Title : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season : 2
Author : @ariek_andini (adm4)
Genre : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
\
----------------------
DIA???!!!
Doni Sambara?!!!
“Rangga?”
“.....”
“Rangga?!!!”
“Akhhh!!”
“Ngelamun mulu!
Bangun woy!!” ucap Bisma sambil menyodorkan microphone.
“Apaan?”
“Nyanyi! Acaranya
udah selesai.”
Hah?
Rangga mengikuti
Bisma maju ke depan. Andin menggandeng lengannya di sampingnya. Dentum lagu
mulai dimainkan. Lampu studio bergerak-gerak. Suasana meremang. Biru dan ungu.
Di tengah pemandangan yang temaram, Rangga memicing-micingkan matanya. Tatap
matanya tertuju ke bangku penonton yang berada di ujung kiri.
Tidak ada?
Rangga melanjutkan pencariannya ke
bangku di depannya, di sampingnya, kerumunan kameramen, hingga sela-sela sempit
sekat studio. Hilang? Ke mana?
“Rang!” tegur Andin sambil
menggoyangkan tangannya.
Rangga tersadar. Tepat saat ia
menoleh ke arah Andin, wajahnya tegak lurus dengan pintu masuk studio. Di sana!
Di sana Doni Sambara berdiri. Berjalan membelakanginya. Tangannya bersembunyi
di balik saku jaket. Sebelum melangkah keluar, Doni meliriknya sepintas.
Lirikan yang sangat khas. Terasa tajam seperti belati.
Rangga terhenyak. Matanya tidak
berkedip. Hingga kemudian pria kekar itu menghilang dari pandangannya.
Lagu selesai. Kru memberikan kode
kalau acara sudah off. Tangannya menyilang ke atas. Seluruh personil berjalan
turun dari depan kamera. Penonton juga mulai membubarkan diri.
Oh, begitu caranya? Menghilang
dengan memanfaatkan kerumunan orang?! Setelah semua yang dia lakukan, dia bisa
enak-enakan menghirup udara bebas? Bukankah seharusnya dia sekarang mendekam di
penjara bersama begundal-begundal Tomy Huang yang lain?
“Rangga, loe....”
“Loe tunggu sini sebentar!”
Rangga memotong kalimat Andin.
Dilepasnya tangan Andin dari lengannya. Badannya menyelip di antara kerumunan
penonton. Meringsek ke depan. Melangkah ke pintu dimana Doni menghilang.
Seharusnya tak sulit mencarinya. Hanya dia yang bertubuh paling tinggi
dibanding penonton-penonton lain yang didominasi anak remaja.
Sirnah. Sampai di luar studio,
suasana sepi senyap. Rangga celingak-celinguk. Mungkinkah dia keluar gedung?
Rangga menghentakkan kakinya. Dia
berjalan cepat menyusuri lorong. Tiap celah dia amati. Dan tepat ketika ia
berada di depan tangga, dilihatnya Doni menyelinap di antara kru.
“Ck!”
Rangga bergegas. Makin lama ia
mempercepat langkah kakinya. Nyeri di punggungnya tak lagi ia gubris. Tubuhnya
menyelip lihai di antara lalu lalang orang. Beberapa pasang mata melihatinya.
Merasa tertarik dengan kemunculan Rangga yang memakai setelan jas serba putih.
Tepat di depan lift, dilihatnya
Doni Sambara berhenti. Wajahnya mendongak ke atas, melihat nomor lantai.
Rangga celingak-celinguk mencari
sesuatu. Dia lalu mengambil pajangan keramik yang ada di meja di sampingnya.
Dengan hati-hati, ia menghampiri Doni.
Namun, baru dua langkah Rangga
maju ke depan, Doni tiba-tiba berlari ke arah tangga darurat. Rangga tersentak
kaget. Tanpa pikir panjang ia ikut mengejar.
“Wooooy!!!”
Rangga berlari masuk ke tangga
darurat. Doni berlari di depannya dengan cepat. Tangga demi tangga diganyang.
Doni semakin menambah kecepatannya melihat Rangga terus mengejarnya meski empat
lantai telah ia lalui.
Sampai di lantai dua, Doni
tiba-tiba keluar dari tangga darurat. Rangga belingsatan. Dia ikut-ikutan
keluar dari sana. Tapi begitu tangannya membuka pintu tangga darurat, sebuah
tendangan menghantam dadanya. Rangga oleng ke belakang. Ia jatuh terguling ke
tangga.
Doni melirik Rangga sepintas. Ia
lalu menutup pintu tangga darurat. Meninggalkan Rangga yang tergolek.
**************
“Trend entertainment tahun depan,
masyarakat suka dengan teen idol yang masih fresh dan kompeten. Gosip
kawin-cerai yang kemarin banyak diminati, sekarang sudah ditinggalkan.
Masyarakat ingin sesuatu yang baru. Bukan yang basi.”
“Ya, maka dari itu...” Om Budy
mencoba bersuara. Tapi suaranya tersendat lantaran dipotong Bunawar. Untuk
kesepuluh kalinya.
“Ya maka dari itu, Pak Budy, saya
pengen fokus ke Five-Primes.” Ucap
Bunawar sambil mengangkat sebuah poster bergambar lima laki-laki bergaya retro
di tangannya, “Kelana juga sedang
digarap, kita ini sibuk...”
“Iya! Benar! Makanya...”
“Ya Makanya!!” sekali lagi Bunawar
menyerobot komentar Om Budy, “Pak Budy ini konsultan hukum kepercayaan saya.
Sudah sepuluh tahun, Pak. Bukan waktu yang lama. Bapak tahu kan apa yang harus
dilakukan?” tandas Bunawar sambil menekan pundak Om Budy yang duduk di
sampingnya. Malam semakin larut.
“Lakukan tugas Bapak seperti
biasa....” lanjut Bunawar.
“Tapi kalau kelebihan begini ya
sulit!” Om Budy memberanikan diri berucap lantang, “Rangga SMASH menjadikan
Andin sebagai batu pijakan? Logisnya nggak ada. Ini sudah gosip kesebelas yang
Bapak edarkan ke tengah wartawan dalam waktu 24 jam. Lagian SMASH itu sudah
terkenal dari bertahun-tahun lalu. Jauh sebelum Rangga pacaran sama Andin.
Sudah lama, Pak! Gosip bapak ini bisa menimbulkan multitafsir dari berbagai
pihak. Kita nanti yang bahaya!”
“Hahaha!” Bunawar terkekeh. Dia
berdiri dari duduknya. Sambil memegang segelas kopi hitam, Bunawar mendekat ke
cendela ruangannya yang lebar dan jernih. Terpampang pemandangan Kota Jakarta
malam hari yang dipenuhi lampu bak lukisan.
“Karena itulah Pak Budy berada di
sini, iya kan?” Lanjut Bunawar sambil menyeruput kopinya.
Om Budy menyangga dahinya dengan
ujung jarinya. Matanya menerawang meja kaca di depannya. Terpantul pekat malam
Jakarta yang gulita. Ia mendesah. Ia tahu nggak akan mudah. Merayu Bunawar
untuk menghentikan kemarahannya pada Rangga nggak semudah membalikkan tangan
bayi. Bunawar pendendam yang luar biasa.
“Bukannya Bapak sudah melepas
Doni....” ucap Om Budy beralih pada topik lain yang tak kalah memusingkan
otaknya.
Bunawar menoleh. Bibirnya rapat
mengatup. Matanya memicing. Menatap tajam Om Budy yang duduk di belakangnya.
Hanya menatap. Menyorot penuh selidik. Sekaligus menyirat teguran.
Mendapat tatapan mata demikian, Om
Budy menunduk. Dia tahu ini bukan kapasitasnya. Bunawar selalu diam seribu
bahasa tiap kali ditanya seputar hubungannya dengan preman bayaran.
Sejenak suasana sepi.
