7 Oktober 2014

[Cerbung SMASH] "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" SEASON 2 / Part 6

cerbung-smash
Title          : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season    : 2
Author       : @ariek_andini (adm4)
Genre        : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast          : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...
--------


             Eriska tertawa, “Oh, iya ya.. Dicky takut rambutan ya...”

             “Tahu deh kenapa. Keselek kulit rambutan kali pas kecil. Liat rambutan kayak liat mak lampir.”

             Eriska tertawa lepas. Benaknya melayang pada kejailan-kejailan kru di lokasi syuting. Dulu pernah ada yang naruh buah rambutan di dalam saku jas Dicky. Dan fix tuh anak ngambek nggak mau syuting seharian.

             “Loe gimana sama Dicky?”

             Eh?

             Rangga tersentak. Dia keceplosan. Bego banget dia tiba-tiba nanyain begituan ke Eriska.

             “Maksud loe?” tanya Eriska bingung.

             “Eng-enggak. Maksud gue, Dicky itu kan anaknya pecicilan. Sering lupa script kalo syuting. Gue Cuma nanya aja, menurut loe dia anaknya gimana...”

             “Ohh... lucu, kok. Masih kayak dulu, nggak berubah-berubah. Lucu dan suka nervous. Hahaha!”

             Rangga cengo. Dicky dibilang lucu? Jadi dulu Eriska jadian sama Dicky karena Dicky lucu gitu?

             Seenggaknya ini kesempatan bagus buat Dicky. Kebanyakan cewek suka sama cowok humoris. Usahanya buat CLBK sama Eriska pasti berhasil. Rangga tersenyum simpul.

             “Ini pintu masuknya sebelah mana?” tanya Rangga. Gedung Balai Sarbini telah nampak di depan sana.


             Eriska diam. Dia melongok ke depan, “Aduh, dimana, ya....”

             Mobil yang ditumpangi Eriska memutari jalanan yang menglilingi Balai Sarbini. Sejenak sama-sama bingung.  Mereka lalu disambut kerumunan orang dengan lampu terang di depan sana. Rangga memicingkan matanya.

             “Itu kali ya pintu masuknya?” gumam Rangga. Ia lalu melajukan mobilnya ke depan. Semakin dekat, hiruk pikuk keramaian makin terdengar. Makin nampak bahwa suasana terang benderang yang tercipta bukan cuma karena cahaya lampu, tapi juga karena flash kamera wartawan-wartawan.

             Eriska dan Rangga bengong.

             Begitu mobil sampai tepat di tengah kerumunan, kilat cahaya kamera menghujan. Hiruk pikuk keramaian memekakkan telinga.

             “I-ini gimana?” tanya Rangga bingung. Ia tidak bisa memajukan maupun memundurkan mobil. Bermaksud membelok ke tempat parkir, tapi dia terhalang ratusan wartawan dan pengunjung yang berdesakan.

             Tiba-tiba seorang laki-laki berseragam mengetuk kaca mobil Eriska. Eriska menurunkan kaca mobilnya.

             “Biar saya saja yang memarkir mobilnya, Mbak. Silakan masuk ke dalam gedung.” Ucapnya.

             Sekian detik Eriska dan Rangga saling pandang. Keduanya lalu turun dari mobil bersamaan.Wartawan makin beringas menyorotkan kamera dan microphone. Dengan sigap tim keamanan membentuk batas untuk menyilakan Rangga dan Eriska lewat.

             Begitu menapakkan kaki ke dalam gedung, lagi-lagi ada yang menyerbu Eriska dan Rangga. Kali ini panitia penyelenggara. Mereka meminta Rangga dan Eriska untuk berpose dan wawancara singkat.

             “Eriska, apa kabar nih malam ini? Cantik banget. Gimana rasanya masuk ke dalam nominasi sebagai pemeran wanita terbaik?” tanya host.

             “Kabar baik. Terima kasih. Rasanya, seneng banget pas tahu kalau masuk nominasi.”

             “Gimana nih? Yakin nggak kalo menang?”

             “Ini baru masuk nominasi aja udah seneng banget. Soal menang dan enggaknya ntar, ya moga aja menang.”

             “Ok! Sukses terus ya! Terus berkarya untuk perfilman Indonesia. Ada Rangga juga nih! Apa kabar loe, Bro!” host berbalut jas rapi itu lalu menyalami Rangga akrab.

             “Baik! Baik!!” jawab Rangga.

             “Iya! Good luck, ya! Moga langgeng terus!”

             Hah?

             “Ya, pemirsa! Dari pintu masuk, sudah datang salah satu sutradara kondang idaman Anda, Bapak Hanung Bramantyo, apa kabar, Pak?” host itu lalu melengos ke rombongan yang baru datang. Meninggalkan Rangga dan Eriska yang berdiri mematung. Seorang kru menyilakan mereka untuk pergi ke kursi tamu. Rangga dan Eriska menurut tanpa banyak bicara. Otak mereka masih setengah sadar dengan wawancara absurd barusan.

             Semoga langgeng?

             Cahaya panggung menari-nari indah. Puluhan dancer telah berdiri di sana menyiapkan formasi. Hampir semua kursi telah penuh. Di tribun atas, ribuan penonton telah berkumpul. Sesekali Rangga menoleh ke belakang. Matanya mencari celah. Tapi sejauh yang ia tangkap, hanya lautan manusia yang nampak. Ia lalu kembali menatap ke depan. Sedikit putus asa. Bagaimana caranya pulang di tengah keramaian seperti ini?

             “Maaf, ya, Rang.”

             “Eh?”

             “Loe jadi ikut masuk. Maaf. Kayaknya kita salah masuk. Yang di depan tadi itu emang tempatnya wartawan. Kalo kita masuk lewat belakang, pasti nggak bakal kayak gini.”

             Rangga tak menyahut apapun. Bohong kalau dia bilang tidak keberatan. Dia bete. Badannya lelah setelah seharian tadi syuting. Ngantuk, juga lapar. Dia memasang wajah datar ke depan panggung. Badannya bersandar pada kursi.

             “Segmen awal emang biasanya rame. Nanti begitu ganti segmen, wartawan akan pindah ke dalam. Loe bisa pulang.”

             “Terus? Loe sendirian?” tanya Rangga.

             “Nggak apa-apa. Gue udah biasa kali. Nanti gue sms temen gue biar pulang bareng.” Jawab Eriska.

             “Manajer loe mana, sih? Biasanya juga loe bareng dia.”

             “Hari ini dia pamit cuti. Anak ketiganya lahir tadi pagi.”

             Rangga manggut-manggut.

             Musik mulai berdentum. Penampilan pembuka mulai masuk ke atas panggung. Acara yang digelar Kementrian Kepariwisataan itu disambut tepuk tangan seluruh penonton.

             Rangga beralih pada layar ponselnya. Dia menghela nafas. Genap 24 jam sudah Andin sama sekali tidak menghubunginya. Tidak ada telepon, SMS, ataupun pesan media sosial lainnya. Sesimpel saat dia mengingatkan Rangga untuk tidak lupa mengisi bensin. Tidak, seharian ini sama sekali nggak ada SMS usil dari Andin.

             Apa karena kemaren? Dia dan Andin bertengkar hebat soal tunangan. Baru direncanain aja udah bikin kepala nyut-nyutan. Lagian, mana mungkin dia keluar dari dunia entertaiment dan kerja di kantor pengacara. Benar ia kuliah hukum. Tapi udah lama nggak dia urus. Pasionnya adalah dunia hiburan.

             Keluar dari dunia entertaiment? Ck!!!

             ************

             “Jaket! Jaket!!”

             “Gue pinjemmm!!”

             “Tuyul!!”

             Rangga mengerjapkan matanya. Bising. Berusaha lagi untuk tidur. Tapi gagal. Kebisingan di dalam apartemennya semakin menjadi-jadi.

             “Kampret!!! Bisa diem nggak, sih?!!” bentak Rangga akhirnya. Dia bangkit dari tidurnya dengan muka lusuh dan rambut acak-acakan. Di depannya, kelima kawannya seliweran kayak laler.

             “Udah jam 8, masih aja molor!!!” Bisma balik ngebentak. Dia kembali menghadap ke arah Reza dan meneruskan pertarungan rebutan jaket.

             “Loe pinjem di lokasi aja ntar!!”

             “Ngapa jadi gue yang pinjem? Ini jaket juga jaket gue!!”

             Rangga manyun. Dia lalu turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. Sumpah demi apapun, dia merasa sangat ngantuk. Iya benar Eriska bilang segmen dua bisa pulang. Masalahnya, segmen pertama aja kelarnya setengah 11 malam.

             Guyuran air dari shower berasa balutan selimut. Dinginnya udah nggak kerasa lagi. Setengah sadar Rangga mandi. Seperempat jam kemudian dia keluar. Kelima kawannya hampir siap berangkat. Bisma dan Reza masih rebutan jaket. Rafael bingung nyariin kacamatanya. Ilham bingung BBM-in gebetan barunya. Seenggaknya, cuman dia yang nggak memperparah keadaan apartemen sampai rusuh kayak Pasar Senen begini.

             Di depan pintu keluar, Rangga melihat sepatu Dicky telah disiapkan. Ide jail muncul di otaknya. Diambilnya salah satunya lalu dilemparkannya ke atas cendela angin-angin. Setelah itu, dengan wajah tanpa dosa Rangga melenggang ke depan lemari. Lumayan. Kalau keadaan apartemen udah rusuh kayak gini, kenapa nggak ditambah rusuh aja biar to the max. Kacaunya perang 10 November nggak ada apa-apanya kalau dibandingin apartemen personil SMASH di pagi hari.

             “Mobil gue masih di bengkel. Gue nebeng!”

             “Om Panchunk misscall!!!”

             “Kacamata gue loe kan yang pinjem?!! Balikin!!”

             “Sepatu gue mana?”

             Rangga tersenyum. Dia melirik Dicky. Tuh anak membungkuk-bungkuk di kolong kursi nyari sepatu.

             “Coh, sepatu gue mana?”

             “Nah tadi loe taruh mana?”

             Dicky memutar kepalanya ke segala penjuru. Tepat di atas cendela angin-angin yang tinggi dua meter di atas sana, dilihatnya sepatunya tergolek. Dicky menengadah. Sekian detik dia bengong menatap sepatunya dengan talinya yang menjuntai ke bawah. Seperti berpikir. Sejurus kemudian Dicky berjalan ke rak sepatu. Mengambil sepasang sepatu yang lain, memakainya, lalu berjalan keluar menuju mobil bersama Ilham dan Rafael.

             Rangga tertegun.

             Udah gitu doank?

             “Cepetan!!” ucap Bisma sambil menepuk punggung Rangga.

             Rangga tersadar. Dia meneruskan aktivitasnya mengganti pakaian. Benaknya masih melayang pada tingkah Dicky barusan. Something wrong? Dulu dia pernah melempar kemeja Dicky sampai nyangkut di atas AC. Dicky ngamuk. Dia lalu mengejarnya sampai halaman apartemen sambil mengacung-ngacungkan sandal jepit.

             Tapi hari ini?

             Perjalanan ke lokasi syuting pagi itu terbagi ke dalam dua mobil. Rafael, Dicky dan Ilham telah jalan duluan. Sementara Reza dan Bisma yang sampai masuk mobil pun masih debatin jaket, bikin waktu makin molor.

             “Ntar juga di lokasi syuting loe ganti pakek jas! Ribet amat dari tadi rebutan jaket! Jaket gue noh pakek!”

             “Scene gue hari ini outdoor! Nggak pakek jas! Emang Eja yang pelitnya kayak emak-emak!”

             “Sialan! Lagian ngapa loe nggak minjem punya Rangga aja!”

             “Gue pengen yang warna putih!”

             “Loe juga biasanya nggak tahan gerah! Halahhh, ini emang akal-akalan loe aja buat nyari cewek!”

             “Nyari cewek?” gumam Rangga. Jujur, setengah dari yang didebatin Reza dan Bisma, dia nggak paham.

             “Kemaren Kiki bilang, pemeran cewek yang udah lolos casting akan mulai syuting hari ini. Loe tahu kan Franda udah nggak ikut maen lagi? Bisma tuh mulai jelalatan.” Jelas Reza.

             “Loe juga kalo liat cewek jelalatan! Gue bilangin Ola loe!” balas Bisma tidak terima.

             Rangga menghela nafas. Dia berasa lagi mengasuh dua anak ababil yang lagi rebutan gulali.

             Rangga lalu mengalihkan matanya ke handphonenya. Sehari penuh tidak mengirim pesan, dan pagi ini Andin belum juga menghubunginya. Apa tuh anak lagi manggung di luar kota? Tak satupun SMS dibalas.

             Apa ngambek ya?

             Sampai di lokasi syuting, kesibukan kru menyambut seperti biasa. Salah satu take tengah berlangsung di depan sana.

             “Bisma? Syukur deh dateng! Sini siap-siap. Habis ini kamu langsung masuk!” sambut salah seorang kru.

