7 November 2014

[Cerbung SMASH] "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" SEASON 2 / Part 20

Title          : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season    : 2
Author       : @ariek_andini (adm4)
Genre        : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast          : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...

--------------------

             “Pergilah, Rang....”

             Eh?

             “Pergi! Gue nggak butuh loe!”

             “Ndin!!”

             “GUE BILANG PERGI!!!”

             Rangga menjauhkan wajahnya dari dinding kontainer. Dia memandang tak percaya.

             “Pergi! Selametin diri loe!! Gue mohon..!!!”

             Bentakan Andin perlahan goyah. Bersela dengan isakan.

             “Gue nggak peduli! Gue nggak akan pernah ninggalin loe!!”

             Ilham, Reza, Rafael dan Bisma terdiam melihat Rangga. Dibingungkan oleh pintu gudang yang mulai tak bisa menahan. Tapi juga ingin menyelamatkan Andin yang hanya berjarak sejengkal di dalam peti. Bimbang. Ingin melepaskan Andin, namun di saat yang bersamaan serangan anak buah Tomy Huang juga mengancam. Tidak mungkin meninggalkan Andin di dalam peti itu. Tapi jika tidak pergi, bisa saja mereka mati di sana. Atau meninggalkan Andin berdua dengan Rangga?

             Buntu! Akhirnya keempat-empatnya hanya bisa berdiri kaku di tengah gudang. Tak bisa memutuskan apapun. Lagi pula gembok peti itu bukan gembok biasa. Jika saja ada kuncinya, pasti mereka bisa mengeluarkan Andin.

             Kunci... eh?

             “KUNCINYA!!!” pekik Bisma tiba-tiba.

             Rafael, Reza dan Ilham tersentak kaget.

             “Kuncinya!! Kuncinya!!”

             Sebisa mungkin Bisma menjelaskan ke teman-temannya, tapi sedari tadi mulutnya hanya meneriakkan ‘kunci’ berkali-kali. Bisma berlari menghampiri Rangga. Tanpa ba-bi-bu, dilepasnya jas Rangga secara paksa. Dirogohnya sakunya satu per satu. Wajahnya seketika sumringah ketika telinganya mendengar gemerincing kunci di dalam sana.

             Melihat tingkah Bisma, Rangga ikut-ikutan sumringah. Benar juga!! Pekiknya. Bukankah ia merampas kunci dari Tomy Huang?! Bisa saja kunci gembok itu ada di sana!

             “Ndin!! Gue akan ngeluarin loe dari sana! Tahan!!”

             Tapi begitu kunci itu dikeluarkan dari saku Rangga, wajah bahagia keduanya seketika sirnah.

             “Ini yang mana kuncinyaaaa?!!” teriak Rangga frustasi. Ada dua puluh kunci menggantung menjadi satu. Dari yang besar sampai yang kecil. Dari yang warnanya keperakan, sampai yang warnanya kekuningan.

             “Coba ini!!”

             “Kagak bisa!!”

             “Ini!!!”

             “Lobangnya kegedean!!”

             “Cepetaaannnn!!!”

             “Yang item!! Yang item!!”


             Bisma dan Rangga berebut memasukkan anak kunci. Sementara Rafael, Reza dan Ilham hanya bengong melihati mereka dari belakang. Berasa melihati emak-emak lagi rebutan wortel murah di tukang sayur komplek.

             “Cepetan wooy!!!” teriak Reza. Engsel pintu terlepas. Sedikit lagi pintu alumunium itu akan jebol.

             “Lubangnya kecil. Cari kuncinya yang kecilan!!” omel Bisma.

             Rangga gemetaran memilah-milah kunci, “Yang manaaa?!!”

             Tangannya lalu terhenti pada sebuah kunci berwarna kekuningan. Jika dibanding yang lain, kunci itu lah yang paling mungil. Dengan tergesa-gesa Rangga memasukkannya ke dalam lubang gembok. Dan.... jgrek! Gembok terbuka.

             “Naaaaaaaaaaaaa!!!” desah Bisma lega.

             Rangga melepas gembok nista itu dan melemparnya ke tanah. Diputarnya engsel peti. Dengan sekuat tenaga, ditariknya pintu kontainer. Cahaya lampu merasuk ke dalam.

             “Andiiin?!!”

             “Rangga!!!”

             “Ndin!!”

             Sosok yang begitu lusuh. Rambutnya kusut menutupi separuh wajahnya. Tubuhnya dingin. Letih. Terjatuh erat di dalam pelukan Rangga.

             Rangga menghela nafas panjang. Kedua tangannya merengkuh tubuh Andin kuat-kuat. Seperti ada batu besar yang menghimpit jantungnya lalu sirnah begitu saja.

             “Loe nggak apa-apa?”

             Rangga melepas pelukannya. Ditatapnya wajah Andin. Sedikit terkesima. Wajahnya yang biasanya galak, sekarang nampak begitu lemah.

             Rangga lalu menuntun Andin keluar. Ia menggenggam tangannya erat. Begitu menginjak tanah. Tepat di bawah lampu pijar. Ketika Rangga tak sengaja melirik ke dalam peti di mana Andin disekap. Rangga tersentak kaget dengan pemandangan yang ada di sana.

             “Alhamdulillah!!”

             “Akhirnya ada yang nolongin kita!!”

             “Makasih banyak, Mas!”

             Rangga mangap.

             Reza, Ilham, Rafael dan Bisma melongo. Benar-benar di luar dugaan. Dan tak ada yang menyangka. Dikira Cuma Andin yang disekap di dalam sana. Nyatanya, begitu pintu dibuka, belasan gadis muda ikut keluar dari dalam peti kontainer.

             “Mereka.... sama kayak gue. ketipu sama pelatihan artis itu...” jelas Andin. Sekalipun ia tahu perkataannya tak didengar Rangga. Tuh cowok masih bengong ngelihati cewek-cewek yang berbaris di depan peti dengan mata tak berkedip.

             “Ok! Dengar ya semuanya!! Kita akan segera keluar dari sini!!” Rafael memberi aba-aba, “Tolong ikutin kita, ya!!”

             Reza dan Ilham bergerak di depan. Masing-masing menggenggam balok kayu. Tak sulit keluar dari sana. Cukup dengan menghancurkan kaca cendela yang berjajar di sana, mereka akan bisa keluar.

             Bersamaan Reza dan Ilham memecahkan kaca cendela. Di belakang mereka, Rafael dan Bisma menggotong sebuah balok kayu sebagai tempat berpijak. Sebuah lubang persegi terbentuk. Hanya cukup dilalui satu orang.

             “Satu per satu! Cepat sedikit, ya!” ucap Rafael. Tangannya menuntun salah satu gadis.

             “Hati-hati! Pinggirnya masih tajam!”

             Satu orang berhasil keluar. Rafael berlanjut pada seorang gadis lainnya. Sesekali matanya beralih pada pintu gudang yang terus-terusan digedor. Pintu itu hampir tak berbentuk karena dipukul-pukul. Ingin bergegas. Tapi tidak mungkin. Ada enam belas gadis yang mesti dikeluarkan, dan masih ditambah dengan jumlah dirinya, Rangga, Reza, Ilham, Bisma dan Andin.

             “Ham! Pecahin cendela satunya!!” perintah Reza.

             Ilham mengangguk paham. Dua cendela akan lebih menghemat waktu. Ilham mengayunkan kayunya. Namun, belum lebar kaca yang ia hancurkan, pintu gudang jebol. Terbuka paksa oleh dorongan belasan berandal. Balok kayu yang mengganjalnya menggelinding ke tanah.

             Seluruh orang tersentak kaget. Belasan gadis di sana menjerit. Berlari menepi di belakang Rafael, Reza, Ilham, Bisma dan Rangga.

             “It’s too fast, isn’t it?” sebuah suara muncul dari gerombolan berandal itu. Tomy Huang berjalan pelan ke depan. Sebelah tangannya memondong selaras panjang.

             Rangga menatap awas ke arah Tomy Huang. Tangan kirinya merentang panjang. Menjaga Andin agar tetap berada di belakangnya.

             “Thank you for stiring up everything I have made!!” Tomy Huang mengangkat selarasnya. Membidik tepat ke dada Rangga.

             “Wo zhi dao ni de fu mu! Ni bu xia wo bu shuo ta men liang ma (Gue tahu nyokap-bokap loe! Loe pikir gue nggak bakal lapor sama mereka, ha)??!!” tiba-tiba Rafael menyahut. Dia meringsek ke depan.

             Tomy Huang membelalakkan matanya. Telunjuknya yang semula bersiap menarik pelatuk, terlepas.

             “Ni shuo shen me (ngomong apa kamu)??!!!” bentak Tomy Huang.

             “Wo bu shuo huang! Wo zhi dao ta men liang! (Gue nggak bohong! Gue tahu mereka)!!” Rafael membalas lebih tegas.

             Tomy Huang ganti memasang wajah bingung. Dia menoleh pada bawahannya.

             “Coh! Jangan ngomong bahasa china!! Gue kagak ngerti!!” Rangga berbisik.

             “Udah loe diem aja! Yang penting molor-molorin waktu!”

             “Molor-molorin waktu?!!”

             “Polisi sedang dalam perjalanan. Alihkan mereka sampe polisi datang!”

             “NI MEN SHI SHEI A (SIAPA KALIAN, HA)!!!” tiba-tiba Tomy Huang membentak dengan wajah garang.

             Rafael dan Rangga tersentak ke belakang. Bangun bangun makan nasi pake semur jengkol, kenceng banget ngebentaknya kayak geledek.

             “Ni bu xiang xin a (Loe nggak percaya, ha)??!” Rafael balas membentak.

             “CAO SANG MANG SHI TANG MONG SIANG (PAGI SIBUK KANTIN MIMPI)!!!” Tiba-tiba Rangga ikut-ikutan ngebentak.

             Rafael cengo. Ekspresinya yang semula kepedean berubah bego. Apalagi Tomy Huang. Ia melihati Rangga dengan muka bingung.

             “Loe ngomong apaan, sih?!!” bentak Rafael.

             “Gue bantuin loe ngulur waktu!!”

             “Ngulur apaan?!! Omongan loe berantakan!! Yang ada dia jadi curiga!!”

             “What the f*ck!!!” Tomy Huang mulai tidak tahan. Laki-laki tua itu mengangkat senjatanya ke atas. Pistol meletus. Suaranya nyaring memekakkan telinga. Belasan gadis yang ada di sana menjerit. Berlarian tak tentu arah menyelamatkan diri.

             Usai menembak genting gudang hingga berlubang, kini Tomy Huang ganti membidikkan senjatanya ke depan Rangga.

             Rangga belingsatan. Dia melompat ke samping. Di saat bersamaan, anak buah Tomy Huang menyerbu ke depan. Semua orang campur aduk menjadi satu. Senjata api meletus di sana-sini. Beradu dengan jeritan para gadis.

             Dua menit lamanya kericuhan itu berlangsung. Tak lama setelah itu, sirine mobil terdengar dari kejauhan. Polisi telah datang. Enam mobil patroli mengepung dari empat arah. Beberapa petugas menyergap masuk ke dalam.

             Tomy Huang tersadar mendengar bunyi sirine itu. Matanya terbuka lebar. Memandangi kaca cendela gudang yang memantulkan sinar lampu mobil patroli. Di tengah anak buahnya yang berhamburan, ia mencoba kabur. Namun tepat ketika ia hendak berlari keluar pintu, tiga orang petuga polisi membidikkan senjata api ke dahinya.

             “Tangkap!!”

             “Target terkepung!”

             “Elang masuk! Kepung!!”

             “Delapan-Enam!!”

             Sepuluh orang petugas polisi berseragam lengkap belari masuk ke dalam. Suasana gudang makin penuh sesak. Debu ampas kayu mengepul ke atas. Pandangan menjadi buram. Mulai tidak bisa dibedakan mana yang polisi, dan mana yang berandal Tomy Huang. Beberapa orang menjerit. Beberapa lainnya membentak dan mengumpat. Satu per satu anak buah Tomy Huang diseret keluar. Ada yang mencoba kabur melalui cendela, ada yang melempar polisi dengan balok kayu.

             Di tengah suasana hiruk pikuk, Andin berputar-putar di tengah gudang. Kadang kakinya terdorong ke belakang karena ditabrak seseorang. Matanya mengerjap-ngerjap. Berusaha memperjelas pemandangan penuh debu di depannya. Bising. Orang-orang berlarian malang-melintang. Andin berusaha melangkahkan kakinya. Matanya menyipit mencari-cari sebuah sosok. Seorang laki-laki yang sedari tadi menggenggam tangannya, tapi tiba-tiba saja menghilang entah kemana.

             “Rangga!!”

             Seorang polisi menyeret preman dengan menjinjing kerah bajunya. Dua orang gadis berlari sambil menutup telinga. Berlari kencang keluar gudang. Hampir saja menabrak Andin hingga jatuh.

             “Ranggaaaaa!!!”

             Andin mengalihkan matanya ke arah lain. Tiap jengkal ia amati. Sebisa mungkin menelisik wajah orang yang berlari di dekatnya. Tak ada! Tak ada dimanapun! Apa Rangga udah keluar?

             “Ranggaaaa!!”

             Perlahan suasana meredup. Semua gadis berhasil dievakuasi keluar. Beberapa orang oknum polisi berlarian ke penjuru gudang. Menyelidiki tiap sudut untuk mencari yang masih tersisa. Di balik tumpukan kayu, di bawah mesin gergaji, ke dalam peti kontainer, di sela balok kayu yang tercecer....

             Eh?

             Benar! Di sebelah balok kayu besar yang tercecer di tengah gudang!! Di sana! Sosok yang ia cari! Sosok pemuda berjas hitam lusuh dengan mata terpejam erat.

             “Rangga?!! Ranggaaaa!!!”

             Andin menghambur ke arah Rangga yang tergolek. Jeritannya membuat beberapa polisi menoleh. Mereka ikut mendekati Rangga.

             Andin menggoyang-goyangkan bahu Rangga. Berusaha membangunkannya. Tak ada sahutan. Andin beralih menepuk-nepuk pipi Rangga. Nama Rangga ia panggil-panggil. Tapi semua yang ia lakukan hanya membuat mata Rangga makin terpejam erat.

             “Rangga!! Bangun....” perlahan suara Andin melemah. Terasa percuma. Rangga masih tergolek di pangkuannya.

             “Gue mohon~... bangun...” Andin meratap. Dipeluknya tubuh Rangga yang lemas. Andin mendekapkan wajahnya ke dada Rangga. Seperti tak ingin terlepas. Ia bahkan bisa mendengar suara detak jantung Rangga. Berdetak pelan. Tapi mengapa ia tidak membuka mata?

             “Korban terluka! Kirimkan ambulans!” perintah salah satu polisi di samping Andin. Dua polisi lainnya ikut mendekat. Mereka memegang pergelangan tangan Rangga untuk mencari tahu. Rafael dan Reza yang masih berada di dalam gudang, ikut berlari menghampiri.

             “Kapan ambulansnya datang?!!” tanya Andin setengah berteriak. Air matanya berlinangan.

             “.....tiga... tiga puluh menit lagi...”

             “Nggak bisa cepetan dikit?!!” Rafael ikut bersuara.

             “Itu sudah yang paling dekat! Di sini daerah terisolasi. Lahan sengketa, dan sebentar lagi mau digusur. Jauh dari pemukiman warga, rumah sakit!” jawab polisi.

             Makin resah. Andin merengkuh tubuh Rangga kencang. Negeri ini aneh! Pizza bisa diantarkan dalam seperempat jam, tapi ambulans?

             “Gue sayang sama loe.... please... jangan tinggalin gue~...” bisik Andin pilu. Terserah didengar apa tidak. Sebisanya berbisik di depan telinga Rangga. Andin mengusap pipi Rangga yang lusuh karena debu. Tidurnya begitu damai. Matanya terpejam erat. Bulir keringat menggantung di dahinya. Bibirnya menyungging senyum.

             Eh?

             Senyum?

             Andin mencubit pinggang Rangga kencang. Dan tanpa diduga, tiba-tiba Rangga menjerit kesakitan. Seluruh orang di sana tersentak kaget.

             “Kampret loe!!!” bentak Andin.

             “Adaaaww!! Sakit wooy!!” pekik Rangga. Ia terbangun dari pelukan Andin. Mukanya garang. Tangannya mengelus pinggangnya yang ngilu. Sadis tuh cewek, cubitannya sakit banget kayak sengatan kalajengking.

             “Sengaja, ha?!! Pakek pura-pura mati segala! Kampret!!”

             “Loe kenapa, sih?!!” Rangga menghindar dari gebukan Andin.

             “Sempet-sempetnya ngerjain orang!!”

             “Sakit woy! Hadooh!! Loe mau bikin gue mati beneran?!!

             “Bodo amat! Mati aja sono!! Mati!!” Andin nggak berhenti memukuli Rangga. Dikira sekarat karena kena tembak, taunya ngerjain orang. Dasar cowok gila!

             Tiga oknum polisi yang ada di sana cuman bengong. Melihati Rangga dan Andin heran. Baru sedetik lalu mellow-mellowan kayak telenovela, dan sekarang udah berkelahi kayak pertandingan tinju. Sementara Reza dan Rafael hanya melipat tangan. Suntuk. Menatap Rangga datar. Menunggu giliran untuk menganiaya Rangga setelah giliran Andin. Dasar Jerigen Minyak! Ngerjain orang nggak liat-liat situasi!

             “Ini nggak jadi terluka, ya?” tanya seorang polisi. Lugu banget. Sementara polisi yang lain hanya geleng-geleng kepala. Ia lalu mengangkat teleponnya.

             “Ambulans dibatalkan...”

             Andin masih beringas memukuli Rangga. Berlari muter-muter di tengah gudang.

             “Gue kan Cuma pengen ngecek!” bentak Rangga.

             “Ngecek apaan? Loe pikir ini servis listrik pakek ngecek-ngecek segala?!!”

             “Loe sama cowok sendiri jahat banget, sih!!!”

             “Bodo amat!!”

             Rangga berkelit ke belakang Reza. Berlindung dari amukan Andin. Terasa ada sesuatu yang basah memenuhi punggungnya. Rangga meraba punggungnya. Dan ketika ia menatap telapak tangannya, Rangga melongo.
            
             “Apaan nih?!!!” pekik Rangga kaget. Dilihatnya darah segar memenuhi telapak tangannya. Rangga sekali lagi memegang punggungnya. Dan darah yang memenuhi tangannya semakin pekat.

             “Coh! Lihatin! Lihatin punggung gue!! aaaaaaghr!! Gue berdarah!!!” teriak Rangga heboh.

             Rafael menurut. benar saja. Dilihatnya luka sobek sangat lebar mengoyak punggung Rangga.

             “Darahnya banyak banget!!”

             “Pak polisi! Ambulans! Ambulans!!” teriak Rafael.

             “Gue berdarah!!! Gue akan matiiiiii!!! Huaaaaaa!!”

             Polisi yang hendak masuk ke dalam mobil patroli itu menghampiri Rangga, “Loh, terlukanya jadi?”

             “Iya! Nih lihat darahnya banyak!! Cepetan panggilin Ambulans!!” Rafael kini panik beneran.

             “Tapi ambulansnya terlanjur sana cancel, Mas...”


             “Gue akan mati beneraaaaan!!!”
---------------------------

BERSAMBUNG KE PART 21

2 komentar: