Title : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season : 2
Author : @ariek_andini (adm4)
Genre : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...
---------------------------
---------------------------
“Coh! Lihatin! Lihatin punggung gue!! aaaaaaghr!! Gue berdarah!!!” teriak Rangga heboh.
Rafael menurut.
benar saja. Dilihatnya luka sobek sangat lebar mengoyak punggung Rangga.
“Darahnya banyak
banget!!”
“Pak polisi!
Ambulans! Ambulans!!” teriak Rafael.
“Gue berdarah!!!
Gue akan matiiiiii!!! Huaaaaaa!!”
Polisi yang
hendak masuk ke dalam mobil patroli itu menghampiri Rangga, “Loh, terlukanya
jadi?”
“Iya! Nih lihat
darahnya banyak!! Cepetan panggilin Ambulans!!” Rafael kini panik beneran.
“Tapi ambulansnya terlanjur saya cancel,
Mas...”
“Gue akan mati
beneraaaaan!!!”
“Udah!! Kagak usah
ambulans-ambulans-an!! Masuk ke mobil cepetan!!” teriak Andin ikutan panik.
Emosinya surut melihat darah segar mengucur dari punggung Rangga.
Rangga digiring masuk ke dalam
mobil patroli. Langkahnya menggeliat-geliat kayak uler.
“Pegangin gue! pegangin gue!!
adaaaaawww!! Jangan pegang lukanya!! Minggir loe! Minggir!!”
Tiap orang yang ada di sana habis
dibentak-bentak sama Rangga. Minta dipegangin karena terluka, tapi kemudian
semua orang yang ada di sampingnya diusir tanpa ampun.
Duduk di jok mobil, tingkah Rangga
makin nggak jelas. Tubuhnya lemas karena banyak mengeluarkan darah. Ingin
bersandar, punggungnya nggak bisa menyangga. Tiduran, darah yang keluar makin
banyak. Alhasil ia tengkurap sepanjang perjalanan.
“Cepetan dikit donk, Pak!!” bentak
Andin. Sementara Rangga tiduran di pangkuannya.
“Iya ini udah paling cepet, Neng!!”
“Loe jangan gerak terus!! Darahnya
tambah banyak yang keluar!!” kini giliran Rangga yang kena bentak.
“Sakit~.... ” erang Rangga.
“Kalo loe gerak ya tambah
sakit!!!” sebisa Andin menghentikan Rangga yang tidak berhenti menggeliat kayak
ulet daun. Sebentar miring ke kiri. Sebentar miring ke kanan.
“Usus gue kelihatan nggak?!!”
“Usus jidat loe soak!!”
Jauh amat sampai usus segala.
Punggungnya hanya sobek sekitar sepuluh sentimeter. Mungkin tersabet golok
salah satu anak buah Tomy Huang. Kebanyakan nonton film zombie tuh cowok sampe
kemana-mana omongannya.
“Ndin...”
“Ha?”
“Tolong bilang ke nyokap-bokap
gue, gue sayang mereka berdua...”
“RANGGA!!! LOE JANGAN NGOMONG YANG
ENGGAK-ENGGAK!!”
“Juga.....”
“Udah loe diem!! Ngoceh mulu loe
dari tadi!! Nggak usah ngomong yang kagak-kagak!! Rumah sakitnya udah deket!
Loe akan selamat! Tahan! Sekali lagi loe buka mulut, gue sumpel loe pakek
koran!!”
Adzan subuh berkumandang. Jalanan
kota Jakarta yang masih lengang membuat polisi semakin leluasa melajukan mobilnya.
Mobil melaju dengan kecepatan hampir 100 kilometer per jam. Semakin Andin
membentak-bentak polisi yang duduk di belakang kemudi, kecepatan mobil semakin
ditambah.
“Kita udah sampe di rumah sakit!!
Ini udah masuk ke dalam! Loe akan selamat, Rang!!”
Hening.
“Rang?”
Andin memiringkan wajah Rangga.
