5 November 2014

[Cerbung SMASH] "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" SEASON 2 / Part 19

Title          : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season    : 2
Author       : @ariek_andini (adm4)
Genre        : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast          : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...

Efek mahasiswa kebanyakan acara.... organisasi dan kuliah mengepung... hobi nulis cerbung jadi terkurung... ceilahhh... sorry guys for being late... in the end, happy reading ajahhh,,,,

----------------------

             “Woooy! Malah diem!! Ini gimana?!!”

             “Sssst! Loe todongin aja pistol loe! Takut-takutin!!”

             “Iye, sampe kapan?!! Ni pistol punya sutradara, kagak ada pelurunya!! Kalo mereka tahu, kita bakal mati!!”

             “Ya jangan sampek mereka tahu!!” balas Rafael.

              “We know everything about you! Now, give it up!!” ancam Rangga. Tiba-tiba saja suaranya terdengar berwibawa ala detektif mau membongkar kasus pembunuhan. Rafael dan Bisma menatapnya penuh tanda tanya.

             “Bi zui (diam)!!” bentak Tomy Huang.

             “Ni ye bi zui, kong long (Loe aja yang diem, Badak aer)!!” Rafael balas membentak.

             “SHEN ME?!!” Tomy Huang melototkan matanya yang sipit. Tangannya berkacak pinggang.

             “Loe ngomong apaan kok dia tambah marah?” bisik Rangga.

             “Gue katain dia badak aer.” Jawab Rafael.


             “CHING CHONG YAU LU SHIO MONG CHONG!! SHIANG CHONG KING KONG LU PA SHAO MONG!! HA? LING CHING HONG NI SHIONG HONG KONG!!”

             Tiba-tiba saja Bisma membentak-bentak Tomy Huang dan pengawal-pengawalnya dengan bahasa acak adul dengan kecepatan 180 kilometer per jam. Cepet banget. Tapi tak seorangpun mengerti apa yang dia omongin. Tangannya menuding-nuding ke depan. Rafael dan Rangga melongo. Tuh bocah ngomong bahasa China model apaan?

             “Get them!!!!” teriak penasehat Tomy Huang.

             “Laarriiiiiiiiiiiii!!!!!!”

             Serta merta Rafael, Rangga dan Bisma berlari tunggang langgang keluar ruangan. Lima orang pengawal Tomy Huang yang ada di ruangan itu mengejar mereka. Satu letusan pistol terdengar dari dalam. Beruntung meleset. Peluru itu menerjang dinding sampai berlubang. Rangga, Rafael dan Bisma berlari membungkuk-bungkuk. Hampir saja jatuh menggelinding ketika menuruni tangga.

             “Elo ngomong apan sih tadi?!!!” teriak Rangga sambil berlari.

             “Gue juga kagak ngerti gue ngomong apaan!!!” balas Bisma.

             “Kampret loe!! Makin belibet nih urusannya!!” omel Rafael.

             “Ya lagian!! Masa gue doank yang nggak ngerti!! Gue kan juga pengen ikut ngomong!!!”

             Kalo nggak sedang dikejar penjahat berpistol, dijamin saat itu Bisma habis dicekek oleh Rangga dan Rafael. Nggak bisa ngomong bahasa China, sok-sokan banget ikut ngomong. Yang ada malah kayak orang madura belajar bahasa tagalog.

             “Lewat siniiii!!!” teriak Rangga.

             Ketiganya berlari ke dalam lorong-lorong gelap di dalam gedung itu. Lima orang pengawal Tomy Huang yang mengejar mereka mulai berlipat menjadi lima belas orang. Beberapa membawa pistol, sementara sisanya membawa palu, pentungan kayu, sampai kursi plastik.

             Rafael meraih kursi kayu rapuh yang tersandar di lorong. Dengan sekuat tenaga dilemparnya ke arah orang-orang itu. Rangga juga meraih kusen pintu yang hampir terlepas dari dinding. Dilemparnya ke arah orang-orang yang mengejarnya. Seseorang ada yang kena. Dia terjatuh.

             Bisma ikut-ikutan. Dilemparnya pistol yang ada di tangannya ke jidat salah satu penjahat itu.

             “Yeeeaaahhhh!!!”

             “Ngapain loe lempar pistolnyaaa???!!!! Kita nggak punya senjata lagiiii buat nakut-nakutin merekaaaa!!!” teriak Rafael.

             “Oh, iya juga, ya...” gumam Bisma.

             “Sotoooong!!! Gue telen juga loe idup-idup!!!”

             Kini sepenuhnya Rafael, Rangga dan Bisma hanya bisa berlari dan berlari. Sesekali letusan pistol terdengar dari belakang. Suasana terasa mencekam. Derap kaki pengawal Tomy Huang yang mengejar semakin memacu Rangga, Rafael dan Bisma berlari makin kencang. Tiap bertemu anak tangga, mereka langsung naik. Entah udah berapa lantai mereka jabanin. Yang jelas, mereka mulai terpojok.

             “Gue.... gue udah nggak kuat!” kata Rangga. Nafasnya kembang kempis. Tubuhnya mulai lemas.

             “Ini kita kemana?!!!” teriak Bisma.

             Rafael turut menghentikan larinya. Tangannya menyandar pada dinding. Tak hanya Rangga, dia juga mulai tidak kuat. Keringat sebesar biji jagung memenuhi dahinya. Buntu. Tak tahu lagi harus kemana. Matanya menyapu seluruh lantai yang kosong melompong itu.

             “Ke sini!! Cepetan!!” seru Rafael. Di saat tersudut seperti ini, bersembunyi adalah pilihan paling tepat.

             Bisma dan Rangga berlari mengikutinya. Ketiganya masuk ke dalam sebuah ruangan gelap gulita. Rafael menutup pintu. Melalui lubang kunci, matanya mengintip ke luar. Derap lari pengawal-pengawal Tomy Huang mulai terdengar mendekat.

             “Ini tempat apaan?!” gerutu Bisma sambil menjepit kedua lubang hidungnya.

             Rangga menyalakan handphonenya. Diarahkannya cahaya ponselnya ke dalam ruangan. Ia ikut-ikutan menutup hidung.

             “Kampret!!” umpat Rangga begitu tahu tempat yang ia gunakan untuk sembunyi sekarang adalah toilet yang sudah tak terpakai. Aroma tak sedap menusuk dari segala arah. Jamur dan lumut makin membuat mata kriyep-kriyep.

             “Pinter banget loe Coh kalo nyari tempat sembunyi!” sindir Rangga.

             “Diem loe!! Kalo nggak mau, keluar aja sono! Biar abis dikeroyok sama mereka!!” balas Rafael.
            
             “Ini loe duluan yang mulai!! Ngapain sih tadi loe pakek nyekek Tomy Huang segala!” protes Bisma.

             “Gue nggak nyekek dia! Gue cuman ngambil ginian!!” bela Rangga sambil mengangkat kunci-kunci yang terikat menjadi satu.

             “Itu kunci apaan?!!”

             “Gue juga nggak tahu.”

             Njirr!!

             “Rangga!! Matiin HP loe!!” perintah Rafael.

             “Gelap, Coh!”

             “Kita bisa ketahuan!! Cepetan matiin!!”

             “Gue mau nelpon bantuan!!”

             “Nelponnya ntar aja! Yang penting sekarang matiin HP loe!! Mereka udah di sana!!”

             “Ya tapi....”

             PRAKKKK!!!!

             Tiba-tiba sebuah golok menembus pintu yang dipegang Rafael. Rafael melompat ke belakang. Terlambat satu jengkal saja, tenggorokannya bisa sobek. Perlahan golok tajam itu ditarik ke belakang. Lalu dihunuskan lagi ke depan hingga membentuk lubang memanjang di pintu. Ditarik lagi, lalu dihunuskan lagi.

             Rafael, Rangga dan Bisma menahan nafas. Keduanya menatap pintu yang dipenuhi lubang golok itu dengan mata tak berkedip. Bingung. Entah harus lari kemana lagi.

             Tiba-tiba Rangga meringsek ke dalam kakus. Sekian detik ia berada di dalam. Saat ia keluar, tangannya telah memondong sebuah kloset usang.

             “Ambil apapun yang bisa dipake buat mukul mereka!!” ucap Rangga. Ia lalu berdiri di samping pintu. Matanya awas. Mewanti-wanti jika sewaktu-waktu pintu dibuka.

             Rafael dan Bisma menurut. Rafael menjebol pintu kloset yang sudah karatan. Sementara Bisma mencabut pipa air yang terpasang di bawah wastafel. Keduanya ikut berbaris di samping pintu. Fix, ketiganya udah kayak tukang service toilet.

             Preman-preman itu mulai menghentikan aksinya menghunuskan golok. Sunyi. Tak ada lagi suara terdengar dari luar. Mereka sudah pergi?

             Rafael, Rangga dan Bisma menghembuskan nafas lega. Mereka mulai menurunkan senjata abal-abal yang mereka pegang. Tapi tiba-tiba pintu didobrak. Dua buah golok melayang ke dalam.

             “SEKARAAAANNGG!!!” teriak Rafael. Dihantamkannya pintu yang ia pegang tak tentu arah. Beberapa orang roboh. Ia lalu berlari keluar toilet sekencang-kencangnya. Rangga dan Bisma mengikutinya di belakang.

             Baru tiga meter menjauh, segerombol pengawal Tomy Huang menghadang. Rangga membanting-bantingkan kloset sejadinya. Bisma membantunya dari belakang. Pipa besinya mengayun-ayun di udara. Satu-dua orang berhasil mereka jatuhkan. Sisanya, berhasil berkelit. Rangga dan Bisma menghunuskan kloset dan pipa seperti emak-emak ngusir laler, sama sekali nggak terarah. Hingga keduanya kecapean sendiri. Tangan mereka lunglai.

             Tepat saat Rangga mulai kehilangan tenaga, sebuah tendangan menghantam perutnya. Rangga jatuh tersungkur.

             “Ranggaaaaaa!!!”

             Seorang laki-laki mendekat. Langkah demi langkah menghampiri Rangga yang terkulai di lantai. Rangga meringis. Tangannya meremas ulu hatinya yang ngilu. Saat ia menengadah ke atas, ia tertegun.

             “Kita ketemu lagi, hm?” sapanya dengan senyum mengerikan.

             Rangga merasakan jantungnya berhenti berdetak. Doni... Sambara? Laki-laki yang menyerangnya dulu di lokasi syuting?

             Doni meluruskan moncong pistolnya ke dahi Rangga. Telunjuknya mulai menarik pelatuk. Sepersekian detik, tiba-tiba seseorang menendang kepalanya. Doni terpelanting ke samping. Pistolnya terlempar.

             “Lariiii!!!” teriak Ilham. Ia memasang kuda-kuda di depan Rangga. Dua orang mendekat, seketika ia libas sampai habis.

             Dengan kaki gemetaran, Rangga bangkit. Jantungnya berdegub seperti beduk masjid. Kaget. Ia mengusap dahinya. Ia kira peluru Doni sudah bersarang di sana, beruntung Ilham datang tepat waktu.

             Di sisi yang lain, Reza berkelahi membelakangi Bisma yang juga terpojok. Bisma berlari menghindar. Ia menghampiri Rangga dan bersembunyi di belakangnya.

             “Tuyul!! Ngapain loe malah sembunyi! Bantuin Reza!!” bentak Rangga.

             Nafas Bisma tersengal-sengal, “Gue... kalah jumlah!”

             “Loe kan pinter berkelahi sambil breakdance!!”

             “Itu pas syuting doank!!!!”

             Tiba-tiba Ilham menyabet tangan Rangga dan Bisma, “Lariiiii!!!”

             Rafael dan Reza mendahului berlari ke lantai bawah. Rangga dan Bisma menurut. Sekali lagi mereka main uber-uberan di gedung tua itu. Di belakang sana, satu per satu pengawal Tomy Huang ikut mengejar.

             Reza dan Ilham menggiring ketiga kawannya masuk ke dalam lorong sempit dan gelap. Tiap mereka menghentakkan kaki, kecipak air terdengar. Panjang dan meliuk-liuk. Rangga hanya bisa meraba dinding lorong agar memastikan ia tidak menabrak pas lari.

             Pelarian mereka berakhir pada sebuah gudang yang sangat luas. Balok-balok kayu bertumpuk. Lantainya dipenuhi pasir pantai yang bercampur dengan ampas kayu. Di sisi yang lain, sebuah gergaji mesin teronggok.

             Ilham mengambil sebuah galah kayu. Dipalangkannya pada pintu untuk menahannya.

             “Ini apa?” tanya Rangga. Matanya menerawang gudang remang-remang itu. Sebuah lampu pijar menggantung di tengah. Memunculkan suasana temaram yang sudah lama tak tersentuh.

             “Jadi dari tadi kalian ngilang, kalian sembunyi di sini?” tanya Rafael.

             “Bukan sembunyi...” jawab Ilham singkat. Dia berjalan memimpin ke depan. Membelok-belok di antara tumpukan balok kayu yang menjulang tinggi, “Andin di sini!”

             “HAH!!!”

             “Di sini!!” Ilham menuntun kelima kawannya ke depan sebuah peti kontainer. Sebuah gembok besar menggantung di pintunya.

             Rangga menatap peti kontainer yang teronggok di tengah gudang itu dengan mata lebar. Sebuah peti kontainer yang berselubung lapisan besi. Begitu kokoh dan dingin. Menjulang ke atas hingga hampir mencapai genting gudang.

             Seratus persen tak bisa dipercaya. Rangga sama sekali membisu di depan peti besi itu. sulit baginya untuk menangkap maksud Ilham. Hingga kemudian Ilham mengetuk peti itu dengan batu, lalu memanggil nama Andin dengan lirih. Rangga terhempas.

             “Andin?!”

             “Ham! Loe kembali?!!”

             “Loe baik-baik aja di dalam?”

             “Iya, kita baik-baik aja!”

             “Gue sekarang sama Rangga!”

             “eh?”

             Ilham memundurkan langkahnya. Memberi ruang pada Rangga untuk mendekat.

             “Ndin?” Rangga melantunkan nama Andin gamang. Wajahnya hampir bersentuhan dengan dinding kontainer. Hanya berjarak dua jengkal dari Andin. Tapi sedikitpun ia tak dapat melihat wajah Andin.

             “Loe di dalam?” Rangga melanjutkan kalimatnya

             “Rangga....”

             “Loe ngapain di dalam?”

             “Loe pikir gue ngapain lagi di sini?!” omel Andin mendengar pertanyaan Rangga. Jelas-jelas disekap di dalam peti, dia pikir ngapain lagi?

             “Ya, makanya gue nanya! Loe ngapain?!! Udah gue bilang jangan pergi, kenapa loe nggak nurut?!!”

             “Loe pikir dengan ngomelin gue begitu semuanya akan selesai?!! Ini bukan waktu yang tepat! Cepat keluarin gue dari sini!!”

             Rafael, Bisma, Ilham dan Reza bengong. Keempatnya ngelihatin Rangga dari belakang. Di saat genting kayak gini, masih sempet-sempetnya tuh dua orang orang ribut.

             Rangga berdecak. Ia membalikkan badannya. Matanya mencari-cari sesuatu di penjuru gudang. Dia lalu mengambil bongkahan kayu yang tergeletak tak jauh di sana. Langkahnya tegas. Tangannya menggenggam kuat. Dalam hati dia merutuk. Memasukkan manusia ke dalam peti kontainer? Mereka pikir Andin binatang?

             “Ndin!! Menjauh!”

             BANG!!!

             Besi dan kayu beradu. Suara dentuman bak ledakan bom dari kejauhan memekakkan telinga. Tak ada perubahan. Sekali lagi Rangga mengayunkan kayunya. Dalam hati berhitung sampai tiga, lalu memukul gembok besi itu dengan tenaga penuh.

             Nihil. Gembok besi itu hanya bergoyang. Rangga menghirup nafas dalam. Hanya dua pukulan, tapi cukup membuat dadanya kembang kempis.

             Rangga melempar kayu di tangannya ke tanah. Matanya liar mencari benda lain di dalam gudang. Sesuatu yang lebih kuat dibanding kayu. Sesuatu yang bisa meremukkan gembok bangsat itu!

             “Rang?”

             “Sebentar.”

             “Nggak bisa, ya?”

             “Kayunya nggak kuat, gue mau nyari cara lain.”

             “Kayunya yang nggak kuat, apa loe yang nggak kuat?”

             “Loe mau ditolongin nggak?!!” Rangga mulai naik pitam. Disekap, masih sempet-sempetnya tuh cewek ngeledekin orang.

             Rangga berlari menjauh. Berputar-putar mencari sesuatu. Rafael, Bisma, Reza, dan Ilham turut bergerak. Mereka berpencar mengelilingi gudang tua itu. Aroma kayu menyengat hidung. Mata dipaksa terbuka di tengah pemandangan yang temaram oleh lampu pijar.

             “Rangga! Ini!!” teriak Rafael.

             Rangga menoleh. Dilihatnya Rafael menuding sebuah gergaji mesin tua yang tergeletak di samping tumpukan balok kayu. Rangga berlari menghampiri. Bisma dan Ilham ikut mendekat. Bersama-sama keempatnya menendangi besi tua itu hingga terlepas.

             Berbekal sebatang besi, Rangga kembali mencoba membuka gembok peti besi. Pukulan pertama, gembok hanya bergoyang. Hanya suara berdentang yang sangat kencang yang mengisi udara. Pukulan kedua, kali ini dengan tenaga penuh. Peluh dingin sampai membutir di dahinya.

             TRANGG!!!

             Suara besi beradu. Gembok masih mengunci rapat.

             “Aaaaaaaghrr!!!”

             Setengah putus asa. Rangga memukul-mukulkan besi di tangannya berkali-kali. Tanpa arah. Berselimut emosi. Dirinya merasa dipermainkan oleh sebandul gembok nista.

             “Sini, biar gue!” sela Ilham. Direbutnya besi tua itu dari tangan Rangga. Ilham memundurkan langkahnya. Dipukulnya ke arah yang sama. Rangga memandanginya penuh harap.

             Tapi, masih nihil. Hasil yang sama. Gembok itu hanya bergetar sama seperti Rangga memukulnya sebelumnya.

             Suara derap kaki bergemuruh dari balik pintu gudang. Pintu digedor-gedor. Rangga, Rafael, Bisma, Reza dan Ilham menoleh. Bingung bercampur kaget. Anak buah Tomy Huang telah berhasil menyusul.

             “Masih nggak bisa ya, Rang?”

             Suara Andin terdengar dari balik peti. Hampir tenggelam di tengah teriakan-terakan anak buah Tomy Huang.

             “Mestinya loe nggak di sini.” ucap Rangga.

             “..........”

             “Gue udah bilang berkali-kali jangan ikut pelatihan palsu itu! Gue udah bilang mereka penipu! Kapan loe mau dengerin gue?!!”

             “Kenapa harus selalu gue yang dengerin loe?!!” Andin tak kalah kencang membentak.

             Rangga terdiam. Telapak tangannya meraba permukaan peti.

             “Ndin....”

             Rafael, Reza, Ilham dan Bisma berlari mendekati pintu gudang. Bersama-sama keempatnya menarik sebuah balok kayu untuk menahan pintu.

             “Masih kurang!!”

             “Di sana!!”

             “Tahan! Tarik!!”

             Dua balok kayu mengganjal pintu. Semakin kuat menahan, semakin besar pula dorongan dari anak buah Tomy Huang.

             “Loe bener. Kenapa harus loe yang dengerin gue?” Rangga memadukan dahinya pada dinding kontainer, “Gue yang selalu menuntut loe macem-macem. Gue yang egois. Maaf.”

             “Rang...”

             “Nggak! Gue tahu! Yang selama ini membuat hubungan kita bermasalah, bukan loe.... tapi gue, keegoisan gue!”

             “............”

             “Maafin gue....”

             Bisma, Rafael, Reza dan Ilham memandangi punggung Rangga dari belakang. Sesekali menoleh pada pintu gudang yang sudah di ujung tanduk. Balok kayu bergeser. Salah satunya hampir menggelinding ke tanah. Bagaimana? Harus bagaimana sekarang?

             “Pergilah, Rang....”

             Eh?

             “Pergi! Gue nggak butuh loe!”

             “Ndin!!”

             “GUE BILANG PERGI!!!”

             Rangga menjauhkan wajahnya dari dinding kontainer. Dia memandang tak percaya.


             “Pergi! Selametin diri loe!! Gue mohon..!!!”

------------------------------

BERSAMBUNG KE PART 20

2 komentar:

  1. Sumpah, ini keren banget.. Pertamanya dibuat ngakak sampe perut sakit, begitu nyampe tengah ke akhir-akhir jadi tegang plus sisanya drama romantis Rangga-Andin.
    Tapi Rangga kayak nggak merhatiin 4 temennya lagi, begitu ketemu Andin, bukan deng, cuma denger suara, Andin-nya kan di dalem peti kontainer..!??!?
    Engh, Kak! Bukannya Rangga punya kunci-kunci yang diambil dari Tomy Huang? Kok nggak dipake? Rangga kelupaan ya, apa mungkin di part selanjutnya entar ada yang nyeletuk, "Rang, lo kan ada kunci!" trus Rangga baru sadar, padahal udah mepet banget, anak buahnya Tomy Huang udah di balik pintu...
    -
    Tapi, Kak. Ilham sama Reza kan, jago kempo. Masa' nggak bisa lawan anak buahnya Tomy Huang? Kalah jumlah ya, pasti? Heum... :(
    Ya udah deh, Kak. Lanjut terus ya? Kalo bisa sesuai, sehari 1 part.. Bye, Kakak. See you..!!! :)

    BalasHapus
  2. aaaa Ilham kerenn <3 *maapkanakuhh*

    BalasHapus