Title : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season : 2
Author : @ariek_andini (adm4)
Genre : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Gilaaaa..... jadwal kuliah dan organisasi menggelora.... baru hari ini gue sempet posting... -___-
------------------------------
“Ada ap.....”
“SSSSTTT!!!!”
Reza berdesis.
Matanya awas melihati pintu. Mewanti-wanti seseorang masuk ke dalam kamar.
Ilham mengedipkan
mata.
Reza menggeleng.
Ilham
memonyongkan bibirnya.
Reza membalasnya
dengan monyong lebih panjang.
Bisma dan Rangga
hanya melongo melihati abang-adek itu berbahasa isyarat. Hanya Tuhan Semesta
Alam dan mereka berdua yang tahu apa artinya.
Lima menit
lamanya habis oleh adegan saling berkedip dan monyong. Tiap kali Rangga dan
Bisma bertanya, keduanya pasti disuruh diam. Dan momen absurd itu akhirnya
selesai. Reza dan Ilham melepas sandarannya dari dinding. Ilham membuka pintu,
melongok ke luar. Menengok ke kanan dan kiri. Lalu menutup pintu lagi.
“ADA APAAN SIH?!!” tanya Rangga
nggak tahan.
“Sutradara...”
“Dia di sini?!!” belum selesai
Reza menjawab, Bisma langsung memotong.
“Udah pulang...”
“Yakin?!!” tanya Bisma makin
panik.
“Nggak tahu. Pokok sementara
jangan nelpon Om Panchunk dulu, jangan ke toilet, jangan ke kantin, lobi utama,
parkiran, kamarnya Dicky...”
Bisma menyimak nasehat Reza dengan
seksama. Matanya serius menatap jari Reza yang terlipat tiap kali menyebut nama
tempat.
“Pokoknya jangan kemana-mana
dulu!!”
“WOOOOYYYY!!” teriak Rangga mulai emosi,
“Ada apaan, sih?!!!”
“Kita dalam bahaya, Ngga!
Gara-gara Bisma ngilangin pistol sutradara pas nyari Andin tadi malam,
sutradara nyariin kita!” jawab Reza.
“Bukan salah gue, lah!! Waktu itu
lagi panik-paniknya!”
“Ya tapi kan yang ngilangin elu!
Cocoh bilang loe yang ngelempar!!”
“Heh!! Berkat gue juga kalian
selamat. Kalau kagak, nih anak udah mati!!” Bisma menuding kepala Rangga. Kali
ini ia menyeret-nyeret Rangga agar nggak jadi kambing hitam.
“Sekarang bukan itu masalahnya!!
Besok-besok sutradara pasti nemuin kita!! Kita mesti gimana?!!” Ilham menyahut.
“Repot amat!! Jujur aja ngapa!”
seloroh Rangga.
“Nggak bisa, Bego!! Om Panchunk
nyuruh kita ngerahasiain kalau kita pergi ke markas mafia tadi malam. Kalau
sampai kita ngomong ke orang lain, kita bakal digorok!”
“Kita beli yang baru aja!!” Bisma
ngasih ide.
“BENAR JUGA!!!” sahut Reza dan
Ilham kegirangan. Seketika sumringah. Akhirnya bisa menemukan jalan keluar.
“Terus, mau beli di mana?” tanya
Rangga.
Reza dan Ilham terdiam. Wajahnya kembali
suram. Penuh ion negatif. Benar juga! Beli dimana? Pistol begituan emangnya di
Mangga Dua ada?
“Nggak sembarang orang bisa beli
pistol, Bro! Loe pikir jualan pistol kayak jualan kerak telor? Di pinggir jalan
ada? Gitu?” ucap Rangga.
“Ya, loe bantuin mikir kek!!”
bentak Bisma.
“Biasanya yang begituan di kantor
polisi banyak!” Reza ngasih solusi.
“Terus?! Menurut loe, kita datang
ke kantor polisi terus ngomong kalo kita mau beli pistol? Mana boleh, Pea!!”
tandas Rangga.
“Bener juga, sih...”
“Kalau bukan polisi, berarti....”
Ilham berpikir sejenak.
Bisma, Rangga dan Reza serius
menatap ilham. Menunggu lanjutan kalimat Ilham. Kalau bukan polisi. Iya, kalau
tidak bisa mendapatkan pistol pengganti dari polisi berarti....
“Berarti, dari penjahat...”
Keempatnya menahan nafas.
“KAGAK! KAGAK BISA!!” seketika
Rangga menyahut, “Dibayar semilyarpun gue kagak mau berurusan lagi sama
mereka!!” lanjut Rangga begidik. Boro-boro beli pistol sama kriminal, papasan
di jalan aja dia kagak mau. Pertama kali berurusan udah bikin punggung robek
kesulitan berdiri kayak begini. Apalagi kedua kalinya ntar?
“Udah!! Ngomong aja yang jujur!
Kagak usah kebanyakan tingkah!! Berapa sih harga pistol begituan? Kagak bakal
bangkrut juga loe pada! Bilang aja pistolnya nggak sengaja kebawa terus hilang
di apartemen!” Rangga melanjutkan ceramahnya.
Ilham, Reza dan Bisma saling
pandang. Diam dan menurut. Rangga sudah sekeras batu. Tidak bisa lagi
dibujuk-bujuk. Padahal baru kemarin malam dia mati-matian ingin menjemput Andin
sampai hampir mati di tangan penculik.
“Udah! Keluar aja deh! Gue mau
tidur!” ucap Rangga kemudian. Cara terbaik untuk mempertahankan argumennya.
Karena jika Bisma, Ilham dan Reza masih ada di sampingnya, dijamin tuh tiga
kunyuk akan terus membicarakan rencana gila.
Reza dan Ilham berbalik badan.
Bisma beranjak berdiri. Sebelum mengikuti Reza dan Ilham ke pintu, ia meraih
selimut di kaki Rangga, lalu menyelimutkannya ke tubuh Rangga.
“Loe ngapain?!!!” bentak Rangga
tiba-tiba.
“Gue... nyelimutin elo....” jawab
Bisma.
“Kagak usah!!”
“Udah nggak apa-apa!” Bisma
kembali menarik selimut.
“Gue bilang nggak usah! Loe pengen
bikin gue mati kepanasan?!!”
“Diselimutin doank malah ngamuk! Nggak tahu
terima kasih!”
“Loe tuh yang sok romantis!! Udah
sono keluar!”
“Udaaahhh woooy!!!” teriak Reza,
“Ini perkara selimut aja nggak kelar-kelar!”
Bisma manyun. Dia melempar tatapan
membunuh ke arah Rangga. Ia lalu menyusul Reza dan keluar dari kamar Rangga.
Rangga mendesah. Kampret juga tuh
anak. Kelamaan ngejomblo kali sampe kek gitu. Dengan mudahnya ngajak orang beli
pistol ke penjahat. Dia pikir transaksi senjata api semudah beli minyak wangi
di Tanah Abang?
Cukup jungkir balik satu kali aja.
Seperti yang tadi malam ia alami. Selebihnya, dia udah nggak sanggup. Kalau
dihitung sejak ia diserang di studio syuting dulu, sudah empat kali nyawanya
berada di ujung tanduk. Pisau dan senjata api ada di depan matanya. Dia yang
gawenya akting dan ngeboyband, tiba-tiba berada di situasi seperti itu, what
the hell!!
Rangga menggeser kepalanya.
Matanya memandang atap rumah sakit. Benaknya melayang pada sesosok pria.
Wajahnya keras, sorot matanya tajam, ada tato di lehernya, tak jelas itu tato
apa. Dia menerjang ke arahnya. Membawa pisau lipat. Lalu berganti dengan
senjata api. Doni Sambara... dimana dia? Dia tidak muncul ketika Tomy Huang dan
begundalnya menyerbunya di gudang kayu semalam. Bukankah yang paling bernafsu
ingin mencelakainya. Kemana? Apa sudah ditangkap polisi?
Ck!!