Jantungnya hampir berhenti berdetak. Rangga sudah tidak sadarkan diri.
“Ranggaaaa!!!”
***************
“Baru tahap casting, film garapan Hendra Bagaskara dihentikan di tengah
jalan. Tim produksi hanya menutup mulut saat dikonfirmasi. Film berjudul
Renjana Hitam yang diangkat dari novel karangan Rama Atmadja ini....”
“Mafia illegal logging yang selama ini diburu polisi berhasil diringkus
kemarin malam, 10 Maret 2014, di Kalibaru, Jakarta Utara. Sepuluh orang warga
negara asing yang terlibat dalam kasus ini kini diamankan.....”
“Saham Bona Pictures mencapai titik terendah secara spontan. Diketahui,
Bona Pictures melepas beberapa asetnya, dan menghentikan beberapa penggarapan
film secara hampir bersamaan....”
“....sedang diusut! Lha kan sebenarnya mereka ini datang secara
illegal. Sedang dicari tahu status keimigrasiannya...”
“....Satu lagi praktik Human Traficcing yang menghantui masyarakat
terbongkar....”
“....lalu apakah buntut dari penuntutan secara serentak ini? Pengamat
pertelevisian Indonesia memperkirakan pelaku entertainmen berhak mengajukan.....”
BRAKKKK!!!
“Masih di depan, Pak!”
“Ya usir!! Pokoknya jangan ngomong
apa-apa!”
“Ada telepon dari Mabes Polri...”
“Sebentar! Sebentar! Ingat, bilang
nggak ada apa-apa.”
BRAK!!
Sekali lagi terdengar pintu
ditutup kencang. Hiasan Bunga Krisan yang ada di dalam kamar sempat bergetar.
Majalah yang tergeletak disampingnya sempat terpilah. Lalu hening. Tiap
perabotan di sana bergeming.
Rangga mengerjap-ngerjapkan
matanya. Bola matanya melirik ke kanan dan kiri. Tirai putih, tabung infus,
pajangan bunga, sebotol minuman soda yang terbuka tutupnya, rangkaian bunga,
boneka, dan puluhan bungkus kado tergeletak di sofa dan lantai.
Rumah sakit?
Rangga mencoba bangkit. Tiang
infus bergoyang saat ia berusaha duduk. Sepi, nggak ada seorangpun di sana.
Rangga menyibak seragam pasiennya. Perban putih melilit di perutnya. Sedikit
sakit ketika ia bergerak tadi. Tapi mendinglah daripada saat ia baru terluka
kemarin malam.
Haus. Rangga menelan ludah.
Kerongkongannya terasa kering. Beberapa detik ia memandangi pintu kamar.
Berharap Om Panchunk kembali ke dalam kamar sehingga ia bisa meminta minum.
Tapi hampir semenit dia menunggu, nggak ada seorangpun masuk. Duduk sayu di
atas ranjang tanpa melakukan apapun, ia merasa seperti orang bego lagi
ngelihatin cicak di belakang pintu.
Menyerah. Rangga memilih turun
dari ranjang. Tangannya berpegangan pada tiang infus. Pelan-pelan ia bergerak.
Mewanti-wanti punggungnya agar tidak bersenggolan dengan tepi ranjang. Dalam
hati ia mengumpat. Sialan banget! Kenapa orang sakit nggak ada yang nunggu?!!
Dasar sok sibuk semua!
Langkah demi langkah Rangga
mendekat ke sofa. Ia meraih botol minuman soda yang tergeletak di sana. Rangga
lalu meminumnya.
“Aaaaghr....”
Rangga mengerang. Dadanya terasa
tertusuk-tusuk saat ia menenggak minuman di tangannya. Terasa sulit menelan. Di
saat bersamaan, luka di punggungnya terasa nyeri.
“LOE NGAPAIN?!!!”
“Akh!!!!”
Rangga tersentak kaget. Botol di
tangannya hampir terjatuh. Andin datang dari balik pintu. Matanya membelalak.
“Bisa nggak sih loe ngetuk pintu
dulu!!?? Jantungan nih gue!!” omel Rangga emosi.
“Loe minum apaan?!!” bentak Andin
sambil mendekat.
“Ini....”
“Loe nggak punya otak, ha?!! Loe
lagi sakit!! Loe nggak boleh minum minuman soda begini!!” Andin merebut botol
soda dari tangan Rangga.
“Ngapa loe jadi ngomelin gue?!!
Gue haus!! Gue pengen minum!!”
“Ya bukan berarti loe boleh minum
beginian!!”
“Kalo bukan itu terus apa lagi?!!
Gue ditinggal sendirian!! Gue hausss!!!”
“Minta suster kek!!”
“Kagak ada!!”
“Apanya yang kagak ada?! Suster
seabrek begitu!!”
“Di kamar kagak ada!!”
“Ya panggil!!!”
“Oh! Jadi loe nyuruh gue
tereak-tereak biar ada suster yang datang? Ini rumah sakit, Ndin!! Bukan
lapangan bola!!”
“Yang bilang ini lapangan bola itu
siapa?!! Gue tahu ini rumah sakit!!”
“Ya makanya!! Mana mungkin gue
tereak-tereak!! Hadoooh! Udah deh! Capek gue ngomong sama loe!!”
Rangga melengos emosi. Dia duduk
ke sofa. Dan seketika ia memekik kesakitan. Dia lupa kalau punggungnya sedang
terluka.
“Adooooh!”
“Nah kan! Kebanyakan tingkah! Baru bangun juga!”
Rangga memegangi punggungnya.
Sedikit menyesal juga. Kenapa dia harus terbangun sekarang. Rasanya pengen
balik nggak sadarkan diri daripada diomelin terus sama tuh nenek lampir.
“Nih! Minumnya pelan-pelan!” ucap
Andin sambil menuangkan air mineral ke dalam gelas.
“Yang lain kemana?” tanya Rangga.
“Manajer loe sibuk ngurusin
jadwal. Dicky masih dirawat. Ada di ruang sebelah. Temen-temen loe yang lain
lagi kena setrap.”
“Kena setrap?”
“Diomelin abis-abisan sama manajer
loe. Bayangin aja, subuh baru pulang, luka-luka, baju sobek-sobek, apalagi si
Bisma, dahinya ada yang memar. Manajer loe hampir kena serangan jantung
gara-gara ngeliat kalian pulang kayak gitu.”
Rangga tercenung. Nggak
mengagetkan lagi sih. Jam tidur aja diatur. Manajemennya selalu mewanti-wanti
kondisi enam artis asuhannya. Ada lecet sedikit saja, pasti heboh dunia
akhirat. Apalagi kalau sampai memar dan berdarah-darah begini.
“Terus?”
“Hm?”
“Ya, terus?”
“Apanya yang terus?”
“Loe?”
“........” Andin menunduk.
“Loe nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa.”
Rangga membelai rambut Andin.
Ditepikannya anak rambut Andin yang menjuntai di tengah dahinya. Diselipkan ke
belakang telinga. Digenggam ke belakang, lalu disatukannya menjadi satu
kunciran.
“Lebih enak begini kan?” gumam
Rangga sambil tersenyum. Tangan kanannya menggenggam rambut Andin ke belakang.
Andin memandangi Rangga dalam
diam. Detik pertama ia tidak paham. Tapi kemudian ia terhenyak. Ia tahu apa
maksud Rangga menguncir rambutnya ke belakang.
“Nggak perlu berubah. Gue suka loe
apa adanya...” lanjut Rangga.
Andin berdesir. Ia menatap bola
mata Rangga lekat-lekat.
“Dan... nyanyi aja. Loe nggak
perlu keluar dari band. Nyanyi aja selama loe pengen nyanyi.”
“Tapi....”
“Sssst....” Rangga meletakkan
telunjuknya di bibir Andin, “Jangan bicara lagi...”
Andin tersenyum. Wajahnya bersemu
merah.
“Ehm, gue harus pergi...” ucap
Andin kemudian.
“Kemana?”
“Gue ke sini Cuma mau ngambil tas.
Gue harus ke kantor polisi sekarang. Gue disuruh ngasih keterangan soal
kejadian semalam.”
“Jadi, mereka tahu kalau loe
korban penipuan?” tanya Rangga.
“Nggak lah! Posisi gue cuman
sebagai saksi. Manajemen gue udah minta tolong sama polisi agar nyembunyiin
nama gue dari daftar korban. Bahaya kalau wartawan sampai tahu. Termasuk loe,
dan anak SMASH yang lain. Nggak ada seorangpun yang tahu kalau kalian yang
membongkar mafia perdagangan manusia dan illegal logging.”
“Mafia....?”
Andin duduk mendekat di samping
Rangga.
“Laki-laki yang namanya Tomy Huang
tadi malam, adalah otak mafia perdagangan manusia.”
Rangga mengerutkan dahinya.
“Papa bilang, orang itu udah
diburu polisi selama bertahun-tahun. Pura-pura ngadain pelatihan artis. Cewek
yang masuk perangkap dia akan diselundupkan ke luar negeri.”
“Terus gimana bisa dia.....”
“Rangga!” Andin menyela pertanyaan
Rangga, “Udah stop! Loe masih sakit. Mending loe istirahat aja.” Andin
mengambil tasnya dan beranjak berdiri.
Rangga memandangi Andin. Terlihat
banyak tanda tanya di matanya. Tapi Andin tidak mengindahkannya. Semakin
diladeni, Rangga akan tahan bertanya sampai besok subuh.
“Papa udah nunggu gue di luar.
Istirahat, ya...” pamit Andin. Sebelum pergi, Andin membelai kedua pipi Rangga.
Dirapikannya poni Rangga yang acak-acakan.
Rangga mengantar kepergian Andin
dari sofa. Hanya bisa memandang. Begitu Andin keluar, dan pintu tertutup rapat,
Rangga mengumpat.
“Kampret! Gue lupa minta tolong buat
dibantuin berdiri.” Desah Rangga sedih. Bangun dari kasur bukan hal sulit. Tapi
bangun dari sofa, dengan kondisi punggung seperti itu, ditambah busa sofa yang
empuk banget, ampun deh!!
Alhasil, lagi-lagi Rangga hanya
bisa menunggu. Duduk di sofa dengan posisi tegap. Menunggu seseorang datang dan
membantunya berdiri dari sana. Duduknya lurus ke depan kayak lagi foto KTP.
Wajahnya bego.
“Sialaaaaannnn!!!”
Rangga berteriak kesal. Lima belas
menit berlalu, dan nggak ada seorangpun yang masuk. Sampai kapan dia harus
duduk tegap kayak presiden lagi konferensi gitu?
Rangga mencari cara. Satu-satunya
jalan untuk berdiri tanpa kesakitan adalah dengan menyangga tubuhnya. Maka
Rangga mengandalkan kedua tangannya. Dimiringkannya tubuhnya ke kiri. Kedua
tangannya berpegangan pada tepi sofa. Rangga mulai mengangkat tubuhnya.
“Aghr! Aduh! Aduh!! Busettt!!
Rangga mengurungkan niatnya. Ia
terduduk lagi di sofa. Sakitnya nggak kepalang. Tenaganya yang bertumpu pada
kedua tangannya justru membuat otot punggungnya menegang.
Rangga memutar otak. Dinaikkannya
kakinya ke atas meja. Masing-masing tangannya menyangga di kanan dan kiri.
Rangga mulai mengangkat badannya. Dan seketika Rangga menjerit. Malah dua kali
lipat terasa lebih sakit.
Nafas Rangga megap-megap. Jengkel
stadium akut! Mau berdiri aja susahnya setengah mati. Rangga mengubah
posisinya. Digesernya pelan-pelan tubuhnya ke depan. Digeser dan digeser sampai
mencapai tepi sofa. Sebelah tangannya berpegangan pada tepi meja. Tangannya
yang lain berpegangan pada tepi sofa. Rangga berhitung dalam hati.
“Ok! Satu... dua...”
“Loe ngapain berpose hot kayak
gitu?!!!”
Sebuah teguran mengagetkan Rangga.
Pegangannya seketika terlepas. Rangga jatuh nungging ke lantai. Kejepit sofa
dan meja.
“Ngga!!!” panggil Bisma panik
“Aaaaaaaaaghr!!”
“Loe ngapain?!!” tanya Bisma
sambil berlari.
“Tolongin gue!”
“Huahahahaha!!” tawa Bisma pecah.
“Anjir!!!”
“Lagi main kuda-kudaan?”
“Main kuda-kudaan muka loe kayak
celengan semar!! Cepetan tolongin gue!!”
Sebisanya Bisma memegangi Rangga.
Entah harus ditarik kemana. Tangannya malah lemas gara-gara nahan tawa. Rangga
udah nggak ada bedanya sama engkong-engkong lagi kena ambeyen.
“Berhenti ketawa nggak?!! Berhenti
nggak?!!” bentak Rangga.
“Iya... iya gue... hmp... gue
nggak ketawa!!”
“Adohhh!! Pegangnya yang bener!!”
“Ini udah gue pegangin!!”
“Infusnya! Infusnya!!”
“Tangan loe jangan megangin
sofa!!”
“Sakiiiittt woooy!!”
“Gue bilang jangan pegangan sofa!!
Susah nih!!”
“Yang becus dooonk!!”
“Bawel loe!! Gue lempar juga loe
keluar cendela!!”
“Nih!! Tangan gue ambil!!!”
Rangga dan Bisma bergumul kayak
dua nenek-nenek mau nyebrang jalan. Berisik dan saling berpegangan. Bisma
menuntun Rangga menuju kasurnya. Bulu romanya berdiri. Tiap kali melangkahkan
kaki, Rangga mengerang kesakitan. Tangannya menggenggam baju Bisma sampe
ketarik-tarik. Berasa lagi bantuin orang mau lahiran.
“Loe jalan aja kagak bisa, gimana
caranya loe tiba-tiba nungging di depan sofa?” sergah Bisma.
Rangga manyun, “Udah diem loe!!”
“Gue kira lagi nyariin
recehan....”
“GUE BILANG DIEM! KAMPRET!”
Tawa Bisma pecah lagi. Makin
emosi, Rangga makin kelihatan bego.
BRAKKK!!
Tiba-tiba Reza dan Ilham berlari
ke dalam kamar. Usai membanting pintu, keduanya berdiri di depan dinding. Habis
deh tuh pintu dari tadi nasibnya dibanting-banting mulu.
“Ada ap.....”
“SSSSTTT!!!!”
Reza berdesis. Matanya awas
melihati pintu. Mewanti-wanti seseorang masuk ke dalam kamar.
Ilham mengedipkan mata.
Reza menggeleng.
Ilham memonyongkan bibirnya.
Reza membalasnya dengan monyong
lebih panjang.
Bisma dan Rangga hanya melongo
melihati abang-adek itu berbahasa isyarat. Hanya Tuhan Semesta Alam dan mereka
berdua yang tahu apa artinya.
Lima menit lamanya habis oleh
adegan saling berkedip dan monyong. Tiap kali Rangga dan Bisma bertanya,
keduanya pasti disuruh diam. Dan momen absurd itu akhirnya selesai. Reza dan
Ilham melepas sandarannya dari dinding. Ilham membuka pintu, melongok ke luar.
Menengok ke kanan dan kiri. Lalu menutup pintu lagi.
-----------------------------
BERSAMBUNG KE PART 22
min kapan ini dilanjut, gue udah terlanjur gesrek gara2 ni cerbung -_-
BalasHapusDoain makanyaaa..... tugas kuliah sm organisasi kampus menggila nih,...
Hapus