Om Budy lalu berdiri dari sofa.
Ditariknya ujung jasnya yang terlipat. Tanpa mengucap pamit, ia lalu melangkah
pergi dari ruangan Bunawar. Sepanjang ia melangkah, sampai menghilang di balik
pintu, Bunawar hanya mengantarnya dengan tatapan mata menyelidik.
*************
Tes!
Tes!
Ngengat malam berterbangan.
Mengerumuni lampu yang terpasang di atap. Sinarnya putih silau. Menyinari likuk
tangga yang memutar seperti lukisan mozaik dari lantai atas sampai lantai
dasar. Derap langkah kaki dari luar terdengar samar-samar. Diselingi teriakan
dan tawa. Kadang sepi. Tapi kemudian kembali riuh.
Rangga mengerjapkan matanya.
Sedikit demi sedikit terbuka. Iris matanya kelabu. Menatap lekak-lekuk tangga
darurat yang memanjang ke atas.
“ASTAGA!!!!”
Rangga memekik kaget. Seketika ia
bangun dari tidurnya. Rangga celingak-celinguk. Menatap sekeliling dengan bingung.
Tangannya meraba tubuhnya. Masih lengkap. Setelan jas putih, sepatu hitam, dan
microphone. Rangga melihat jam tangannya.
12.24 a.m
“HAH?!!!”
Buru-buru Rangga berdiri.
Tangannya berpegangan pada pembatas tangga. Jam setengah satu tengah malam?
Bagaimana bisa? Terakhir ia sadar, jam masih menunjukkan jam sembilan malam,
gimana bisa.....
Rangga terpekur. Ia berdiri
seperti orang linglung. Tangannya masih berpegangan pada pagar pembatas tangga.
Iya, jam sembilan malam. Jam itu, ia mengejar Doni mengelilingi gedung, masuk
ke dalam tangga darurat, lalu ditendang sampai jatuh terguling ke lantai dasar.
Ah, Shit!! Rangga meremas dadanya.
Perlahan ingatannya kembali. Si berengsek Doni itu yang menendangnya. Sakit
bukan main. Rangga ganti memegangi lengannya. Nyeri. Terguling seperti itu,
pantas saja dia pingsan selama tiga jam.
Rangga menapakkan kakinya. Dia membelok ke
pintu keluar tangga darurat. Suasana telah jauh berbeda dibanding saat ia
datang tadi jam delapan malam. Hanya ada satu-dua orang yang kebetulan tugas
malam. Sepi. Rangga memandangi lobi utama gedung itu dengan muka memelas.
Harus gimana sekarang? Apa kembali
ke studio dimana dia syuting tadi?
Rangga membelokkan kakinya. Tapi
kemudian urung. Sudah tengah malam lewat, emangnya teman-temannya masih di
sana?
Nelpon Andin aja.
Rangga merogoh saku jasnya. Tapi
kemudian berhenti. Kampret! Batinnya. Dia tidak bawa HP. Begitu melihat Doni
tadi, dia langsung mengejar tanpa sempat ngambil HP. Ia juga tidak memberi tahu
siapapun kemana pergi. Tas ia tinggal. Uang juga nggak bawa. Mampus...
Rangga berdiri di depan pintu
darurat seperi anak ilang. Melihati lobi yang terbentang luas dengan lantai
marmernya yang mengkilap. Tidak tahu harus apa dan bagaimana. Mukanya bingung
setengah mati. Sekujur tubuhnya juga terasa pegal. Pasti kalau baju dibuka,
banyak memar biru di dalamnya.
Rangga menghela nafas. Ia lalu
melangkahkan kakinya. Berjalan menuju pintu keluar. Dua orang satpam yang ada
di sana melihatinya.
Rangga menoleh ke kanan dan kiri.
Biasanya ada taksi terparkir di sana.
“Habis syuting, Mas?” sapa salah
seorang satpam.
Merasa ditegur, Rangga menoleh.
“Cermin Angker, ya, Mas?” satpam
gendut itu menyebut sebuah judul film horor. Dari nada bicaranya, ia terlihat
ramah dan ingin mengajak Rangga ngobrol.
Tapi yang diajak ngobrol hanya
masang muka bego dengan bibir melongo. Rangga bengong memandangi satpam di
depannya. Tuh satpam ngomong apaan?
“Cermin apa?” Rangga akhirnya
menyahut setelah loading sekian detik.
“Cermin Angker! Film baru itu kan?
Tadi juga banyak pemain Cermin Angker lewat sini. Kelihatan kok, Mas, dari
propertinya. Mereka juga berdarah-darah tadi. Sama kayak Mas.”
Rangga mengerutkan dahinya.
Berdarah?
Eh?
Rangga meraba punggungnya. Begitu
ia lihat telapak tangannya, ada darah membekas di sana.
Merasa tak puas, Rangga
memundurkan badannya ke depan kaca pintu. Buram. Nampak garis kemerahan
membujur di punggungnya. Noda merah merembes dari balik jasnya yang putih
bersih.
Rangga menahan nafas. Jantungnya
berdegub kencang. Dari kejauhan sebuah taksi melaju mendekat. Rangga
melambaikan tangannya. Taksi itu berhenti
di depannya. Dengan tergesa-gesa Rangga masuk.
Deru taksi berjalan meninggalkan
gedung stasiun TV itu. Rangga duduk di jok belakang dengan mata membelalak.
Tangannya terentang. Tangan kiri berpegangan pada cendela mobil, sementara satu
lainnya menyangga tubuhnya. Dalam keadaan setengah panik, dirasakannya
punggungnya kian lama kian terasa basah. Bau anyir darah menusuk hidungnya.
Taksi melaju kencang membelah
jalanan kota Jakarta. Tak ada istilah tidur meski jam telah menunjukkan jam
satu dini hari. Jakarta tetap dipenuhi gemerlap lampu baik siang dan malam. Di
salah satu jalan, sopir taksi melambatkan mobilnya karena ada penggalian pipa
air.
“Oh, iya, Mas, ini tujuannya
kemana?” tanya sopir taksi itu pada Rangga.
Hening. Tidak ada jawaban.
“Maaf, Mas. Ini Mas tujuannya
kemana?” sekali lagi sopir itu bertanya.
“..........”
“Mas?”
Heran tak ada sahutan, sopir taksi
itu menoleh ke belakang. Seketika dia tersentak kaget. Dilihatnya Rangga telah
tergolek dengan mata terpejam.
**************
“Terjatuh di tangga darurat, lalu
pingsan! Kebangun jam 12 malam! Pulang naik taksi, pingsan lagi!! Emangnya kamu
itu ngapain pakek masuk tangga darurat segala? Nggak ada lift?!”
“..........”
“Syuting juga belum selesai
semuanya. Masih ada sesi wawancara off-line. Dan kamu ngilang tanpa ngasih
kabar. Semalaman Om sama Rafael keliling nyari kamu. Kamu pikir kerja kayak
gini main-main? Untung itu sopir taksi nganterin kamu ke rumah sakit! Gimana
kalo kamu diapa-apain?”
“Ya, emang nggak diapa-apain,
‘kan....” gumam Rangga.
Mendengar komentar Rangga, Om
Panchunk berkacak pinggang. Matanya melotot. Emosinya tak terbendung.
“Kamu mau diapa-apain?!!! Gimana
kalo kamu dibuang ke sungai?! Dibunuh! Dimutilasi!? Terus organ kamu diambil
seperti yang di berita-berita?! Kamu jangan sembrono! Atau yang lebih parah,
gimana kalo ada awak wartawan yang ngerti kamu?! Pingsan di dalam taksi, kalo
ketahuan media, arahnya nanti kemana-mana! Ujung-ujungnya kita lagi yang kena!
Kamu itu mikir makanya! Otak dipake!!”
Rangga membenamkan wajahnya di
balik seragam pasiennya. Omelan Om Panchunk makin kemana-mana. Dibuang ke
sungai? Di mutilasi? Kebanyakan nonton Patroli tuh bapak-bapak, alay banget!
“Perawatan kamu di Rumah Sakit
Dharma Husada aja masih jalan. Kamar juga masih disewa. Dan sekarang kamu check
in lagi di rumah sakit yang lain, demen banget kamu nginep di rumah sakit!”
Yang masukin dia di rumah sakit
ini juga siapa, gerutu Rangga dalam hati. Ngapa tuh sopir taksi nggak nganterin
ke rumah sakit Dharma Husada dimana dia dirawat. Bukan salah dia kan? Ini semua
salah sopir taksi!
“Ya udah....” pungkas Om Panchunk.
Nada suaranya mulai merendah. Capek ngomel panjang lebar, “Om mau ngurus
administrasi. Yudhi, mana KTP kamu?”
“Kok aku?!!” tanya Yudhi, salah
satu asisten SMASH.
“KTP Dedi udah dipakek di Dharma
Husada! Sekarang pakek KTPmu!”
Yudhi manyun. Ia merogoh dompetnya
dan mengeluarkan selembar KTP. Abis deh tuh KTP. Menyamarkan identitas Rangga
di rumah sakit selalu bermuara pada kru SMASH. Selalu asisten-asistennya yang
tak berdosa yang jadi korban.
Om Panchunk dan Yudhi keluar dari
kamar Rangga. Begitu pintu ditutup, tinggallah Rafael dan Rangga. Dicky dan
Reza tidur tertelungkup di sofa. Masih ngantuk gara-gara semalaman disuruh Om
Panchunk bolak-balik apartemen-rumah sakit demi nemuin Rangga.
“Ada apa?” tanya Rafael.
Rangga melirik Rafael. Merasa
janggal.
“Ada yang loe sembunyiin, kan?” Lanjut
Rafael.
Rangga menarik nafas panjang. Dua
orang di dunia ini yang tidak bisa ditipu dengan aktingnya, Andin dan Rafael.
Sepintar apapun dia berekspresi, selalu saja ada yang mereka selidiki.
“Gue pengen ketemu sama Pak
Hartono.”
Rafael terhenyak. Pak Hartono? Ada
apa Rangga tiba-tiba ingin bertemu dengan komisaris polisi yang menyelidiki
kasus penyerangannya dulu?
“Loe bilang loe pengen angkat
tangan...”
Rangga terpekur. Itu dulu! Dulu
ketika ia pikir kasus penyerangannya di studio syuting itu adalah tindakan
orang iseng. Menjadi takut ketika Om Budy bilang orang yang menyerang itu
adalah suruhan Bunawar. Ia ingin lepas tangan. Ingin melupakan semua dan
kembali hidup normal. Tapi setelah kejadian hari ini...
“Orang yang nyerang gue, yang
pengen menyilet wajah gue di studio dulu, yang hampir nembak gue pas kita nyari
Andin, hari ini.... muncul lagi...”
“Dia?”
Rangga mengangguk, “Dia ada di bangku
penonton pas kita syuting tadi malam.”
“Jadi karena itu loe menghilang?
Loe ngejar dia?”
Rangga diam.
“Buset! Gila, loe, Ngga!! Loe
nggak mikir ujung-ujungnya bakal kek gimana? Gimana kalo tuh orang bawa
senjata? Bisa mampus loe!!”
“Kalo dia bawa senjata, mestinya
dia langsung nyerang gue pas gue ada di dekat dia di studio. Bisa aja dia
manfaatin kerumunan orang sebagai kamuflase. Tapi dia nggak ngelakuin itu!”
“...........”
“Ketika gue ngejar dia, dia malah
lari. Dia udah bikin gue jatuh dari tangga dan pingsan. Tapi gue nggak
kenapa-kenapa. Dia malah ninggalin gue gitu aja. Aneh, ngerti kan?!”
-------------------
BERSAMBUNG KE PART 25
Lanjut dong ka andiiiiiiiinnnn..
BalasHapus