             Di sisi yang lain, Ilham dan Rafael nampak ngobrol dengan tiga orang cewek cantik. Sepertinya mereka yang dibilang Reza soal pemeran wanita hasil casting. Rafael dan Ilham terlihat sok asik dan sok akrab. Dasar, nggak bisa lihat cewek cantik bentaran. Pantesan, pagi tadi mereka mati-matian bergaya sebelum berangkat.

             Rangga menempatkan tubuhnya pada salah satu kursi. Entah kapan gilirannya ambil take. Lumayan lah seenggaknya dia bisa meneruskan tidur barang sejam. Di depan sana, Kiki berteriak mengakhiri take. Beberapa orang pemain bubar. Salah satunya Dicky. Wajahnya masih flat seperti tadi pagi. Dan di sampingnya, satu lagi pemain wanita hasil casting. Yang ini penampilannya sedikit casual. Rambutnya dikuncir ke belakang. Sangat natural. Dia berbicara dengan Kiki dengan ramahnya.

             Rangga memicingkan matanya. Seperti ada sesuatu yang janggal di sana. Gadis itu rasanya mirip....

             “MASYA ALLAH!!! ANDINNN??!!” pekik Rangga kaget. Spontan dia terbangun dari kursi.

             “Karakternya sederhana, take berikutnya coba aja munculin karakter sedikit lebih keras.” Kiki berbicara pada Andin sambil menuding-nuding skenario.

             Andin manggut-manggut. Sejurus kemudian matanya beralih pada Rangga yang berjalan ke arahnya. Tuh cowok mukanya sangar banget. Kayak tim gegana mau jinakin bom.

             “Loe ngapain di sini?!!” tanya Rangga tegas.

             “Lagi syuting~...” jawab Andin enteng. Menatap Rangga dengan wajah sok polos.

             Sejenak suasana hening. Rangga menatap Andin. Andin juga balas menatapnya. Kiki menghentikan aksinya menjelaskan karakter tokoh pada Andin. Dia melihati sepasang kekasih itu keheranan. Entahlah, sepasang kekasih, tapi lebih mirip renternir mau nagih hutang. Seluruh orang yang ada di sana juga melihati adegan absurd itu.

             Tanpa diduga Rangga meraih tangan Andin. Diseretnya cewek tomboy itu keluar ruangan.

             Sampai di tempat sepi, Rangga melepas cengkeramannya. Dia memegangi pelipisnya. Bingung harus mulai dari mana. Melihat Andin tiba-tiba ada di lokasi syuting rasanya seperti melihat penampakan Adolf Hittler.

             “Loe sedang apa di sini?” tanya Rangga kemudian.

             Andin cengo, “Loe budek atau gimana? Udah gue bilang gue syuting!”

             “Iya! Gue tahu loe di sini syuting! Tapi ngapain??!”

             “Kerja lah!”

             Jawaban singkat Andin membungkam mulut Rangga. Kerja? Maksudnya? Dia sekarang beralih jadi artis?

             “Loe nggak ngeband?!!” sergah Rangga.

             “Bulan depan gue ada jadwal manggung. Sekarang sih gue nganggur, ya gue syuting.”

             Andin menjawab seluruh pertanyaan Rangga dengan entengnya. Membuat Rangga makin gregetan. Tuh cewek mabok cubung atau gimana? Dia ngehapalin teks iklan aja keliru mulu, gimana mau ngapalin script.

             “Udah, deh! Gue ada take habis ini!” ucap Andin. Dia bersiap pergi.

             “Eeeettt!! Bentar! Bentar!!”

             “Apa lagi, kunyuk?”

             “Elo? Syuting?”

             “Loe mau sampai kapan nanyain gue kayak gitu? Loe budek beneran atau mau mainin gue?!!”

             “Ya habis tiba-tiba aja loe ada di lokasi syuting! Kenapa loe nggak bilang kalo loe masuk di CCC??”

             “Ngapain gue harus beberin strategi gue ke elo?!!”

             Eh? Strategi?

             “Maksud loe?” tanya Rangga heran.

             “Emangnya gue nggak bisa kayak loe? Nyanyi sekaligus akting. Gue juga bisa kalo segitu doank! Gue nggak akan kalah dari loe!” tandas Andin. Dia balik badan, lalu pergi meninggalkan Rangga.

             Hah?


             Rangga mematung di tempatnya. Memandangi Andin dari belakang. Soal taruhan itu. Benar, Andin tidak main-main. Bahkan dia rela masuk ke dunia sinetron yang katanya alay dan tontonan emak-emak.




-----------------------
bersambung ke part 7


Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar