17 November 2014

[Cerbung SMASH] "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" SEASON 2 / Part 22


Title          : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season    : 2
Author       : @ariek_andini (adm4)
Genre        : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast          : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...


Gilaaaa..... jadwal kuliah dan organisasi menggelora.... baru hari ini gue sempet posting... -___-

------------------------------


             “Ada ap.....”

             “SSSSTTT!!!!”

             Reza berdesis. Matanya awas melihati pintu. Mewanti-wanti seseorang masuk ke dalam kamar.

             Ilham mengedipkan mata.

             Reza menggeleng.

             Ilham memonyongkan bibirnya.

             Reza membalasnya dengan monyong lebih panjang.

             Bisma dan Rangga hanya melongo melihati abang-adek itu berbahasa isyarat. Hanya Tuhan Semesta Alam dan mereka berdua yang tahu apa artinya.

             Lima menit lamanya habis oleh adegan saling berkedip dan monyong. Tiap kali Rangga dan Bisma bertanya, keduanya pasti disuruh diam. Dan momen absurd itu akhirnya selesai. Reza dan Ilham melepas sandarannya dari dinding. Ilham membuka pintu, melongok ke luar. Menengok ke kanan dan kiri. Lalu menutup pintu lagi.

             “ADA APAAN SIH?!!” tanya Rangga nggak tahan.

             “Sutradara...”

             “Dia di sini?!!” belum selesai Reza menjawab, Bisma langsung memotong.

             “Udah pulang...”

             “Yakin?!!” tanya Bisma makin panik.

             “Nggak tahu. Pokok sementara jangan nelpon Om Panchunk dulu, jangan ke toilet, jangan ke kantin, lobi utama, parkiran, kamarnya Dicky...”

             Bisma menyimak nasehat Reza dengan seksama. Matanya serius menatap jari Reza yang terlipat tiap kali menyebut nama tempat.

             “Pokoknya jangan kemana-mana dulu!!”

             “WOOOOYYYY!!” teriak Rangga mulai emosi, “Ada apaan, sih?!!!”


             “Kita dalam bahaya, Ngga! Gara-gara Bisma ngilangin pistol sutradara pas nyari Andin tadi malam, sutradara nyariin kita!” jawab Reza.

             “Bukan salah gue, lah!! Waktu itu lagi panik-paniknya!”

             “Ya tapi kan yang ngilangin elu! Cocoh bilang loe yang ngelempar!!”

             “Heh!! Berkat gue juga kalian selamat. Kalau kagak, nih anak udah mati!!” Bisma menuding kepala Rangga. Kali ini ia menyeret-nyeret Rangga agar nggak jadi kambing hitam.

             “Sekarang bukan itu masalahnya!! Besok-besok sutradara pasti nemuin kita!! Kita mesti gimana?!!” Ilham menyahut.

             “Repot amat!! Jujur aja ngapa!” seloroh Rangga.

             “Nggak bisa, Bego!! Om Panchunk nyuruh kita ngerahasiain kalau kita pergi ke markas mafia tadi malam. Kalau sampai kita ngomong ke orang lain, kita bakal digorok!”

             “Kita beli yang baru aja!!” Bisma ngasih ide.

             “BENAR JUGA!!!” sahut Reza dan Ilham kegirangan. Seketika sumringah. Akhirnya bisa menemukan jalan keluar.

             “Terus, mau beli di mana?” tanya Rangga.

             Reza dan Ilham terdiam. Wajahnya kembali suram. Penuh ion negatif. Benar juga! Beli dimana? Pistol begituan emangnya di Mangga Dua ada?

             “Nggak sembarang orang bisa beli pistol, Bro! Loe pikir jualan pistol kayak jualan kerak telor? Di pinggir jalan ada? Gitu?” ucap Rangga.

             “Ya, loe bantuin mikir kek!!” bentak Bisma.

             “Biasanya yang begituan di kantor polisi banyak!” Reza ngasih solusi.

             “Terus?! Menurut loe, kita datang ke kantor polisi terus ngomong kalo kita mau beli pistol? Mana boleh, Pea!!” tandas Rangga.

             “Bener juga, sih...”

             “Kalau bukan polisi, berarti....” Ilham berpikir sejenak.

             Bisma, Rangga dan Reza serius menatap ilham. Menunggu lanjutan kalimat Ilham. Kalau bukan polisi. Iya, kalau tidak bisa mendapatkan pistol pengganti dari polisi berarti....

             “Berarti, dari penjahat...”

             Keempatnya menahan nafas.

             “KAGAK! KAGAK BISA!!” seketika Rangga menyahut, “Dibayar semilyarpun gue kagak mau berurusan lagi sama mereka!!” lanjut Rangga begidik. Boro-boro beli pistol sama kriminal, papasan di jalan aja dia kagak mau. Pertama kali berurusan udah bikin punggung robek kesulitan berdiri kayak begini. Apalagi kedua kalinya ntar?

             “Udah!! Ngomong aja yang jujur! Kagak usah kebanyakan tingkah!! Berapa sih harga pistol begituan? Kagak bakal bangkrut juga loe pada! Bilang aja pistolnya nggak sengaja kebawa terus hilang di apartemen!” Rangga melanjutkan ceramahnya.

             Ilham, Reza dan Bisma saling pandang. Diam dan menurut. Rangga sudah sekeras batu. Tidak bisa lagi dibujuk-bujuk. Padahal baru kemarin malam dia mati-matian ingin menjemput Andin sampai hampir mati di tangan penculik.

             “Udah! Keluar aja deh! Gue mau tidur!” ucap Rangga kemudian. Cara terbaik untuk mempertahankan argumennya. Karena jika Bisma, Ilham dan Reza masih ada di sampingnya, dijamin tuh tiga kunyuk akan terus membicarakan rencana gila.

             Reza dan Ilham berbalik badan. Bisma beranjak berdiri. Sebelum mengikuti Reza dan Ilham ke pintu, ia meraih selimut di kaki Rangga, lalu menyelimutkannya ke tubuh Rangga.

             “Loe ngapain?!!!” bentak Rangga tiba-tiba.

             “Gue... nyelimutin elo....” jawab Bisma.

             “Kagak usah!!”

             “Udah nggak apa-apa!” Bisma kembali menarik selimut.

             “Gue bilang nggak usah! Loe pengen bikin gue mati kepanasan?!!”

             “Diselimutin doank malah ngamuk! Nggak tahu terima kasih!”

             “Loe tuh yang sok romantis!! Udah sono keluar!”

             “Udaaahhh woooy!!!” teriak Reza, “Ini perkara selimut aja nggak kelar-kelar!”

             Bisma manyun. Dia melempar tatapan membunuh ke arah Rangga. Ia lalu menyusul Reza dan keluar dari kamar Rangga.

             Rangga mendesah. Kampret juga tuh anak. Kelamaan ngejomblo kali sampe kek gitu. Dengan mudahnya ngajak orang beli pistol ke penjahat. Dia pikir transaksi senjata api semudah beli minyak wangi di Tanah Abang?

             Cukup jungkir balik satu kali aja. Seperti yang tadi malam ia alami. Selebihnya, dia udah nggak sanggup. Kalau dihitung sejak ia diserang di studio syuting dulu, sudah empat kali nyawanya berada di ujung tanduk. Pisau dan senjata api ada di depan matanya. Dia yang gawenya akting dan ngeboyband, tiba-tiba berada di situasi seperti itu, what the hell!!

             Rangga menggeser kepalanya. Matanya memandang atap rumah sakit. Benaknya melayang pada sesosok pria. Wajahnya keras, sorot matanya tajam, ada tato di lehernya, tak jelas itu tato apa. Dia menerjang ke arahnya. Membawa pisau lipat. Lalu berganti dengan senjata api. Doni Sambara... dimana dia? Dia tidak muncul ketika Tomy Huang dan begundalnya menyerbunya di gudang kayu semalam. Bukankah yang paling bernafsu ingin mencelakainya. Kemana? Apa sudah ditangkap polisi?

             Ck!!

             ************

             Dua orang laki-laki menggotong cermin besar melintasi ruang tunggu. Sejenak Rafael menghentika aksinya menggeser-geser layar telepon. Matanya mengamati kesibukan kru di depannya. Ia lalu tersadar ketika seorang pria menegurnya dari belakang.

             “Lama, ya?”

             Rafael berdiri dari duduknya.

             “Kontraknya sudah rampung. Tapi breafingnya baru lusa bisa dilakukan. Nunggu pemain yang lain datang, soalnya ini...”

             “Ah, iya, paham kok. Nggak apa-apa.” Potong Rafael sopan. Ia menyambungnya dengan tawa kecil. Pria paruh baya, koordinator kru berkulit gelap dan berkacamata tebal di depannya, ikut tertawa.

             Rafael lalu mengucap salam pamit. Setelah berbasa-basi sebentar, ia pergi meninggalkan kantor stasiun televisi swasta itu. Ia langsung meluncur ke lokasi parkir. Membuka pintu mobil, lalu menyalakan mesin.

             Terhenti. Mesin menyala, namun Rafael tak juga mengubah persenelengnya.

             “Loe serius?”

             “Iya kali gue serius, itu Rafael...”

             “Rafael boyband itu?”

             “Tadi gue liat dia keluar dari ruangannya Kak Robi.”

             “Casting kali ya?”

             “Iya kali. Gue denger gabung sama SWD.”

             “Lho? Kok? Berarti boybandnya ditinggal?”

             “Loe nggak liat berita? Boybandnya udah jarang tampil kan. Nyari kerja sampingan kali...”

             Ck!!

             Rafael menginjak gas. Mobil melaju kencang meninggalkan area parkir. Meter demi meter ia menambah kecepatan. Berharap deru mobil bisa mengusir ingatannya dari obrolan kru di studio tadi. Kerja sampingan? Tahu apa mereka? Yang main sinetron siapa, kenapa malah mereka yang ribut?

             Rafael melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Wajahnya masih suntuk. Setelah memarkirkan mobil, ia langsung berjalan ke dalam kamar Rangga. Begitu ia membuka pintu, dilihatnya Dicky tengah duduk selonjoran sambil mengupas kulit jeruk. Sementara Rangga berdiri di tengah ruangan dengan tangan terangkat sebelah, kakinya menekuk. Sementara Bisma berada di belakangnya menjepit pinggang Rangga dengan bantal.

             Rafael melengos. Tak peduli hal sinting apa yang kali ini dilakukan Rangga dan Bisma. Kedua temannya udah nggak ada bedanya sama pemain sirkus lagi latihan akrobat di kamar pasien rumah sakit.

             “Baru pulang, Coh?” tegur Bisma.

             “Gue mau loncat nih! Yang bener pegangnya!! Yang bener!!” omel Rangga.

             “Iya, ini udah gue pegangin!!!” balas Bisma.

             “Adaaaw!”

             “Gue bilang nggak usah miring! Punggung loe nggak kuat kalo miring!”

             “Gue lupa! Udah kebiasaan!!”

             “Ulang lagi! Satu! Dua!”

             Rangga menarik nafas. Sekali lagi ia menggerak-gerakkan tangannya. Bibirnya melantunkan sebuah lagu. Badannya menari pelan. Saking pelannya, kayak orang lagi yoga. Di belakangnya, Bisma menjepit punggungnya dengan bantal. Kalau Rangga bergerak maju, ia ikutan maju. Kalo Rangga mundur, ia ikutan mundur.

             “Ngapain, sih?” tanya Rafael ngeri.

             “Ngedance...” jawab Dicky singkat. Tangannya mencomot jeruk lalu menyuapkannya ke mulutnya.

             “Ngedance?”

             “Nih, Coh, abisin!” Dicky tak menggubris Rafael yang masih kebingungan. Ia melempar jeruk kupasannya yang tinggal setengah, lalu berlari ke tengah bergabung dengan Bisma dan Rangga.

             “Ganti lagunya! Sekarang Hello!!” teriak Dicky. Ia mulai berdiri di formasinya.

             “Gila loe! Loe mau bikin pinggang gue patah?!”

             “Biar terbiasa!!”

             “Ayo, Ngga!! Jangan cemen loe!”

             “Ini nggak ada hubungannya sama cemen-cemenan! Loe suruh gue breakdance sekarang juga gua mau!! masalahnya punggung gue belom bisa!!”

             Rafael duduk menopang dagu. Makin bete aja rasanya. Tuh kamar pasien ramenya kayak pasar. Baru empat hari Rangga dirawat, tingkahnya udah nggak karuan.

             Tiba-tiba pintu terbuka. Reza dan Ilham masuk ke dalam. Wajahnya berkeringat. Rangga, Bisma, Dicky dan Rafael menoleh.

             “Loe abis lomba tujuh belasan?” seloroh Dicky.

             “Jangan ke bawah!” jawab Ilham dengan nafas terengah-engah. Tak berbeda dengannya, Reza juga ngos-ngosan.

             “Ada apaan?!!” tanya Rangga.

             “Banyak wartawan!”

             “Mereka tahu kalo Rangga dirawat di rumah sakit?!!”

             “Enggak! bukan Rangga.... ” jawab Reza. Kalimatnya hampir susah didengar karena bercampur dengan nafasnya yang memburu.

             “Soal boyband kan?” sahut Rafael.

             Kelima temannya menoleh heran.

             “Kok tahu?” tanya Ilham.

             “Udah nggak usah dilanjutin. Biarin aja...” lanjut Rafael.

             “Apaan emang?” tanya Dicky masih penasaran.

             “Tau apaan! Meredup lah! Bubar lah! Apa lah!” jawab Reza jutek.

             “Ya wajar kali mereka mikir begitu. Gue ngambil sinetron sendirian, kalian juga main sinetron sendirian, orang pasti mikirnya macem-macem.” Ucap Rafael, “Ditambah lagi, kita udah seminggu nggak on air karena nungguin Rangga sembuh.”

             “Gimana kalo kita jujur aja ke media kalau Rangga lagi terluka makanya nggak bisa manggung?”

             “Curut!! Enak aja loe kalo ngomong!!”

             Usulan Dicky seta merta dibalas omelan oleh Rafael, Reza, Ilham dan Bisma. Dicky hanya garuk-garuk kepala sambil nyengir. Polos amat tuh anak ngasih usulan. Boro-boro tersabet golok sampe masuk rumah sakit. Masuk angin aja beritanya udah heboh dunia akhirat sampe jadi trending topic. Apalagi yang beginian.

             “Ya kan gue cuman usul...”

             “Jangan pernah kepikiran buat ngebocorin itu ke publik. Bisa kemana-mana urusannya!”

             Lagi serius kelimanya berbicara, Om Panchunk dan salah satu asisten SMASH masuk ke dalam kamar Rangga. Kedatangan keduanya makin menambah tegang suasana.

             “Ruwet....” desah Om Panchunk gusar. Tanpa banyak bicara ia menyelonong ke sofa dan duduk di sana. Kak Yenny yang datang bersamanya terhenti di depan pintu.

             “Siapa di antara kalian yang habis diwawancara wartawan?” tanya Om Panchunk.

             Nggak ada yang menyahut. Dari caranya bertanya, tiap orang yang ada di sana tahu, Om Panchunk sedang dalam perasaan buruk.

             “Ini....” Kak Yenny menyerahkan sebuah majalah ke hadapan Rafael. Ilham, Dicky, Bisma, Rangga dan Reza mendekat. Ikut-ikutan mengintip isi majalah yang dibuka Rafael.

             Pacaran dengan Vokalis Grup Rocker Papan Atas, Rangga ‘SMASH’ Menggantungkan Popularitas.

             “HAH??!!!”

             “Ini lagi yang di internet...” Kak Yenny menyodorkan handphonenya.

             Jarang Tampil Bersama, Benarkah SMASH Bubar?

             Tak Jaman Boyband, SMASH Terpecah Belah.

             Andin ‘D’Uneven’ Dijadikan Batu Pijakan.

             Misteri Boyband Tak Berkualitas bisa Bertahan.

             “INI APA-APAAN?!!!” tanya Reza kaget.

             “Kok bisa muncul berita-berita nggak enak gini, Om?!!” tanya Bisma.

             “Mestinya aku yang nanya gitu ke kalian!! Kalian ini habis ngapain?!! Habis ngomong apa sama wartawan?! Aku dari tadi ditelponin pihak sponsor ini!! Berita-berita kalian bikin semuanya jadi amburadul!!”

             “Kita nggak ngomong apa-apa ke wartawan! Tadi aja ketemu di depan rumah sakit, aku sama Bang Reza lari!” bela Ilham.

             Om Panchunk meremas dahinya. Ia memejamkan mata sekian detik. Terasa pening.

             “Mungkin karena kita jarang on air makanya mereka mikirnya macem-macem begitu, Om.” Rafael bersuara.

             “Nggak masalah kalian on air apa enggak. Dulu waktu Rangga ngilang di Bali, kalian nggak tampil di publik dua minggu nggak ada masalah. Lagian berita soal boyband nggak berkualitas, boyband lipsync, dan macem-macemnya, itu berita basi. Berita empat tahun lalu pas kalian pertama kali muncul. Udah nggak jamannya. Yang aku bingungin sekarang, kenapa berita kacangan kayak gitu muncul lagi?!!”

             Om Panchunk mengomel panjang lebar. Kadang tangannya mengacung-ngacung, menambah tekanan di tiap kalimatnya.

             “Aku udah atur semuanya. Nggak masalah Rangga istirahat di rumah sakit, kita break sebentar. Biarin media rame dengan CCC season 4 yang baru kemaren ditayangin di TV. Tapi ini... Ck!!”
            
             “Kayaknya, kita mesti keluar buat ngelurusin ini semua...” ucap Rangga. Seluruh orang yang ada di sana menoleh ke arahnya.

             “Loe jangan maksain diri! Cuma hal beginian! Tiga hari lagi juga ngilang tuh berita!” sahut Rafael.

             “Nggak maksain~!!. Lagian gue udah mendingan. Udah latihan dance tadi...”

             “Heh! Luka loe tuh gede kayak monas! Dokter bilang butuh waktu lama agar luka loe kering! Lagian perut loe dibuntel perban kek gitu, loe mau tampil di TV dengan perut kayak lagi hamil tiga bulan gitu?!!”

             “Hamil tiga bulan?!! Loe tuh hamil tiga bulan!!” Rangga melempar bantal ke muka Dicky.

             “Udah! Udah!” Om Panchunk melerai Rangga dan Dicky. Penat dengan berita yang bermunculan di luar sana, masih ditambah ruwet dengan tingkah enam artis asuhannya.

             “Rangga masih belum bisa ngadance, Om. Gerakannya kaku kayak orang struk.” Tambah Bisma.

             “Kampret!!”

             “Diem woy!!” perintah Rafael. Rupanya hanya dia yang memahami wajah Om Panchunk yang kusut abis kayak cucian.

             “Begini...” Om Panchunk merendahkan suaranya, ia bersandar ke sofa, “Sebenarnya kemarin ada calling-an. Acara talk show. Palingan kalian cuma datang, duduk, ditanya-tanya, itu doank. Om rasa, kalau cuma begitu, Rangga bisa.”

             Om Panchunk beranjak berdiri. Dia merapikan kemejanya, “Om akan pastikan jadwalnya. Siap-siap aja nanti malam, acaranya live jam delapan malam. Soal nyanyi, sementara kalian ambil lagu slow. Atau lagu apa dibikin akustik. Om mau nanganin sponsor dulu. Dari tadi nelpon-nelpon nggak brenti-brenti.”

             Seluruh orang yang ada di sana mengantar kepergian Om Panchunk dengan tatapan mata. Tak ada yang bergerak sampai pintu tertutup dan Kak Yenny menghilang dari balik pintu.

---------------------

BERSAMBUNG KE PART 23

Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar