batin Bisma.
Sesuai dengan pengetahuannya,
bahwa biasanya kemunculan setan diawali dengan suara aneh, Bisma mulai
menciptakan suara aneh. Bibirnya membuat desahan nafas panjang. Kian lama kian
keras. Menggema di seluruh sudut kantor.
Klik!!
Reza menekan saklar lampu.
Seketika suasana menjadi gelap. Hanya ada berkas cahaya dari ruangan sebelah.
Sekretari Om Suryo menghentikan aksinya menulis. Dia celingak-celinguk bingung.
Dia lalu berdiri, hendak menyalakan lampu.
Suara low heels yang dikenakan
sekretaris Om Suryo berderap setiap ia melangkah. Dia berjalan menuju saklar
lampu berada. Sejenak ia memelankan langkahnya. Ia mengernyitkan dahi. Ia lalu
menoleh ke belakang.
Apa ia salah dengar?
Seketaris itu kembai melanjutkan
langkahnya. Semakin ia dekat dengan saklar lampu, semakin suara engahan nafas
terdengar jelas. Segalanya semakin terasa mencekam di tengah ruangan yang gelap
gulita. Dan ketika ia mengulurkan tangan hendak menekan saklar, sosok putih
misterius muncul di depannya.
Bisma mendelik.
“Aaaaaaaaaaaaaaaghhhhhrrrr!!!”
Sekretaris itu menjerit kencang. Jantungnya seperti copot. Dengan sekuat
tenaga, ia lalu berlari tunggang-langgang.
Sip.
Rafael, Rangga Reza dan Ilham
muncul dari balik pajangan keramik. Mereka berlari menuju ruangan Om Suryo.
“HEH!! LOE MAU KEMANA?! INI GUE
GIMANA??!” bentak Bisma.
“Loe di situ dulu! Jaga-jaga kalo
ada orang!” jawab Rangga. Dia berlari menuju meja sekretaris Om Suryo.
Dibukanya laci meja sekretaris malang itu satu per satu.
Benar, kunci ditemukan. Rangga
lalu membuka ruangan Om Suryo. Lampu ia nyalakan. Dia menuju meja kerja Om
Suryo. Terakhir ia tahu, surat itu ada di atas meja.
“Cepetan!! Sekretarisnya keburu
balik!” perintah Rafael.
“Ja! Loe cari di sana! Iam, loe
cari di lemari! Mapnya warna hitam, ada tulisan Titanium Coaching Management!”
ucap Rangga sambil menuding-nudingkan jarinya. Dia sendiri mengobrak-abrik laci
dan tumpukan map di meja kerja Om Suryo.
Sekitar semenit ketiganya mencari-cari
surat-surat itu. Ancaman sekretaris Om Suryo akan kembali dengan membawa satpam
membayang di pelupuk mata. Pasti Bisma yang akan habis duluan. Kecuali tuh
bocah mengeluarkan jurus setannya yang terpendam. Tiba-tiba melayang di udara
misalnya.
Dua menit berlalu, Ilham, Reza dan
Rangga masih sibuk mencari-cari. Sebisa mereka mencari dan menjaga ruangan
tetap rapi, ujung-ujungnya berantakan juga. Ketika Reza membuka sebuah ring
files, tiba-tiba setumpuk foto bertebaran ke lantai. Dia berdecak kagum.
“Cantik.....”
“Hoy!! Kampret!! Yang serius!!”
omel Rafael.
Reza lalu mengambil foto itu.
Bukan dikembalikan ke mapnya, tapi ia masukan ke dalam saku jaketnya.
“Ini bukan?!!” seru Ilham sambil
mengacungkan sebuah map. Buru-buru Rangga menghampirinya. Dibukanya map itu dan
dipilahnya satu per satu. Persis! Ini persis yang ia lihat kemarin!
“Udah ketemu! Ayo keluar!!”
Mereka lalu berlari keluar.
Dikuncinya pintu ruangan Om Suryo dan melemparkan kuncinya ke meja sang
sekretaris. Menyadari keempat kawannya sudah selesai, Bisma melepas kain gorden
yang menyelimuti tubuhnya dan ikut kabur. Kelimanya berlari menuju mobil.
Sedikit heran, sekian lama mencari, sekretaris Om Suryo nggak juga balik. Apa
pingsan, ya?
Sampai di dalam mobil, Rangga
membuka-buka map itu. Surat tawaran, surat keterangan, budget explanation,
company.... ini dia! Company Profile!
“Loe bilang itu penipuan, kan?!
Kenapa loe percaya sama tuh data? Kali aja itu bikinan mereka aja.” Tanya
Rafael sambil mengemudikan mobil.
“Iya, datanya palsu, tapi enggak
dengan nomor rekening dan nomor telepon mereka!” jawab Rangga sambil tersenyum.
Rangga lalu merogoh handphonenya.
Ditekannya nomor handphone yag tercantum di sana.
“Et! Et! Et! Loe ngapain?!!” cegah
Ilham, “Loe mau nelpon dia?”
Rangga bengong, “Iya... ada yang
salah?!!”
“Loe pikir dengan loe nelpon dia
terus minta Andin dibalikin, semuanya akan selesai?” tambah Reza.
Benar juga!!
“Sini! Kasihin ke gue!!”
Rangga memberikan handphonenya
pada Reza. Ditekannya tombol calling. Suasana mobil mendadak hening. Bersiap
menyimak obrolan Reza dan pemilik manajemen itu.
“Hallo?” jawab sebuah suara serak
dari balik telepon.
“Ya... hallo...” Reza membekap
telepon itu dengan telapak tangannya, dia lalu berbisik, “Namanya siapa?”
“Tomy Huang...” jawab Rangga
sambil mengeja tulisan di dalam map.
“Ya, halo, Tomy Huang.”
“Yah, who is this?”
Reza membekap teleponnya lagi,
“Kok ngomong bahasa inggris??”
“Udah buruan ngomong!! Tuyul!!”
bentak Rangga.
“We are from Pizza Hut! We’ve just
delivered your order, but you didn’t give your complete address.”
Rangga manggut-manggut, sipp...
berpura-pura sebagai pengantar pizza. Cerdik!
“Pizza hut? But I didn’t order
pizza...”
“Yes, you did, Sir!”
“No, I didn’t...”
“Yes, sir!”
“No!”
“Yes!”
“No!”
“Yes!”
“I guess you’re calling the wrong
number. I’m pretty sure I didn’t order pizza. Now, turn off the phone,
bastard!!”
“Just give me your address and I
will give you free pizza! Free, sir! Free!!” Reza masih bersihkukuh.
“Are you fuckin’ kidding me?!!”
“I only wanna deliver you pizza!
Bawel sekali you, sir!!” Reza ikut-ikutan kehabisan kesabaran.
“What the fuck!! I have told you,
I didn’t order pizza!!”
“You tell me, and this is selesai!
Tell me alamatnya, I will find you, and I will give you pizza gratis! Anggap
aja itu my apologize! You laki-laki is so bawel like my emak!”
Tuut... tuut.. tuut...
Seluruh orang di dalam mobil
terbengong-bengong. Telinga terasa berdenging gara-gara mendengar bahasa acak
adul ala gado-gado disiram es kopyor. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau
selama ini Reza mempunyai bakat bicara kayak alien.
“Loe ngomong apa barusan?” tanya
Bisma.
“Bodo!! Kampret tuh bapak-bapak!!
Disabar-sabarin, malah ngelunjak!!” Reza balik ngomel.
“Elu, sih! Orang kagak pesen pizza
malah dipaksa-paksa. Sini gue aja yang telpon!!” ucap Ilham.
“UDAH! UDAH!!” Rangga merebut
teleponnya. Bukannya dapat alamat, yang ada omongannya malah kemana-mana. Bisa
ditebak, Ilham pasti habis ini akan berpura-pura sebagai ahli silat yang mau
ikut gabung jadi anak buahnya Tomy Huang.
“Langsung aja berpura-pura jadi Om
Suryo!” ucap Rafael.
“Tapi, kalau dia sadar suara gue
bukan suara Om Suryo, dia bakal curiga.” ucap Rangga ragu.
“Emangnya dia udah pernah ngomong
sama Om Suryo?”
--------------------------------------
BERSAMBUNG KE PART 18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar