31 Oktober 2014

[Cerbung SMASH] "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" SEASON 2 / Part 18

Title          : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season    : 2
Author       : @ariek_andini (adm4)
Genre        : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast          : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...

Awas! Nih cerbung imajinasinya kemana-mana.... -___-

-----------------------

             “Elu, sih! Orang kagak pesen pizza malah dipaksa-paksa. Sini gue aja yang telpon!!” ucap Ilham.

             “UDAH! UDAH!!” Rangga merebut teleponnya. Bukannya dapat alamat, yang ada omongannya malah kemana-mana. Bisa ditebak, Ilham pasti habis ini akan berpura-pura sebagai ahli silat yang mau ikut gabung jadi anak buahnya Tomy Huang.

             “Langsung aja berpura-pura jadi Om Suryo!” ucap Rafael.

             “Tapi, kalau dia sadar suara gue bukan suara Om Suryo, dia bakal curiga.” ucap Rangga ragu.

             “Emangnya dia udah pernah ngomong sama Om Suryo?”

             Rangga terdiam. Benar juga. Selama tidak dicoba, tidak akan tahu. Lalu Rangga mulai menelepon si Tomy Huang. Kali ini dengan meminjam handphone Rafael.

             “Who is there?!!” suara bentakan langsung menyambut Rangga begitu teleponnya diangkat. Ajib, dia pasti senewen gara-gara Reza tadi.

             “I am Suryo Pustopo. Are you Mister... Tom... Tomy Huang?”

             “Ooooh! Dui! Dui! Mr, Suryo! Wo shi Tomy Huang. Ni hao ma?”

             Mampus! Kenapa berubah jadi bahasa China??

             “Wo deng dai nin a. Ke shi, wo zhi dao, nin hen mang, dui bu dui a (Saya menunggu Anda. Tapi, saya tahu, Anda pasti sibuk, benar kan)?”

             “.....Aaahahahaha!” Rangga tertawa. Dia lalu melirik Rafael dengan tatapan dia-ngomong-bahasa-planet-mana.


             “Suo yi, zhen me yang? You might be interested with our enticement, shi ma (Jadi, Bagaimana? Anda pasti tertarik dengan tawaran kami, iya kan)?”

             “Ah.... Yes... yes...”

             “That idea will be profitable for your company. If we can work together. Wo men hen gao xing a. Hahaha! Huan ying lai, Mr. Suryo... (Ide ini akan menguntungkan perusahaan Anda. Jika Kita bisa bekerja sama, kami sangat senang. Hahaha! Selamat bergabung, Pak Suryo)”

             “Yes.... Yes....”

             Seluruh orang di dalam mobil melirik Rangga dengan dahi berkerut. Sedari tadi Rangga hanya bilang yes dan yes. Emangnya dia lagi ngomong apaan sama si Tomy Huang?

             “I will delay my departure. I thought I can’t make agreement with you. Aaahhh.... nin wang le a.... It’s just my stupid opinion. Now, let’s have a meeting, Mister. When I can come to your office to take the signature?”

             “No need to come to my office. I’ll come to your office.” Jawab Rangga.

             “Pardon me, Sir?”

             “I will come to your office right now. We can make a deal soon. Now, tell me where are you?”

             “Wait, Sir! Wait! Excuse me! Nin ye xia jiang dao wo men de @#GH#%^...$%K^...”

             Rangga menjauhkan handphone dari telinganya. Setelah mendengar bahasa planet ala Reza, kini dia dipaksa mendengar bahasa madura ala Tomy Huang. Rasanya seperti ada laler masuk ke dalam telinganya dan berdenging di sana.

             “Do you wanna work together with me or not?!!” pungkas Rangga gregetan.

             “Zhe shi fa kuan!! Wo yao! Ni bu hen sheng qi la... Wo zhu zai Tanjung Priok. Hou lai, nin xia jiang.....”

             “Don’t go anywhere!” potong Rangga.

             Tuut... tuut... tuut....

             Rangga menghela nafas panjang. Ditutupnya teleponya. Handphone Rafael terjatuh ke pangkuannya. Hanya dua menit lima belas detik, tapi sudah cukup membuatnya mual dan ingin main kungfu ala jet li.

             “Loe kenapa, sih?!” tanya Rafael.

