23 November 2014

[Cerbung SMASH] "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" SEASON 2 / Part 24

Title          : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season    : 2
Author       : @ariek_andini (adm4)
Genre        : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Cast          : All member of D'Uneven, All member of SMASH, Roy Marten, Om Panchunk, Daaaan, banyak lageeeh...
\
----------------------

             DIA???!!!

             Doni Sambara?!!!

             “Rangga?”

             “.....”

             “Rangga?!!!”

             “Akhhh!!”

             “Ngelamun mulu! Bangun woy!!” ucap Bisma sambil menyodorkan microphone.

             “Apaan?”

             “Nyanyi! Acaranya udah selesai.”

             Hah?

             Rangga mengikuti Bisma maju ke depan. Andin menggandeng lengannya di sampingnya. Dentum lagu mulai dimainkan. Lampu studio bergerak-gerak. Suasana meremang. Biru dan ungu. Di tengah pemandangan yang temaram, Rangga memicing-micingkan matanya. Tatap matanya tertuju ke bangku penonton yang berada di ujung kiri.

             Tidak ada?

             Rangga melanjutkan pencariannya ke bangku di depannya, di sampingnya, kerumunan kameramen, hingga sela-sela sempit sekat studio. Hilang? Ke mana?

             “Rang!” tegur Andin sambil menggoyangkan tangannya.

             Rangga tersadar. Tepat saat ia menoleh ke arah Andin, wajahnya tegak lurus dengan pintu masuk studio. Di sana! Di sana Doni Sambara berdiri. Berjalan membelakanginya. Tangannya bersembunyi di balik saku jaket. Sebelum melangkah keluar, Doni meliriknya sepintas. Lirikan yang sangat khas. Terasa tajam seperti belati.

             Rangga terhenyak. Matanya tidak berkedip. Hingga kemudian pria kekar itu menghilang dari pandangannya.

             Lagu selesai. Kru memberikan kode kalau acara sudah off. Tangannya menyilang ke atas. Seluruh personil berjalan turun dari depan kamera. Penonton juga mulai membubarkan diri.

             Oh, begitu caranya? Menghilang dengan memanfaatkan kerumunan orang?! Setelah semua yang dia lakukan, dia bisa enak-enakan menghirup udara bebas? Bukankah seharusnya dia sekarang mendekam di penjara bersama begundal-begundal Tomy Huang yang lain?

             “Rangga, loe....”

             “Loe tunggu sini sebentar!”


             Rangga memotong kalimat Andin. Dilepasnya tangan Andin dari lengannya. Badannya menyelip di antara kerumunan penonton. Meringsek ke depan. Melangkah ke pintu dimana Doni menghilang. Seharusnya tak sulit mencarinya. Hanya dia yang bertubuh paling tinggi dibanding penonton-penonton lain yang didominasi anak remaja.

             Sirnah. Sampai di luar studio, suasana sepi senyap. Rangga celingak-celinguk. Mungkinkah dia keluar gedung?

             Rangga menghentakkan kakinya. Dia berjalan cepat menyusuri lorong. Tiap celah dia amati. Dan tepat ketika ia berada di depan tangga, dilihatnya Doni menyelinap di antara kru.

             “Ck!”

             Rangga bergegas. Makin lama ia mempercepat langkah kakinya. Nyeri di punggungnya tak lagi ia gubris. Tubuhnya menyelip lihai di antara lalu lalang orang. Beberapa pasang mata melihatinya. Merasa tertarik dengan kemunculan Rangga yang memakai setelan jas serba putih.

             Tepat di depan lift, dilihatnya Doni Sambara berhenti. Wajahnya mendongak ke atas, melihat nomor lantai.

             Rangga celingak-celinguk mencari sesuatu. Dia lalu mengambil pajangan keramik yang ada di meja di sampingnya. Dengan hati-hati, ia menghampiri Doni.

             Namun, baru dua langkah Rangga maju ke depan, Doni tiba-tiba berlari ke arah tangga darurat. Rangga tersentak kaget. Tanpa pikir panjang ia ikut mengejar.

             “Wooooy!!!”

             Rangga berlari masuk ke tangga darurat. Doni berlari di depannya dengan cepat. Tangga demi tangga diganyang. Doni semakin menambah kecepatannya melihat Rangga terus mengejarnya meski empat lantai telah ia lalui.

             Sampai di lantai dua, Doni tiba-tiba keluar dari tangga darurat. Rangga belingsatan. Dia ikut-ikutan keluar dari sana. Tapi begitu tangannya membuka pintu tangga darurat, sebuah tendangan menghantam dadanya. Rangga oleng ke belakang. Ia jatuh terguling ke tangga.

             Doni melirik Rangga sepintas. Ia lalu menutup pintu tangga darurat. Meninggalkan Rangga yang tergolek.

             **************

             “Trend entertainment tahun depan, masyarakat suka dengan teen idol yang masih fresh dan kompeten. Gosip kawin-cerai yang kemarin banyak diminati, sekarang sudah ditinggalkan. Masyarakat ingin sesuatu yang baru. Bukan yang basi.”

             “Ya, maka dari itu...” Om Budy mencoba bersuara. Tapi suaranya tersendat lantaran dipotong Bunawar. Untuk kesepuluh kalinya.

             “Ya maka dari itu, Pak Budy, saya pengen fokus ke Five-Primes.” Ucap Bunawar sambil mengangkat sebuah poster bergambar lima laki-laki bergaya retro di tangannya, “Kelana juga sedang digarap, kita ini sibuk...”

             “Iya! Benar! Makanya...”

             “Ya Makanya!!” sekali lagi Bunawar menyerobot komentar Om Budy, “Pak Budy ini konsultan hukum kepercayaan saya. Sudah sepuluh tahun, Pak. Bukan waktu yang lama. Bapak tahu kan apa yang harus dilakukan?” tandas Bunawar sambil menekan pundak Om Budy yang duduk di sampingnya. Malam semakin larut.

             “Lakukan tugas Bapak seperti biasa....” lanjut Bunawar.

             “Tapi kalau kelebihan begini ya sulit!” Om Budy memberanikan diri berucap lantang, “Rangga SMASH menjadikan Andin sebagai batu pijakan? Logisnya nggak ada. Ini sudah gosip kesebelas yang Bapak edarkan ke tengah wartawan dalam waktu 24 jam. Lagian SMASH itu sudah terkenal dari bertahun-tahun lalu. Jauh sebelum Rangga pacaran sama Andin. Sudah lama, Pak! Gosip bapak ini bisa menimbulkan multitafsir dari berbagai pihak. Kita nanti yang bahaya!”

             “Hahaha!” Bunawar terkekeh. Dia berdiri dari duduknya. Sambil memegang segelas kopi hitam, Bunawar mendekat ke cendela ruangannya yang lebar dan jernih. Terpampang pemandangan Kota Jakarta malam hari yang dipenuhi lampu bak lukisan.

             “Karena itulah Pak Budy berada di sini, iya kan?” Lanjut Bunawar sambil menyeruput kopinya.

             Om Budy menyangga dahinya dengan ujung jarinya. Matanya menerawang meja kaca di depannya. Terpantul pekat malam Jakarta yang gulita. Ia mendesah. Ia tahu nggak akan mudah. Merayu Bunawar untuk menghentikan kemarahannya pada Rangga nggak semudah membalikkan tangan bayi. Bunawar pendendam yang luar biasa.

             “Bukannya Bapak sudah melepas Doni....” ucap Om Budy beralih pada topik lain yang tak kalah memusingkan otaknya.

             Bunawar menoleh. Bibirnya rapat mengatup. Matanya memicing. Menatap tajam Om Budy yang duduk di belakangnya. Hanya menatap. Menyorot penuh selidik. Sekaligus menyirat teguran.

             Mendapat tatapan mata demikian, Om Budy menunduk. Dia tahu ini bukan kapasitasnya. Bunawar selalu diam seribu bahasa tiap kali ditanya seputar hubungannya dengan preman bayaran.

             Sejenak suasana sepi.

             Om Budy lalu berdiri dari sofa. Ditariknya ujung jasnya yang terlipat. Tanpa mengucap pamit, ia lalu melangkah pergi dari ruangan Bunawar. Sepanjang ia melangkah, sampai menghilang di balik pintu, Bunawar hanya mengantarnya dengan tatapan mata menyelidik.

             *************

             Tes!

             Tes!

             Ngengat malam berterbangan. Mengerumuni lampu yang terpasang di atap. Sinarnya putih silau. Menyinari likuk tangga yang memutar seperti lukisan mozaik dari lantai atas sampai lantai dasar. Derap langkah kaki dari luar terdengar samar-samar. Diselingi teriakan dan tawa. Kadang sepi. Tapi kemudian kembali riuh.

             Rangga mengerjapkan matanya. Sedikit demi sedikit terbuka. Iris matanya kelabu. Menatap lekak-lekuk tangga darurat yang memanjang ke atas.

             “ASTAGA!!!!”

             Rangga memekik kaget. Seketika ia bangun dari tidurnya. Rangga celingak-celinguk. Menatap sekeliling dengan bingung. Tangannya meraba tubuhnya. Masih lengkap. Setelan jas putih, sepatu hitam, dan microphone. Rangga melihat jam tangannya.

             12.24 a.m

             “HAH?!!!”

             Buru-buru Rangga berdiri. Tangannya berpegangan pada pembatas tangga. Jam setengah satu tengah malam? Bagaimana bisa? Terakhir ia sadar, jam masih menunjukkan jam sembilan malam, gimana bisa.....

             Rangga terpekur. Ia berdiri seperti orang linglung. Tangannya masih berpegangan pada pagar pembatas tangga. Iya, jam sembilan malam. Jam itu, ia mengejar Doni mengelilingi gedung, masuk ke dalam tangga darurat, lalu ditendang sampai jatuh terguling ke lantai dasar.

             Ah, Shit!! Rangga meremas dadanya. Perlahan ingatannya kembali. Si berengsek Doni itu yang menendangnya. Sakit bukan main. Rangga ganti memegangi lengannya. Nyeri. Terguling seperti itu, pantas saja dia pingsan selama tiga jam.

             Rangga menapakkan kakinya. Dia membelok ke pintu keluar tangga darurat. Suasana telah jauh berbeda dibanding saat ia datang tadi jam delapan malam. Hanya ada satu-dua orang yang kebetulan tugas malam. Sepi. Rangga memandangi lobi utama gedung itu dengan muka memelas.

             Harus gimana sekarang? Apa kembali ke studio dimana dia syuting tadi?

             Rangga membelokkan kakinya. Tapi kemudian urung. Sudah tengah malam lewat, emangnya teman-temannya masih di sana?

             Nelpon Andin aja.

             Rangga merogoh saku jasnya. Tapi kemudian berhenti. Kampret! Batinnya. Dia tidak bawa HP. Begitu melihat Doni tadi, dia langsung mengejar tanpa sempat ngambil HP. Ia juga tidak memberi tahu siapapun kemana pergi. Tas ia tinggal. Uang juga nggak bawa. Mampus...

             Rangga berdiri di depan pintu darurat seperi anak ilang. Melihati lobi yang terbentang luas dengan lantai marmernya yang mengkilap. Tidak tahu harus apa dan bagaimana. Mukanya bingung setengah mati. Sekujur tubuhnya juga terasa pegal. Pasti kalau baju dibuka, banyak memar biru di dalamnya.

             Rangga menghela nafas. Ia lalu melangkahkan kakinya. Berjalan menuju pintu keluar. Dua orang satpam yang ada di sana melihatinya.

             Rangga menoleh ke kanan dan kiri. Biasanya ada taksi terparkir di sana.

             “Habis syuting, Mas?” sapa salah seorang satpam.

             Merasa ditegur, Rangga menoleh.

             “Cermin Angker, ya, Mas?” satpam gendut itu menyebut sebuah judul film horor. Dari nada bicaranya, ia terlihat ramah dan ingin mengajak Rangga ngobrol.

             Tapi yang diajak ngobrol hanya masang muka bego dengan bibir melongo. Rangga bengong memandangi satpam di depannya. Tuh satpam ngomong apaan?

             “Cermin apa?” Rangga akhirnya menyahut setelah loading sekian detik.

             “Cermin Angker! Film baru itu kan? Tadi juga banyak pemain Cermin Angker lewat sini. Kelihatan kok, Mas, dari propertinya. Mereka juga berdarah-darah tadi. Sama kayak Mas.”

             Rangga mengerutkan dahinya. Berdarah?

             Eh?

             Rangga meraba punggungnya. Begitu ia lihat telapak tangannya, ada darah membekas di sana.

             Merasa tak puas, Rangga memundurkan badannya ke depan kaca pintu. Buram. Nampak garis kemerahan membujur di punggungnya. Noda merah merembes dari balik jasnya yang putih bersih.

             Rangga menahan nafas. Jantungnya berdegub kencang. Dari kejauhan sebuah taksi melaju mendekat. Rangga melambaikan tangannya.  Taksi itu berhenti di depannya. Dengan tergesa-gesa Rangga masuk.

             Deru taksi berjalan meninggalkan gedung stasiun TV itu. Rangga duduk di jok belakang dengan mata membelalak. Tangannya terentang. Tangan kiri berpegangan pada cendela mobil, sementara satu lainnya menyangga tubuhnya. Dalam keadaan setengah panik, dirasakannya punggungnya kian lama kian terasa basah. Bau anyir darah menusuk hidungnya.

             Taksi melaju kencang membelah jalanan kota Jakarta. Tak ada istilah tidur meski jam telah menunjukkan jam satu dini hari. Jakarta tetap dipenuhi gemerlap lampu baik siang dan malam. Di salah satu jalan, sopir taksi melambatkan mobilnya karena ada penggalian pipa air.

             “Oh, iya, Mas, ini tujuannya kemana?” tanya sopir taksi itu pada Rangga.

             Hening. Tidak ada jawaban.

             “Maaf, Mas. Ini Mas tujuannya kemana?” sekali lagi sopir itu bertanya.

             “..........”

             “Mas?”

             Heran tak ada sahutan, sopir taksi itu menoleh ke belakang. Seketika dia tersentak kaget. Dilihatnya Rangga telah tergolek dengan mata terpejam.

             **************

             “Terjatuh di tangga darurat, lalu pingsan! Kebangun jam 12 malam! Pulang naik taksi, pingsan lagi!! Emangnya kamu itu ngapain pakek masuk tangga darurat segala? Nggak ada lift?!”

             “..........”

             “Syuting juga belum selesai semuanya. Masih ada sesi wawancara off-line. Dan kamu ngilang tanpa ngasih kabar. Semalaman Om sama Rafael keliling nyari kamu. Kamu pikir kerja kayak gini main-main? Untung itu sopir taksi nganterin kamu ke rumah sakit! Gimana kalo kamu diapa-apain?”

             “Ya, emang nggak diapa-apain, ‘kan....” gumam Rangga.

             Mendengar komentar Rangga, Om Panchunk berkacak pinggang. Matanya melotot. Emosinya tak terbendung.

             “Kamu mau diapa-apain?!!! Gimana kalo kamu dibuang ke sungai?! Dibunuh! Dimutilasi!? Terus organ kamu diambil seperti yang di berita-berita?! Kamu jangan sembrono! Atau yang lebih parah, gimana kalo ada awak wartawan yang ngerti kamu?! Pingsan di dalam taksi, kalo ketahuan media, arahnya nanti kemana-mana! Ujung-ujungnya kita lagi yang kena! Kamu itu mikir makanya! Otak dipake!!”

             Rangga membenamkan wajahnya di balik seragam pasiennya. Omelan Om Panchunk makin kemana-mana. Dibuang ke sungai? Di mutilasi? Kebanyakan nonton Patroli tuh bapak-bapak, alay banget!

             “Perawatan kamu di Rumah Sakit Dharma Husada aja masih jalan. Kamar juga masih disewa. Dan sekarang kamu check in lagi di rumah sakit yang lain, demen banget kamu nginep di rumah sakit!”

             Yang masukin dia di rumah sakit ini juga siapa, gerutu Rangga dalam hati. Ngapa tuh sopir taksi nggak nganterin ke rumah sakit Dharma Husada dimana dia dirawat. Bukan salah dia kan? Ini semua salah sopir taksi!

             “Ya udah....” pungkas Om Panchunk. Nada suaranya mulai merendah. Capek ngomel panjang lebar, “Om mau ngurus administrasi. Yudhi, mana KTP kamu?”

             “Kok aku?!!” tanya Yudhi, salah satu asisten SMASH.

             “KTP Dedi udah dipakek di Dharma Husada! Sekarang pakek KTPmu!”

             Yudhi manyun. Ia merogoh dompetnya dan mengeluarkan selembar KTP. Abis deh tuh KTP. Menyamarkan identitas Rangga di rumah sakit selalu bermuara pada kru SMASH. Selalu asisten-asistennya yang tak berdosa yang jadi korban.

             Om Panchunk dan Yudhi keluar dari kamar Rangga. Begitu pintu ditutup, tinggallah Rafael dan Rangga. Dicky dan Reza tidur tertelungkup di sofa. Masih ngantuk gara-gara semalaman disuruh Om Panchunk bolak-balik apartemen-rumah sakit demi nemuin Rangga.

             “Ada apa?” tanya Rafael.

             Rangga melirik Rafael. Merasa janggal.

             “Ada yang loe sembunyiin, kan?” Lanjut Rafael.

             Rangga menarik nafas panjang. Dua orang di dunia ini yang tidak bisa ditipu dengan aktingnya, Andin dan Rafael. Sepintar apapun dia berekspresi, selalu saja ada yang mereka selidiki.

             “Gue pengen ketemu sama Pak Hartono.”

             Rafael terhenyak. Pak Hartono? Ada apa Rangga tiba-tiba ingin bertemu dengan komisaris polisi yang menyelidiki kasus penyerangannya dulu?

             “Loe bilang loe pengen angkat tangan...”

             Rangga terpekur. Itu dulu! Dulu ketika ia pikir kasus penyerangannya di studio syuting itu adalah tindakan orang iseng. Menjadi takut ketika Om Budy bilang orang yang menyerang itu adalah suruhan Bunawar. Ia ingin lepas tangan. Ingin melupakan semua dan kembali hidup normal. Tapi setelah kejadian hari ini...

             “Orang yang nyerang gue, yang pengen menyilet wajah gue di studio dulu, yang hampir nembak gue pas kita nyari Andin, hari ini.... muncul lagi...”

             “Dia?”

             Rangga mengangguk, “Dia ada di bangku penonton pas kita syuting tadi malam.”

             “Jadi karena itu loe menghilang? Loe ngejar dia?”

             Rangga diam.

             “Buset! Gila, loe, Ngga!! Loe nggak mikir ujung-ujungnya bakal kek gimana? Gimana kalo tuh orang bawa senjata? Bisa mampus loe!!”

             “Kalo dia bawa senjata, mestinya dia langsung nyerang gue pas gue ada di dekat dia di studio. Bisa aja dia manfaatin kerumunan orang sebagai kamuflase. Tapi dia nggak ngelakuin itu!”

             “...........”

             “Ketika gue ngejar dia, dia malah lari. Dia udah bikin gue jatuh dari tangga dan pingsan. Tapi gue nggak kenapa-kenapa. Dia malah ninggalin gue gitu aja. Aneh, ngerti kan?!”

-------------------

BERSAMBUNG KE PART 25

1 komentar: