Title : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season : 2
Author : @ariek_andini (adm4)
Genre : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...
--------
Eriska tertawa,
“Oh, iya ya.. Dicky takut rambutan ya...”
“Tahu deh kenapa.
Keselek kulit rambutan kali pas kecil. Liat rambutan kayak liat mak lampir.”
Eriska tertawa
lepas. Benaknya melayang pada kejailan-kejailan kru di lokasi syuting. Dulu
pernah ada yang naruh buah rambutan di dalam saku jas Dicky. Dan fix tuh anak
ngambek nggak mau syuting seharian.
“Loe gimana sama
Dicky?”
Eh?
Rangga tersentak.
Dia keceplosan. Bego banget dia tiba-tiba nanyain begituan ke Eriska.
“Maksud loe?”
tanya Eriska bingung.
“Eng-enggak. Maksud gue, Dicky itu
kan anaknya pecicilan. Sering lupa script kalo syuting. Gue Cuma nanya aja,
menurut loe dia anaknya gimana...”
“Ohh... lucu, kok. Masih kayak
dulu, nggak berubah-berubah. Lucu dan suka nervous. Hahaha!”
Rangga cengo. Dicky dibilang lucu?
Jadi dulu Eriska jadian sama Dicky karena Dicky lucu gitu?
Seenggaknya ini kesempatan bagus
buat Dicky. Kebanyakan cewek suka sama cowok humoris. Usahanya buat CLBK sama
Eriska pasti berhasil. Rangga tersenyum simpul.
“Ini pintu masuknya sebelah mana?”
tanya Rangga. Gedung Balai Sarbini telah nampak di depan sana.
Eriska diam. Dia melongok ke depan, “Aduh,
dimana, ya....”
Mobil yang ditumpangi Eriska
memutari jalanan yang menglilingi Balai Sarbini. Sejenak sama-sama
bingung. Mereka lalu disambut kerumunan
orang dengan lampu terang di depan sana. Rangga memicingkan matanya.
“Itu kali ya pintu masuknya?”
gumam Rangga. Ia lalu melajukan mobilnya ke depan. Semakin dekat, hiruk pikuk
keramaian makin terdengar. Makin nampak bahwa suasana terang benderang yang
tercipta bukan cuma karena cahaya lampu, tapi juga karena flash kamera
wartawan-wartawan.
Eriska dan Rangga bengong.
Begitu mobil sampai tepat di
tengah kerumunan, kilat cahaya kamera menghujan. Hiruk pikuk keramaian
memekakkan telinga.
“I-ini gimana?” tanya Rangga
bingung. Ia tidak bisa memajukan maupun memundurkan mobil. Bermaksud membelok
ke tempat parkir, tapi dia terhalang ratusan wartawan dan pengunjung yang
berdesakan.
Tiba-tiba seorang laki-laki
berseragam mengetuk kaca mobil Eriska. Eriska menurunkan kaca mobilnya.
“Biar saya saja yang memarkir
mobilnya, Mbak. Silakan masuk ke dalam gedung.” Ucapnya.
Sekian detik Eriska dan Rangga
saling pandang. Keduanya lalu turun dari mobil bersamaan.Wartawan makin
beringas menyorotkan kamera dan microphone. Dengan sigap tim keamanan membentuk
batas untuk menyilakan Rangga dan Eriska lewat.
Begitu menapakkan kaki ke dalam
gedung, lagi-lagi ada yang menyerbu Eriska dan Rangga. Kali ini panitia
penyelenggara. Mereka meminta Rangga dan Eriska untuk berpose dan wawancara
singkat.
“Eriska, apa kabar nih malam ini?
Cantik banget. Gimana rasanya masuk ke dalam nominasi sebagai pemeran wanita
terbaik?” tanya host.
“Kabar baik. Terima kasih.
Rasanya, seneng banget pas tahu kalau masuk nominasi.”
“Gimana nih? Yakin nggak kalo
menang?”
“Ini baru masuk nominasi aja udah
seneng banget. Soal menang dan enggaknya ntar, ya moga aja menang.”
“Ok! Sukses terus ya! Terus
berkarya untuk perfilman Indonesia. Ada Rangga juga nih! Apa kabar loe, Bro!”
host berbalut jas rapi itu lalu menyalami Rangga akrab.
“Baik! Baik!!” jawab Rangga.
“Iya! Good luck, ya! Moga langgeng
terus!”
Hah?
“Ya, pemirsa! Dari pintu masuk,
sudah datang salah satu sutradara kondang idaman Anda, Bapak Hanung Bramantyo,
apa kabar, Pak?” host itu lalu melengos ke rombongan yang baru datang. Meninggalkan
Rangga dan Eriska yang berdiri mematung. Seorang kru menyilakan mereka untuk
pergi ke kursi tamu. Rangga dan Eriska menurut tanpa banyak bicara. Otak mereka
masih setengah sadar dengan wawancara absurd barusan.
Semoga langgeng?
Cahaya panggung menari-nari indah.
Puluhan dancer telah berdiri di sana menyiapkan formasi. Hampir semua kursi
telah penuh. Di tribun atas, ribuan penonton telah berkumpul. Sesekali Rangga
menoleh ke belakang. Matanya mencari celah. Tapi sejauh yang ia tangkap, hanya
lautan manusia yang nampak. Ia lalu kembali menatap ke depan. Sedikit putus
asa. Bagaimana caranya pulang di tengah keramaian seperti ini?
“Maaf, ya, Rang.”
“Eh?”
“Loe jadi ikut masuk. Maaf. Kayaknya
kita salah masuk. Yang di depan tadi itu emang tempatnya wartawan. Kalo kita
masuk lewat belakang, pasti nggak bakal kayak gini.”
Rangga tak menyahut apapun. Bohong
kalau dia bilang tidak keberatan. Dia bete. Badannya lelah setelah seharian
tadi syuting. Ngantuk, juga lapar. Dia memasang wajah datar ke depan panggung.
Badannya bersandar pada kursi.
“Segmen awal emang biasanya rame.
Nanti begitu ganti segmen, wartawan akan pindah ke dalam. Loe bisa pulang.”
“Terus? Loe sendirian?” tanya
Rangga.
“Nggak apa-apa. Gue udah biasa
kali. Nanti gue sms temen gue biar pulang bareng.” Jawab Eriska.
“Manajer loe mana, sih? Biasanya
juga loe bareng dia.”
“Hari ini dia pamit cuti. Anak
ketiganya lahir tadi pagi.”
Rangga manggut-manggut.
Musik mulai berdentum. Penampilan
pembuka mulai masuk ke atas panggung. Acara yang digelar Kementrian
Kepariwisataan itu disambut tepuk tangan seluruh penonton.
Rangga beralih pada layar ponselnya. Dia
menghela nafas. Genap 24 jam sudah Andin sama sekali tidak menghubunginya.
Tidak ada telepon, SMS, ataupun pesan media sosial lainnya. Sesimpel saat dia
mengingatkan Rangga untuk tidak lupa mengisi bensin. Tidak, seharian ini sama
sekali nggak ada SMS usil dari Andin.
Apa karena kemaren? Dia dan Andin
bertengkar hebat soal tunangan. Baru direncanain aja udah bikin kepala
nyut-nyutan. Lagian, mana mungkin dia keluar dari dunia entertaiment dan kerja
di kantor pengacara. Benar ia kuliah hukum. Tapi udah lama nggak dia urus.
Pasionnya adalah dunia hiburan.
Keluar dari dunia entertaiment?
Ck!!!
************
“Jaket! Jaket!!”
“Gue pinjemmm!!”
“Tuyul!!”
Rangga mengerjapkan matanya.
Bising. Berusaha lagi untuk tidur. Tapi gagal. Kebisingan di dalam apartemennya
semakin menjadi-jadi.
“Kampret!!! Bisa diem nggak,
sih?!!” bentak Rangga akhirnya. Dia bangkit dari tidurnya dengan muka lusuh dan
rambut acak-acakan. Di depannya, kelima kawannya seliweran kayak laler.
“Udah jam 8, masih aja molor!!!”
Bisma balik ngebentak. Dia kembali menghadap ke arah Reza dan meneruskan
pertarungan rebutan jaket.
“Loe pinjem di lokasi aja ntar!!”
“Ngapa jadi gue yang pinjem? Ini
jaket juga jaket gue!!”
Rangga manyun. Dia lalu turun dari
ranjang dan berjalan ke kamar mandi. Sumpah demi apapun, dia merasa sangat
ngantuk. Iya benar Eriska bilang segmen dua bisa pulang. Masalahnya, segmen
pertama aja kelarnya setengah 11 malam.
Guyuran air dari shower berasa
balutan selimut. Dinginnya udah nggak kerasa lagi. Setengah sadar Rangga mandi.
Seperempat jam kemudian dia keluar. Kelima kawannya hampir siap berangkat.
Bisma dan Reza masih rebutan jaket. Rafael bingung nyariin kacamatanya. Ilham
bingung BBM-in gebetan barunya. Seenggaknya, cuman dia yang nggak memperparah
keadaan apartemen sampai rusuh kayak Pasar Senen begini.
Di depan pintu keluar, Rangga
melihat sepatu Dicky telah disiapkan. Ide jail muncul di otaknya. Diambilnya salah
satunya lalu dilemparkannya ke atas cendela angin-angin. Setelah itu, dengan
wajah tanpa dosa Rangga melenggang ke depan lemari. Lumayan. Kalau keadaan
apartemen udah rusuh kayak gini, kenapa nggak ditambah rusuh aja biar to the
max. Kacaunya perang 10 November nggak ada apa-apanya kalau dibandingin
apartemen personil SMASH di pagi hari.
“Mobil gue masih di bengkel. Gue
nebeng!”
“Om Panchunk misscall!!!”
“Kacamata gue loe kan yang pinjem?!!
Balikin!!”
“Sepatu gue mana?”
Rangga tersenyum. Dia melirik
Dicky. Tuh anak membungkuk-bungkuk di kolong kursi nyari sepatu.
“Coh, sepatu gue mana?”
“Nah tadi loe taruh mana?”
Dicky memutar kepalanya ke segala
penjuru. Tepat di atas cendela angin-angin yang tinggi dua meter di atas sana,
dilihatnya sepatunya tergolek. Dicky menengadah. Sekian detik dia bengong
menatap sepatunya dengan talinya yang menjuntai ke bawah. Seperti berpikir.
Sejurus kemudian Dicky berjalan ke rak sepatu. Mengambil sepasang sepatu yang
lain, memakainya, lalu berjalan keluar menuju mobil bersama Ilham dan Rafael.
Rangga tertegun.
Udah gitu doank?
“Cepetan!!” ucap Bisma sambil
menepuk punggung Rangga.
Rangga tersadar. Dia meneruskan
aktivitasnya mengganti pakaian. Benaknya masih melayang pada tingkah Dicky barusan.
Something wrong? Dulu dia pernah melempar kemeja Dicky sampai nyangkut di atas
AC. Dicky ngamuk. Dia lalu mengejarnya sampai halaman apartemen sambil
mengacung-ngacungkan sandal jepit.
Tapi hari ini?
Perjalanan ke lokasi syuting pagi
itu terbagi ke dalam dua mobil. Rafael, Dicky dan Ilham telah jalan duluan.
Sementara Reza dan Bisma yang sampai masuk mobil pun masih debatin jaket, bikin
waktu makin molor.
“Ntar juga di lokasi syuting loe
ganti pakek jas! Ribet amat dari tadi rebutan jaket! Jaket gue noh pakek!”
“Scene gue hari ini outdoor! Nggak
pakek jas! Emang Eja yang pelitnya kayak emak-emak!”
“Sialan! Lagian ngapa loe nggak
minjem punya Rangga aja!”
“Gue pengen yang warna putih!”
“Loe juga biasanya nggak tahan
gerah! Halahhh, ini emang akal-akalan loe aja buat nyari cewek!”
“Nyari cewek?” gumam Rangga.
Jujur, setengah dari yang didebatin Reza dan Bisma, dia nggak paham.
“Kemaren Kiki bilang, pemeran
cewek yang udah lolos casting akan mulai syuting hari ini. Loe tahu kan Franda
udah nggak ikut maen lagi? Bisma tuh mulai jelalatan.” Jelas Reza.
“Loe juga kalo liat cewek
jelalatan! Gue bilangin Ola loe!” balas Bisma tidak terima.
Rangga menghela nafas. Dia berasa
lagi mengasuh dua anak ababil yang lagi rebutan gulali.
Rangga lalu mengalihkan matanya ke
handphonenya. Sehari penuh tidak mengirim pesan, dan pagi ini Andin belum juga
menghubunginya. Apa tuh anak lagi manggung di luar kota? Tak satupun SMS
dibalas.
Apa ngambek ya?
Sampai di lokasi syuting,
kesibukan kru menyambut seperti biasa. Salah satu take tengah berlangsung di
depan sana.
“Bisma? Syukur deh dateng! Sini
siap-siap. Habis ini kamu langsung masuk!” sambut salah seorang kru.
Di sisi yang lain, Ilham dan
Rafael nampak ngobrol dengan tiga orang cewek cantik. Sepertinya mereka yang
dibilang Reza soal pemeran wanita hasil casting. Rafael dan Ilham terlihat sok
asik dan sok akrab. Dasar, nggak bisa lihat cewek cantik bentaran. Pantesan,
pagi tadi mereka mati-matian bergaya sebelum berangkat.
Rangga menempatkan tubuhnya pada
salah satu kursi. Entah kapan gilirannya ambil take. Lumayan lah seenggaknya
dia bisa meneruskan tidur barang sejam. Di depan sana, Kiki berteriak
mengakhiri take. Beberapa orang pemain bubar. Salah satunya Dicky. Wajahnya
masih flat seperti tadi pagi. Dan di sampingnya, satu lagi pemain wanita hasil
casting. Yang ini penampilannya sedikit casual. Rambutnya dikuncir ke belakang.
Sangat natural. Dia berbicara dengan Kiki dengan ramahnya.
Rangga memicingkan matanya.
Seperti ada sesuatu yang janggal di sana. Gadis itu rasanya mirip....
“MASYA ALLAH!!! ANDINNN??!!” pekik
Rangga kaget. Spontan dia terbangun dari kursi.
“Karakternya sederhana, take
berikutnya coba aja munculin karakter sedikit lebih keras.” Kiki berbicara pada
Andin sambil menuding-nuding skenario.
Andin manggut-manggut. Sejurus
kemudian matanya beralih pada Rangga yang berjalan ke arahnya. Tuh cowok
mukanya sangar banget. Kayak tim gegana mau jinakin bom.
“Loe ngapain di sini?!!” tanya
Rangga tegas.
“Lagi syuting~...” jawab Andin
enteng. Menatap Rangga dengan wajah sok polos.
Sejenak suasana hening. Rangga
menatap Andin. Andin juga balas menatapnya. Kiki menghentikan aksinya
menjelaskan karakter tokoh pada Andin. Dia melihati sepasang kekasih itu
keheranan. Entahlah, sepasang kekasih, tapi lebih mirip renternir mau nagih
hutang. Seluruh orang yang ada di sana juga melihati adegan absurd itu.
Tanpa diduga Rangga meraih tangan
Andin. Diseretnya cewek tomboy itu keluar ruangan.
Sampai di tempat sepi, Rangga
melepas cengkeramannya. Dia memegangi pelipisnya. Bingung harus mulai dari
mana. Melihat Andin tiba-tiba ada di lokasi syuting rasanya seperti melihat
penampakan Adolf Hittler.
“Loe sedang apa di sini?” tanya
Rangga kemudian.
Andin cengo, “Loe budek atau
gimana? Udah gue bilang gue syuting!”
“Iya! Gue tahu loe di sini
syuting! Tapi ngapain??!”
“Kerja lah!”
Jawaban singkat Andin membungkam
mulut Rangga. Kerja? Maksudnya? Dia sekarang beralih jadi artis?
“Loe nggak ngeband?!!” sergah
Rangga.
“Bulan depan gue ada jadwal
manggung. Sekarang sih gue nganggur, ya gue syuting.”
Andin menjawab seluruh pertanyaan
Rangga dengan entengnya. Membuat Rangga makin gregetan. Tuh cewek mabok cubung
atau gimana? Dia ngehapalin teks iklan aja keliru mulu, gimana mau ngapalin
script.
“Udah, deh! Gue ada take habis
ini!” ucap Andin. Dia bersiap pergi.
“Eeeettt!! Bentar! Bentar!!”
“Apa lagi, kunyuk?”
“Elo? Syuting?”
“Loe mau sampai kapan nanyain gue
kayak gitu? Loe budek beneran atau mau mainin gue?!!”
“Ya habis tiba-tiba aja loe ada di
lokasi syuting! Kenapa loe nggak bilang kalo loe masuk di CCC??”
“Ngapain gue harus beberin
strategi gue ke elo?!!”
Eh? Strategi?
“Maksud loe?” tanya Rangga heran.
“Emangnya gue nggak bisa kayak
loe? Nyanyi sekaligus akting. Gue juga bisa kalo segitu doank! Gue nggak akan
kalah dari loe!” tandas Andin. Dia balik badan, lalu pergi meninggalkan Rangga.
Hah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar