Title : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season : 2
Author : @ariek_andini (adm4)
Genre : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...
Awas! Nih cerbung imajinasinya kemana-mana.... -___-
-----------------------
Awas! Nih cerbung imajinasinya kemana-mana.... -___-
-----------------------
“Elu, sih! Orang
kagak pesen pizza malah dipaksa-paksa. Sini gue aja yang telpon!!” ucap Ilham.
“UDAH! UDAH!!”
Rangga merebut teleponnya. Bukannya dapat alamat, yang ada omongannya malah
kemana-mana. Bisa ditebak, Ilham pasti habis ini akan berpura-pura sebagai ahli
silat yang mau ikut gabung jadi anak buahnya Tomy Huang.
“Langsung aja
berpura-pura jadi Om Suryo!” ucap Rafael.
“Tapi, kalau dia
sadar suara gue bukan suara Om Suryo, dia bakal curiga.” ucap Rangga ragu.
“Emangnya dia
udah pernah ngomong sama Om Suryo?”
Rangga terdiam. Benar juga. Selama
tidak dicoba, tidak akan tahu. Lalu Rangga mulai menelepon si Tomy Huang. Kali
ini dengan meminjam handphone Rafael.
“Who is there?!!” suara bentakan
langsung menyambut Rangga begitu teleponnya diangkat. Ajib, dia pasti senewen
gara-gara Reza tadi.
“I am Suryo Pustopo. Are you
Mister... Tom... Tomy Huang?”
“Ooooh! Dui! Dui! Mr, Suryo! Wo
shi Tomy Huang. Ni hao ma?”
Mampus! Kenapa berubah jadi bahasa
China??
“Wo deng dai nin a. Ke shi, wo zhi
dao, nin hen mang, dui bu dui a (Saya menunggu Anda. Tapi, saya tahu, Anda pasti
sibuk, benar kan)?”
“.....Aaahahahaha!” Rangga tertawa.
Dia lalu melirik Rafael dengan tatapan dia-ngomong-bahasa-planet-mana.
“Suo yi, zhen me yang? You might
be interested with our enticement, shi ma (Jadi, Bagaimana? Anda pasti tertarik
dengan tawaran kami, iya kan)?”
“Ah.... Yes... yes...”
“That idea will be profitable for
your company. If we can work together. Wo men hen gao xing a. Hahaha! Huan ying
lai, Mr. Suryo... (Ide ini akan menguntungkan perusahaan Anda. Jika Kita bisa
bekerja sama, kami sangat senang. Hahaha! Selamat bergabung, Pak Suryo)”
“Yes.... Yes....”
Seluruh orang di dalam mobil
melirik Rangga dengan dahi berkerut. Sedari tadi Rangga hanya bilang yes dan
yes. Emangnya dia lagi ngomong apaan sama si Tomy Huang?
“I will delay my departure. I
thought I can’t make agreement with you. Aaahhh.... nin wang le a.... It’s just
my stupid opinion. Now, let’s have a meeting, Mister. When I can come to your
office to take the signature?”
“No need to come to my office.
I’ll come to your office.” Jawab Rangga.
“Pardon me, Sir?”
“I will come to your office right
now. We can make a deal soon. Now, tell me where are you?”
“Wait, Sir! Wait! Excuse me! Nin
ye xia jiang dao wo men de @#GH#%^...$%K^...”
Rangga menjauhkan handphone dari
telinganya. Setelah mendengar bahasa planet ala Reza, kini dia dipaksa
mendengar bahasa madura ala Tomy Huang. Rasanya seperti ada laler masuk ke
dalam telinganya dan berdenging di sana.
“Do you wanna work together with
me or not?!!” pungkas Rangga gregetan.
“Zhe shi fa kuan!! Wo yao! Ni bu
hen sheng qi la... Wo zhu zai Tanjung Priok. Hou lai, nin xia jiang.....”
“Don’t go anywhere!” potong
Rangga.
Tuut... tuut... tuut....
Rangga menghela nafas panjang.
Ditutupnya teleponya. Handphone Rafael terjatuh ke pangkuannya. Hanya dua menit
lima belas detik, tapi sudah cukup membuatnya mual dan ingin main kungfu ala
jet li.
“Loe kenapa, sih?!” tanya Rafael.
“Nanti... yang ngomong sama dia...
loe aja. Gue kagak ikut!” ucap Rangga tak tahan.
“Terus, dia sekarang di mana?” tanya Reza.
“Tanjung Priok!” jawab Rangga
singkat. Dari sekian kalimat mandarin yang diucapkan orang itu, hanya ‘Tanjung
Priok’ yang mampu tertangkap oleh telinga Rangga. Sisanya udah kayak lirik
lagu-lagu imlek.
“Dia ngapain di Tanjung Priok?”
“Kagak tahu. Makanya gue curiga.
Buruan cepetin mobilnya!”
Malam-malam di pelabuhan, kali aja
mau nyebur ke laut terus renang ke Hongkong.
“Bentar! Bentar! Ini sebenarnya
kita mau ngapain sih?!! Ngapain ke Tanjung Priok segala!!? Buruan balik ke
rumah sakit! Nasinya udah ditunggu Om Panchunk!!” teriak Bisma.
Tak ada yang menyahutnya. Mobil
semakin kencang melaju menuju Jakarta Utara.
“Woooooy!!”
Tiba-tiba HP Bisma berdering. Dalam
kondisi tubuh terjepit Reza dan Ilham, Bisma berusaha mengangkat teleponnya.
“Halo?!! Bisma?!! Dimana?! Ini udah mau jam sepuluh, nasinya udah dapat
apa belum?!!”
“Om??!” teriak Bisma pada Om
Panchunk.
“Kamu dimana?!!”
“Aku sama anak-anak lagi nyusul
Andin. Ini sekarang di....”
Gedubrakk!!
Tuut... tuut... tuut....
Ilham menjepit leher Bisma dengan
lengannya yang kekar. Sementara Reza merebut handphonenya dan mematikan
telepon. Bisma berontak. Kakinya menendang-nendang. Ilham semakin kencang
mencekiknya. Reza lalu membantu adiknya dengan memegangi tangan Bisma.
“Bego, loe!!!”
“Aaaaaaaghr!”
“Ngapain loe lapor ke Om
Panchunk??!”
“Biar kalian tau rasa! Kampret!!
Adaaaww!!”
Di jok depan, Rafael dan Rangga
menepuk jidat. Reza, Ilham dan Bisma saling tindih seperti ulet daun. Ribut dan
saling mencekik. Sesekali tempat duduk Rangga kena tendang kaki Bisma. Rangga
menghela nafas. Menahan diri untuk nggak mengambil tali di bagasi belakang lalu
mengikat Bisma kencang-kencang.
Butuh waktu setengah jam plus
berjuangan berdarah-darah untuk sampai di pelabuhan. Masing-masing kecapean
gara-gara sibuk menenangkan Bisma. Mereka berhenti di pintu masuk menuju Pelabuhan
Tanjung Priok. Truk-truk besar berbaris panjang. Kontainer besi memenuhi sisi
jalan yang lain.
“Terus, sekarang gimana?” tanya
Rafael. Dia bingung, haruskah memasukkan mobil ke dalam, atau tetap di sini.
Kalau masuk ke dalam, salah-salah mereka diangkut ke dalam kapal.
“Loe serius dia ada di Tanjung
Priok?”
“Gue serius!! Tadi dia di telepon
bilang Tanjung Priok!” jawab Rangga.
“Ya, tapi mana dia?!!”
Tak ada jalan lain. Sekali lagi
Rangga menelepon orang bernama Tomy Huang itu. Deru truk yang menyalip mobilnya
membuat suasana bising dan mengganggu. Ia terpaksa mengeraskan suaranya untuk
bisa bicara dengan Tomy Huang.
“I’m ini Tanjung Priok right now!!
Where are you??!”
“I can’t hear you! What do you
say?!!”
“Tanjung priok!! I’m in Tanjung
Priok nooow!! Where are yoouuu???!!”
“Shen me? Excuse me??!”
“Budek banget sih lu?!! WHERE ARE
YOOOUUUU??!!!”
“Ooooh! Great, Sir!! My people
will pick you up now!! What car do you ride?!!”
Rangga diam sejenak, “BMW!! It’s
black! And.... it’s about twenty metres from the gate of Tanjung Priok!”
“Wo zhi dao! Nin deng dai. Wo
de......”
“STOP IT!! Once again you speak in
Chinese, I’ll cancel this meeting!!” ancam Rangga. Hatinya sudah tidak tahan.
Dia lalu mematikan telepon.
“Kok loe ngomong gitu?!! Kalo dia
curiga gimana?!! Mestinya loe pura-pura aja loe pinter bahasa Mandarin kayak Om
Suryo!” omel Reza.
“Bodo!!”
“Terus, dia bilang gimana?” tanya
Rafael.
“Katanya, dia mau nyuruh orang dia
buat nyusul kita ke kantornya.”
“Terus?” tanya Bisma.
“Ya kita berhasil nemuin dia!!”
“Terus?”
“..........”
Rangga menatap Bisma. Bisma juga
menatap Rangga. Terus.... iya terus gimana? Setelah bertemu pemilik manajemen
palsu itu, terus apa yang akan mereka lakukan? Bertemu dengannya, lalu bicara
baik-baik ingin menemui Andin dan mengajaknya pulang? Begitu?
Seluruh mata tertuju pada Rangga.
Menunggu jawaban atas pertanyaan singkat Bisma. Suasana mendadak hening. Lampu
depan truk yang kebetulan menyalip, menembus lewat kaca mobil.
“Ngga?!! Loe tahu abis ini mau
gimana kan?” tanya Rafael membangunkan Rangga, karena yang ditunggu-tunggu dari
tadi hanya melamun.
“Gue.....”
“Jangan bilang loe nggak punya
rencana!” Reza ikut menimpali.
Dan Rangga semakin terpojok.
Mukanya tegang kayak anak SD mau ujian nasional. Kelima kawannya yang lain
semakin dalam melihatinya.
“Kan!! Mampus kan!! Gue bilang
juga apa!! Eloooo siiiih!! Sok-sokan banget mau nyelametin Andin! Terus ini
gimana?!!” serang Bisma.
“Heh! Mulut loe kayak prosotan
TK!! Kalo loe yang ada di posisi gue, loe juga pasti bingung!! Bantuin mikir
kek!! Dari tadi masa gue terus yang ngasih ide?!!”
“Dari tadi gue udah ngomong! Balik
ke rumah sakit! Balik! Kalian-kalian aja yang nggak mau dengerin gue!”
“Udah! Udah!!” Rafael menengahi.
Sebelah tangannya mendorong muka Bisma menjauh.
“Yaudah! Kita putar balik aja!
Seengaknya kita udah tahu tuh penculik ada di pelabuhan! Kita pulang terus
lapor ke polisi!!” tambah Reza.
Rafael memutar kunci mobil. Mesin
menyala. Ia bersiap mengubah porsenelingnya. Kini Bisma bisa bernafas lega.
Akhirnya kawan-kawannya sadar dan mau pulang. Tapi keadaan berkata lain.
Tiba-tiba sebuah tangan mengetuk
kaca cendela mobil mereka. Seluruh orang terdiam. Mereka menatap awas ke luar
cendela. Sesosok pria berjaket hitam nampak berdiri di depan cendela mobil.
Siapa?
Rangga membuka kaca cendelanya.
“Apa Anda dari Pilar Sinema
Pictures?” tanya pria tinggi tegap itu.
Tak ada yang menyahut.
Masing-masing menatap pria itu dengan wajah tegang. Rafael pun urung
memundurkan mobilnya.
“Silakan ikuti kami.” Lanjut pria
itu. dia memberi kode pada kawannya yang berada di dalam mobil di depan sana
dengan mengangkat tangan. Pria itu lalu masuk ke dalam sebuah jip.
Tepat di belakang mobil Rangga,
jip yang lain juga berderu. Mereka bersiap berangkat. Tinggal menunggu mobil
Rangga yang sampai sekarang masih ngejogrog.
“Pelan-pelan! Mumpung mereka nggak
tahu, ayo langsung mundurin mobilnya!” bisik Bisma.
Tapi Rafael malah melajukan
mobilnya mengikuti jip di depannya.
“Loe ngapain?!!” sergah Bisma.
“Kita nggak bisa kemana-mana! Di
belakang juga ada. Kalo kita tiba-tiba kabur, mereka akan tahu.”
“Begitu belok, langsung aja injak
gas! mereka nggak bakal bisa ngejar!”
“Mereka ada empat mobil, Bis!”
sahut Rangga.
“Terus gimana?!! Kalo kita beneran
ketemu mereka, mereka akan curiga kalau kita bukan Om Suryo!!” kejar Bisma.
Bisikannya bercampur emosi. Di matanya, tingkah Rangga benar-benar kekanak-kanakkan.
Mendatangi penculik sendirian tak semudah di film-film action!!
Mobil melaju pelan. Jip yang
ditumpangi pria kekar itu membelok ke kawasan pabrik yang sudah lama tidak
dipakai. Dari sana, proses bongkar-pasang peti kemas yang sedang dilakukan di
Pelabuhan Tanjung Priok bisa terlihat.
Sambil memegang kemudinya, Rafael
melihati sekeliling. Terlihat suram dan horor. Sepanjang mata melihat, hanya
ada bangunan-bangunana tua yang sudah tidak berfungsi. Beberapa masih terlihat
karena lampu yang terpasang di sana, sisanya, gelap total.
Bisma merapatkan tubuhnya di
antara Reza dan Ilham. Seluruh orang hanya diam. Sibuk berprasangka. Terlebih
Rangga. Otaknya berkecamuk. Jika setelah ini yang dikhawatirkan Bisma beneran
terjadi, maka itu semua adalah salahnya. Karena sejak awal dialah yang
mati-matian ingin menyelamatkan Andin. Tapi jika sudah begini, harus gimana?
Nggak ada persiapan, nggak tahu apa-apa, tiba-tiba saja sudah sejauh ini.
Di tengah suasana yang sunyi dan
tegang, sebuah ringtone handphone berbunyi. Seluruh mata tertuju pada layar
handphone Rangga yang berkedip-kadip.
“Andiiin??!!” gumam Rangga kaget.
“Buruan angkat! Buruan angkat!!”
Rangga mengangkat teleponnya,
“Andin!!!”
“Rangga~...”
“Loe dimana?!!”
“Sesak....” Jawab
Andin. Suaranya sangat lirih, hampir saja tidak terdengar.
"Ndin?!!!"
"Ndin?!!!"
"Gue nggak bisa nafas..."
"Loe bilang ke gue loe dimana!?? Gue akan susul loe!! Loe dimana?!!"
BRUAKKK!
"Loe bilang ke gue loe dimana!?? Gue akan susul loe!! Loe dimana?!!"
BRUAKKK!
“Ndin..???”
“............”
“ANDIN!!!”
“...........”
Tuut... tuut... tuut...
Rangga mengocok-ngocok
handphonenya. Dipukul-pukulnya speakernya. Tapi nihil. Suara Andin menghilang
bukan karena sinyal yang lenyap. Tapi karena teleponnya memang diputus.
“Mati?” tanya Rafael.
“Dimatiin!” jawab Rangga.
Jip di depan mobil Rangga berhenti
di samping sebuah gedung. Dibanding gedung-gedung lainnya di kawasan itu,
gedung itu terbilang lebih terawat dan terang benderang. Tong-tong usang
berjajar di sekitar pintu masuk. Di sisi yang lain, peti-peti kayu ditumpuk sembarangan.
Pria kekar itu lalu keluar dari
mobilnya. Dia mendekati mobil Rangga. Di bawah cahaya lampu, makin jelaslah
perawakannya wajahnya yang tirus, rambut panjang sebahu, dan jaket kulit yang
resletingnya dibiarkan terbuka.
“Silakan....” ucapnya.
Menurut. Rangga keluar dari mobil
begitu saja. Nalurinya menggebu-gebu. Di dalam sana, di salah satu tempat,
pasti ada Andin. Menyusul kemudian, Rafael juga keluar dari mobil. Lalu Reza,
Ilham, dan terakhir Bisma.
Pria itu memberi kode untuk
mengikutinya ke dalam. Sangat sopan. Tindak-tanduknya sangat santun. Sejenak
mampu menghilangkan rasa takut yang sedari tadi mengganggu.
Sampai di dalam gedung, beberapa
orang nampak lalu lalang. Suasana benar-benar terlihat seperti kantor. Meski
terlihat janggal. Aktivitas kantor di jam sebelas malam tepat?
“Perasaan gue nggak enak...” bisik
Ilham pada abangnya. Matanya mengawasi tiap jengkal yang ia lewati. Begitu
bobrok untuk ukuran kantor manajemen. Ubin yang sudah kusam, dinding berlumut,
dan udara pengap menusuk hidung.
Ketika pria kekar itu menuntuk
Rangga, Rafael dan Bisma naik ke tangga, Ilham menarik tangan Reza ke dalam
sebuah tikungan gelap.
“Loe mau ngapain?” tanya Reza. Di
depannya, Ilham menuntunnya semakin meringsek ke dalam. Terdengar gemericik air
dari kejauhan. Udara semakin lembab.
“Gue curiga sama tempat ini.”
Bisik Ilham. Keduanya lalu sampai di sebuah ballroom yang sudah tak terpakai.
Meja dan kursi ditumpuk di satu sudut. Retakan memenuhi tiang-tiang lebar yang
berdiri di sana.
Sementara itu, Rangga, Rafael dan
Bisma yang telah sampai di lantai dua, diajak masuk ke dalam sebuah ruangan
yang hanya dibatasi sekat kaca tebal. Lima orang laki-laki berdiri di depannya
dengan setelan kemeja dan dasi. Di dalamnya, seorang laki-laki tua duduk di
depan meja kayu. Seorang laki-laki yang sama sipitnya dengan dia, berdiri di
sampingnya.
“Silakan masuk...” ucap pria kekar
itu sambil membuka pintu kaca.
Satu langkah masuk ke dalam,
Rangga terhenti. Matanya terbelalak. Jantungnya hampir saja copot.
Laki-laki itu? laki-laki tua
bermata sipit itu? bukankah dia yang ada di dalam mobil ketika Doni Sambara
menyerangnya di lokasi syuting dulu?!!
“Good night, gentleman...” sapa
laki-laki tua itu. Ia beranjak berdiri dan menghampiri Rangga, Rafael, dan
Bisma. Disalaminya satu per satu.
“I am Tomy Huang. Which one of you
is Mr. Suryo?”
Rafael, Rangga dan Bisma melongo.
Yang mana yang Om Suryo? Jadi, itu tua bangka tidak tahu Om Suryo?
“I am Suryo Pustopo.” Sahut
Rangga. Ia memajukan langkahnya ke depan.
Tomy Huang mengernyitkan dahinya. Merasa
ragu-ragu. Tapi kemudian ia tersenyum. Dia menyambut Rangga. Diajaknya pemuda
itu mendekat ke mejanya.
“So, we can make a deal now?”
“Indeed!”
Penasehat Tomy Huang menyodorkan
map merah kepada majikannya. Map itu lalu dibuka lebar-lebar di hadapan Rangga.
Barisan paragraf terpampang di sana. Tersedia juga kolom pengisian nominal
uang. Rafael dan Bisma ikut melongokkan kepalanya.
“Would you like to... ehm... lend
me your pen?”
Tomy Huang menyibak jas
abu-abunya. Tangannya merogoh bulpen di saku kemejanya. Di momen yang
bertepatan, Rangga memicingkan matanya. Ia menelisik jauh ke balik jas yang
tersibak itu. Gemericing logam yang saling terbentur menjadi perhatian
telinganya.
“Excuse me. Wait a second, I have
to call someone. Something urgent.” Usai meraih bulpen dari Tomy Huang, Rangga
ganti mengambil handphonenya. Ditekannya deretan angka.
Sejenak suasana hening. Rafael dan
Bisma hanya memasang muka pongo. Tomy Huang dan penasehatnya memerhatikan
gerak-gerik Rangga yang masih sibuk menekan angka. Seluruh pengawalnya di
ruangan itu juga melihati Rangga.
Menjadi pusat perhatian, Rangga
makin enak-enakan memainkan handphonenya. Dia lalu meletakkan ponselnya di
telinganya. Hening. Rangga melirik ke sekeliling.
When you treat me just like another stranger
It’s nice to meet you, Sir!
I guess I’ll go....
Tiba-tiba lagu “Playing God” dari
Paramore menggema. Seluruh orang menoleh ke satu sudut dimana dering handphone
itu muncul. Salah seorang pengawal Tomy Huang yang juga ada di ruangan itu. Dia
belingsatan. Tangannya merogoh sakunya dan hendak mematikan handphone itu.
Rangga melirik tajam. Nomor Andin
yang ia hubungi, malah laki-laki itu yang handphonenya berdering. Sudah ia
duga, handphone Andin pasti dirampas ketika bertelpon dengannya tadi.
Seluruh pasang mata masih tertuju
pada pengawal yang berdiri di depan dinding itu. Tanpa dinyana, dan dengan
sekonyong-konyong, Rangga tiba-tiba melompat ke atas meja. Dengan cepat
tangannya membuka kemeja Tomy Huang lalu menyabet kunci yang menggantung di
baliknya.
Tomy Huang jatuh terjengkang ke
lantai. Rangga menggulingkan tubuhnya. Bisma dan Rafael dengan sigap berlari ke
arah Rangga. Namun baru setengah jalan, sebuah moncong pistol telah menempel di
kepala Rangga.
“Stop!!” perintah penasehat Tomy
Huang. Tangannya mengacungkan pistol ke kepala Rangga.
“You stop!!!” teriak Bisma.
Seluruh orang membelalakkan mata
melihat Bisma juga menodongkan pistol ke kepala Tomy Huang yang masih duduk di
lantai.
Rangga dan Rafael mangap.
Penasehat Tomy Huang menatap tajam ke arah Bisma. Dan Bisma balas memberinya
tatapan penuh teror. Lagi-lagi suasana menjadi hening. Seluruh orang memasang
wajah tegang melihat adegan saling todong pistol itu.
“Drop your gun!!” bentak Bisma.
Moncong pistolnya makin menekan kepala Tomy Huang.
Penasehat Tomy Huang mendengus.
Tangannya makin erat memegang gagang pistol. Rangga memandangi Bisma cengo.
Dalam hati dia menangis. Sekali tarik, kepalanya akan hancur.
Tanpa diduga, Tomy Huang
mengayunkan tangannya. Memberi isyarat pada penasehat kepercayaannya itu untuk
menurunkan pistol.
Rangga menghela nafas lega. Begitu
moncong pistol lepas dari kepalanya, dia langsung berlari ke balik Bisma.
Penasehat Tomy Huang juga menarik tangan bosnya untuk menjauh dari hadapan
Bisma. Di saat yang bersamaan, seluruh orang di ruangan itu mengeluarkan pistol
dan menodongkannya ke arah Rangga, Rafael, dan Bisma.
Mampus!!
“Wo dang zhi dao zhe dian zhong!
Ni shi bu Mr. Suryo! (Mestinya aku tahu dari awal, kamu bukan Pak Suryo)!!”
bentak Tomy Huang penuh amarah.
Rangga, Rafael dan Bisma masih
awas menatap pistol-pistol di hadapannya. Jantungnya berdebar kencang seperti
detik-detik akan dihukum pancung. Bisma juga mulai lunglai memegangi pistolnya.
“Ji Zun!! Ta men shi shei a (Ji
Zun! Mereka siapa, sih)?!!” tanya Tomy Huang pada penasehatnya.
“Wo bu zhi dao a. Ta shuo ta shi
Mr. Suryo (Saya tidak tahu. Dia bilang dia adalah Tuan Suryo).”
“Zhe shi zhen de ma?!! Ta shou
huang! Ni shi fan ren!! (Beneran?!! Dia itu bohong! Goblok kamu)!!”
Bisma dan Rangga gantian menatap
Tomy Huang dan penasehatnya. Menyimak pembicaraan keduanya dengan muka bego.
“Coh! Mereka ngomong apa?!!” bisik
Rangga pada Rafael.
“Mereka udah tahu kalo loe bukan
Om Suryo!”
“Terus ini gimana?!!” sahut Bisma.
Matanya mulai berkunang-kunang melihat pistol berjajar di depannya.
-----------------------
BERSAMBUNG KE PART 19
Rafael dan Rangga diam. Peluh
dingin mulai bermunculan. Ditambah mereka mulai sadar kalau Reza dan Ilham telah
tiada. Mampuuuusss.... Mereka pasti mati duluan.
“Woooy! Malah diem!! Ini
gimana?!!”
“Sssst! Loe todongin aja pistol
loe! Takut-takutin!!”
“Iye, sampe kapan?!! Ni pistol
punya sutradara, kagak ada pelurunya!! Kalo mereka tahu, kita bakal mati!!”
BERSAMBUNG KE PART 19
Kak Ariek bisa bahasa mandarin? fasih banget kayaknya wkwkwkk
BalasHapus