************
Dua orang laki-laki menggotong
cermin besar melintasi ruang tunggu. Sejenak Rafael menghentika aksinya
menggeser-geser layar telepon. Matanya mengamati kesibukan kru di depannya. Ia
lalu tersadar ketika seorang pria menegurnya dari belakang.
“Lama, ya?”
Rafael berdiri dari duduknya.
“Kontraknya sudah rampung. Tapi
breafingnya baru lusa bisa dilakukan. Nunggu pemain yang lain datang, soalnya
ini...”
“Ah, iya, paham kok. Nggak
apa-apa.” Potong Rafael sopan. Ia menyambungnya dengan tawa kecil. Pria paruh
baya, koordinator kru berkulit gelap dan berkacamata tebal di depannya, ikut
tertawa.
Rafael lalu mengucap salam pamit.
Setelah berbasa-basi sebentar, ia pergi meninggalkan kantor stasiun televisi
swasta itu. Ia langsung meluncur ke lokasi parkir. Membuka pintu mobil, lalu
menyalakan mesin.
Terhenti. Mesin menyala, namun
Rafael tak juga mengubah persenelengnya.
“Loe serius?”
“Iya kali gue serius, itu Rafael...”
“Rafael boyband itu?”
“Tadi gue liat dia keluar dari ruangannya Kak Robi.”
“Casting kali ya?”
“Iya kali. Gue denger gabung sama SWD.”
“Lho? Kok? Berarti boybandnya ditinggal?”
“Loe nggak liat berita? Boybandnya udah jarang tampil kan. Nyari kerja
sampingan kali...”
Ck!!
Rafael menginjak gas. Mobil melaju
kencang meninggalkan area parkir. Meter demi meter ia menambah kecepatan.
Berharap deru mobil bisa mengusir ingatannya dari obrolan kru di studio tadi.
Kerja sampingan? Tahu apa mereka? Yang main sinetron siapa, kenapa malah mereka
yang ribut?
Rafael melajukan mobilnya menuju
rumah sakit. Wajahnya masih suntuk. Setelah memarkirkan mobil, ia langsung
berjalan ke dalam kamar Rangga. Begitu ia membuka pintu, dilihatnya Dicky
tengah duduk selonjoran sambil mengupas kulit jeruk. Sementara Rangga berdiri
di tengah ruangan dengan tangan terangkat sebelah, kakinya menekuk. Sementara
Bisma berada di belakangnya menjepit pinggang Rangga dengan bantal.
Rafael melengos. Tak peduli hal
sinting apa yang kali ini dilakukan Rangga dan Bisma. Kedua temannya udah nggak
ada bedanya sama pemain sirkus lagi latihan akrobat di kamar pasien rumah
sakit.
“Baru pulang, Coh?” tegur Bisma.
“Gue mau loncat nih! Yang bener pegangnya!!
Yang bener!!” omel Rangga.
“Iya, ini udah gue pegangin!!!”
balas Bisma.
“Adaaaw!”
“Gue bilang nggak usah miring!
Punggung loe nggak kuat kalo miring!”
“Gue lupa! Udah kebiasaan!!”
“Ulang lagi! Satu! Dua!”
Rangga menarik nafas. Sekali lagi
ia menggerak-gerakkan tangannya. Bibirnya melantunkan sebuah lagu. Badannya
menari pelan. Saking pelannya, kayak orang lagi yoga. Di belakangnya, Bisma
menjepit punggungnya dengan bantal. Kalau Rangga bergerak maju, ia ikutan maju.
Kalo Rangga mundur, ia ikutan mundur.
“Ngapain, sih?” tanya Rafael
ngeri.
“Ngedance...” jawab Dicky singkat.
Tangannya mencomot jeruk lalu menyuapkannya ke mulutnya.
“Ngedance?”
“Nih, Coh, abisin!” Dicky tak
menggubris Rafael yang masih kebingungan. Ia melempar jeruk kupasannya yang
tinggal setengah, lalu berlari ke tengah bergabung dengan Bisma dan Rangga.
“Ganti lagunya! Sekarang Hello!!”
teriak Dicky. Ia mulai berdiri di formasinya.
“Gila loe! Loe mau bikin pinggang
gue patah?!”
“Biar terbiasa!!”
“Ayo, Ngga!! Jangan cemen loe!”
“Ini nggak ada hubungannya sama
cemen-cemenan! Loe suruh gue breakdance sekarang juga gua mau!! masalahnya
punggung gue belom bisa!!”
Rafael duduk menopang dagu. Makin
bete aja rasanya. Tuh kamar pasien ramenya kayak pasar. Baru empat hari Rangga
dirawat, tingkahnya udah nggak karuan.
Tiba-tiba pintu terbuka. Reza dan
Ilham masuk ke dalam. Wajahnya berkeringat. Rangga, Bisma, Dicky dan Rafael
menoleh.
“Loe abis lomba tujuh belasan?”
seloroh Dicky.
“Jangan ke bawah!” jawab Ilham
dengan nafas terengah-engah. Tak berbeda dengannya, Reza juga ngos-ngosan.
“Ada apaan?!!” tanya Rangga.
“Banyak wartawan!”
“Mereka tahu kalo Rangga dirawat
di rumah sakit?!!”
“Enggak! bukan Rangga.... ” jawab
Reza. Kalimatnya hampir susah didengar karena bercampur dengan nafasnya yang
memburu.
“Soal boyband kan?” sahut Rafael.
Kelima temannya menoleh heran.
“Kok tahu?” tanya Ilham.
“Udah nggak usah dilanjutin.
Biarin aja...” lanjut Rafael.
“Apaan emang?” tanya Dicky masih
penasaran.
“Tau apaan! Meredup lah! Bubar
lah! Apa lah!” jawab Reza jutek.
“Ya wajar kali mereka mikir
begitu. Gue ngambil sinetron sendirian, kalian juga main sinetron sendirian,
orang pasti mikirnya macem-macem.” Ucap Rafael, “Ditambah lagi, kita udah
seminggu nggak on air karena nungguin Rangga sembuh.”
“Gimana kalo kita jujur aja ke
media kalau Rangga lagi terluka makanya nggak bisa manggung?”
“Curut!! Enak aja loe kalo
ngomong!!”
Usulan Dicky seta merta dibalas
omelan oleh Rafael, Reza, Ilham dan Bisma. Dicky hanya garuk-garuk kepala
sambil nyengir. Polos amat tuh anak ngasih usulan. Boro-boro tersabet golok
sampe masuk rumah sakit. Masuk angin aja beritanya udah heboh dunia akhirat
sampe jadi trending topic. Apalagi yang beginian.
“Ya kan gue cuman usul...”
“Jangan pernah kepikiran buat
ngebocorin itu ke publik. Bisa kemana-mana urusannya!”
Lagi serius kelimanya berbicara,
Om Panchunk dan salah satu asisten SMASH masuk ke dalam kamar Rangga.
Kedatangan keduanya makin menambah tegang suasana.
“Ruwet....” desah Om Panchunk
gusar. Tanpa banyak bicara ia menyelonong ke sofa dan duduk di sana. Kak Yenny
yang datang bersamanya terhenti di depan pintu.
“Siapa di antara kalian yang habis
diwawancara wartawan?” tanya Om Panchunk.
Nggak ada yang menyahut. Dari
caranya bertanya, tiap orang yang ada di sana tahu, Om Panchunk sedang dalam
perasaan buruk.
“Ini....” Kak Yenny menyerahkan
sebuah majalah ke hadapan Rafael. Ilham, Dicky, Bisma, Rangga dan Reza
mendekat. Ikut-ikutan mengintip isi majalah yang dibuka Rafael.
Pacaran dengan Vokalis Grup Rocker Papan Atas, Rangga ‘SMASH’
Menggantungkan Popularitas.
“HAH??!!!”
“Ini lagi yang di internet...” Kak
Yenny menyodorkan handphonenya.
Jarang Tampil Bersama, Benarkah SMASH Bubar?
Tak Jaman Boyband, SMASH Terpecah Belah.
Andin ‘D’Uneven’ Dijadikan Batu Pijakan.
Misteri Boyband Tak Berkualitas bisa Bertahan.
“INI APA-APAAN?!!!” tanya Reza
kaget.
“Kok bisa muncul berita-berita
nggak enak gini, Om?!!” tanya Bisma.
“Mestinya aku yang nanya gitu ke
kalian!! Kalian ini habis ngapain?!! Habis ngomong apa sama wartawan?! Aku dari
tadi ditelponin pihak sponsor ini!! Berita-berita kalian bikin semuanya jadi
amburadul!!”
“Kita nggak ngomong apa-apa ke wartawan!
Tadi aja ketemu di depan rumah sakit, aku sama Bang Reza lari!” bela Ilham.
Om Panchunk meremas dahinya. Ia
memejamkan mata sekian detik. Terasa pening.
“Mungkin karena kita jarang on air
makanya mereka mikirnya macem-macem begitu, Om.” Rafael bersuara.
“Nggak masalah kalian on air apa
enggak. Dulu waktu Rangga ngilang di Bali, kalian nggak tampil di publik dua
minggu nggak ada masalah. Lagian berita soal boyband nggak berkualitas, boyband
lipsync, dan macem-macemnya, itu berita basi. Berita empat tahun lalu pas
kalian pertama kali muncul. Udah nggak jamannya. Yang aku bingungin sekarang,
kenapa berita kacangan kayak gitu muncul lagi?!!”
Om Panchunk mengomel panjang
lebar. Kadang tangannya mengacung-ngacung, menambah tekanan di tiap kalimatnya.
“Aku udah atur semuanya. Nggak
masalah Rangga istirahat di rumah sakit, kita break sebentar. Biarin media rame
dengan CCC season 4 yang baru kemaren ditayangin di TV. Tapi ini... Ck!!”
“Kayaknya, kita mesti keluar buat
ngelurusin ini semua...” ucap Rangga. Seluruh orang yang ada di sana menoleh ke
arahnya.
“Loe jangan maksain diri! Cuma hal
beginian! Tiga hari lagi juga ngilang tuh berita!” sahut Rafael.
“Nggak maksain~!!. Lagian gue udah
mendingan. Udah latihan dance tadi...”
“Heh! Luka loe tuh gede kayak
monas! Dokter bilang butuh waktu lama agar luka loe kering! Lagian perut loe
dibuntel perban kek gitu, loe mau tampil di TV dengan perut kayak lagi hamil
tiga bulan gitu?!!”
“Hamil tiga bulan?!! Loe tuh hamil
tiga bulan!!” Rangga melempar bantal ke muka Dicky.
“Udah! Udah!” Om Panchunk melerai
Rangga dan Dicky. Penat dengan berita yang bermunculan di luar sana, masih
ditambah ruwet dengan tingkah enam artis asuhannya.
“Rangga masih belum bisa ngadance,
Om. Gerakannya kaku kayak orang struk.” Tambah Bisma.
“Kampret!!”
“Diem woy!!” perintah Rafael.
Rupanya hanya dia yang memahami wajah Om Panchunk yang kusut abis kayak cucian.
“Begini...” Om Panchunk
merendahkan suaranya, ia bersandar ke sofa, “Sebenarnya kemarin ada calling-an.
Acara talk show. Palingan kalian cuma datang, duduk, ditanya-tanya, itu doank.
Om rasa, kalau cuma begitu, Rangga bisa.”
Om Panchunk beranjak berdiri. Dia
merapikan kemejanya, “Om akan pastikan jadwalnya. Siap-siap aja nanti malam,
acaranya live jam delapan malam. Soal nyanyi, sementara kalian ambil lagu slow.
Atau lagu apa dibikin akustik. Om mau nanganin sponsor dulu. Dari tadi
nelpon-nelpon nggak brenti-brenti.”
Seluruh orang yang ada di sana mengantar
kepergian Om Panchunk dengan tatapan mata. Tak ada yang bergerak sampai pintu
tertutup dan Kak Yenny menghilang dari balik pintu.
---------------------
BERSAMBUNG KE PART 23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar