20 November 2014

[Cerbung SMASH] "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" SEASON 2 / Part 23

Title          : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season    : 2
Author       : @ariek_andini (adm4)
Genre        : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast          : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...

----------------------

             “Rangga masih belum bisa ngadance, Om. Gerakannya kaku kayak orang struk.” Tambah Bisma.

             “Kampret!!”

             “Diem woy!!” perintah Rafael. Rupanya hanya dia yang memahami wajah Om Panchunk yang kusut abis kayak cucian.

             “Begini...” Om Panchunk merendahkan suaranya, ia bersandar ke sofa, “Sebenarnya kemarin ada calling-an. Acara talk show. Palingan kalian cuma datang, duduk, ditanya-tanya, itu doank. Om rasa, kalau cuma begitu, Rangga bisa.”

             Om Panchunk beranjak berdiri. Dia merapikan kemejanya, “Om akan pastikan jadwalnya. Siap-siap aja nanti malam, acaranya live jam delapan malam. Soal nyanyi, sementara kalian ambil lagu slow. Atau lagu apa dibikin akustik. Om mau nanganin sponsor dulu. Dari tadi nelpon-nelpon nggak brenti-brenti.”

             Seluruh orang yang ada di sana mengantar kepergian Om Panchunk dengan tatapan mata. Tak ada yang bergerak sampai pintu tertutup dan Kak Yenny menghilang dari balik pintu.

             Perlahan tangan Rangga meraba perutnya. Jempolnya menekan-nekan buntalan perban di sana. Iya sih, jadi kelihatan gembul. Apa dia minta tolong dokter aja buat mengurangi perbannya, atau sekalian melepasnya? Toh lukanya juga udah membaik.

             Dua jam setelah meeting kecil-kecilan itu, tepat jam lima sore, Rafael dan salah satu asistan SMASH datang ke kamar Rangga. Keduanya membawa ganti baju sekaligus menjemput Rangga ke lokasi. Tak ada masalah besar, kecuali Rangga yang mati-matian merengek minta dibawakan baju lain karena baju yang dibawakan Rafael berwarna putih.

             “Gue kelihatan gembul kalo pakek warna putih! Gue udah lama nggak ngedance! Gue gemukan! Ganti yang hitam aja! Atau kalo nggak coklat, atau biru tua!”

             “Ini busananya udah dari sononya begini! Udah sepaket! Om Panchunk yang nyewa ke desainer! Temanya putih-putih! Udah loe jangan banyak ngomel! Pakek aja! Loe tuh gembul dari sononya!”

             Perkara busana, Rangga akhirnya manyun sepanjang perjalanan menuju lokasi. Dia mati-matian menyuruh asistennya untuk men-style rambutnya mohwack ke atas. Seenggaknya dengan begitu ia sedikit terlihat tirus. Sedikit sih.

             Keluar dari mobil, ia ditelpon Om Panchunk. Untuk hal yang sama. Apa yang harus ia ucapkan di depan nanti. Apa yang perlu diluruskan. Dan mengapa mereka jarang tampil bersama.


             “Om nggak bisa ke sana. Ingat! Jangan ngomong apapun soal penjahat, human trafficing, dan rumah sakit. Om serahin ke kamu. Sekarang Om sedang meeting sama label.”

             Rangga manggut-manggut. Masa bodo teuing Om Panchunk bisa ngeliat dia manggut-manggut apa kagak.

             Perjalanan menuju studio, Rangga berjalan super pelan. Kayak Pangeran Solo lagi upacara pernikahan. Rangga benar-benar memperhatikan langkahnya agar punggungnya nggak nyeri. Sesekali dia menoleh ke sekeliling, mewanti-wanti agar nggak ada orang lewat di sampingnya dan menyenggolnya.

             “Cepetan, Ngga!!! Udah mau mulai nih acaranya!!!” omel Rafael.

             Rangga nggak menyahut. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri ala James Bond lagi nyari tersangka pembunuhan. Rafael mendengus. Menahan diri untuk nggak masukin Rangga ke dalam kurungan ayam. Segitunya tuh cowok.

             Mending kalo sampe di lokasi langsung masuk ke stage. Rangga malah ketemu Andin dan personel D’Uneven lainnya di dekat pintu masuk. Bisa ditebak, drama histeris langsung meledak. Andin udah kayak emak-emak ketemu anaknya yang masih SD keluyuran di mall.

             “Rangga?!!! Loe ngapain di sini?!! Loe kok bisa sampe di sini?!! Loe nggak di rumah sakit?!! Luka loe!??”

             “Ssssssttt!!”

             Rangga membekap bibir Andin. Tapi Andin tak menyerah. Rasa kagetnya karena ketemu Rangga di stasiun TV lebih besar dibandingkan bekapan tangan Rangga. Andin mati-matian bicara.

             “Mbl-mmmfkl-%7&#H-lombb-.....”

             “Diem, Ndin!!”

             Andin diam.

             “Ini Cuma acara talk show!” ucap Rangga sambil melepas bekapan tangannya, “Ntar cuman duduk terus ngobrol, gitu doank. Gue udah baikan. Lukanya juga hampir kering.”

             “Loe yakin?”

             “Loe nggak lihat berita?!” tanya Rangga.

             “Kenapa loe selalu nanya berita sih ke gue?! Gue bukan emak-emak yang demen nonton gosip!”

             Rangga berdecak, “Nggak tau kenapa, tiba-tiba gue diserang gosip nggak jelas! Anak-anak SMASH lain juga kena! Makanya manajer gue nyaranin buat keluar sementara, buat ngelurusin ini semua!”

             “Ya, kan temen loe aja bisa. Nggak harus loe kan?”

             “Ndin!” Rangga memegang pundak Andin, “Ini bukan gosip kacangan yang ngatain boyband gue atau apa. Lebih dari itu, mereka ngatain gue nggantuingin popularitas ke band loe. Ini pemberitaannya kacau banget?!”

             “What?”

             “Makanya, kita butuh muncul bareng-bareng. Gue nggak pernah peduli gosip apa yang berkeliaran di luar sana. Tapi kalo udah nyangkut-nyangkutin loe dan gue, itu harus dilurusin. Gue nggak mau hubungan kita bermasalah lagi.”

             “Rangga!!” potong Rafael.

             “Satu menit!” Rangga menoleh pada Rafael, lalu balik menatap Andin, “Loe paham kan? Ini semua.....”

             “Ranggaaaaa!!”

             “Satu menit!!”

             “Nggak ada satu menit satu menitan! Masuk!”

             Rangga mendengus. Rafael udah berteriak-teriak kayak komandan upacara. Ia akhirnya pamit pada Andin dan masuk ke dalam studio. Ia hanya sempat melirik sebentar wajah Andin. Wajah galau. Awalnya sih galau karena mengkhawatirkan luka Rangga, tapi setelah mendengar penjelasan Rangga, ekpresi Andin berubah garang.

             Gosip? Antara Rangga dan D’Uneven?

             “Gue cabut!” ucap Andin.

             “What? Gue udah mesenin loe kursi, Ndin!” cegat Erwin.

             “Lain kali gue ikut!” jawab Andin tanpa menoleh. Langkahnya tegas ke depan. Satu orang yang ada di benaknya. Yang biasanya menjadi dalang dibalik gosip miring yang beredar di media. Berandal berdasi itu!

             “Papa di rumah?” tanya Andin melalui handphonenya. Sebelah tangannya membuka pintu mobil.

             “Ada apa?” jawab Papanya.

             “Papa udah lihat berita?”

             Tak ada sahutan. Andin mengurungkan niatnya menyalakan mesin mobil. Ia menunggu jawaban papanya.

             “Udah aku duga, Papa ikut-ikutan kan pasti?”

             “Ndin! Papa nggak nyangka bakal sejauh itu! Papa Cuma menjamin Bunawar dari sisi hukum.”

             “Menjamin? Iya! Menjamin dia agar sejelek apapun gosip yang dia sebarkan, Bunawar nggak bakal dituntut ke penjara! Begitu kan?”

             “Papa nggak bisa berbuat apa-apa! Bunawar benar-benar marah sama Rangga. Dan sekarang merembet ke boybandnya. Kamu sendiri tahu Bunawar sejak kamu kecil kan? Om kamu itu kalau marah pasti habis-habisan, tapi habis itu reda. Tunggu aja seminggu, atau dua minggu lagi, kalau marahnya sama Rangga udah reda, gosip-gosip itu bakal ngilang dengan sendirinya!”

             “Stop nyebut dia Om! Keluarga kita nggak ada hubungan darah sama dia!”

             “Andin....” Om Budy berusaha menenangkan putrinya, “Kita sama-sama tahu tabiat Bunawar. Lagian, sudah bertahun-tahun kan kamu berada di dalam manajemennya? Percaya sama Papa. Tunggulah! Situasi kayak gini pasti akan berakhir dengan cepat.”

             Andin berdecak jengkel. Dimatikannya teleponnya tanpa mengucap pamit. Salah satu bentuk protes kepada Papanya.

             Kadang memang seperti buah simalakama. Bertahun-tahun ia berada di bawah manajemen Bunawar. Dan berkat sentilan Bunawar pula, bandnya bisa terus eksis hingga sekarang. Papanya, yang dulu pengacara biasa, sekarang menjadi pengacara kondang sejak bekerja pada Bunawar. Pahit untuk mengakui, kalau dihitung-hitung, jasa Bunawar pada keluarganya sangat besar.

             Lalu? Begitu? Apakah itu berarti keluarganya harus berpura-pura buta sementara Bunawar terus-terusan berbuat kotor? Sampai kapan dia harus bersikap manis seperti ini?       

             Andin menenggelamkan kepalanya dibalik kemudi. Matanya mengintip ke depan. Erwin, Ardhy, Ipunk, dua asistennya, dan manajernya berjalan melintasi parkiran. Andin mendesah. Melayang sudah tiketnya ditraktir manajernya di restoran mewah. Moodnya mendadak jelek gara-gara omongan Rangga.

             Jadi, gimana sekarang? Batal ikut dinner bareng teman bandnya, pulang ke rumah juga nambah suntuk. Dia lagi malas ketemu papanya. Andin menimang-nimang. Jarinya mengetuk-ngetuk klakson mobil. Hingga akhirnya dia memutuskan keluar dari mobil. Nggak punya tujuan, Andin lalu berjalan menuju studio dimana Rangga sedang syuting.

             ************

             “Yak! Kita sampai di segmen terakhir! Setelah tadi ngobrol-ngobrol bareng, kali ini kita pengen lihat SMASH ngedance di depan!”

             Lampu studio menari-nari. Tepuk tangan penonton mengiringi ucapan host. Salah satu kru memberi kode agar salah satu personil SMASH maju ke depan.

             “Siapa nih yang bakal maju buat ngedance? Lawan gue nih?” lanjut host.

             Bisma beranjak dari duduknya. Dia maju ke depan.

             “Bisma? Kok loe terus sih? Tiap ada acara apa, yang ditantang dance pasti elo! Member SMASH yang lain dooonk!!” gurau host bertubuh tambun itu.

             Bisma Cuma ketawa. Gayanya stay cool. Dia lalu menoleh ke arah teman-temannya, “Eja! Maju, Ja!”

             Reza bersiap berdiri. Tapi kemudian ia terhenti lantaran dicegat host.

             “Jangan! Jangan elo! Loe udah ditantang rapp tadi!”

             “Ya udah, Cocoh! Cocoh!” ucap Bisma.

             “Gue aja yang milih! Gue!!” sahut sang pembawa acara, “Rangga! Gue pengen ngeliat loe ngedance!”

             Rangga mangap.

             “Gue aja!!” Ilham berdiri dari duduknya. Tapi tangannya keburu ditarik oleh host.

             “Gue bilang Rangga! Loe ntar aja gue tantang masak!!” ucap host itu bersihkukuh. Ajakannya dibalut gurauan. Tingkahnya yang lincah menjadi bahan tertawa penonton. Tapi kelakuannya itu justru membuat keenam personil SMASH ketar-ketir. Kampret tuh host satu! Empet banget nyuruh Rangga ngedance.

             “Ayooo! Rangga, berdiri!” ucapnya sambil menggandeng tangan Rangga ke depan.

             Rangga menurut. Langkahnya kaku kayak robot. Wajahnya pucat pasi. Tak ada satupun temannya yang bisa mencegah. Jujur ke host kalau dia sedang sakit juga nggak mungkin.

             “Mau lagu apa nih? Jangan lagunya SMASH! Keenakan elo mah! Lagunya Joshua cobak! Yang diobok-obok! Nah! Gue tantang nih loe! Bisa kagak ngedance pakek lagu anak-anak!”

             Ilham menyikut Bisma. Bisma menyikut Reza. Reza monyong ke arah Rafael. Rafael mengelus jidatnya. HARUS GIMANA SEKARANG?

             Musik dimainkan. Lampu studio mulai menari-nari. Detik-detik pertama, Rangga diam mematung. Kelima kawannya duduk di belakangnya dengan jantung seperti beduk masjid. Tapi tanpa diduga, seorang cewek berjaket kulit, bersepatu boat dengan heels tinggi, dan eyeliner tebal di matanya datang ke atas panggung. Semua orang menoleh.

             “ANDIN????!”

             Rangga melongo.

             Pembawa acara yang semula berdiri menepi di belakang, seketika mengampiri Andin. Wajahnya terkejut bukan main.

             “Andin D’Uneven?!! Wow! Surprise banget nih tiba-tiba datang di sini!” sambutnya. Matanya melirik pada kru yang ada di depannya. Tiba-tiba ada artis lain masuk, kenapa tadi nggak ada di briefing-an?!

             Lima personel SMASH yang lain ikutan berdiri. Pembawa acara menyalami Andin dengan hangat. Perhatian seluruh orang di dalam studio tertuju pada Andin. Menit berikutnya, adegan di atas panggung berlanjut dengan aksi saling goda antar personil. Rangga habis-habisan digoda oleh member lain dan sang pembawa acara.

             “Cieeee....! Didatengin pacar!!”

             “Rangga! Sini lho deket Andin! Menjauh mulu!!”

             “Udah tunangan ya katanya?!”

             “Belom, Om! Belom! Bentar lagi!”

             “Ciyeee...! kapan?!”

             Reza menyeret-nyeret Rangga mendekat ke samping Andin. Member lainnya ikut ngeceng-ngecengin. Seluruh penonton berseru riuh rendah. Andin tertawa kecil. Hanya Rangga yang memasang ekspresi poker-face. WHAT THE HELL!! Perasaan selama ini dia jalan sama Andin, atau ngobrol dengan Andin berdua di apartemen, teman-temannya tenang-tenang aja! Kenapa sekarang jadi sok heboh begini?

             “Ayo! Ayo! Sini duduk! Rangga! Ajak Andin duduk dooonk! Nggak peka banget sih!”  seru pembawa acara.

             Rangga nurut.

             “Saya ikutan terkejut nih lihat Andin datang di segmen-segmen akhir!”

             “Spesial buat Rangga, Om!” potong Dicky.

             “Wooooh! Iya iya! Ciyeeeee! Romantis banget sih! Lagi kerja, terus disamperin!!”

             Andin tertawa kecil. Sebelah tangannya menutup mulutnya. Saat tertawa, Andin sedikit menyembunyikan wajahnya.

             Weird! Rangga melirik Andin dengan bulu kuduk berdiri. Habis kejedot pintu dimana tuh anak kok tiba-tiba bersikap imut banget? Biasanya juga kalo ketawa ngakak.

             Sang pembawa acara melanjutkan pertanyaan-pertanyaannya pada Andin. Tiap usai menjawab, selalu disambung candaan oleh pembawa acara dan member SMASH yang lain. Rangga masih melanjutkan loading-nya.

             Andin menyenggol kaki Rangga. Rangga melirik. Andin mendelikkan matanya. Rangga cengo. Andin mendelikkan matanya makin lebar. Rangga hanya mengerutkan dahinya. Dengan otak kosong melihati wajah Andin yang nggak ada bedanya sama boneka Annabell.

             “Apaan?” bisik Rangga. Akhirnya peka juga dengan kode dari Andin.

             “Tapi gimana caranya menjaga komunikasi di tengah kesibukan?”

             “Saling ngasih kabar aja, sih. Lewat SMS, lewat telpon....” jawab Andin sambil tersenyum. Ia lalu menoleh ke arah Rangga, “Iya, kan, Rang?”

             “Hah?” Rangga terlihat mikir setengah mati.

             “Hah iyaa yaa aaa hahahaha hah....” sambung Andin.

             “Haha....” Rangga ikutan ketawa. Suaranya nanggung. Mata tertuju ke arah host, sementara dengkulnya gemeteran karena dicubit Andin.

             “Biasanya orang pacaran punya panggilan spesial, loh. Misalnya “Embem” kalo dia tembem. Atau “Ndut” kalo dia gendut, atau, banyak lainnya. Nah, kalo Andin ke Rangga panggilan spesialnya apa, nih?”

             Rangga melirik Andin. Mampus loe, batinnya. Makan tuh panggilan spesial! Boro-boro embem atau endut, yang ada mah nama marga satwa semua. Daftar aja semua, dimulai dari Kutu Kupret, Badak Aer, sampe Ikan Buntal.

             Rangga menoleh ke arah penonton. Merasa bodo amat dengan pertanyaan host. Kadang merasa jengkel juga. Di saat pasangan lain memanggil satu sama lain dengan sayang, honey, atau cinta, dia malah mendapat panggilan penghuni kebun binatang. Rangga menatap lurus ke depan. Telinganya terbuka lebar-lebar. Bersiap mendengar apa jawaban Andin. Hingga tanpa ia sadar, matanya terhenti pada sebuah sosok familiar. Sosok berjaket hitam yang duduk di bangku penonton. Berambut cepak dengan tindik logam di telinga kirinya. Menatapnya tajam. Sangat tajam.

             DIA???!!!

             Doni Sambara?!!!

             “Rangga?”

             “.....”

             “Rangga?!!!”

             “Akhhh!!”

             “Ngelamun mulu! Bangun woy!!” ucap Bisma sambil menyodorkan microphone.

             “Apaan?”

             “Nyanyi! Acaranya udah selesai.”

             Hah?


             Rangga mengikuti Bisma maju ke depan. Andin menggandeng lengannya di sampingnya. Dentum lagu mulai dimainkan. Lampu studio bergerak-gerak. Suasana meremang. Biru dan ungu. Di tengah pemandangan yang temaram, Rangga memicing-micingkan matanya. Tatap matanya tertuju ke bangku penonton yang berada di ujung kiri.

-------------------------

BERSAMBUNG KE PART 24

1 komentar: