Title : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season : 2
Author : @ariek_andini (adm4)
Genre : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...
--------------------
“Pergilah, Rang....”
Eh?
“Pergi! Gue nggak
butuh loe!”
“Ndin!!”
“GUE BILANG
PERGI!!!”
Rangga menjauhkan
wajahnya dari dinding kontainer. Dia memandang tak percaya.
“Pergi! Selametin
diri loe!! Gue mohon..!!!”
Bentakan Andin perlahan goyah.
Bersela dengan isakan.
“Gue nggak peduli! Gue nggak akan
pernah ninggalin loe!!”
Ilham, Reza, Rafael dan Bisma
terdiam melihat Rangga. Dibingungkan oleh pintu gudang yang mulai tak bisa
menahan. Tapi juga ingin menyelamatkan Andin yang hanya berjarak sejengkal di
dalam peti. Bimbang. Ingin melepaskan Andin, namun di saat yang bersamaan
serangan anak buah Tomy Huang juga mengancam. Tidak mungkin meninggalkan Andin di
dalam peti itu. Tapi jika tidak pergi, bisa saja mereka mati di sana. Atau
meninggalkan Andin berdua dengan Rangga?
Buntu! Akhirnya keempat-empatnya
hanya bisa berdiri kaku di tengah gudang. Tak bisa memutuskan apapun. Lagi pula
gembok peti itu bukan gembok biasa. Jika saja ada kuncinya, pasti mereka bisa
mengeluarkan Andin.
Kunci... eh?
“KUNCINYA!!!” pekik Bisma
tiba-tiba.
Rafael, Reza dan Ilham tersentak
kaget.
“Kuncinya!! Kuncinya!!”
Sebisa mungkin Bisma menjelaskan
ke teman-temannya, tapi sedari tadi mulutnya hanya meneriakkan ‘kunci’
berkali-kali. Bisma berlari menghampiri Rangga. Tanpa ba-bi-bu, dilepasnya jas
Rangga secara paksa. Dirogohnya sakunya satu per satu. Wajahnya seketika
sumringah ketika telinganya mendengar gemerincing kunci di dalam sana.
Melihat tingkah Bisma, Rangga
ikut-ikutan sumringah. Benar juga!! Pekiknya. Bukankah ia merampas kunci dari
Tomy Huang?! Bisa saja kunci gembok itu ada di sana!
“Ndin!! Gue akan ngeluarin loe
dari sana! Tahan!!”
Tapi begitu kunci itu dikeluarkan
dari saku Rangga, wajah bahagia keduanya seketika sirnah.
“Ini yang mana kuncinyaaaa?!!”
teriak Rangga frustasi. Ada dua puluh kunci menggantung menjadi satu. Dari yang
besar sampai yang kecil. Dari yang warnanya keperakan, sampai yang warnanya
kekuningan.
“Coba ini!!”
“Kagak bisa!!”
“Ini!!!”
“Lobangnya kegedean!!”
“Cepetaaannnn!!!”
“Yang item!! Yang item!!”
Bisma dan Rangga berebut
memasukkan anak kunci. Sementara Rafael, Reza dan Ilham hanya bengong melihati
mereka dari belakang. Berasa melihati emak-emak lagi rebutan wortel murah di
tukang sayur komplek.
“Cepetan wooy!!!” teriak Reza.
Engsel pintu terlepas. Sedikit lagi pintu alumunium itu akan jebol.
“Lubangnya kecil. Cari kuncinya
yang kecilan!!” omel Bisma.
Rangga gemetaran memilah-milah
kunci, “Yang manaaa?!!”
Tangannya lalu terhenti pada
sebuah kunci berwarna kekuningan. Jika dibanding yang lain, kunci itu lah yang
paling mungil. Dengan tergesa-gesa Rangga memasukkannya ke dalam lubang gembok.
Dan.... jgrek! Gembok terbuka.
“Naaaaaaaaaaaaa!!!” desah Bisma
lega.
Rangga melepas gembok nista itu
dan melemparnya ke tanah. Diputarnya engsel peti. Dengan sekuat tenaga,
ditariknya pintu kontainer. Cahaya lampu merasuk ke dalam.
“Andiiin?!!”
“Rangga!!!”
“Ndin!!”
Sosok yang begitu lusuh. Rambutnya
kusut menutupi separuh wajahnya. Tubuhnya dingin. Letih. Terjatuh erat di dalam
pelukan Rangga.
Rangga menghela nafas panjang.
Kedua tangannya merengkuh tubuh Andin kuat-kuat. Seperti ada batu besar yang
menghimpit jantungnya lalu sirnah begitu saja.
“Loe nggak apa-apa?”
Rangga melepas pelukannya.
Ditatapnya wajah Andin. Sedikit terkesima. Wajahnya yang biasanya galak,
sekarang nampak begitu lemah.
Rangga lalu menuntun Andin keluar.
Ia menggenggam tangannya erat. Begitu menginjak tanah. Tepat di bawah lampu
pijar. Ketika Rangga tak sengaja melirik ke dalam peti di mana Andin disekap. Rangga
tersentak kaget dengan pemandangan yang ada di sana.
“Alhamdulillah!!”
“Akhirnya ada yang nolongin
kita!!”
“Makasih banyak, Mas!”
Rangga mangap.
Reza, Ilham, Rafael dan Bisma
melongo. Benar-benar di luar dugaan. Dan tak ada yang menyangka. Dikira Cuma
Andin yang disekap di dalam sana. Nyatanya, begitu pintu dibuka, belasan gadis
muda ikut keluar dari dalam peti kontainer.
“Mereka.... sama kayak gue. ketipu
sama pelatihan artis itu...” jelas Andin. Sekalipun ia tahu perkataannya tak
didengar Rangga. Tuh cowok masih bengong ngelihati cewek-cewek yang berbaris di
depan peti dengan mata tak berkedip.
“Ok! Dengar ya semuanya!! Kita
akan segera keluar dari sini!!” Rafael memberi aba-aba, “Tolong ikutin kita,
ya!!”
Reza dan Ilham bergerak di depan.
Masing-masing menggenggam balok kayu. Tak sulit keluar dari sana. Cukup dengan
menghancurkan kaca cendela yang berjajar di sana, mereka akan bisa keluar.
Bersamaan Reza dan Ilham
memecahkan kaca cendela. Di belakang mereka, Rafael dan Bisma menggotong sebuah
balok kayu sebagai tempat berpijak. Sebuah lubang persegi terbentuk. Hanya
cukup dilalui satu orang.
“Satu per satu! Cepat sedikit,
ya!” ucap Rafael. Tangannya menuntun salah satu gadis.
“Hati-hati! Pinggirnya masih
tajam!”
Satu orang berhasil keluar. Rafael
berlanjut pada seorang gadis lainnya. Sesekali matanya beralih pada pintu
gudang yang terus-terusan digedor. Pintu itu hampir tak berbentuk karena dipukul-pukul.
Ingin bergegas. Tapi tidak mungkin. Ada enam belas gadis yang mesti
dikeluarkan, dan masih ditambah dengan jumlah dirinya, Rangga, Reza, Ilham,
Bisma dan Andin.
“Ham! Pecahin cendela satunya!!”
perintah Reza.
Ilham mengangguk paham. Dua
cendela akan lebih menghemat waktu. Ilham mengayunkan kayunya. Namun, belum lebar
kaca yang ia hancurkan, pintu gudang jebol. Terbuka paksa oleh dorongan belasan
berandal. Balok kayu yang mengganjalnya menggelinding ke tanah.
Seluruh orang tersentak kaget. Belasan
gadis di sana menjerit. Berlari menepi di belakang Rafael, Reza, Ilham, Bisma
dan Rangga.
“It’s too fast, isn’t it?” sebuah
suara muncul dari gerombolan berandal itu. Tomy Huang berjalan pelan ke depan.
Sebelah tangannya memondong selaras panjang.
Rangga menatap awas ke arah Tomy
Huang. Tangan kirinya merentang panjang. Menjaga Andin agar tetap berada di belakangnya.
“Thank you for stiring up
everything I have made!!” Tomy Huang mengangkat selarasnya. Membidik tepat ke
dada Rangga.
“Wo zhi dao ni de fu mu! Ni bu xia
wo bu shuo ta men liang ma (Gue tahu nyokap-bokap loe! Loe pikir gue nggak
bakal lapor sama mereka, ha)??!!” tiba-tiba Rafael menyahut. Dia meringsek ke
depan.
Tomy Huang membelalakkan matanya.
Telunjuknya yang semula bersiap menarik pelatuk, terlepas.
“Ni shuo shen me (ngomong apa kamu)??!!!”
bentak Tomy Huang.
“Wo bu shuo huang! Wo zhi dao ta
men liang! (Gue nggak bohong! Gue tahu mereka)!!” Rafael membalas lebih tegas.
Tomy Huang ganti memasang wajah
bingung. Dia menoleh pada bawahannya.
“Coh! Jangan ngomong bahasa
china!! Gue kagak ngerti!!” Rangga berbisik.
“Udah loe diem aja! Yang penting
molor-molorin waktu!”
“Molor-molorin waktu?!!”
“Polisi sedang dalam perjalanan.
Alihkan mereka sampe polisi datang!”
“NI MEN SHI SHEI A (SIAPA KALIAN,
HA)!!!” tiba-tiba Tomy Huang membentak dengan wajah garang.
Rafael dan Rangga tersentak ke
belakang. Bangun bangun makan nasi pake semur jengkol, kenceng banget
ngebentaknya kayak geledek.
“Ni bu xiang xin a (Loe nggak
percaya, ha)??!” Rafael balas membentak.
“CAO SANG MANG SHI TANG MONG SIANG
(PAGI SIBUK KANTIN MIMPI)!!!” Tiba-tiba Rangga ikut-ikutan ngebentak.
Rafael cengo. Ekspresinya yang
semula kepedean berubah bego. Apalagi Tomy Huang. Ia melihati Rangga dengan
muka bingung.
“Loe ngomong apaan, sih?!!” bentak
Rafael.
“Gue bantuin loe ngulur waktu!!”
“Ngulur apaan?!! Omongan loe
berantakan!! Yang ada dia jadi curiga!!”
“What the f*ck!!!” Tomy Huang
mulai tidak tahan. Laki-laki tua itu mengangkat senjatanya ke atas. Pistol
meletus. Suaranya nyaring memekakkan telinga. Belasan gadis yang ada di sana
menjerit. Berlarian tak tentu arah menyelamatkan diri.
Usai menembak genting gudang hingga
berlubang, kini Tomy Huang ganti membidikkan senjatanya ke depan Rangga.
Rangga belingsatan. Dia melompat
ke samping. Di saat bersamaan, anak buah Tomy Huang menyerbu ke depan. Semua
orang campur aduk menjadi satu. Senjata api meletus di sana-sini. Beradu dengan
jeritan para gadis.
Dua menit lamanya kericuhan itu
berlangsung. Tak lama setelah itu, sirine mobil terdengar dari kejauhan. Polisi
telah datang. Enam mobil patroli mengepung dari empat arah. Beberapa petugas menyergap
masuk ke dalam.
Tomy Huang tersadar mendengar
bunyi sirine itu. Matanya terbuka lebar. Memandangi kaca cendela gudang yang
memantulkan sinar lampu mobil patroli. Di tengah anak buahnya yang berhamburan,
ia mencoba kabur. Namun tepat ketika ia hendak berlari keluar pintu, tiga orang
petuga polisi membidikkan senjata api ke dahinya.
“Tangkap!!”
“Target terkepung!”
“Elang masuk! Kepung!!”
“Delapan-Enam!!”
Sepuluh orang petugas polisi
berseragam lengkap belari masuk ke dalam. Suasana gudang makin penuh sesak.
Debu ampas kayu mengepul ke atas. Pandangan menjadi buram. Mulai tidak bisa
dibedakan mana yang polisi, dan mana yang berandal Tomy Huang. Beberapa orang
menjerit. Beberapa lainnya membentak dan mengumpat. Satu per satu anak buah
Tomy Huang diseret keluar. Ada yang mencoba kabur melalui cendela, ada yang
melempar polisi dengan balok kayu.
Di tengah suasana hiruk pikuk,
Andin berputar-putar di tengah gudang. Kadang kakinya terdorong ke belakang
karena ditabrak seseorang. Matanya mengerjap-ngerjap. Berusaha memperjelas
pemandangan penuh debu di depannya. Bising. Orang-orang berlarian malang-melintang.
Andin berusaha melangkahkan kakinya. Matanya menyipit mencari-cari sebuah
sosok. Seorang laki-laki yang sedari tadi menggenggam tangannya, tapi tiba-tiba
saja menghilang entah kemana.
“Rangga!!”
Seorang polisi menyeret preman
dengan menjinjing kerah bajunya. Dua orang gadis berlari sambil menutup
telinga. Berlari kencang keluar gudang. Hampir saja menabrak Andin hingga
jatuh.
“Ranggaaaaa!!!”
Andin mengalihkan matanya ke arah
lain. Tiap jengkal ia amati. Sebisa mungkin menelisik wajah orang yang berlari
di dekatnya. Tak ada! Tak ada dimanapun! Apa Rangga udah keluar?
“Ranggaaaa!!”
Perlahan suasana meredup. Semua
gadis berhasil dievakuasi keluar. Beberapa orang oknum polisi berlarian ke
penjuru gudang. Menyelidiki tiap sudut untuk mencari yang masih tersisa. Di
balik tumpukan kayu, di bawah mesin gergaji, ke dalam peti kontainer, di sela
balok kayu yang tercecer....
Eh?
Benar! Di sebelah balok kayu besar
yang tercecer di tengah gudang!! Di sana! Sosok yang ia cari! Sosok pemuda
berjas hitam lusuh dengan mata terpejam erat.
“Rangga?!! Ranggaaaa!!!”
Andin menghambur ke arah Rangga
yang tergolek. Jeritannya membuat beberapa polisi menoleh. Mereka ikut
mendekati Rangga.
Andin menggoyang-goyangkan bahu
Rangga. Berusaha membangunkannya. Tak ada sahutan. Andin beralih menepuk-nepuk
pipi Rangga. Nama Rangga ia panggil-panggil. Tapi semua yang ia lakukan hanya
membuat mata Rangga makin terpejam erat.
“Rangga!! Bangun....” perlahan
suara Andin melemah. Terasa percuma. Rangga masih tergolek di pangkuannya.
“Gue mohon~... bangun...” Andin
meratap. Dipeluknya tubuh Rangga yang lemas. Andin mendekapkan wajahnya ke dada
Rangga. Seperti tak ingin terlepas. Ia bahkan bisa mendengar suara detak
jantung Rangga. Berdetak pelan. Tapi mengapa ia tidak membuka mata?
“Korban terluka! Kirimkan
ambulans!” perintah salah satu polisi di samping Andin. Dua polisi lainnya ikut
mendekat. Mereka memegang pergelangan tangan Rangga untuk mencari tahu. Rafael
dan Reza yang masih berada di dalam gudang, ikut berlari menghampiri.
“Kapan ambulansnya datang?!!” tanya Andin setengah berteriak. Air
matanya berlinangan.
“.....tiga... tiga puluh menit
lagi...”
“Nggak bisa cepetan dikit?!!”
Rafael ikut bersuara.
“Itu sudah yang paling dekat! Di
sini daerah terisolasi. Lahan sengketa, dan sebentar lagi mau digusur. Jauh
dari pemukiman warga, rumah sakit!” jawab polisi.
Makin resah. Andin merengkuh tubuh
Rangga kencang. Negeri ini aneh! Pizza bisa diantarkan dalam seperempat jam,
tapi ambulans?
“Gue sayang sama loe.... please...
jangan tinggalin gue~...” bisik Andin pilu. Terserah didengar apa tidak.
Sebisanya berbisik di depan telinga Rangga. Andin mengusap pipi Rangga yang lusuh
karena debu. Tidurnya begitu damai. Matanya terpejam erat. Bulir keringat
menggantung di dahinya. Bibirnya menyungging senyum.
Eh?
Senyum?
Andin mencubit pinggang Rangga
kencang. Dan tanpa diduga, tiba-tiba Rangga menjerit kesakitan. Seluruh orang
di sana tersentak kaget.
“Kampret loe!!!” bentak Andin.
“Adaaaww!! Sakit wooy!!” pekik
Rangga. Ia terbangun dari pelukan Andin. Mukanya garang. Tangannya mengelus
pinggangnya yang ngilu. Sadis tuh cewek, cubitannya sakit banget kayak sengatan
kalajengking.
“Sengaja, ha?!! Pakek pura-pura
mati segala! Kampret!!”
“Loe kenapa, sih?!!” Rangga
menghindar dari gebukan Andin.
“Sempet-sempetnya ngerjain orang!!”
“Sakit woy! Hadooh!! Loe mau bikin
gue mati beneran?!!
“Bodo amat! Mati aja sono!!
Mati!!” Andin nggak berhenti memukuli Rangga. Dikira sekarat karena kena
tembak, taunya ngerjain orang. Dasar cowok gila!
Tiga oknum polisi yang ada di sana
cuman bengong. Melihati Rangga dan Andin heran. Baru sedetik lalu
mellow-mellowan kayak telenovela, dan sekarang udah berkelahi kayak
pertandingan tinju. Sementara Reza dan Rafael hanya melipat tangan. Suntuk.
Menatap Rangga datar. Menunggu giliran untuk menganiaya Rangga setelah giliran
Andin. Dasar Jerigen Minyak! Ngerjain orang nggak liat-liat situasi!
“Ini nggak jadi terluka, ya?” tanya
seorang polisi. Lugu banget. Sementara polisi yang lain hanya geleng-geleng
kepala. Ia lalu mengangkat teleponnya.
“Ambulans dibatalkan...”
Andin masih beringas memukuli
Rangga. Berlari muter-muter di tengah gudang.
“Gue kan Cuma pengen ngecek!”
bentak Rangga.
“Ngecek apaan? Loe pikir ini
servis listrik pakek ngecek-ngecek segala?!!”
“Loe sama cowok sendiri jahat
banget, sih!!!”
“Bodo amat!!”
Rangga berkelit ke belakang Reza.
Berlindung dari amukan Andin. Terasa ada sesuatu yang basah memenuhi
punggungnya. Rangga meraba punggungnya. Dan ketika ia menatap telapak
tangannya, Rangga melongo.
“Apaan nih?!!!” pekik Rangga
kaget. Dilihatnya darah segar memenuhi telapak tangannya. Rangga sekali lagi
memegang punggungnya. Dan darah yang memenuhi tangannya semakin pekat.
“Coh! Lihatin! Lihatin punggung
gue!! aaaaaaghr!! Gue berdarah!!!” teriak Rangga heboh.
Rafael menurut. benar saja. Dilihatnya
luka sobek sangat lebar mengoyak punggung Rangga.
“Darahnya banyak banget!!”
“Pak polisi! Ambulans! Ambulans!!”
teriak Rafael.
“Gue berdarah!!! Gue akan
matiiiiii!!! Huaaaaaa!!”
Polisi yang hendak masuk ke dalam
mobil patroli itu menghampiri Rangga, “Loh, terlukanya jadi?”
“Iya! Nih lihat darahnya banyak!! Cepetan
panggilin Ambulans!!” Rafael kini panik beneran.
“Tapi ambulansnya terlanjur sana
cancel, Mas...”
“Gue akan mati beneraaaaan!!!”
---------------------------
BERSAMBUNG KE PART 21
si rangga somplak kamfret ._. lanjutkan ka :)) ini keren sumpeh
BalasHapusokayyy... :)
Hapus