             “Nanti... yang ngomong sama dia... loe aja. Gue kagak ikut!” ucap Rangga tak tahan.

             “Terus, dia sekarang di mana?” tanya Reza.

             “Tanjung Priok!” jawab Rangga singkat. Dari sekian kalimat mandarin yang diucapkan orang itu, hanya ‘Tanjung Priok’ yang mampu tertangkap oleh telinga Rangga. Sisanya udah kayak lirik lagu-lagu imlek.

             “Dia ngapain di Tanjung Priok?”

             “Kagak tahu. Makanya gue curiga. Buruan cepetin mobilnya!”

             Malam-malam di pelabuhan, kali aja mau nyebur ke laut terus renang ke Hongkong.

             “Bentar! Bentar! Ini sebenarnya kita mau ngapain sih?!! Ngapain ke Tanjung Priok segala!!? Buruan balik ke rumah sakit! Nasinya udah ditunggu Om Panchunk!!” teriak Bisma.

             Tak ada yang menyahutnya. Mobil semakin kencang melaju menuju Jakarta Utara.

             “Woooooy!!”

             Tiba-tiba HP Bisma berdering. Dalam kondisi tubuh terjepit Reza dan Ilham, Bisma berusaha mengangkat teleponnya.

             “Halo?!! Bisma?!! Dimana?!  Ini udah mau jam sepuluh, nasinya udah dapat apa belum?!!”

             “Om??!” teriak Bisma pada Om Panchunk.

             “Kamu dimana?!!”

             “Aku sama anak-anak lagi nyusul Andin. Ini sekarang di....”

             Gedubrakk!!

             Tuut... tuut... tuut....

             Ilham menjepit leher Bisma dengan lengannya yang kekar. Sementara Reza merebut handphonenya dan mematikan telepon. Bisma berontak. Kakinya menendang-nendang. Ilham semakin kencang mencekiknya. Reza lalu membantu adiknya dengan memegangi tangan Bisma.

             “Bego, loe!!!”

             “Aaaaaaaghr!”

             “Ngapain loe lapor ke Om Panchunk??!”

             “Biar kalian tau rasa! Kampret!! Adaaaww!!”

             Di jok depan, Rafael dan Rangga menepuk jidat. Reza, Ilham dan Bisma saling tindih seperti ulet daun. Ribut dan saling mencekik. Sesekali tempat duduk Rangga kena tendang kaki Bisma. Rangga menghela nafas. Menahan diri untuk nggak mengambil tali di bagasi belakang lalu mengikat Bisma kencang-kencang.

             Butuh waktu setengah jam plus berjuangan berdarah-darah untuk sampai di pelabuhan. Masing-masing kecapean gara-gara sibuk menenangkan Bisma. Mereka berhenti di pintu masuk menuju Pelabuhan Tanjung Priok. Truk-truk besar berbaris panjang. Kontainer besi memenuhi sisi jalan yang lain.

             “Terus, sekarang gimana?” tanya Rafael. Dia bingung, haruskah memasukkan mobil ke dalam, atau tetap di sini. Kalau masuk ke dalam, salah-salah mereka diangkut ke dalam kapal.

             “Loe serius dia ada di Tanjung Priok?”

             “Gue serius!! Tadi dia di telepon bilang Tanjung Priok!” jawab Rangga.

             “Ya, tapi mana dia?!!”

             Tak ada jalan lain. Sekali lagi Rangga menelepon orang bernama Tomy Huang itu. Deru truk yang menyalip mobilnya membuat suasana bising dan mengganggu. Ia terpaksa mengeraskan suaranya untuk bisa bicara dengan Tomy Huang.

             “I’m ini Tanjung Priok right now!! Where are you??!”

             “I can’t hear you! What do you say?!!”

             “Tanjung priok!! I’m in Tanjung Priok nooow!! Where are yoouuu???!!”

             “Shen me? Excuse me??!”

             “Budek banget sih lu?!! WHERE ARE YOOOUUUU??!!!”

             “Ooooh! Great, Sir!! My people will pick you up now!! What car do you ride?!!”

             Rangga diam sejenak, “BMW!! It’s black! And.... it’s about twenty metres from the gate of Tanjung Priok!”

             “Wo zhi dao! Nin deng dai. Wo de......”

             “STOP IT!! Once again you speak in Chinese, I’ll cancel this meeting!!” ancam Rangga. Hatinya sudah tidak tahan. Dia lalu mematikan telepon.

             “Kok loe ngomong gitu?!! Kalo dia curiga gimana?!! Mestinya loe pura-pura aja loe pinter bahasa Mandarin kayak Om Suryo!” omel Reza.

             “Bodo!!”

             “Terus, dia bilang gimana?” tanya Rafael.

             “Katanya, dia mau nyuruh orang dia buat nyusul kita ke kantornya.”

             “Terus?” tanya Bisma.

             “Ya kita berhasil nemuin dia!!”

             “Terus?”

             “..........”

             Rangga menatap Bisma. Bisma juga menatap Rangga. Terus.... iya terus gimana? Setelah bertemu pemilik manajemen palsu itu, terus apa yang akan mereka lakukan? Bertemu dengannya, lalu bicara baik-baik ingin menemui Andin dan mengajaknya pulang? Begitu?

             Seluruh mata tertuju pada Rangga. Menunggu jawaban atas pertanyaan singkat Bisma. Suasana mendadak hening. Lampu depan truk yang kebetulan menyalip, menembus lewat kaca mobil.

             “Ngga?!! Loe tahu abis ini mau gimana kan?” tanya Rafael membangunkan Rangga, karena yang ditunggu-tunggu dari tadi hanya melamun.

             “Gue.....”

             “Jangan bilang loe nggak punya rencana!” Reza ikut menimpali.

             Dan Rangga semakin terpojok. Mukanya tegang kayak anak SD mau ujian nasional. Kelima kawannya yang lain semakin dalam melihatinya.

             “Kan!! Mampus kan!! Gue bilang juga apa!! Eloooo siiiih!! Sok-sokan banget mau nyelametin Andin! Terus ini gimana?!!” serang Bisma.

             “Heh! Mulut loe kayak prosotan TK!! Kalo loe yang ada di posisi gue, loe juga pasti bingung!! Bantuin mikir kek!! Dari tadi masa gue terus yang ngasih ide?!!”

             “Dari tadi gue udah ngomong! Balik ke rumah sakit! Balik! Kalian-kalian aja yang nggak mau dengerin gue!”

             “Udah! Udah!!” Rafael menengahi. Sebelah tangannya mendorong muka Bisma menjauh.

             “Yaudah! Kita putar balik aja! Seengaknya kita udah tahu tuh penculik ada di pelabuhan! Kita pulang terus lapor ke polisi!!” tambah Reza.

             Rafael memutar kunci mobil. Mesin menyala. Ia bersiap mengubah porsenelingnya. Kini Bisma bisa bernafas lega. Akhirnya kawan-kawannya sadar dan mau pulang. Tapi keadaan berkata lain.

             Tiba-tiba sebuah tangan mengetuk kaca cendela mobil mereka. Seluruh orang terdiam. Mereka menatap awas ke luar cendela. Sesosok pria berjaket hitam nampak berdiri di depan cendela mobil. Siapa?

             Rangga membuka kaca cendelanya.

             “Apa Anda dari Pilar Sinema Pictures?” tanya pria tinggi tegap itu.

             Tak ada yang menyahut. Masing-masing menatap pria itu dengan wajah tegang. Rafael pun urung memundurkan mobilnya.

             “Silakan ikuti kami.” Lanjut pria itu. dia memberi kode pada kawannya yang berada di dalam mobil di depan sana dengan mengangkat tangan. Pria itu lalu masuk ke dalam sebuah jip.

             Tepat di belakang mobil Rangga, jip yang lain juga berderu. Mereka bersiap berangkat. Tinggal menunggu mobil Rangga yang sampai sekarang masih ngejogrog.

             “Pelan-pelan! Mumpung mereka nggak tahu, ayo langsung mundurin mobilnya!” bisik Bisma.

             Tapi Rafael malah melajukan mobilnya mengikuti jip di depannya.

             “Loe ngapain?!!” sergah Bisma.

             “Kita nggak bisa kemana-mana! Di belakang juga ada. Kalo kita tiba-tiba kabur, mereka akan tahu.”

             “Begitu belok, langsung aja injak gas! mereka nggak bakal bisa ngejar!”

             “Mereka ada empat mobil, Bis!” sahut Rangga.

             “Terus gimana?!! Kalo kita beneran ketemu mereka, mereka akan curiga kalau kita bukan Om Suryo!!” kejar Bisma. Bisikannya bercampur emosi. Di matanya, tingkah Rangga benar-benar kekanak-kanakkan. Mendatangi penculik sendirian tak semudah di film-film action!!

             Mobil melaju pelan. Jip yang ditumpangi pria kekar itu membelok ke kawasan pabrik yang sudah lama tidak dipakai. Dari sana, proses bongkar-pasang peti kemas yang sedang dilakukan di Pelabuhan Tanjung Priok bisa terlihat.

             Sambil memegang kemudinya, Rafael melihati sekeliling. Terlihat suram dan horor. Sepanjang mata melihat, hanya ada bangunan-bangunana tua yang sudah tidak berfungsi. Beberapa masih terlihat karena lampu yang terpasang di sana, sisanya, gelap total.

             Bisma merapatkan tubuhnya di antara Reza dan Ilham. Seluruh orang hanya diam. Sibuk berprasangka. Terlebih Rangga. Otaknya berkecamuk. Jika setelah ini yang dikhawatirkan Bisma beneran terjadi, maka itu semua adalah salahnya. Karena sejak awal dialah yang mati-matian ingin menyelamatkan Andin. Tapi jika sudah begini, harus gimana? Nggak ada persiapan, nggak tahu apa-apa, tiba-tiba saja sudah sejauh ini.

             Di tengah suasana yang sunyi dan tegang, sebuah ringtone handphone berbunyi. Seluruh mata tertuju pada layar handphone Rangga yang berkedip-kadip.

             “Andiiin??!!” gumam Rangga kaget.

             “Buruan angkat! Buruan angkat!!”

             Rangga mengangkat teleponnya, “Andin!!!”

             “Rangga~...”

             “Loe dimana?!!”

             “Sesak....” Jawab Andin. Suaranya sangat lirih, hampir saja tidak terdengar.

             "Ndin?!!!"

             "Gue nggak bisa nafas..."

             "Loe bilang ke gue loe dimana!?? Gue akan susul loe!! Loe dimana?!!"

             BRUAKKK!

             “Ndin..???”

             “............”

             “ANDIN!!!”

             “...........”

             Tuut... tuut... tuut...

             Rangga mengocok-ngocok handphonenya. Dipukul-pukulnya speakernya. Tapi nihil. Suara Andin menghilang bukan karena sinyal yang lenyap. Tapi karena teleponnya memang diputus.

             “Mati?” tanya Rafael.

             “Dimatiin!” jawab Rangga.

             Jip di depan mobil Rangga berhenti di samping sebuah gedung. Dibanding gedung-gedung lainnya di kawasan itu, gedung itu terbilang lebih terawat dan terang benderang. Tong-tong usang berjajar di sekitar pintu masuk. Di sisi yang lain, peti-peti kayu ditumpuk sembarangan.

             Pria kekar itu lalu keluar dari mobilnya. Dia mendekati mobil Rangga. Di bawah cahaya lampu, makin jelaslah perawakannya wajahnya yang tirus, rambut panjang sebahu, dan jaket kulit yang resletingnya dibiarkan terbuka.

             “Silakan....” ucapnya.

             Menurut. Rangga keluar dari mobil begitu saja. Nalurinya menggebu-gebu. Di dalam sana, di salah satu tempat, pasti ada Andin. Menyusul kemudian, Rafael juga keluar dari mobil. Lalu Reza, Ilham, dan terakhir Bisma.

             Pria itu memberi kode untuk mengikutinya ke dalam. Sangat sopan. Tindak-tanduknya sangat santun. Sejenak mampu menghilangkan rasa takut yang sedari tadi mengganggu.

             Sampai di dalam gedung, beberapa orang nampak lalu lalang. Suasana benar-benar terlihat seperti kantor. Meski terlihat janggal. Aktivitas kantor di jam sebelas malam tepat?

             “Perasaan gue nggak enak...” bisik Ilham pada abangnya. Matanya mengawasi tiap jengkal yang ia lewati. Begitu bobrok untuk ukuran kantor manajemen. Ubin yang sudah kusam, dinding berlumut, dan udara pengap menusuk hidung.

             Ketika pria kekar itu menuntuk Rangga, Rafael dan Bisma naik ke tangga, Ilham menarik tangan Reza ke dalam sebuah tikungan gelap.

             “Loe mau ngapain?” tanya Reza. Di depannya, Ilham menuntunnya semakin meringsek ke dalam. Terdengar gemericik air dari kejauhan. Udara semakin lembab.

             “Gue curiga sama tempat ini.” Bisik Ilham. Keduanya lalu sampai di sebuah ballroom yang sudah tak terpakai. Meja dan kursi ditumpuk di satu sudut. Retakan memenuhi tiang-tiang lebar yang berdiri di sana.

             Sementara itu, Rangga, Rafael dan Bisma yang telah sampai di lantai dua, diajak masuk ke dalam sebuah ruangan yang hanya dibatasi sekat kaca tebal. Lima orang laki-laki berdiri di depannya dengan setelan kemeja dan dasi. Di dalamnya, seorang laki-laki tua duduk di depan meja kayu. Seorang laki-laki yang sama sipitnya dengan dia, berdiri di sampingnya.

             “Silakan masuk...” ucap pria kekar itu sambil membuka pintu kaca.

             Satu langkah masuk ke dalam, Rangga terhenti. Matanya terbelalak. Jantungnya hampir saja copot.

             Laki-laki itu? laki-laki tua bermata sipit itu? bukankah dia yang ada di dalam mobil ketika Doni Sambara menyerangnya di lokasi syuting dulu?!!

             “Good night, gentleman...” sapa laki-laki tua itu. Ia beranjak berdiri dan menghampiri Rangga, Rafael, dan Bisma. Disalaminya satu per satu.

             “I am Tomy Huang. Which one of you is Mr. Suryo?”

             Rafael, Rangga dan Bisma melongo. Yang mana yang Om Suryo? Jadi, itu tua bangka tidak tahu Om Suryo?

             “I am Suryo Pustopo.” Sahut Rangga. Ia memajukan langkahnya ke depan.

             Tomy Huang mengernyitkan dahinya. Merasa ragu-ragu. Tapi kemudian ia tersenyum. Dia menyambut Rangga. Diajaknya pemuda itu mendekat ke mejanya.

             “So, we can make a deal now?”

             “Indeed!”

             Penasehat Tomy Huang menyodorkan map merah kepada majikannya. Map itu lalu dibuka lebar-lebar di hadapan Rangga. Barisan paragraf terpampang di sana. Tersedia juga kolom pengisian nominal uang. Rafael dan Bisma ikut melongokkan kepalanya.

             “Would you like to... ehm... lend me your pen?” 

             Tomy Huang menyibak jas abu-abunya. Tangannya merogoh bulpen di saku kemejanya. Di momen yang bertepatan, Rangga memicingkan matanya. Ia menelisik jauh ke balik jas yang tersibak itu. Gemericing logam yang saling terbentur menjadi perhatian telinganya.

             “Excuse me. Wait a second, I have to call someone. Something urgent.” Usai meraih bulpen dari Tomy Huang, Rangga ganti mengambil handphonenya. Ditekannya deretan angka.

             Sejenak suasana hening. Rafael dan Bisma hanya memasang muka pongo. Tomy Huang dan penasehatnya memerhatikan gerak-gerik Rangga yang masih sibuk menekan angka. Seluruh pengawalnya di ruangan itu juga melihati Rangga.

             Menjadi pusat perhatian, Rangga makin enak-enakan memainkan handphonenya. Dia lalu meletakkan ponselnya di telinganya. Hening. Rangga melirik ke sekeliling.

             When you treat me just like another stranger
             It’s nice to meet you, Sir!
             I guess I’ll go....

             Tiba-tiba lagu “Playing God” dari Paramore menggema. Seluruh orang menoleh ke satu sudut dimana dering handphone itu muncul. Salah seorang pengawal Tomy Huang yang juga ada di ruangan itu. Dia belingsatan. Tangannya merogoh sakunya dan hendak mematikan handphone itu.

             Rangga melirik tajam. Nomor Andin yang ia hubungi, malah laki-laki itu yang handphonenya berdering. Sudah ia duga, handphone Andin pasti dirampas ketika bertelpon dengannya tadi.

             Seluruh pasang mata masih tertuju pada pengawal yang berdiri di depan dinding itu. Tanpa dinyana, dan dengan sekonyong-konyong, Rangga tiba-tiba melompat ke atas meja. Dengan cepat tangannya membuka kemeja Tomy Huang lalu menyabet kunci yang menggantung di baliknya.

             Tomy Huang jatuh terjengkang ke lantai. Rangga menggulingkan tubuhnya. Bisma dan Rafael dengan sigap berlari ke arah Rangga. Namun baru setengah jalan, sebuah moncong pistol telah menempel di kepala Rangga.

             “Stop!!” perintah penasehat Tomy Huang. Tangannya mengacungkan pistol ke kepala Rangga.

             “You stop!!!” teriak Bisma.

             Seluruh orang membelalakkan mata melihat Bisma juga menodongkan pistol ke kepala Tomy Huang yang masih duduk di lantai.

             Rangga dan Rafael mangap. Penasehat Tomy Huang menatap tajam ke arah Bisma. Dan Bisma balas memberinya tatapan penuh teror. Lagi-lagi suasana menjadi hening. Seluruh orang memasang wajah tegang melihat adegan saling todong pistol itu.

             “Drop your gun!!” bentak Bisma. Moncong pistolnya makin menekan kepala Tomy Huang.

             Penasehat Tomy Huang mendengus. Tangannya makin erat memegang gagang pistol. Rangga memandangi Bisma cengo. Dalam hati dia menangis. Sekali tarik, kepalanya akan hancur.

             Tanpa diduga, Tomy Huang mengayunkan tangannya. Memberi isyarat pada penasehat kepercayaannya itu untuk menurunkan pistol.

             Rangga menghela nafas lega. Begitu moncong pistol lepas dari kepalanya, dia langsung berlari ke balik Bisma. Penasehat Tomy Huang juga menarik tangan bosnya untuk menjauh dari hadapan Bisma. Di saat yang bersamaan, seluruh orang di ruangan itu mengeluarkan pistol dan menodongkannya ke arah Rangga, Rafael, dan Bisma.

             Mampus!!

             “Wo dang zhi dao zhe dian zhong! Ni shi bu Mr. Suryo! (Mestinya aku tahu dari awal, kamu bukan Pak Suryo)!!” bentak Tomy Huang penuh amarah.

             Rangga, Rafael dan Bisma masih awas menatap pistol-pistol di hadapannya. Jantungnya berdebar kencang seperti detik-detik akan dihukum pancung. Bisma juga mulai lunglai memegangi pistolnya.

             “Ji Zun!! Ta men shi shei a (Ji Zun! Mereka siapa, sih)?!!” tanya Tomy Huang pada penasehatnya.

             “Wo bu zhi dao a. Ta shuo ta shi Mr. Suryo (Saya tidak tahu. Dia bilang dia adalah Tuan Suryo).”

             “Zhe shi zhen de ma?!! Ta shou huang! Ni shi fan ren!! (Beneran?!! Dia itu bohong! Goblok kamu)!!”

             Bisma dan Rangga gantian menatap Tomy Huang dan penasehatnya. Menyimak pembicaraan keduanya dengan muka bego.

             “Coh! Mereka ngomong apa?!!” bisik Rangga pada Rafael.

             “Mereka udah tahu kalo loe bukan Om Suryo!”

             “Terus ini gimana?!!” sahut Bisma. Matanya mulai berkunang-kunang melihat pistol berjajar di depannya.

             Rafael dan Rangga diam. Peluh dingin mulai bermunculan. Ditambah mereka mulai sadar kalau Reza dan Ilham telah tiada. Mampuuuusss.... Mereka pasti mati duluan.

             “Woooy! Malah diem!! Ini gimana?!!”

             “Sssst! Loe todongin aja pistol loe! Takut-takutin!!”

             “Iye, sampe kapan?!! Ni pistol punya sutradara, kagak ada pelurunya!! Kalo mereka tahu, kita bakal mati!!”

-----------------------

BERSAMBUNG KE PART 19

1 komentar:

  1. Kak Ariek bisa bahasa mandarin? fasih banget kayaknya wkwkwkk

    BalasHapus